Liam dan Rosa melangkah ke dalam aula pernikahan, tetapi suasana yang menyambut mereka sama sekali tidak seperti yang mereka bayangkan. Bisikan-bisikan tajam terdengar di antara para tamu, menciptakan suasana penuh ketegangan yang menusuk hingga ke tulang.
Mata-mata yang menatap mereka bukanlah mata yang memberikan restu, melainkan yang menghakimi. Di tengah gemerlap lampu kristal dan dekorasi megah, aura perayaan itu telah menghilang, digantikan oleh rasa curiga dan pengkhianatan. Di dalam ketegangan itu, Bu Rini berdiri dengan wajah merah padam, sorot matanya penuh kemarahan yang membara. Jemarinya mengepal erat di sisi gaun, seolah berusaha menahan ledakan emosi yang siap meledak kapan saja. Rosa mengenal ekspresi itu—bukan hanya marah, tapi juga terluka dan kecewa. Ibunya merasa dipermalukan di hadapan semua orang, di hari yang seharusnya menjadi momen kebahagiaan mereka. "Rosa!" Suara Bu Rini melengking, menusuk seperti pecahan kaca yang menghantam dinding keheningan. Semua orang langsung menoleh, seakan menantikan drama yang akan pecah di depan mata mereka. "Ikut Ibu sekarang. Kita pergi dari sini!" Nada suaranya tidak mengizinkan bantahan, penuh dengan otoritas seorang ibu yang merasa anaknya telah dihancurkan. Sementara itu, Rosa merasakan jantungnya mencelos, seakan terseret dalam pusaran badai yang tak kunjung reda. Dia menoleh ke arah Liam, berharap menemukan ketegasan dalam sorot matanya, tetapi yang dia temukan hanyalah kebimbangan. Mata Liam berbicara lebih banyak daripada bibirnya yang terkatup rapat, memperlihatkan perang batin yang berkecamuk di dalam diri. Rosa bisa melihatnya dengan jelas—Liam tidak ingin percaya pada Evelyn, tetapi tekanan yang menghimpitnya terlalu besar untuk diabaikan. Di sisi lain, Bu Diana, ibu Liam, berdiri dengan anggun, tetapi penuh ketegasan. Wajahnya tidak menunjukkan emosi, selain rasa jijik yang begitu nyata terhadap Rosa. Dengan satu langkah maju, dia menatap Bu Rini dengan sorot mata tajam, seperti ingin mengukuhkan superioritasnya. "Bu Rini, sadarlah," katanya dengan nada rendah, "anakmu sudah mencoreng nama baik keluarga kami." Bu Rini tertawa dingin, tetapi matanya tetap berkilat penuh emosi yang tertahan. Napas memburu, dada naik turun, menunjukkan betapa dia berusaha mengendalikan amarahnya. "Mencoreng nama baik keluargamu? Justru aku yang harusnya bicara begitu!" Suara wanita paruh baya itu bergetar, tetapi tidak kehilangan ketegasannya. "Anakku tidak mungkin melakukan hal menjijikkan seperti yang kalian tuduhkan!" Liam menutup mata sejenak, menarik napas panjang, berusaha mencari keberanian dalam hiruk-pikuk pikirannya. Dia ingin mempercayai Rosa, tetapi seluruh dunia seakan menuntut untuk meragukan istrinya sendiri. Hati kecilnya berteriak bahwa Evelyn sedang memainkan permainan kotor, tetapi logikanya dipaksa mempertimbangkan semua kemungkinan. Di antara tatapan tajam tamu undangan dan tuntutan keluarganya, Liam berada di persimpangan jalan yang begitu menyesakkan. Tatapan ibunya, Bu Diana, begitu dingin. Sementara itu, sepupu-sepupunya, terutama Denny, mulai maju dengan ekspresi penuh amarah. "Liam, lo serius masih mau berdiri di samping cewek ini?" Denny melipat tangan di dada, sorot matanya menekan. "Dia udah ketahuan main belakang dan lo masih bela? Lo pikir harga diri keluarga kita ini mainan?" Pria itu menoleh ke