“Kamu mau ke mana, Liam? Keluarga kita sedang dipermalukan dan kamu masih mau membela perempuan ini?” Suara ibunya tajam, hampir seperti ancaman. Namun, Liam tidak goyah. Dia melangkah mendekati Rosa dan menggenggam tangannya dengan kuat, memberi isyarat bahwa dia tidak akan melepaskannya begitu saja.
“Aku tidak bisa membiarkannya pergi sendiri, Bu. Aku suaminya dan aku bertanggung jawab atasnya.” Para tamu mulai berbisik-bisik lagi, menciptakan gelombang kegaduhan kecil di tengah aula. Bu Rini menatap Liam tajam, menilai apakah lelaki itu benar-benar pantas untuk putrinya. Namun, karena Rosa sudah lebih dulu menarik tangannya dari genggaman Liam, dia pun berkata tegas, “Kalau memang kamu mau ikut, ayo. Tapi jangan harap keluarga kami akan menerimamu dengan mudah.” *** Perjalanan menuju rumah keluarga Rosa terasa panjang dan mencekam. Tidak ada yang berbicara di dalam mobil, hanya ada keheningan yang begitu menekan. Setibanya di rumah, suasana tegang masih terasa saat mereka memasuki ruang tamu yang luas tetapi penuh dengan hawa dingin dari ketegangan yang menguar. Pak Rafaelan menatap Liam lekat-lekat lalu menghela napas panjang. “Jadi, kamu benar-benar datang ke sini?” Suaranya rendah, tetapi mengandung otoritas yang kuat. Liam menelan ludah, tetapi tetap berdiri tegak. “Aku tidak bisa membiarkan Rosa menghadapi semua ini sendirian, Pa. Aku mencintainya.” Pernyataan itu membuat sepupu-sepupu Rosa yang ada di sana saling berpandangan, sementara Bu Rini mendengkus kesal. “Cinta?” Bu Rini menyindir dengan tajam. “Kalau kamu benar-benar mencintainya, kamu tidak akan meragukannya sejak awal. Kamu tidak akan memintanya membuktikan sesuatu yang bahkan tidak pernah dia lakukan!” “Liam, aku sudah melihat sendiri bagaimana putriku terluka hari ini. Bagaimana harga dirinya diinjak di depan banyak orang. Sekarang aku mau mendengar langsung darimu, kamu benar-benar percaya pada Rosa atau tidak?” Suara Pak Rafaelan berat dan penuh tekanan, memaksa Liam untuk menjawab tanpa keraguan. Pria itu mengepalkan tangannya di sisi tubuhnya, berusaha mengumpulkan keberanian untuk berbicara. Dia menatap Rosa, yang duduk di sudut ruangan dengan wajah tanpa ekspresi, seolah sudah lelah dengan semua ini. Hatinya sakit melihatnya seperti itu, dan dia sadar, hanya ada satu jawaban yang bisa dia berikan. “Aku percaya pada Rosa,” katanya akhirnya, suaranya mantap meski hatinya bergemuruh, “aku mungkin ragu sebelumnya, tapi aku tidak ingin lagi terjebak dalam permainan orang lain. Aku tahu Rosa tidak bersalah dan aku akan melakukan apa pun untuk menebus kesalahanku.” Namun, kata-kata itu tidak cukup untuk menghapus kemarahan yang masih membara dalam hati keluarga Rosa. Pak Rafaelan menghela napas lalu menatap putrinya. “Rosa, kamu yang harus memutuskan. Kamu ingin tetap bersama Liam atau tidak?” Semua mata tertuju pada Rosa, tetapi dia tetap diam. Wanita itu menunduk, menyembunyikan emosi yang berkecamuk di dalam dada. Dalam pikirannya, dia bertanya-tanya, apakah masih ada tempat bagi Liam dalam hidupnya setelah semua ini? Atau luka ini sudah terlalu dalam untuk bisa disembuhkan? Beberapa detik kemudian, Rosa bergerak perlahan ke arah pintu, kemudian lari dari mereka tanpa sepatah kata pun. Dia ingin menyendiri untuk saat ini. "Rosa!" teriak Liam bergerak cepat mengejar istrinya yang ternyata sudah pergi menggunakan taksi. *** Udara malam terasa dingin, tapi tidak ada yang lebih menusuk dari perasaan di dada Rosa. Dia berdiri di tepi jalan, menatap kosong ke depan, membiarkan pikirannya berkecamuk. Tawa Evelyn, bisikan sinis, dan tuduhan yang menghujamnya di pernikahan tadi terus bergema di kepalanya. Matanya