Elang dan ayahnya berpamitan keluar sebentar sepertinya mereka berdua ingin membicarakan sesuatu yang sangat rahasia yang tidak ingin kami semua tahu.
Namun, aku enggak peduli. Yang penting aku sudah merelakan Vira menggantikan aku untuk menjadi istrinya.
Tidak lama kemudian mereka berdua masuk dan duduk kembali dan sang ayah berkata, "Elang tidak keberatan menerima Vira."
Bapak tersenyum dan berkata, "deal, ya lamaran Elang untuk Vira kami terima. Utangku lunas, ya, Pur, karena aku sudah menepati janjiku untuk mempersatukan anak-anak kita. Yah, meski bukan anak kandungku, tetapi sama saja lah."
Lelaki yang tadi dipanggil Pur oleh bapak itu terlihat menepuk tangan Elang yang duduk di sampingnya.
"Iya, Man. Sekarang kita tinggal memikirkan kapan pernikahan ini akan dilangsungkan," kata lelaki yang menurutku masih lumayan tampan di usianya yang sudah tidak muda lagi itu.
"Oh, iya tentu saja. Lebih cepat lebih baik dan kalian nggak usah khawatir, untuk mahar juga nggak akan minta yang tinggi, kok. Untuk Vira kami kasih murah, deh, karena kami tahu kalian nggak akan mampu kalau minta mahar yang mahal, iya, kan, Pak." Aku menepuk tangan bapak.
"Oh, iya, dong, Pur. Kami baik, kan, karena tidak meminta mahar yang memberatkan?" tanya bapak.
"Bagaimana, Nak, kamu tidak keberatan, kan, kalau pernikahan kamu dengan Elang dipercepat?" tanya wanita yang merupakan ibunya Elang.
Aku mendengkus. "Udah, kenapa masih ditanya lagi? Vira pasti mau, kok. Iya, kan, Vir?
Aku melotot pada Vira dan sesaat kemudian tersenyum saat akhirnya Vira mengangguk. Itu artinya gadis itu akan segera pergi dari rumah ini. Oh, senangnya hatiku.
"Cit, kamu yakin mau merelakan lelaki yang seharusnya jadi suami kamu ini? Bukankah tadi malam kamu begitu mengharap kehadirannya, bahkan tersenyum sendiri saat melihat fotonya?" tanya Vira dengan menunjukkan wajah sok memelas.
Aku melotot, kenapa ia harus bilang kalau tadi malam aku senyum-senyum saat melihat foto Elang? Memalukan. Iya, kuakui saat melihat fotonya memang aku tertarik, tetapi saat melihat langsung, aku langsung ill feel.
"Iya, apa kamu nggak nyesel menolakku dan nanti aku yang bersanding dengan Vira?" tanya Elang seakan menggodaku.
Aku tertawa lebar, kalau perlu nggak akan berhenti tertawa. "Buat apa aku nyesel menolak lelaki yang miskin kayak kamu. Yang ada aku akan menyesal seumur hidup kalau sampai menerima kamu sebagai suamiku. Dengar, ya, menikah itu sekali seumur hidup sehingga aku tidak mau salah pilih."
Kuusap air mata yang berderai karena tertawa. Air mata yang luruh membasahi pipi memang tidak hanya keluar menangis atau bersedih saja orang tertawa pun mengeluarkan air mata.
"Yakin kamu nggak akan menyesal sudah menolakku?" tanya Elang lagi.
"Yakin seratus persen, seribu persen malah," jawabku kesal.
"Baiklah dengan mengucap Bismillahirrahmanirrahim, aku lamar Vira untuk menjadi pendamping anakku yang bernama Elang," kata ayahnya Elang.
"Iya, aku terima." jawab bapak.
Wanita berjilbab lebar yang tadi mengenalkan sebagai ibunya Elang, bangkit dari duduknya lalu maju dan mendekati Vira. Ia membelai pipi Vira dan berkata. "terima kasih, Nak, kamu sudah mau menerima lamaran kami."
Vira tersenyum dan mengangguk. Ia memegang tangan wanita yang masih masih berada di pipinya itu. "Iya, Tante."