arah sepupunya, rahangnya mengeras. "Gue nggak bilang gue percaya sama Evelyn. Gue cuma ...." Kata-katanya terhenti. Dia tidak tahu bagaimana menjelaskan perasaannya tanpa terdengar ragu. Dia ingin membela Rosa, tetapi situasi ini membuatnya sulit bergerak. Sepupu lainnya yang bernama via, ikut menyambar. "Lo nggak bisa menggantung di tengah, Liam. Tentuin, lo percaya atau nggak. Jangan bikin keluarga kita malu lebih jauh." Suaranya tajam, menusuk ke dalam hati Rosa yang semakin remuk. Rosa akhirnya mendongak, menatap langsung ke arah semua orang. "Aku nggak melakukan apa yang kalian tuduhkan dan aku nggak butuh kalian untuk percaya." Suaranya tenang, tetapi penuh ketegasan yang mengejutkan semua orang. "Aku hanya peduli pada satu hal, suamiku. Kalau dia sendiri ragu, maka tidak ada gunanya aku menjelaskan apa pun." Mendengar itu, Liam merasa dadanya sesak. Dia ingin berteriak bahwa dia tidak ingin kehilangan Rosa, tetapi lidahnya kelu. Dia berusaha keras mencari cara untuk membela sang istri di hadapan semua orang. Bu Diana yang sejak tadi diam akhirnya angkat bicara. "Kalau memang kamu tidak bersalah, buktikan. Sekarang juga." Suaranya datar, tetapi mengandung tantangan yang membuat Rosa merasa seolah sedang dihakimi di pengadilan. "Jangan menyudutkan putriku!" bentak Bu Rini semakin marah, sedangkan suaminya berusaha tenang meskipun tangan sudah terkepal sempurna. "Liam." Suara Bu Diana yang mengabaikan besannya kembali terdengar, kali ini lebih lembut, tetapi tetap penuh tekanan. "Kamu masih mau mempertahankan perempuan ini setelah semua yang terjadi?" Sejenak, aula terasa semakin sunyi, semua orang menahan napas menunggu jawaban Liam. Pria itu membuka matanya perlahan, tatapannya langsung jatuh pada Rosa yang masih berdiri tegak di sisinya. Dia bisa melihat kerapuhan di mata itu, sesuatu yang semakin membuatnya sulit mengambil keputusan. "Tolong jelasin, Rosa," kata Liam akhirnya dengan suara yang terdengar berat, penuh tekanan yang membebani pundaknya. Setiap kata yang dia ucapkan terasa seperti pedang yang menusuk dada Rosa tanpa ampun. "Buktikan kamu tidak bersalah atau aku tidak akan bisa melawan orang tuaku." Hening kembali menyelimuti ruangan, hanya menyisakan debaran jantung Rosa yang terasa menggema di dalam dirinya sendiri. Seketika, tubuh Rosa menegang, merasa dunia runtuh di sekelilingnya tanpa bisa dia hentikan. Matanya membesar, menatap Liam dengan tatapan yang sulit diartikan—kecewa, terluka, dan tak percaya. Kalimat itu menggema di kepalanya, memukul lebih keras daripada semua tuduhan yang telah dia terima saat itu. "Buktikan kamu tidak bersalah." Kalimat itu menggema dalam bayangan Rosa. Sejak kapan beban pembuktian itu ada di pundaknya? Napas wanita itu bergetar, tetapi dia tidak ingin terlihat lemah, tidak di hadapan semua orang ini. Dia pun menggigit bibir, menahan air mata yang menggenang di pelupuk matanya, berusaha untuk tetap terlihat kuat. "Apa maksudmu, Mas?" tanya Rosa dengan suara yang lebih kecil dari biasanya. Dia berharap Liam akan menarik kembali kata-katanya, tapi yang dia temukan hanyalah kebisuan. Sebelum Liam bisa menjawab, suara Bu Diana kembali memotong dengan nada penuh kemenangan. "Kalau kamu memang tidak bersalah, buktikan!" katanya dengan senyum tipis yang menyiratkan keyakinan bahwa Rosa tidak akan bisa melakukannya. Suara itu terasa