berair, tapi dia menolak menangis. Bukan sekarang. Bukan untuk orang-orang yang ingin melihatnya hancur. Saat itulah suara deru mobil mendekat. Rosa tidak menoleh, tetapi langkah kaki yang mendekat membuatnya waspada. "Rosa!" Suara itu familiar, entah kenapa hatinya mendadak enggan menanggapi. Liam berhenti tepat di hadapannya dengan napas yang sedikit terengah karena terburu-buru. Wajahnya serius, kedua mata dipenuhi emosi yang sulit dibaca. Namun, alih-alih langsung berbicara, pria itu hanya menatapnya dalam. Keheningan di antara mereka begitu pekat. "Aku mencarimu ke mana-mana." Akhirnya Liam bersuara. Rosa tidak menjawab. Hatinya masih terasa perih. Dia tidak bisa melupakan bagaimana pria ini mempertanyakan dirinya di hadapan banyak orang meskipun dia tidak langsung percaya Evelyn. "Kamu nggak seharusnya pergi sendirian kayak gini. Kita bisa bicara." Liam mengusap wajahnya, frustrasi. Wanita itu tersenyum miring, tapi bukan karena bahagia. "Bicara? Tentang apa? Tentang bagaimana aku harus membuktikan bahwa aku nggak bersalah? Tentang bagaimana harga diriku diinjak-injak di hari pernikahan kita?" Nada suaranya getir, membuat Liam terdiam. "Saat aku berdiri di sana dan mendengar semua fitnah itu, aku berharap kamu bisa membelaku, Mas," lanjut Rosa dengan suara yang lebih pelan, tapi penuh luka, "tapi kamu justru bilang aku harus membuktikan kalau aku nggak salah." Liam menghela napas panjang. "Aku, aku nggak tahu harus bagaimana waktu itu. Semua orang menekan aku, Rosa. Ibu, keluargaku, tamu-tamu .... Aku bingung." "Itu berarti kamu nggak benar-benar percaya sama aku." Perkataan Rosa menusuk tepat ke hati Liam. Pria itu mengepalkan tangannya, ingin membantah, tapi tidak bisa. "Kita pulang," ucap Liam akhirnya. Rosa tertawa kecil—tawa yang penuh kepahitan. "Pulang ke mana? Rumah ibuku yang tidak membuatmu nyaman atau rumah keluargamu yang menganggap aku nggak pantas di sana?" "Rosa ...." Liam menghela napas panjang. "Kumohon, sekali ini. Mama sama papamu sedang menunggu. Kami berpencar mencarimu dan saat aku melihatmu, aku langsung W-A sepupu kamu. Apa kamu benar-benar mau mereka tenggelam dalam kesedihan? Kamu lupa? Tidak ada seorang ibu yang ingin anaknya menderita sendirian. Ayo, pulang. Aku pun pasti kena marah karena hal ini." "Percuma." "Kita harus pulang!" Liam menarik paksa tangan Rosa agar masuk ke mobil. Sungguh, dia khawatir ketika melihat seseorang di seberang jalan sedang memperhatikan mereka; berpakaian serba hitam dengan wajah tertutup topi hingga sulit dikenali. Rosa memberontak, tetapi Liam tidak peduli. Pria itu mulai melajukan mobil dengan kecepatan sedang. Saat melirik ke spion dalam, ternyata sosok misterius tadi sudah menghilang entah ke mana dan Rosa tidak perlu tahu apa-apa karena khawatir dia semakin panik. Malam semakin larut, tetapi tidak ada yang berniat tidur. Ruangan itu sunyi, hanya suara jam dinding yang berdetak pelan, seakan menghitung setiap detik yang berlalu dengan penuh ketegangan. Udara terasa berat, seperti dipenuhi beban yang tidak terlihat. Rosa duduk di sofa dengan bahu sedikit merosot, wajahnya masih pucat setelah hari yang melelahkan. Jemarinya saling bertaut di atas pangkuan, menahan gemetar yang hampir tak terlihat. Cangkir teh di depannya sudah kehilangan uap, tetapi dia sama sekali belum menyentuhnya. "Rosa, aku percaya sama kamu." Rosa menoleh ke pria di sampingnya. "Kamu benar-benar percaya sama aku?" "Iya." "Sampai kapan?" Pertanyaan itu membuatnya sedikit tersentak. "Maksudmu?" "Aku nggak butuh kata-kata manis sekarang, Mas," katanya, kali ini suaranya lebih stabil, "aku butuh kepastian. Aku butuh tahu kalau