Share

Chapter II

Kamar Ritual

Habis sudah tujuh batang rokok yang ia hisap sepanjang berada di ruang tamu. Matanya yang semakin sayup mengajak segera untuk merebahkan tubuhnya di tempat tidur, namun masih ada perasaan mengganjal didalam dirinya agar mendatangi lantai dua yang sama sekali belum dijamahnya selama tujuh hari tinggal disana.

“krrak..krrak..krrak” suara langkah demi langkah kakinya menaiki tangga kayu yang dilapisi karpet beludru halus menuju lantai dua yang agak gelap dan hanya diterangi lampu-lampu tempel dari lilin ungu yang berjejer mengikuti alur jalan.

Sambil menyalakan lilin di dinding sepanjang perjalanannya ke atas, Darko menyimak satu persatu foto-foto dan lukisan yang menempel memenuhi  tembok lantai dua itu. Mayoritas terpajang foto-foto ayahnya disaat muda dengan background pedesaan yang diduga kuat ada di pedalaman Thailand. Adapula beberapa lukisan bergambar wanita eropa yang mengenakan busana hitam-hitam ala gothic abad ke-19. Berharap ia menemukan satu saja gambar mendiang ibunya tersebut, namun tak jua terpampang disana.

Suasana ruangan di lantai dua itu hampir tak ada bedanya dengan dibawah, kelam hitam bermotif coklat. Hanya saja minim perabotan melainkan banyaknya pajangan dinding seperti foto vintage, kepala rusa, topeng-topeng kuno, dan pusaka-pusaka sepuh keris, tombak, serta pedang.

Ada empat kamar tidur dilantai ini, dibukanya satu persatu, sampai pada ruangan terakhir yang paling depan langsung menghadap kearah luar itu rupanya terkunci.

“Sepertinya inilah kamar ayah…ruangan yang nampaknya paling luas dari kamar-kamar yang lain,”

Dipilihnya satu persatu dari belasan jenis kunci yang ia pegang, untuk membuka kamar ayahnya, namun tidak ada yang cocok sama sekali. Sampai tersisa beberapa kunci yang salah satunya terdapat inisial H, mungkin berarti Hans nama sang ayah.

“KREK..” terbukalah ruangan itu.. sepersekian detik kemudian tiba-tiba tubuhnya terpental kuat kebelakang diikuti suara samar

“HHHAAAHHH”

menyusul kemudian hawa panas menyeringai keluar dari kamar itu. Darko pingsan tak sadarkan diri.

***

(11.07 WIB)

Jeritan kumbang pohon membelah kesunyian siang hari di halaman luar satu-satunya rumah yang berada di bukit itu. Hangatnya sinar matahari yang menembus jendela atap mengenai langsung kulit wajah Darko yang masih terlentang sambil memegang lusinan kunci ditangan kirinya.

“AHHH! Aduh…sakiiit!”

Ia terbangun sambil memegang pelipis kanannya yang sedikit robek dan lebam akibat terbentur lantai kayu subuh tadi.

“Kenapa ini…semalam ada wanita berdiri didepan pintu yang mendorongku dengan kuatnya…siapa dia?” ia bertanya-tanya sendiri.

“Apa mungkin penunggu rumah ini?” sudahlah mungkin khayalku saja akibat terlalu lelah begadang semalam suntuk,”

Bangun dari lantai ia pun langsung masuk menuju kamar tersebut. Betapa terhenyak kagetnya Darko melihat pajangan-pajangan didinding kamar itu berikut tatanan berbagai benda yang ada disana.

Tanpa disadarinya, sambil memandangi lukisan foto kamar, secara perlahan kejantanannya pun mengeras. Puluhan lukisan dan foto-foto wanita erotis tanpa mengenakan sehelai benang satupun terpampang bebas di dinding kamar seluas 7x7 meter itu.

Ia terus memandangi gambar-gambar tak lazim itu sambil bergumam sendiri.

“OHH..aku mengenal beberapa wanita yang ada di foto-foto ini. Mereka pernah dikenalkan oleh ayahku dulu,”

“Mereka pasti pacar-pacarnya ayah,”

“Tapi tak heran aku melihat foto-foto mereka semua ada disini, karena dulu gadis-gadis ini memang tergila-gila dengan ayah! Jangankan difoto bugil, berhubungan seks saja pasti mereka dengan sukarela menanggalkan pakaiannya sendiri untuk ayah,”

Ditengah kelelakiannya yang masih mengeras itu, ia beralih pandangan kesisi lain, disamping springbad yang beralaskan selimut hitam, terdapat sebuah meja setengah bundar. Tepatnya disebut altar. Ya, tidak dipungkiri lagi meja ini tempat doa pemujaan dilapisi kain merah berajah tulisan-tulisan khas Thailand.  disisi kiri kanannya masing-masing terdapat lilin-lilin berwarna merah, hitam, kuning, putih, dan ungu. Ditengah altar terdapat tujuh buah patung dari tembaga berwujud Phra Ngan (Jin Gunung yang dipuja di Cambodia dan Thailand) masing-masing tingginya sekitar 20 cm sampai 30cm.