seperti cambuk yang menghantam punggung Rosa, menyakitkan dan merendahkan. Dia mengepalkan tangannya di sisi tubuhnya, berusaha menahan diri untuk tidak berteriak. "Bagaimana aku bisa membuktikan sesuatu yang bahkan tidak pernah aku lakukan?" Bu Diana mengangkat dagu. "Kalau begitu, anggap saja kamu memang bersalah." Seketika Liam mengalihkan pandangannya, merasa tidak nyaman dengan arah percakapan yang semakin menyesakkan dada. Dia ingin menghentikan semua ini, ingin menarik Rosa ke dalam pelukan dan mengatakan bahwa dia percaya padanya. Namun, kakinya terasa terpaku di tempat, seperti ada rantai tak kasat mata yang menahannya. Rosa berdiri diam, dadanya naik turun menahan gelombang emosi yang hampir meledak. Sementara itu, Bu Rini mendekat, meraih tangan putrinya dengan erat, ingin segera menariknya keluar dari neraka tuduhan itu. “Kita pulang, Rosa. Tidak ada gunanya kamu di sini,” ujarnya dengan suara dingin, penuh dengan luka dan rasa malu. .“Tunggu!” Suara Liam menggema ketika melihat Rosa dibawa pergi dari aula yang masih dipenuhi tamu undangan yang terdiam menyaksikan drama itu. Langkah Rosa terhenti, tetapi dia tidak menoleh. Liam menatap semua orang di sekelilingnya, terutama ibunya, lalu menegaskan, “Kalau Rosa pulang, aku akan ikut dengannya!” Pernyataan itu membuat suasana semakin tegang dan wajah Bu Diana langsung mengeras."Maaf?" Naina mencoba tersenyum manis meski jelas-jelas merasa tidak nyaman. "Pulang!" ulang Bu Diana dengan tatapan tajam yang tak bersahabat. Naina menghela napas panjang. "Maaf, Bu. Aku nggak bisa. Aku khawatir Liam menyakiti Rosa. Kita sama-sama tamu di sini dan aku nggak akan pulang, kecuali tuan rumah sendiri yang nyuruh." "Saya ini ibunya Liam. Saya berhak di rumah ini!" Mata Bu Diana membulat, penuh amarah. "Sedangkan kamu? Siapa kamu?!" "Aku sahabat Rosa, Bu. Sudah dianggap saudara sejak lama. Dan karena itu, aku nggak akan tinggal diam saat orang-orang memfitnah dia. Aku tahu yang sebenarnya. Aku tahu Evelyn-lah yang menyuruh Raka—" "Kebenaran?" Bu Diana menyela dengan senyum miring. "Kebenaran yang kamu lihat itu palsu. Rosa nggak sebaik yang kamu kira—" "Dan juga tidak seburuk yang mereka katakan, bukan?" potong Naina, tatapannya tajam dan tak gentar. Rahang Bu Diana mengeras. Kedua tangannya terkepal sempurna. Setiap kata dari Naina terasa seperti cambuk yang menya
"Gimana aku mau percaya kalau faktanya emang ada cowok lain di sekitar kamu?!" Suara Liam meninggi, nadanya tajam menusuk. Tapi bukannya melanjutkan adu mulut, pria itu malah memilih melangkah keluar rumah. Bahunya tegang, matanya merah menahan luapan emosi yang sudah di ambang batas. Namun Naina segera menghadang langkahnya. Tubuh mungilnya berdiri kokoh di ambang pintu, matanya menatap penuh keyakinan. "Ini nggak adil." Liam mendengus. "Aku tahu kamu bakal belain Rosa karena dia sahabat kamu. Kamu nggak bakal lihat siapa yang benar dan salah—" "Justru karena aku sahabatnya, makanya aku berdiri di sini!" potong Naina lantang. "Aku yang kenal dia luar dalam aja bisa lihat kebenarannya. Tapi kamu, suaminya sendiri... kenapa malah buta dan tuli?!" Liam terdiam sejenak, tapi tatapannya tetap keras. "Berapa lama kalian pacaran sebelum nikah? Kalian dijodohkan setelah kenal sebulan? Nggak, kan?" "Aku cuma bilang... pacaran bertahun-tahun pun gak jamin kita bener-bener kenal orang."
