Share

Chapter IV

Hans dan Ruthai

19 Oktober 1991

“Nang...! Nang…!Ruthai, kemari sayang,” panggil pria berbadan tinggi ganteng dengan alis tebal dan brewokan yang tercukur rapih diruang  tamu  kepada isterinya yang sedang memasak di dapur itu.

“Sebentar Hans, masakanku hampir jadi…segera aku kesanaaaa,”

Aroma masakan dari dapur berlarian membabi buta keseluruh ruangan tak terkecuali masuk tanpa pamit menuju ruang tamu dan meremas-remas perut Hans yang sedang amat sangat keroncongan. Ia sedang asyik memilih-milih vinyl lagu untuk diputar ketika nanti bersantap ria bersama isteri tercintanya itu. Hans dan Ruthai memang biasa memakai ruang tamu untuk bersantai mendengarkan music, membaca buku sekaligus ritual isi perut.

“Nikmat sekali aroma masakan ini, seperti aku kenal… tapi dimana ya?”dalam hatinya ia berdebat dengan memori otaknya mengenai misteri harum masakan itu.

“Ahh ini dia! album ini lumayan lama tidak kuputar, jadi kangen musiknya,” langsung diambilnya piringan hitam itu dari bungkus covernya dan mulai menyetel musik dari perangkat turntable yang dibelinya 3 tahun lalu.

“Ayo Hans, hidangannya sudah siap semua..kamu pasti laper banget belum makan dari tadi pagi kan,” Ruthai bolak balik dapur-ruang tamu untuk mengambil dan menata beberapa jenis masakannya itu.

“Waaahhh.. sedaaaap! Apa nama masakanmu ini Nang?”

“Yang ini Suea Rong Hai (daging sapi panggang), yang itu Gai Yang (ayam panggang). Dua ini masakan khas tempatku di Thailand Timur. Dulu kan waktu kita masih pacaran kita sering makan disana. dan yang ini hidangan penutupnya Khao Niao Mamuang (ketan mangga) kesukaan kamu,”

“Oh ya baru ingat aku Nang…pantas aromanya kayak musti kenal deh dari tadi aku inget-inget tapi gak nyampe lidah. Itu Gai Yang kan makanan pertama waktu aku ngajak kamu makan pas kita baru kenal ya,”

“Iya makanya aku buatin khusus supaya kamu inget lagi masa-masa kita kenalan dulu Hans. Ayok cepet dimakan aku juga dah laper banget nih,”

Sepasang suami isteri itu langsung saja melahap buas makanan yang terhidang di atas meja, suara sendok garpu saling beradu dengan piring kaca yang turut menciptakan irama akustik acak. Menambah kesan ramai musik yang diputar Hans tadi.

Setelah kekenyangan dari berlabuhnya seluruh makanan di dalam perut, Hans dan Ruthai lalu menyenderkan badannya kesofa. Sambil menyalakan sebatang rokok, pria itu mengangguk-anggukan kepalanya keatas kebawah mengikuti irama musik yang masih terputar sesekali menengok, mencium dan membelai halus rambut wanita yang sedang menyenderkan kepala dibahu kiri nya itu.

“Hans…”

“Sebentar lagi anak ini lahir”

“Kelak dewasa nanti, apakah akan mengikuti jejakmu yang suka traveling…? bepergian sesuka hati kemanapun kau mau?”

Hans tertawa kecil, menghisap batang rokok yang sudah hampir habis, mematikannya di asbak dan kemudian kembali menyulut api pada rokok yang baru.

“Yaahhh…tergantung passion anak itu nanti! Yang pasti, harta yang ditinggalkan oleh ayahku dulu sampai sekarang masih menggunung. Belum lagi uang hasil dari usaha perkebunan Vanili kita saat ini pun selalu lebih, menumpuk. Tak pernah habis dimakan oleh kita berdua selama ini, bahkan anak cucu kita nanti kedepannya. Tujuan hidupku sekarang hanya ingin membahagiakanmu dan anak kita,”

“Sudah berapa lama kau memiliki hobi mengkoleksi piringan hitam, barang-barang antik, dan supranatural Hans?”

“Sedari masa kuliah dulu! Awalnya ketularan ayahku sering diajak berpergian berburu vinyl musik, lalu diracunnya untuk menyukai musik-musik lawas khususnya. Ia juga sering mengajariku hal-hal yang berbau mistik. Dari sejak ayahku meninggal, aku sering berpetualang ke Eropa, Amerika, Asia melampiaskan kesendirianku. Asyik rasanya kalau kita berkunjung ke berbagai tempat. Berkenalan dengan orang baru sekaligus budayanya,”

“Lalu saat melancong ke Thailand setahun silam, masih teringat persis waktu itu tanggal 7 Juli 1990, ada seorang gadis cantik setinggi 160cm, kulitnya putih kekuningan, memiliki rambut hitam lurus sebahu, dan bermata bulat agak lonjong, cantiiik sekali sampai-sampai tak sanggup kualihkan pandangan, takut tak pernah melihatnya lagi ditelan keramaian,” Hans menerawang masa lalunya dengan tatapan datar sambil menatap tungku perapian yang berada tiga meter didepannya.