Wanita itu tersenyum. "Jangan panggil Tante, panggil ibu seperti Elang memanggilku karena sebentar lagi kamu akan menjadi bagian dari keluarga kami."
Aku hanya memutar bola mata malas melihat wanita itu yang bersikap sok manis pada Vira. Aku pernah dengar kalau yang namanya mertua itu horor, tetapi kelihatannya ibunya Elang itu adalah calon ibu mertua yang sangat baik, tetapi pemandangan ini tidak akan mengubah pikiranku untuk menolak Elang. Bisa saja ia hanya baik di awal saja dan setelah itu berubah menjadi monster yang menyeramkan apalagi jika hidup mereka susah. Iya, aku tahu hidup susah memang membuat seseorang mudah marah.
"Baik, Bu," jawab Vira lembut.
"Sudah, sudah, basa-basinya sudah cukup. Sekarang kalian tinggal pikirkan kapan pernikahan ini akan dilangsungkan dan konsepnya seperti apa," ucap ibuku yang sepertinya ikut kesal juga melihat adegan seorang ibu dan calon menantu perempuannya itu.
"Iya, maaf, Bu. Saya senang saat akhirnya Elang mendapatkan pasangan," jawab ibunya Elang tersenyum. Ia segera menurunkan tangannya dari pipi Vira dan kembali ke tempat duduk yang semula.
"Resepsinya sudah pasti akan diadakan disini karena biasanya diadakan di tempat mempelai perempuan, tetapi konsepnya sederhana saja. Cukup mengucapkan ijab qabul di depan penghulu dan tidak perlu ada pesta meriah seperti pesta pernikahan pada umumnya. Yah, paling kita hanya mengundang kerabat dekat saja sekadar menyaksikan kalau Vira sudah menikah," kata bapak yang disambut anggukan dariku dan juga ibu.
"Maaf, Man. Kalau masalah konsep pernikahan, biar kami pihak pengantin pria yang menentukan. Elang ini adalah anak lelaki kami satu-satunya, maka pernikahan antara Elang dan Vira akan diadakan secara meriah dan besar-besaran. Kami ingin mengundang banyak orang untuk menyaksikan pernikahan anak kami ini. Jika kamu keberatan dan khawatir tempatnya tidak ada, maka kami akan mengadakan pesta pernikahan di gedung. Intinya kami ingin mengadakan pesta pernikahan yang tak terlupakan bagi kedua mempelai," kata Pak Purnama.
Kami bertiga hanya saling berpandangan mendengar ucapan calon mertua Vira itu. Bagaimana mungkin ia bilang ingin mengadakan pesta meriah?
"Ayah?" Elang menepuk tangan ayahnya yang baru saja mencerocos, lalu ia mengedipkan mata untuk memberi isyarat yang entah isyarat apa.
Kami bertiga berpandangan mendengar ucapan calon mertuanya Vira yang ingin mengadakan pesta secara besar-besaran. Tidak lama meledaklah tawa kami hingga suaranya menggema di ruangan ini. Air mata ibuku sampai berderai. Mungkin ia juga merasakan apa yang kurasakan saat ini yaitu heran dengan ayahnya Elang yang tingkat kehaluannya tidak tanggung-tanggung itu. Bagaimana mungkin mereka bisa mengadakan pesta mewah? Apakah mereka pikir tidak butuh biaya? "Anda sehat?" tanyaku setelah puas tertawa hingga perutku sakit. "Kenapa?" lelaki berkumis itu malah balik tanya. Sepertinya ia tidak sadar kalau ucapannya cukup menggelitik. "Tadi bilang ingin mengadakan pesta besar-besaran pada pernikahan Vira dan Elang, kan?" tanyaku sambil mengusap air mata tawa."Iya. Memangnya kenapa? Salah?" Pak Purnama mengendikkan bahu. Berulang kali Elang mencubit tangan ayahnya itu, tetapi tidak digubris. Mulutnya masih saja mencerocos. "Elang adalah anak laki-laki kami satu-satunya. Kamu tahu sendiri, kan