"Mas, mungkin Bu Lin salah lihat. Gak ada yang anter aku, aku pulang sendiri." Rosa mencoba terdengar meyakinkan, tapi suaranya sedikit bergetar. Jemarinya yang gemetar buru-buru dia sembunyikan di balik lipatan baju. Pandangannya menghindar, takut bertemu dengan mata Liam yang tajam menelisik. Liam menyipitkan mata, memperhatikan setiap gerak-geriknya. "Kamu yakin? Gimana kalau Bu Lin punya bukti?" Nada suaranya tenang, tapi sarat dengan kecurigaan. Rosa menelan ludah. "Mas, aku beneran gak bohong sama kamu." "Tapi Bu Lin juga gak mungkin bohong sama aku, kan, Rosa?" Rosa meremas ujung bajunya, pikirannya berputar mencari alasan yang masuk akal. Dia tahu Liam bukan tipe yang mudah percaya begitu saja. Sorot matanya seolah mencari celah, mencari tanda kebohongan dalam dirinya. "Oh, iya!" Rosa menepuk dahinya, berpura-pura seolah baru mengingat sesuatu. "Tadi ada mobil yang menghadang pas aku lari, Mas. Dia menawarkan bantuan. Dia yang nganter aku. Maaf, aku lupa karena tadi sakin
Cahaya putih dari lampu-lampu neon minimarket menerangi wajah Rosa yang dipenuhi kegelisahan. Aroma kopi instan dan makanan kemasan bercampur dengan udara dingin dari pendingin ruangan. Beberapa pelanggan berlalu lalang, sibuk memilih barang, sementara Rosa justru terpaku menatap Rainer dengan sorot penuh kehati-hatian."Tapi, Rainer ...." Rosa menarik napas panjang, mencoba mengendalikan debaran jantungnya. "Aku nggak mau terlibat masalah lagi. Aku udah cukup tersiksa dengan kehadiran Evelyn dan fitnah yang hampir menghancurkan hidupku. Kalau memang dia masalah, kenapa nggak kamu bawa dia pergi aja? Setidaknya aku bisa sedikit tenang. Kamu tahu, kan, aku udah nikah?"Rainer mendengkus pelan, menatap Rosa tajam. "Kamu pikir semudah itu menghentikan Evelyn? Dia nggak pernah benar-benar mencintai Liam. Dia kembali bukan untuk menebus kesalahan, tapi untuk sesuatu yang lebih besar. Aku yakin dia punya rencana lain.""Entahlah." Rosa menggeleng, suaranya melemah. "Yang jelas, sejak dia mu
Liam terdiam sejenak, mencoba mencerna semua yang dikatakan Rosa. Sorot matanya tajam, penuh kecurigaan yang perlahan tumbuh. Ada sesuatu yang disembunyikan istrinya—sesuatu yang tidak ingin Rosa katakan. “Jadi, kamu tahu dari mana soal Rainer dan Evelyn?” tanya Liam dengan suara yang terdengar lebih dingin dari sebelumnya. “Aku aja nggak tahu soal itu.” Rosa menghela napas berat. “Kalau gitu, nggak usah nanya, Mas.” “Aku pengen tahu.” Liam menatapnya lekat-lekat. “Evelyn selalu datang dan bilang dia pergi demi kebaikanku. Tapi kalau aku ungkit soal Rainer—” “Tidak!” Rosa memotong cepat. Liam menyipitkan mata. Reaksi Rosa terlalu defensif. Kenapa? Apa dia ingin menutupi sesuatu? Apakah dia takut Rainer berulah dan mendapat masalah? Atau … dia hanya tidak ingin Liam tahu lebih banyak? Atau mungkin … dia melindungi seseorang? Tapi siapam “Kenapa kamu tiba-tiba nggak mau aku tahu?” Liam kembali bertanya, tetapi kali ini suaranya lebih dalam, lebih menekan. Rosa menegang. “
Hujan deras mengguyur kota sejak sore, membasahi kaca jendela dengan butiran air yang terus mengalir. Angin dingin menyelinap melalui celah tirai, membuat suasana malam semakin kelam. Di ruang tengah, cahaya lampu kuning temaram hanya menambah kesan muram. Aroma kopi yang telah lama dingin tercium samar di meja.Rosa mondar-mandir di depan televisi, tidak fokus pada layar yang terus menampilkan berita malam. Jemarinya mengusap layar ponselnya berkali-kali, seolah menimbang sesuatu. Sementara itu, Liam sudah duduk di sofa selama satu jam terakhir, sesekali mengetik di laptopnya. Tapi matanya tak sepenuhnya terpaku pada layar. Gerakan gelisah Rosa membuatnya terusik.“Mikirin siapa?” Suara Liam akhirnya memecah kesunyian. “Rainer?”“Mas!” Rosa menoleh tajam, suaranya tersentak. “Apaan, sih? Orang nggak kenal juga masa dipikirin?”“Lalu mikirin siapa?” Nada suara Liam terdengar semakin dingin. “Raka?”Rosa mengepalkan tangannya, menahan kesal. “Evelyn,” jawabnya dengan penekanan.Sejenak