kamu nggak akan berubah pikiran begitu ada bukti lain yang sengaja dibuat untuk menjatuhkanku." Pria itu terdiam sesaat, seolah sedang memilih kata-kata yang tepat. "Aku tahu kamu nggak mungkin melakukan itu, Rosa. Pun aku nggak akan berhenti percaya hanya karena orang-orang mencoba menjatuhkanmu." Wanita itu mengamati wajah suaminya, mencoba mencari tanda-tanda keraguan di sana. Tapi yang dia lihat hanyalah ketulusan. "Tapi tadi kamu seakan percaya Evelyn." Bu Rini membuka suara. "Bagaimana dengan orang-orang, Liam?" Tatapan mereka langsung beralih ke arah ibu Rosa. Wanita itu masih menatap menantunya dengan ekspresi serius. "Kamu bisa bilang percaya, tapi kamu nggak hidup sendirian. Kamu punya keluarga, kamu punya nama baik. Kalau kamu terus bersama Rosa, apa kamu siap kehilangan semuanya?" Liam terdiam. Rosa ikut menundukkan kepala. Kata-kata ibunya menyakitkan, tetapi dia tahu itu benar. Tidak peduli seberapa bersih dirinya, tidak peduli seberapa keras dia berusaha membuktikan kebenaran, orang-orang tetap akan menghakiminya. Fitnah itu sudah terlanjur tersebar dan membersihkan namanya bukanlah hal yang mudah. Pak Rafaelan menghela napas panjang. "Liam, sebenarnya kami ingin percaya padamu," katanya, suaranya lebih lembut dari sebelumnya, "tapi kamu harus sadar, pernikahan bukan cuma tentang cinta. Kalau Rosa tidak menginginkanmu, silakan pergi dari sini!" "Liam tidak butuh aku." Rosa menyelesaikan kalimat itu dengan suara yang penuh kepahitan. Liam menggenggam tangan istrinya erat. "Kita bisa melewati ini, aku nggak akan ninggalin kamu. Aku mohon, terima aku juga." "Tapi bagaimana kalau keluargamu menolak aku selamanya?""Maaf?" Naina mencoba tersenyum manis meski jelas-jelas merasa tidak nyaman. "Pulang!" ulang Bu Diana dengan tatapan tajam yang tak bersahabat. Naina menghela napas panjang. "Maaf, Bu. Aku nggak bisa. Aku khawatir Liam menyakiti Rosa. Kita sama-sama tamu di sini dan aku nggak akan pulang, kecuali tuan rumah sendiri yang nyuruh." "Saya ini ibunya Liam. Saya berhak di rumah ini!" Mata Bu Diana membulat, penuh amarah. "Sedangkan kamu? Siapa kamu?!" "Aku sahabat Rosa, Bu. Sudah dianggap saudara sejak lama. Dan karena itu, aku nggak akan tinggal diam saat orang-orang memfitnah dia. Aku tahu yang sebenarnya. Aku tahu Evelyn-lah yang menyuruh Raka—" "Kebenaran?" Bu Diana menyela dengan senyum miring. "Kebenaran yang kamu lihat itu palsu. Rosa nggak sebaik yang kamu kira—" "Dan juga tidak seburuk yang mereka katakan, bukan?" potong Naina, tatapannya tajam dan tak gentar. Rahang Bu Diana mengeras. Kedua tangannya terkepal sempurna. Setiap kata dari Naina terasa seperti cambuk yang menya
"Gimana aku mau percaya kalau faktanya emang ada cowok lain di sekitar kamu?!" Suara Liam meninggi, nadanya tajam menusuk. Tapi bukannya melanjutkan adu mulut, pria itu malah memilih melangkah keluar rumah. Bahunya tegang, matanya merah menahan luapan emosi yang sudah di ambang batas. Namun Naina segera menghadang langkahnya. Tubuh mungilnya berdiri kokoh di ambang pintu, matanya menatap penuh keyakinan. "Ini nggak adil." Liam mendengus. "Aku tahu kamu bakal belain Rosa karena dia sahabat kamu. Kamu nggak bakal lihat siapa yang benar dan salah—" "Justru karena aku sahabatnya, makanya aku berdiri di sini!" potong Naina lantang. "Aku yang kenal dia luar dalam aja bisa lihat kebenarannya. Tapi kamu, suaminya sendiri... kenapa malah buta dan tuli?!" Liam terdiam sejenak, tapi tatapannya tetap keras. "Berapa lama kalian pacaran sebelum nikah? Kalian dijodohkan setelah kenal sebulan? Nggak, kan?" "Aku cuma bilang... pacaran bertahun-tahun pun gak jamin kita bener-bener kenal orang."