Kuusap dada perlahan untuk menetralkan irama jantung yang mendadak tidak karuan. Aku mengorek telinga, barangkali kotor sehingga salah dengar. Mana mungkin bapak punya utang sebanyak itu? Kalau iya, kenapa selama ini terlihat tenang-tenang saja dan seolah tidak ada beban? "Bapak punya utang 50 juta? Nggak salah utangnya sebanyak itu? Lima juta kali?" tanyaku masih dengan berbisik dan kututup mulutku dengan tangan agar Pak Purnama tidak ikut mendengarnya.Bapak menghela napas panjang. "Iya, benar emang segitu. Kamu pikir usaha peternakan bebek Itu modalnya sedikit apa? Menyewa lahan, beli bebeknya yang sudah siap bertelur itu lumayan mahal dan dalam jumlah banyak, beli vitamin, beli pakan, gaji karyawan karena kita tidak bisa mengerjakan sendiri. Kamu tahu sendiri, kan, karyawan kita banyak dan semuanya minta digaji kecuali Vira? Belum lagi untuk beli lampu sebagai penerangan, serta printilan yang lainnya. Yah pokoknya banyak lah. Bapak jelaskan panjang lebar dan detail kamu juga ng
PoV ElangAku semakin geram saat mendengar Pak Arman dan keluarganya yang terus menyombongkan diri. Ingin kubungkam mulut mereka dengan apa yang kami punya, tetapi tidak sekarang karena aku yakin jika mereka tahu siapa kami yang sebenarnya pasti akan berubah pikiran. Aku berencana memberi kejutan setelah aku dan Vira resmi nikah nanti agar sudah tidak ada yang mengganggu gugat lagi. Katanya orang kaya, tetapi aplikasi M-banking saja tidak tahu. Orang kaya macam apa itu. "Jelaskan padaku, tetapi bukan isi hatimu, ya, karena kalau itu lagu.Jelaskan padaku apa yang kamu sebutkan tadi? M m apa itu?""M-banking, Pak. Itu adalah aplikasi untuk mengirimkan uang tanpa harus datang ke bank," jawabku. Tatapannya menerawang ke atas dan tangannya memegang dagu. Ia Sedang berpikir keras lalu ia berkata. "Ya ampun, aku sudah bilang, kan kalau uangku aku simpan di bank. Kalian tahu, kan, apa itu bank? Semua orang juga tahu kalau bank adalah tempat penyimpanan uang yang paling aman. Jangan-jangan
Citra masih mengulurkan tangannya untuk meminta ponselku."Ayolah berikan ponselmu padaku agar bapak tahu aplikasi M-banking itu seperti apa.""Pakai saja ponselmu biar aku tunjukkan." Aku menolak memberikan karena tadi aku dan ayah sudah berencana untuk tidak membongkar rahasia kami dulu. "Kenapa kamu nggak mau nunjukin ponselmu? Oh, aku tahu pasti malu karena ponsel kamu sudah jelek atau mungkin jadul? Atau karena ponselnya sudah retak sana-sini dan udah nggak sanggup untuk ganti lagi? Jelek juga nggak papa yang penting masih bisa digunakan sebagai mana mestinya. Kamu nggak usah khawatir, saat kamu menikah dengan Vira nanti, bisa pakai ponsel Vira meski miliknya juga nggak bagus-bagus amat." Rasa kesal yang sudah bergemuruh dalam dada membuatku refleks mengeluarkan benda pipih yang kupunya. "Ini adalah aplikasi M-banking yang kumaksud, Pak. Dengan aplikasi ini Bapak bisa transfer uang tanpa harus ke bank." Aku menyodorkan ponsel pada Pak Arman agar dilihat. Lelaki itu mengambil
Mataku memanas saat melihat pengantinku yang sudah duduk di kursi dengan menunduk. Ternyata kenyataan tidak sesuai ekspektasi. Aku yang sudah membayangkan Vira terlihat cantik dan beda saat make up, ternyata tidak diapa-apakan sama sekali. Wajahnya masih kusam seperti saat pertama kali aku melihatnya. Pakaiannya juga sederhana berupa kain jarik batik berwarna cokelat dan atasan kebaya berwarna putih dan kerudung panjang dengan warna senada. Yang membuatku semakin masygul adalah semua pakaian yang melekat di tubuhnya itu tidaklah baru. Ibu menggenggam erat tanganku seolah tahu apa yang kurasakan saat ini. Kutahan rasa sesak di dada sambil mensugesti diri kalau semua ini tidak akan lama. Aku tercengang saat melihat penampilan Citra dan ibunya yang terlihat sangat berbeda karena mereka berdua memakai baju baru dan dandan. "Ayo masuk. Kenapa masih berdiri di situ? nggak pengen cepet-cepet halalin si Vira? Dia sudah menunggu dari tadi, lho," kata Citra dengan senyum lebar. Apa maksu
