Share

Warisan Hitam
Warisan Hitam
Penulis: N.G. Floyd

Chapter I

Rumah Warisan

Orchestra puluhan kodok serta aroma basah tanah memecah kesunyian nuansa kelam malam yang dingin lagi sepi di rumah tua bergaya abad ke-19 berlantai dua itu. Bangunannya berbahan utama kayu dan eksteriornya didominasi cat berwarna Hitam, dan Coklat. Letaknya di puncak bukit terpencil, sehingga tak akan nampak dari permukiman dibawahnya ketika memasuki waktu senja. Seolah lenyap disembunyikan bumi atau memang sengaja tidak ingin menampakan wujudnya diwaktu-waktu tertentu.

Sudah Tujuh hari lamanya Darko seorang diri menempati rumah warisan dari almarhum ayahnya yang mati secara tiba-tiba ketika berada di kediaman nenek tujuh bulan yang lalu. Hampir tidak pernah beranjak ia dari duduknya selama berjam-jam di sofa coklat teras depan rumahnya sejak sore tadi, menikmati kerlap-kerlip citylight perkotaan Bandung. Suara hujan dan alam ditengah kegelapan malam seluas pandangan matanya, pria berumur 27 tahun ini masih asyik saja melamun memikirkan sesuatu sambil menghabiskan batang demi batang rokok menthol kegemarannya serta segelas kopi hitam sedikit gula yang hampir habis mendekati ampasnya.

“Hmm…!sudah saatnya kucari rahasia-rahasia ayah dulu,”ucapnya dengan suara parau pelan.

“Pasti…!semua koleksi, dan peninggalan-peninggalan anehnya ada disini diwariskan untuk ku. Aku merasakan semua energi kelamnya,”.

Jarum jam menunjuk pukul 01.37 WIB. Dinginnya malam itu semakin menjadi, walau hujan sudah mulai mereda. Bukan hanya menusuk-nusuk tulang, otak pun serasa kaku beku seperti ditaruh didalam freezer ditambah tumpukan es batu. Embun-embun bening segar yang menempel didaun pepohonan sekitar terlihat samar  oleh sinar lampu temaram dari rumah yang sudah berdiri sejak tahun 1987 tersebut.

Senandung kodok semula tidak seramai tadi, tergantikan suara lusinan jangkrik walau samar dari kejauhan, mungkin pamit undur diri kelelahan sudah  memamerkan suaranya sepanjang malam.

“Terbayang sudah imajinasiku selama tinggal disini! Rumah sebesar ini, hanya ia tinggali seorang diri..dirahasiakan kepadaku pula!”

“Bersama para wanita-wanita cantik itu pastinya…”

“Mempermainkan jiwa mereka sampai puas, dan…! Aahhh sudahlah, ayah memang masterpiecenya soal itu,”

Ia berimajinasi mengenai almarhum ayahnya yang semasa hidup kerap memiliki banyak sekali kekasih. Kerap bergonta-ganti pasangan dengan wanita yang berbeda setiap bulannya. Semasa mendiang hidup, Darko sering dikenalkan dengan beberapa wanitanya tersebut. Cantik-cantik, rata-rata masih muda, mungkin gadis-gadis yang masih kuliahan atau pegawai kantoran yang malah cenderung jauh lebih muda dari Darko.

Ia dan ayahnya memang sangat akrab seperti kakak dan adik saja. Maklum selama hidupnya, mereka hanya tinggal berdua di rumah almarhum nenek di Jawa Barat, ibunda Darko meninggal ketika melahirkannya dulu cerita sang ayah. Namun hal ini masih menjadi misteri dibenaknya berhubung tidak ada satupun bukti foto-foto dan asal usul keluarga sang ibunya tersebut.

Namun sebelum meninggal, kira-kira satu tahun yang lalu atau beberapa bulan sebelum ajal menjemputnya, ia pernah berkata kepada Darko mengenai ibunya dalam obrolan santai yang kerap dilakukan oleh mereka berdua ketika dirumah.

“…Ibumu bukan pribumi…orang luar! dia wanita Thailand. Sayang tak sempat membesarkanmu karena meninggal saat melahirkan kau dulu…namanya Ruthai, ayah biasa memanggilnya Nang Ruthai,”

“Pusaranya ada di Thailand Timur. atas permintaannya sendiri dan  keluarganya maka dia dikuburkan disana. Pasca meninggalnya, kau juga sempat kuboyong tinggal selama beberapa tahun di kampung ibumu itu. Pastinya tak ingat karena dulu kau disana hanya sampai umur 3 tahun,”

“Kapan-kapan kau akan kuajak kesana, tapi nanti jika kau sudah siap dengan hal yang akan kuberitahu kepadamu mengenai rahasiaaa….!”

“Rahasia apa yah?”

“dari dulu gak pernah sampe-sampe tuh mau ngasih tau rahasianya!”

Gerutu Darko yang bernada agak kesal.

“Ahhh…ya nantilah belum saatnya ayah beri tahu....”

Hanya obrolan singkat yang kerap diulang-ulang oleh ayahnya tersebutlah satu-satunya kenangan sekaligus pengetahuan Darko mengenai Nang Ruthai. Selain itu, Ia pun kadang merasa heran betapa seringnya dulu sang ayah mondar-mandir Indonesia-Thailand sampai perbatasan Negara Cambodia. Bahkan sesekali pergi ke Eropa dan benua Amerika dengan alasan pekerjaan.

