Share

Delapan

Citra masih mengulurkan tangannya untuk meminta ponselku.

"Ayolah berikan ponselmu padaku agar bapak tahu aplikasi M-banking itu seperti apa."

"Pakai saja ponselmu biar aku tunjukkan." Aku menolak memberikan karena tadi aku dan ayah sudah berencana untuk tidak membongkar rahasia kami dulu. 

"Kenapa kamu nggak mau nunjukin ponselmu? Oh, aku tahu pasti malu karena ponsel kamu sudah jelek atau mungkin jadul? Atau karena ponselnya  sudah retak sana-sini dan udah nggak sanggup untuk ganti lagi? Jelek juga nggak papa yang penting masih bisa digunakan sebagai mana mestinya. Kamu nggak usah khawatir, saat kamu menikah dengan Vira nanti, bisa pakai ponsel Vira meski miliknya juga nggak bagus-bagus amat." 

Rasa kesal yang sudah bergemuruh dalam dada membuatku refleks mengeluarkan benda pipih yang kupunya. 

"Ini adalah aplikasi M-banking yang kumaksud, Pak. Dengan aplikasi ini Bapak bisa transfer uang tanpa harus ke bank." Aku menyodorkan ponsel pada Pak Arman agar dilihat. 

Lelaki itu mengambil alih ponsel dari tanganku dan memperhatikan dengan seksama aplikasi yang kumaksud lalu ia manggut-manggut yang entah paham atau tidak. 

"Tunggu! Sepertinya bagus juga ponselmu, Lang?" Citra merebut ponselku dari tangan bapaknya. 

Sudah kuduga, wanita itu pasti akan memberi komentar pada ponsel yang kupunya. 

"Ah, biasa saja," jawabku singkat. 

"Ini. Aku kembalikan ponselmu. Harus nabung berapa lama agar bisa beli ponsel sebagus itu? Atau harus puasa setiap hari agar bisa beli ponsel? Kalau aku mah ogah menyiksa diri," ucap Citra dengan tangan bersedekap dan nada sinis. 

"Nggak perlu nabung beberapa tahun apalagi harus berpuasa." Aku tersenyum lalu menyimpan kembali ponselku ke tempat semula. 

Raut wajah Citra mulai berubah setelah ponsel yang kutunjukkan meski tetap terlihat angkuh. 

"Baiklah, karena aku nggak punya aplikasi M-banking, bayar utangnya sebulan lagi atau saat kalian nikah saja. Nggak usah khawatir, aku pasti bayar, kok," kata Pak Arman. 

Aku dan ayah saling berpandangan, lalu mengangguk pertanda setuju. 

Rasanya sudah engap berada lama-lama di sini. Berhubung Vira sudah setuju, kami berpamitan pulang dan akan datang lagi saat pesta pernikahan nanti. 

"Selamat datang di neraka, Vir. Setelah menikah nanti, hidupmu pasti akan sengsara karena dapat suami miskin. Hahaha," ucap Citra saat kami sudah berbalik. 

Itu tidak akan terjadi, justru dengan menikah denganku, hidup Vira akan menjadi lebih baik dari pada di rumah yang sudah seperti neraka ini. Iya, aku sudah berjanji akan membahagiakan Vira. 

***

Setelah menyiapkan berkas untuk persyaratan nikah. Kami sekeluarga datang lagi ke rumah Vira. Kemarin ia juga sudah memberi tahu kalau berkas sudah lengkap termasuk imunisasi sebagai syarat untuk mendapatkan surat nikah nanti. Iya, aku memang ingin menikahi Vira secara resmi alias legal dalam artian sah secara agama maupun negara bukan secara siri saja. 

Tidak sabar rasanya menunggu hari itu tiba. 

"Duh, anak ayah tampan sekali," kata ayah saat kami hendak berangkat menuju rumah Vira untuk melangsungkan akad nikah. 

"Iya, meski pakaiannya sederhana, ketampananmu tidak memudar. Citra pasti menyesal sudah menolak lelaki tampan sepetimu, Lang," ucap Ibu dengan mata berkaca-kaca. 

Aku tersenyum. "Kenapa ibu menangis?" 

Wanita yang terlihat cantik dengan kebaya warna ungu muda itu menyeka air matanya. "Ibu sedih karena pesta pernikahanmu harus sederhana seperti ini." 

"Ini atas permintaan Arman, Bu, dan hanya ini hanya sementara. Setelah resmi nanti, kita bisa mengadakan pesta mewah di sini. Ibu lupa?" kata ayah. 