Wanita cantik yang dibilang ibu sebagai MUA itu menggandeng tangan Vira dan meminta untuk menunjukkan di mana kamarnya. Awalnya Vira ragu, aku memberinya isyarat dengan menganggukkan kepala dan tersenyum. "Nurut aja, ya Vir."Wanita itu tidak datang seorang diri melainkan bersama asistennya yang membawa sebuah tas besar berisi pakaian untuk Vira dan aku nanti."Lang, kamu juga perlu make up agar enggak jomplang nanti sama Vira." Ibu tersenyum. Aku mengikuti Vira masuk ke kamarnya dan sungguh batinku menjerit melihat ini. Rumah keluarga citra ini lumayan bagus dan besar, tetapi kamar Vira tidaklah layak disebut sebagai kamar. Ruangan ini tidak memiliki ranjang. Vira tidur di bawah beralaskan kasur yang sudah usang. Geram aku melihatnya. Mataku memanas melihat kondisi kamarnya. Entah kenapa rasa sakit menyusup di sanubari. Namun aku juga tidak habis pikir Kenapa Vira betah tinggal di rumah seperti ini, apalagi penghuninya juga menyebalkan semua. Kenapa ia tidak berusaha pergi saja.
Suasana yang tadinya adem ayem mendadak heboh karena Citra pingsan, entah pingsan sungguhan atau hanya pura-pura. Katanya tidak heran dengan Vira, tetapi baru melihat kunci mobil yang menjadi hadiah pernikahan saja sudah pingsan, bagaimana kalau ia melihat mobilnya secara langsung nanti? Bisa-bisa ia pingsan dan tidak mau bangun lagi karena tidak sanggup melihat orang yang ia hina selama ini bahagia. Sifat sombong memang satu paket dengan sifat iri dan dengki yang paling tidak bisa melihat orang lain bahagia. Bu Tantri-- ibunya teriak histeris melihat anak kesayangannya tergeletak di lantai.Ia dan suaminya menggotong tubuh Citra ke kamar yang ada di sebelah ruangan ini. "Bangun, Cit. Ayo bangun." Bu Tantri menepuk pipi Citra yang masih memejamkan mata. Citra tak bergeming. Tidak ada tanda-tanda untuk membuka mata, hanya dadanya yang terlihat naik turun sebagai pertanda ia masih bernapas. "Aduh, kenapa, sih kamu pakai pingsan segala? dibangunin susah pula." wanita itu menggerutu
"Tunggu Cit, sepertinya aku kenal dengan lelaki yang ada di foto itu." Aku menahan tangan Citra yang sudah bersiap untuk memencet tombol hijau sebagai pertanda kalau ia menerima panggilan itu. Wanita yang make up--nya sudah berantakan itu tertawa lebar. " Mana mungkin lelaki miskin seperti kamu kenal dengan lelaki kaya dan tampan seperti dia. Enggak usah mengada-ngada, deh."Benda pipih nan canggih itu masih saja menjerit karena Citra belum juga menerima panggilan. "Bentar, ya, aku mau bicara dulu sama yayang." Ia tersenyum lalu menggeser gambar telepon lalu menempelkannya di pipi. Ia pasti tidak mau melakukan video call karena sadar wajahnya sangat berantakan saat ini. Wanita seperti dia pasti tidak ingin membuat lelaki yang ia puja menjadi ill feel. "Halo, Sayang apa kabar?" Citra menyapa renyah seseorang di seberang sana. Ia berusaha tersenyum manis meski ia tahu lawan bicaranya tidak melihat senyuman itu. Wanita itu lalu terdiam beberapa saat menunggu jawaban orang itu. "Apa?