Sepulangnya dari negeri Gajah Putih tersebut biasanya ayah mampir sebentar dirumah sehari dua hari dan lalu kembali pergi pamit ke Bandung yang sekarang sudah Darko ketahui tujuannya adalah rumah besar tua yang saat ini sudah diwarisi oleh dirinya.

Darko juga sama seperti ayahnya, yaitu sama-sama menyukai hal-hal berbau mistik atau supranatural aliran kiri alias black magic. Seringkali mereka berdua bepergian kesuatu tempat seperti goa, makam tua, serta gunung-gunung yang dianggap keramat untuk melakukan semacam ritual.

Namun satu persamaan yang paling kuat antara kedua ayah dan anak itu ialah sama-sama menyukai kaum hawa addict alias berjiwa playboy. Selalu tidak puas dengan satu wanita dalam waktu lama. Darko yang saat ini berumur 27 tahun itu, pun paling dua atau tiga bulan memiliki pacar sesudahnya akan mencari wanita idaman lain dan meninggalkan wanita yang lama, begitu seterusnya sejak ia berumur 20an.

“Aneh…seseringnya aku berganti-ganti wanita, namun masih saja kalah dengan ayah yang memiliki gandengan cewek jauh lebih cantik dan bertekuk lutut seperti kerbau dicucuk hidungnya dibandingkan wanita-wanita kenalanku…padahal dia sudah berkepala lima, tapi masih saja kelihatan muda dan ganteng seperti berumur 30an,”

“Jangan-jangan dia punya…!”dengan pikiran penuh pertanyaan misteri dalam kepalanya. Di malam menjelang subuh tersebut langsung saja ia bangkit dari kenyamanan bersandar di sofa coklatnya lalu kemudian masuk kedalam rumah yang bisa dibilang memiliki bentuk agak aneh untuk ukuran arsitektur di Indonesia.

“Tidak pernah aku melihat arsitektur rumah seperti ini sebelumnya. Seperti rumah penyihir abad ke-19 saja. Syukurlah aku dapat mewarisi rumah ini, cocok sekali dengan kepribadianku. Aku dan ayah memang satu style dalam berbagai lini, termasuk masalah selera arsitektur,” Darko bicara pelan sambil berkeliling melihat-lihat seisi rumah itu.

Dengan pancaran mata yang menyiratkan keingintahuan, ia terus menyusuri tiap-tiap ruang dirumah. Walaupun kemarin-kemarin sudah dilakukannya, namun seperti ada rasa yang masih mengganjal mengenai misteri rumah warisan itu.

Hampir seluruh interior didalam berwarna gelap. Dinding-dinding kayu yang ber cat hitam pekat di padu padankan corak-corak berlambang aneh berwarna coklat, begitupun meja,kursi, lemari serta perabot-perabot lainnya tidak jauh dari warna-warna kelam. Ada tiga ruangan kamar di lantai ini.

“Ck..ck..ck..Gothic abis ni rumah!”celetuknya.

Sampai tiba di ruang tamu, ruangan yang belum dimasuki sebelumnya, ia melihat sofa merah darah memanjang memenuhi seperempat ruangan yang kira-kira memiliki luas 7x9 meter. Didepanya ada meja persegi empat dengan hiasan beberapa lilin merah habis pakai, beberapa botol wine dan whiskey yang masih utuh lengkap dengan gelas-gelas kristal tinggi, dan asbak yang masih ada sampah abu rokok yang hampir menggunung.

Disudut kiri ruangan sebelah pintu masuknya terdapat alat pemutar piringan hitam (turntable) beserta ratusan vinyl yang tersusun rapi pada rak disampingnya, dan disudut utara pintu masuk ruang tamu tersusun puluhan jenis novel-novel bergenre horor dari penulis terkenal seperti, Charles Maturin, Edgar Allan Poe, Horace Walpole, Diane Setterfield, Matthew Gregory Lewis, William Beckford, dan banyak lagi.

“Pasti ruang tamu ini biasa ia pakai untuk bersantai sembari menikmati rokok sambil membaca novel ataupun mendengarkan lagu lewat vinyl-vinyl itu selain untuk menerima tamu tentunya,”ucap Darko didalam hati sambil duduk di sofa dan menyulut api rokok membayangkan dirinya seolah-olah menjadi ayahnya .

Pagi yang ditunggu pun sepertinya masih belum datang. Ada beberapa jam lagi sebelum matahari bangun dari tidur untuk menerangi bumi. Tak tahan rasa dingin yang meraba-raba halus seluruh tubuhnya, sebentar Darko beranjak dari sofa dan menyalakan api di tungku penghangat yang berhadapan dengan sofa.

Tak jauh dari tungku penghangat itu, ia melihat seperti sebuah pajangan foto berukuran 70X120CM tergantung namun tertutup kain putih lusuh yang sudah berdebu agak tebal.

“foto atau lukisan ini ya!”

Dibukanya kain penutup itu, terbatuk-batuk ia menghirup debu liar yang berterbangan menghampirinya.

“Amazing…! Ini foto rumah tua yang ada di Amrik! Wah gak salah lagi, dia pasti membangun rumah ini dari insiprasi bangunan itu,”ia tersenyum sambil menunjuk-nujuk foto rumah itu.

Darko baru tersadar bila rumah ini didesain mendiang ayahnya 30an tahun yang lalu berdasarkan inspirasi dari The Witch House, Rumah dari Hakim Jonathan corwin di kota Salem, Massachusetts, Amerika yang melegenda akibat peristiwa kelam pengadilan penyihir terbesar sepanjang sejarah di negeri Paman Sam.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status