"Oh, iya. Ya udah sekarang kita berangkat agar mereka tidak menunggu terlalu lama." Ibu tersenyum sambil menggandeng tanganku. 

Kami berangkat dengan menaiki mini bus dan hanya diisi sepuluh orang saja termasuk aku, ayah ibu dan adik perempuanku. Ini atas permintaan Pak Arman agar tidak usah datang ke pesta pernikahan kami dengan membawa banyak orang agar hemat biaya katanya. Yo wes lah, kami manut saja. 

Sepanjang perjalanan, aku sudah membayangkan, seperti apa, ya, wajah Vira ketika sudah dirias nanti? Pasti terlihat sangat berbeda dari sebelumnya. Iya, yang aku tahu, jika seseorang tidak pernah make up, pasti akan terlihat cantik saat menikah nanti. 

Awalnya Ayyara--adik perempuanku satu-satunya sempat protes saat tahu konsep pernikahanku hanya sederhana seperti ini karena ia ingin menjadi bridesmaid saat aku nikah nanti, tetapi gara-gara ini, ia tidak bisa dandan cetar membahana seperti impiannya. 

"Sabar, setelah resmi nanti, Kak Elamg akan mengadakan pesta besar-besaran dan kamu bisa jadi bridesmaidnya." Ibu mengusap pundak Ayyara yang dari tadi terus cemberut. 

"Nyebelin, masa iya, kakakku nikah, penampilanku hanya kayak gini. Pakaian juga nggak banget?" Gadis itu mengerucutkan bibir. 

"Kalau kita pakai baju yang bagus, takutnya si Citra yang sombong itu berubah pikiran dan Ibu malas kalau harus punya menantu model kayak dia," jawab ibu. 

"Hm, aku jadi penasaran, seperti apa, sih, wajahnya si Citra itu sehingga yang hanya dengar cari cerita kalian saja ikut geregetan ingin ngasih cabe setan ke mulutnya itu," ucap  Ayyara dengan tangan mengepal. 

"Sabar, Sayang. Untung saja dia tidak menjadi kakak iparmu. Ibu nggak bisa membayangkan kalau gadis sombong seperti dia menjadi bagian dari keluarga kita." Ibu menepuk tangan Ayyara dengan lembut. 

"Aku akan memberinya pelajaran setelah Kak Elang resmi nikah dengan Kak Vira. Dia pasti gigit jari setelah tahu siapa kita sebenarnya," ucap Ayyara dengan mengulas senyum. 

"Betul itu, gadis sombong seperti dia harus dikasih pelajaran agar tidak memandang orang dari penampilan luarnya atau dari kendaraan yang ia miliki. Masa iya, hanya gara-gara kita naik ojek alias nggak bawa mobil, langsung membatalkan begitu saja," ucapku kesal. Apalagi saat ingat dengan gaya Citra yang menyebalkan. 

"Sudahlah, yang penting kamu jadi nikah meski bukan dengan orang yang selama ini kamu lihat fotonya. Ayah lihat, Vira juga cantik, dia hanya tidak terawat saja. Setelah jadi istrimu nanti, ajak dia ke salon untuk make over, pasti semua orang pangling." Bapak mengacungkan jempol. 

"Siap, Yah."

Syukurlah kami bisa hadir tepat waktu karena longsor yang menghalangi jalan pada waktu itu sudah selesai dirapikan. 

Kami turun dari mobil dan berjalan beriringan menuju tempat akan dilaksanakannya ijab qabul. Tidak ada apa-apa di sini. Tidak ada musik yang menyambut kedatangan kami atau pun orang-orang yang berjejer di sepanjang jalan untuk menyalami. 

Ini adalah pernikahan dengan konsep paling sederhana yang pernah kutemui dan aku sendiri yang menjadi pengantinnya. 

Benar-benar nyesek, tetapi aku harus bersabar karena semua akan indah pada waktunya. 

Lebih nyesek lagi saat melihat pengantinku. 

Comments (10)
goodnovel comment avatar
Putri Sari
lanjut kk,ingin tahu Vira bahagia kah dia dgn elang
goodnovel comment avatar
Hanik Robiah
menarik bikin penasaran
goodnovel comment avatar
Nia Rahayu
cerita nya bagus, selanjutnya , malas banget hts beli koin, bisa ndak si, nonton iklan aja tdk perlu bayar koin
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status