Share

Telepon Nenek

“Hufft….” Mira menghela nafas panjang. 

Perempuan itu kini asyik merajut sebuah tempat tissue dari benang nilon biru muda. Rencananya, akan ditaruh di mobil Denny.

Sayangnya, pikiran Mira tidak begitu fokus karena memikirkan percakapan sang suami dan Ibu Mertuanya. Jujur saja, dia khawatir sekali dengan keadaan sang suami.

Kring!

Ponsel Mira tiba-tiba berdering. Terlihat sebuah panggilan dari Mbok, nama kontak untuk neneknya di desa.

“Halo, Nduk.”

"Halo, Mbok. Apa kabarnya? Si mbok sehat, kan?" tanya Mira dengan tersenyum lebar setelah mendengar suara neneknya yang terlihat ceria.

"Iya, Nduk. Ada hal mendesak yang ingin si mbok katakan, tapi kamu jangan banyak tanya dulu. Ini Nduk ... tanah kebun orang tuamu–"

"--Mbok, biarkan saja. Itu memang tanah milikku, tapi hasilnya buat mbok saja. Aku sudah cukup dengan hasil suamiku di sini. Tunggu, apa ada yang maksa mau beli lagi?" potong Mira dengan cepat. 

Akhir-akhir ini, banyak sekali orang yang menginginkan tanah itu. Padahal, dulu tanah itu sangat sulit dijual.

"Bukan, bukan begitu, Nduk. Ada masalah besar di sini. Jadi, kamu harus segera pulang ke kampung dulu."

"Masalah besar? Masalah apa sebenarnya? Apa ada yang mengaku ngaku itu tanah mereka?"

Mira memijat kepalanya pusing. Beberapa orang memang pernah datang dan mengklaim bahwa tanah itu milik mereka. Bahkan, dengan membawa surat menyurat seolah tanah itu sah milik mereka.

Padahal, secara turun temurun, tanah itu tidak pernah dimiliki siapapun, kecuali keluarga orang tuanya.

"Bukan Nduk, bukan begitu. Ini ada yang mau menyewa tanah dengan harga yang sangat mahal. Mbok nggak bisa memutuskan."

"Sewa tanah?” Mira terdiam sejenak. Ini bukan masalah sederhana. “Oh, gitu. Baiklah, Mbok. Nanti, Mira coba minta izin dulu sama Mas Denny, ya."

Panggilan pun berakhir, menyisakan Mira yang hanya bisa termenung sendiri.

Sebenarnya, Mira teringat dengan iparnya yang sekarang berada di rumah sakit karena penyakit gula darahnya.

Biayanya cukup besar, dan beberapa hari yang lalu mereka mau meminjam uang kepadanya.

Akan tetapi, bagaimana ia bisa meminjamkan uang? Mira tak punya simpanan yang berarti.

“Apakah ini jawaban dari masalah itu? Dengan uang sewa, siapa tahu aku bisa meminjamkan uangnya untuk Mas Danu dan Mbak Nia. Jadi, pengobatan tidak terasa memberatkan. Bahkan, aku bisa membantu Mas Denny," katanya bermonolog.

“Baik, Mbok. Mira akan coba tanyakan pada Mas Denny, ya.” Ucapan Nia mengakhiri percakapan keduanya.

*****

"Ya sudah, pulang saja sana! Nggak balik juga nggak apa apa," ketus Denny meremehkan. Bahkan, pria itu cenderung mengusir Mira dari rumahnya.

Padahal, Mira baru hanya sampai mengatakan bahwa neneknya ingin Mira segera pulang kampung. Namun, reaksi suaminya begitu kejam.

"Lah, Mas? Kok gitu? Apa Mas sungguh-sungguh ngusir aku?" Mira terdiam. Dia ingin tahu sebenarnya apa maksud dari ucapan suaminya, "Aku pun pulang karena ada yang bakal nyewa tanah. Kalau aku punya uang itu, aku bisa meminjamkan uang buat Mas Danu, kakakmu. Sepertinya, dia memang sangat membutuhkan."

Denny berpikir sejenak.

Selain masalah uang, ia juga memikirkan apa kata ibunya kalau sampai Mira nggak kembali.

Keluarganya itu paling membutuhkan Mira kalau ada kerepotan.

Ada tiga menantu ayah-ibunya, tapi cuma Mira yang paling bisa cekatan mengerjakan semua pekerjaan orang tuanya.

Bisa dibilang, Mira adalah menantu yang paling mirip dengan pembantu. Kalau sampai Mira pergi, para menantu ibunya pasti kelabakan. Akhirnya, pasti Denny juga yang harus menjemput Mira.

"Enggak mungkinlah aku usir kamu, Mir. Balik aja lagi setelah urusan kamu selesai. Tapi, maaf. Aku nggak bisa nganterin, ya."