Disekitarnya ada beberapa bungkus dupa, dua botol whiskey yang masih terisi setengah, dan mangkuk dari kuningan berisi cairan berbau amis yang sudah mengering. Sepertinya darah. Terakhir, diatas altar itu terdapat kotak kayu persegi panjang berukuran 15x40cm yang terbungkus kain rajah Thailand berwarna kuning.

Dengan rasa penasaran yang amat kuat, Darko langsung saja membuka lipatan kain yang membungkus kotak kayu tersebut.

“Apa ini…?” jantungnya tiba-tiba berdegub agak kencang ketika melihat isi didalam kota itu. Ada tujuh jenis botol-botol kecil dari kaca berukuran kira-kira 5cm sampai 10cm berisi sejenis cairan minyak yang memiliki berbagai warna; hitam, merah, hijau, kuning, coklat, putih susu, dan ungu kehijauan . Didalam minyak itupun masing-masing terdapat berbagai hal yang janggal seperti rambut, benda seperti tulang, dan semacam tumbuhan bunga. Dipermukaan depan botolnya memiliki tempelan tulisan-tulisan berbahasa Thailand. Namun botol-botol itu keadaannya sudah pecah, masing-masing hanya menyisakan sedikit saja minyak karena sudah tertumpah didalam kotak. Hanya satu yang masih terlihat utuh.

“Dugaanku sepertinya benar bahwa minyak-minyak didalam botol ini adalah….!”

Darko seperti sudah tahu dan ingin mengatakannya dengan lantang kalau cairan yang ada dihadapannya tersebut merupakan minyak mistik yang paling ditakuti di Thailand. Namun untuk lebih meyakinkan kalau memang benar itu adalah apa yang sudah ingin terucap di ujung lidahnya, Darco kembali mengecek isi lain didalam kotak kayu itu.

Ada selembar kertas folio yang rupanya penuh berisi tulisan tangan Hans mengenai keterangan dari masing-masing minyak itu. Dengan keras memecah kesunyian rumah itu, Darko mengucap dengan gemetar “NAM MAN PRAI.. ya tidak salah lagi ini adalah NAM MAN PRAI koleksi ayah,”

Seketika itu juga tiba-tiba pintu kamar langsung menutup dengan kerasnya yang membuat pria setinggi 177cm itu terkaget-kaget. Mengucur deras keringatnya sampai menetes kelantai kayu. Gemetar seluruh tubuhnya sampai beberapa menit tidak dapat mengucap satu patah kata pun, Darco mencoba berdiri dengan kondisi lututnya yang lemas akibat syok yang berlebihan.

Setiap kali ingin berdiri, ia kembali jatuh seolah tidak memiliki tulang kaki. Belum lagi rasa kaget itu reda, meja altar itu bergetar hebat dan suara menakutkan yang didengarnya saat membuka pintu tadi subuh kembali terdengar, bahkan lebih keras

“HHHHAAAAAHHHHH…..HHHAAAAAAHHHHHH….”

Suara itu terus menggema berulang-ulang dikamar ayahnya yang agak gelap berhubung tidak ada cahaya langsung yang masuk kekamar itu walaupun hari masih terik diluar sana.

Darko merasa sekujur badannya sangat lemas, panas dingin, mual, ingin muntah, mata berkunang-kunang. Dan tiba-tiba diatas langit-langit kamar, samar ia melihat kain hitam merayap terbang tampak muka seperti seorang wanita namun tak jelas bentuk rupanya. Tidak dapat menahan kengerian kondisi saat itu, ia akhirnya terhempas terlentang menghadap langit-langit kamar disertai bayangan sesosok wanita bergaun hitam yang masih menempel diatap kamar berhadap-hadapan muka dengannya. Matanya terpejam perlahan dan akhirnya tak sadarkan diri.

(17.55WIB)

Matahari sudah hampir terbenam, lolongan anjing dari kejauhan terdengar samar, dengan setengah sadar ia mencoba membuka matanya namun wanita bergaun hitam itu rupanya masih saja bergelantungan dilangit-langit menatap dengan mata merahnya yang seram. Darco masih tak mampu menggerakan badannya yang lunglai itu. Terpejam lagi matanya. Kembali tak sadarkan diri.

(19.47WIB)

kesunyian malam mulai menguasai rumah itu. Diluar sana kabut mulai menyeruak seakan ingin bertamu masuk kedalam rumah. Tiupan angin malam yang dingin membuat pepohonan rindang bergerak halus semampai seolah sedang berbicara antar satu pohon dengan tanaman lainnya.

Pria yang tadinya tidak bisa menggerakan sedikitpun tubuhnya itu mulai sadar sepenuhnya, dengan sekuat tenaga ia berdiri dan lari secepat kilat kelantai bawah menuju sofa diruang tamu untuk merebahkan badan dan menenangkan pikirannya dari distorsi kekacauan akal yang ia lalui dikamar atas tadi.

“Syukurlah, tidak terjadi apa-apa denganku. Setidaknya belum dan semoga tidak pernah terjadi,”gemetar ia mengucap halus kata-katanya itu.

Dari kejadian itu, Darko merasa takut tapi sekaligus senang karena apa yang selama ini membuat hatinya terus bertanya mengenai pegangan mistik ayahnya tersebut yaitu Nammanprai si minyak legendaris dari Thailand, terjawab sudah. Matanya pun kembali terpejam.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status