"Mas, mungkin Bu Lin salah lihat. Gak ada yang anter aku, aku pulang sendiri." Rosa mencoba terdengar meyakinkan, tapi suaranya sedikit bergetar. Jemarinya yang gemetar buru-buru dia sembunyikan di balik lipatan baju. Pandangannya menghindar, takut bertemu dengan mata Liam yang tajam menelisik. Liam menyipitkan mata, memperhatikan setiap gerak-geriknya. "Kamu yakin? Gimana kalau Bu Lin punya bukti?" Nada suaranya tenang, tapi sarat dengan kecurigaan. Rosa menelan ludah. "Mas, aku beneran gak bohong sama kamu." "Tapi Bu Lin juga gak mungkin bohong sama aku, kan, Rosa?" Rosa meremas ujung bajunya, pikirannya berputar mencari alasan yang masuk akal. Dia tahu Liam bukan tipe yang mudah percaya begitu saja. Sorot matanya seolah mencari celah, mencari tanda kebohongan dalam dirinya. "Oh, iya!" Rosa menepuk dahinya, berpura-pura seolah baru mengingat sesuatu. "Tadi ada mobil yang menghadang pas aku lari, Mas. Dia menawarkan bantuan. Dia yang nganter aku. Maaf, aku lupa karena tadi sakin
Cahaya putih dari lampu-lampu neon minimarket menerangi wajah Rosa yang dipenuhi kegelisahan. Aroma kopi instan dan makanan kemasan bercampur dengan udara dingin dari pendingin ruangan. Beberapa pelanggan berlalu lalang, sibuk memilih barang, sementara Rosa justru terpaku menatap Rainer dengan sorot penuh kehati-hatian."Tapi, Rainer ...." Rosa menarik napas panjang, mencoba mengendalikan debaran jantungnya. "Aku nggak mau terlibat masalah lagi. Aku udah cukup tersiksa dengan kehadiran Evelyn dan fitnah yang hampir menghancurkan hidupku. Kalau memang dia masalah, kenapa nggak kamu bawa dia pergi aja? Setidaknya aku bisa sedikit tenang. Kamu tahu, kan, aku udah nikah?"Rainer mendengkus pelan, menatap Rosa tajam. "Kamu pikir semudah itu menghentikan Evelyn? Dia nggak pernah benar-benar mencintai Liam. Dia kembali bukan untuk menebus kesalahan, tapi untuk sesuatu yang lebih besar. Aku yakin dia punya rencana lain.""Entahlah." Rosa menggeleng, suaranya melemah. "Yang jelas, sejak dia mu
Liam terdiam sejenak, mencoba mencerna semua yang dikatakan Rosa. Sorot matanya tajam, penuh kecurigaan yang perlahan tumbuh. Ada sesuatu yang disembunyikan istrinya—sesuatu yang tidak ingin Rosa katakan. “Jadi, kamu tahu dari mana soal Rainer dan Evelyn?” tanya Liam dengan suara yang terdengar lebih dingin dari sebelumnya. “Aku aja nggak tahu soal itu.” Rosa menghela napas berat. “Kalau gitu, nggak usah nanya, Mas.” “Aku pengen tahu.” Liam menatapnya lekat-lekat. “Evelyn selalu datang dan bilang dia pergi demi kebaikanku. Tapi kalau aku ungkit soal Rainer—” “Tidak!” Rosa memotong cepat. Liam menyipitkan mata. Reaksi Rosa terlalu defensif. Kenapa? Apa dia ingin menutupi sesuatu? Apakah dia takut Rainer berulah dan mendapat masalah? Atau … dia hanya tidak ingin Liam tahu lebih banyak? Atau mungkin … dia melindungi seseorang? Tapi siapam “Kenapa kamu tiba-tiba nggak mau aku tahu?” Liam kembali bertanya, tetapi kali ini suaranya lebih dalam, lebih menekan. Rosa menegang. “
Hujan deras mengguyur kota sejak sore, membasahi kaca jendela dengan butiran air yang terus mengalir. Angin dingin menyelinap melalui celah tirai, membuat suasana malam semakin kelam. Di ruang tengah, cahaya lampu kuning temaram hanya menambah kesan muram. Aroma kopi yang telah lama dingin tercium samar di meja.Rosa mondar-mandir di depan televisi, tidak fokus pada layar yang terus menampilkan berita malam. Jemarinya mengusap layar ponselnya berkali-kali, seolah menimbang sesuatu. Sementara itu, Liam sudah duduk di sofa selama satu jam terakhir, sesekali mengetik di laptopnya. Tapi matanya tak sepenuhnya terpaku pada layar. Gerakan gelisah Rosa membuatnya terusik.“Mikirin siapa?” Suara Liam akhirnya memecah kesunyian. “Rainer?”“Mas!” Rosa menoleh tajam, suaranya tersentak. “Apaan, sih? Orang nggak kenal juga masa dipikirin?”“Lalu mikirin siapa?” Nada suara Liam terdengar semakin dingin. “Raka?”Rosa mengepalkan tangannya, menahan kesal. “Evelyn,” jawabnya dengan penekanan.Sejenak