“Siapa dia?”

“Kamu… Nang,”

“HAHAHAHAHAHAHAHAHAHA,” mereka berdua tertawa lepas bersamaan. Seringkali Hans menceritakan kisah awal cintanya tersebut kepada Ruthai di momen-momen tertentu. Ia selalu memupuk kebahagiaan dengan segala cara untuk membuat isterinya itu selalu ceria. setidaknya dapat membuatnya tersenyum minimal sehari sekali. Sebab musabab bahasa bibirnya itulah yang menjadi permulaan Hans jatuh hati kepada wanitanya dahulu.

Wanita yang sedang mengandung delapan bulan setengah itu kemudian merebahkan badannya di sofa dengan posisi kepala bertumpu kepada kedua paha suaminya.

“Sebelum mengenalku, pasti kau banyak wanitanya…iya kan? Apalagi kau tampan! wanita dari Negara manapun jika melihat model pria sepertimu pasti akan suka,”

“Ya benar..dulu aku memang memiliki banyak teman wanita yang intim.  Di Inggris, Perancis, Jerman, Amerika. Namanya juga masih sendiri dan bebas wajar kan kalau banyak wanitanya walaupun hanya sekedar buat heppy-heppy aja,”

“Tapi cuman kamu dari semua wanita yang sanggup buatku nyaman, kau yang kupilih dan akhirnya kuperistri,”

“Awas kamu Hans kalau sekarang sampai macam-macam dengan wanita lain, tak akan pernah ku maafkan,” matanya menatap serius sambil mencubit lengan kiri Hans.

“Nang…! Apa pernah semenjak aku mengenalmu? Meninggalkanmu sendirian? Kita selalu bersama-sama kan! Hanya meninggalkanmu sebentar saja. Itupun ketika mengecek hasil perkebunan kita saja…”

“Iya aku percaya dengan melihat tatapanmu itu kepadaku. Aku tahu rasa cintamu itu benar-benar tulus,”

Obrolan santai tak terasa telah memakan waktu yang tak sedikit. Tawa demi tawa, pelukan hangat yang diselingi kecupan nakal antar kedua insan itu menghidupkan suasana rumah yang sepi jauh dari keramaian orang dan permukiman warga. Hans sengaja tinggal menyendiri hanya berdua isterinya semata-mata hanya untuk mencari ketenangan dan menyukai kesunyian. Ia kurang suka bergaul dengan banyak orang. Bukannya sombong, sebenarnya ia orang yang sangat ramah, akan menegur atau minimal memberikan senyum kepada siapapun yang berpapasan dengannya. Hanya saja, semenjak menikah Hans lebih suka menghabiskan banyak waktunya bersama sang isteri dengan membaca novel, menikmati musik, bersantai di areal taman rumahnya yang luas dan ditumbuhi berbagai pohon-pohon rindang serta buah-buahan segar, dibanding mencari kesenangan diluar sana yang penuh keriuhan semata, lalu lalang banyak orang, dan kemacetan.

“Nang, apakah selama ini kau betah tinggal disini? Dirumah ini…bersamaku?”

“Ya! Tentunya..,”

“Aku senang dan nyaman tinggal disini. Apalagi, menurutku tempat ini memiliki sentuhan gaya yang menarik walaupun hati kecilku mengatakan kalau rumah ini terbilang agak menyeramkan,”

“Menyeramkan yang bagaimana maksudmu?” Hans menatap isterinya dengan mata serius sambil mengernyitkan dahinya.

“Seram bukan artian rumah ini karena memiliki desain ala eropa tempo dulu dan serba gelap, Namun…”

“Namun kadangkala, dilantai atas tempat kau menyimpan barang-barang antik dan pusaka-pusakamu itu. Apalagi kamar khusus yang selalu kau datangi setiap Jumat malam. Kerap kudengar suara-suara aneh seperti…mmm!”

“Seperti apa Nang?”

“Seperti ada suara wanita. Kadang tertawa, kadang menjerit walau agak samar terdengarnya,”

“Ah mungkin itu halusinasimu saja! Aku diatas hanya untuk memeriksa koleksi barang-barang ku saja secara rutin kok,”

“Lalu… setiap malam Jumat kau mengurung diri di kamar itu untuk apa Hans?”

“Ah itu…anu…koleksi pusaka ku kan lumayan banyak, ada keris, tombak segala. Semua itu kan harus rutin dirawat dan dijamas. Perlu dirawat secara khusus,”

“Sudah, kau tak usah berpikir yang aneh-aneh! Aku lumayan letih ingin rasanya berbaring ditempat tidur. Kau juga harus istirahat, jangan terlalu banyak aktifitas. Nanti takut kenapa-kenapa dengan kandunganmu,”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status