Mira mengerucutkan bibirnya mencibir alasan Denny.

Kalau kepentingan keluarganya saja, Denny akan merayu Mira sampai ia mau menuruti kemauannya. Tapi, kalau itu adalah kepentingan Mira? Pria itu pasti masa bodo.

"Baiklah, aku mau pulang sendiri!" sentak Mira pada akhirnya. Dia segera pergi dari hadapan Denny bergegas menuju kamar. Sayup-sayup dia masih mendengar ocehan Denny.

"Huft, kenapa sewot? Sudah tiga tahun kita menikah. Bukan pengantin baru lagi, jadi nggak usah aleman alias manja. Kamu tinggal naik bis ke terminal lalu naik ojek ke kampungmu. Beres tanpa harus mengganggu pekerjaanku!"

"Iya iya, aku tahu. Tapi, aku mau lama ya di kampung!" teriak Mira kesal dari kamar.

Ia sangat kesal karena Denny tiba-tiba saja berubah beberapa bulan terakhir ini.

Jangankan mau bermanja-manja seperti pasangan yang lain, yang ada Denny selalu nyinyir.

Jangankan mendapat pujian, Mira saja akhir-akhir ini merasa sulit mendapat perhatian sang suami.

"Apa ini karena aku juga belum hamil, ya?" batin Mira pedih. Selain masalah kantor, pastilah ada alasan lain dari perubahan Denny. Alasan inilah yang paling mengusik pikiran Nia, “Atau, karena perempuan yang menelpon Mas Denny itu?”

“Mir!” tegur Denny, "Berapa lama kau akan pulang kampung?" 

Seketika, Mira tersadar dari lamunannya. Dia kembali menatap wajah suaminya itu. "Tidak akan lama, tergantung urusan tanah itu apakah cepat selesai atau tidak. Kau bilang, aku pun tak perlu kembali lagi, kan? Walau bercanda, sebenarnya ucapan kamu itu sudah termasuk talak, Mas. Meskipun itu cuma main-main atau menyindir."

"Mira, mana mungkin? Mana mungkin aku bermaksud menceraikan kamu? Aku sungguh bercanda, Mir."

Mira tersenyum kecut. Bahkan, panggilan telepon wanita itu masih jelas di telinganya. Sekarang, ia sangat yakin bahwa Denny berselingkuh darinya.

"Baiklah, kalau kamu memang tak bermaksud seperti itu. Tapi, aku akan kembali meskipun sedikit lama," ujarnya kemudian.

Mereka kembali tegang, saling melihat dengan pandangan dingin dengan pemikiran masing masing.

“Ck! Terserah, kau,” ucap Denny kesal pada akhirnya.

Pikiran pria itu kini sedang kacau dengan urusan perusahaan. Jadi, ia tak akan menyinggung perceraian yang akan menambah beban pikirannya. Akan tetapi suatu saat nanti, bisa saja semua itu ia lakukan. Ia berjanji pasti akan menceraikan Mira. 

Toh, dia memiliki Imas Gayatri–wanita yang dia cintai dan menelponnya beberapa malam yang lalu. Sayangnya, Imas–yang merupakan anak pengusaha kaya raya di Jakarta–dijodohkan oleh ayahnya dengan pengusaha yang sama suksesnya.

Itulah sebabnya Denny harus menerima kenyataan untuk bersama Mira, si gadis kampungan yang bukan tipe dan bukan levelnya. Untung saja, wajah Mira cantik. Jadi, Denny merasa tidak terlalu buruk untuk melepaskan status lajangnya. 

******

Mira mengamati ekspresi suaminya dengan pedih. Bahkan, sepeninggalan Denny, Mira nyaris menangis. 

Kelakuan suaminya dapat dia terima jika memang Mira yang salah. Jika suaminya salah pun, Mira juga dapat menerimanya asalkan pria itu mau berubah. Namun, tidak dengan perceraian. Dia sungguh pantang untuk itu, seolah mudah menyerah padahal sudah berjanji di hadapan Yang Kuasa.

'Jangan harap kau bisa menceraikanku, Mas. Aku tidak akan pernah pergi dari rumah ini dalam keadaan terhina. Setidaknya, aku harus tahu siapa wanita itu dan memberikannya pelajaran,' batin Mira.

Mira pun beranjak dari tempat duduknya, ia berniat untuk menarik kopernya dari tempat penyimpanan. Ia menyiapkan beberapa lembar pakaian dan oleh-oleh. 

Ia bergumam untuk menyemangati diri sendiri, "Lebih cepat lebih baik, aku akan sedikit bernapas saat di kampung nanti, tapi aku pasti akan kembali, Mas." 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Dhania
lumayan ya?? lumayan gak jelas maunya apa
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status