Evelyn masih duduk di sudut kafe bersama Raka, menatap cappuccino-nya yang sudah dingin. Dia merasa hatinya semakin tidak karuan karena sosok tadi. Siapa dia? Mungkinkah dia orang yang mengenal Evelyn?Raka memperhatikan wajah Evelyn yang tampak gelisah. "Kamu kelihatan nggak fokus," ucapnya pelan, "ada yang mengganggu pikiranmu?"Evelyn menghela napas, meletakkan sendok di tepi cangkir. "Aku cuma merasa aneh, kayak ada sesuatu yang nggak beres."Sebuah suara pintu kaca terbuka, membuat Evelyn spontan menoleh. Seorang pria tinggi masuk, mengenakan jas hitam yang tampak mahal. Langkahnya mantap, seperti seseorang yang tahu persis apa yang dia inginkan.Tatapan Evelyn langsung terpaku pada pria itu. Ada sesuatu yang familiar dari posturnya, cara dia berjalan, dan bagaimana dia membawa dirinya. Jantungnya tiba-tiba berdetak lebih cepat.Raka memperhatikan perubahan ekspresi Evelyn. "Kenapa? Kamu kenal dia?"Evelyn buru-buru menggeleng meskipun rasa curiganya semakin kuat. "Aku nggak yaki
Rosa menatap Rainer dengan dahi berkerut. Keheranan tergambar jelas di wajahnya."Apa maksudmu, Rainer?" tanyanya dengan nada curiga.Alih-alih langsung menjawab, Rainer tersenyum tipis dan berjalan santai menuju sofa ruang tamu. Tanpa diminta, dia menjatuhkan diri di sana, menyilangkan kaki dengan ekspresi santai seolah ini rumahnya sendiri."Evelyn dan Raka," ucapnya datar, seakan dua nama itu sudah cukup untuk menjelaskan semuanya.Rosa terdiam sejenak. Kedua alisnya bertaut, dadanya terasa sedikit sesak. Evelyn dan Raka? Ada sesuatu yang mengusik hatinya saat mendengar dua nama itu disebut dalam satu kalimat."Kenapa kamu tiba-tiba nyebut nama mereka? Dan kenapa kamu tahu aku tinggal di sini? Rainer, sebenarnya kamu siapa? Apa waktu itu bukan kebetulan?" tanya Rosa bertubi-tubi, masih mencoba memahami situasi. Dia masih berdiri di dekat pintu.Rainer menarik napas panjang sebelum menjawab, "Aku pernah mendengar pembicaraan mereka di sebuah kafe. Dan, aku mencoba mencari tahu lebih
Liam melangkah masuk ke dalam kafe yang telah disepakati dalam pesan tadi. Tempat itu sepi, hanya ada beberapa pelanggan yang sibuk dengan urusan masing-masing. Namun, di sudut ruangan, dua sosok yang sudah sangat dikenalnya sedang menunggunya dengan ekspresi puas—Raka dan Evelyn."Kamu akhirnya datang juga," ujar Raka dengan seringai khasnya.Liam menarik kursi dengan kasar dan duduk, menatap keduanya penuh curiga. "Apa yang kalian inginkan?"Evelyn tersenyum, menyilangkan kakinya dengan elegan. "Kami cuma ingin kamu lihat sesuatu."Raka mengeluarkan ponselnya dan memperlihatkan layar chat yang menunjukkan percakapan mesra antara dirinya dan Rosa. Kata-kata dalam pesan itu seolah menunjukkan bahwa Rosa masih memiliki perasaan untuk Raka, seakan-akan dia hanya berpura-pura mencintai Liam.Liam mengepalkan tangannya di bawah meja. "Ini nggak mungkin.""Tapi kamu lihat sendiri, kan?" Raka mendesak. "Nomor dan foto profilnya jelas milik Rosa."Liam menggeleng, menolak percaya. "Aku tahu