"Mas, ayo sarapan dulu…."
Mira membangunkan suaminya setelah menyiapkan bubur ayam untuk Denny. Meskipun tadi malam dia kecewa dengan Denny, tetapi dia tidak tega meninggalkan suaminya begitu saja.
Tak lama, Denny pun terbangun. Meskipun sedikit pusing, ia harus bangun dan bekerja siang ini.
Sedikit lemah, ia berusaha untuk menegakkan punggungnya. Lalu, mengambil semangkuk bubur ayam yang diberikan Mira. Lagipula, perusahaannya saat ini sangat membutuhkan kehadiran Denny.
Namun, pagi keduanya yang tenang berakhir begitu cepat saat Nyonya Magdalena--ibu Denny--datang dan segera mengambil posisi duduk di hadapan putranya.
"Mira, buatkan teh untuk Ibu," perintah Magdalena tiba-tiba. Mendengar itu, Mira pun segera melangkah pergi. Memang, Ibu Mertuanya selalu begitu–memperlakukan Mira selayaknya pembantu.
Namun, kali ini Mira tidak serta-merta menurut. Dia sebenarnya menguping di depan pintu untuk mendengar pembicaraan Ibu dan anak itu.
"Denny, bagaimana dengan urusan kantor? Apa sudah beres?" tanya Magdalena kini pada suaminya.
"Uhmm, itu …. Aku tidak tahu, Bu. Perusahaan sedang sekarat saat ini. Denny hanya bisa berdoa supaya ada pemodal yang masih mau mempertahankan sahamnya untuk perusahaan kita. Kalau tidak, mungkin rumah ini dan rumah ibu akan ikut terjual. Aku tidak mungkin menjual perusahaan itu yang menjadi sumber penghasilan kita semua."
"Apa?" kata wanita itu dan mulai terduduk lemas. Wanita itu lalu berbicara sedikit panik, "Denny, kalau rumah kamu mau dijual, ya sudah dijual saja dan kamu kembali ke rumah ibu. Akan tetapi, jangan menjual rumah peninggalan ayahmu!"
Bibir Magdalena tampak gemetar. Bahkan, raut wajahnya terlihat pucat tak berdarah.
Siapa pun dapat merasakan ketegangan antara ibu dan anak itu.
Mira yang mendengar percakapan itu dari balik pintu, bahkan dalam gestur tubuh yang membeku.
Ia tak pernah tahu urusan perusahaan karena Denny memang tidak mengizinkannya untuk dirinya terlibat.
Padahal, sebenarnya Mira juga pernah bekerja sebagai officer.
Dalam hati, Mira akhirnya mengerti, mengapa Denny terlihat letih dan pucat. Tentu saja, pasti karena banyak sekali masalah yang dihadapinya sehingga terlihat sangat tertekan.
“Tunggu! Selama ini, aku memang tidak pernah dianggap ada, kan? Jadi, bukan salahku bila tidak bertanya masalah perusahaan,” lirih Mira pada dirinya. Dia lalu memutar tubuhnya dan segera menyeduh secangkir teh untuk ibu mertuanya itu.
Namun, baru saja dia meletakkan cangkir di meja, Mira dikejutkan oleh ucapan Magdalena.
"Mira, jual saja tanah orang tuamu! Coba kau lihat suamimu ini. Apa kamu tak punya hati?"
Mira terdiam.
Sesungguhnya, dia ingin tertawa miris mendengar ucapan Magdalena. Katanya, Mira tidak punya hati?
Apakah Ibu Mertuanya itu tahu bahwa hatinya sudah hancur karena kemungkinan Denny berselingkuh? Lalu, hati yang mana lagi yang akan ia berikan?
Namun, Mira harus sabar menghadapi masalah ini untuk sementara. "Bu, itu kan perusahaan keluarga Mas Denny. Menurutku, memang sudah seharusnya rumah ini dan rumah yang ibu tempati dijual saja, lalu kita bisa membeli rumah yang lebih kecil. Apalagi, Mas Danu juga sedang butuh banyak biaya karena sedang dirawat di rumah sakit."
Mendengar itu, Magdalena menjadi marah. Bahkan, ia sedikit berteriak dan menuding wajah Mira. "Apa katamu? Kenapa jadi kamu yang mengaturku, Mira? Aku adalah ibu mertuamu!"
"Denny, lihat istrimu, kenapa dia begitu lancang?" pekiknya lagi.
Melihat itu, Denny terlihat memijat pelipisnya. "Ibu, tenanglah. Ibu kan tahu, harga tanah Mira di kampung itu tidak akan mungkin menutup kekurangan perusahaan kita. Sudahlah, Bu. Aku akan cari cara lain untuk mendapatkan uang. Terutama, menjual rumah yang aku tempati ini."
"Oh ya Mas. Kalau rumah ini dijual, maka sepertiga uangnya adalah milikku bukan? Aku ingat mengeluarkan seluruh tabunganku untuk membeli rumah ini. Jangan lupa ya Mas, kamu harus memperjelas status uang itu, apa meminjam atau apa," ucap Mira tiba-tiba.
Tentu saja Nyonya Magdalena mendelik lebar.
Ia tak menyangka dari mana datangnya keberanian menantunya yang selama ini jinak dan penurut ini? Apa dia mulai besar kepala setelah Denny kesusahan?
"Istri macam apa kamu yang mengungkit ungkit uangnya pada suami? Selama ini, kamu emang punya andil apa? Bahkan seorang anak saja kamu tidak bisa memberikan," ucap wanita itu kejam.
Mira mengepalkan tangannya sebelum berkata, "Maaf, Bu. Saya hanya bertanya, dan Mas Denny hanya harus menjelaskan status uang itu. Selebihnya, saya tetap tidak akan meminta uang itu kalau memang Mas Denny membutuhkan."
"Mira! Diam kamu! Bisa nggak kamu tidak memperkeruh keadaan?!" teriak Denny sangat marah.
Seketika, Mira terdiam. Meskipun ia sedikit takut dibentak demikian, hatinya lega karena sudah berani mengungkapkan unek-unek yang mengganjal selama ini.
Ia selalu dituduh tidak berguna dan miskin. Padahal, ia punya sedikit andil dalam pembangunan rumah suaminya!
"Maaf, Mas. Sekali lagi, aku cuma mengingatkan saja." Mira lalu melangkah pergi, kembali menuju dapur.
“Ck! Mengingatkan katanya.” Magdalena terlihat berdecak–mencibir Mira terang-terangan. Dia tidak peduli jika Mira dapat mendengarnya, malah dia sengaja agar wanita itu tahu diri. “Udah miskin, mau sok berguna. Mending diem aja.”
Mendengar ucapan sang mertua, Mira membatin, “Istighfar, Mira.” Dia mencoba menguatkan hati menghadapi suami dan mertuanya ini. “Allah tidak tidur. Dia pasti menyiapkan yang lebih baik untukmu.”
Sugesti di masa kecil yang absurd seperti potongan kenangan yang unik untuk diingat.Seperti bagaimana biji semangka yang tertelan akan tumbuh dan berakar di dalam perut, mengeluarkan tangkai dan daun dari telinganya dan hidung lalu berbuah di puncak kepala. Begitulah seorang anak digiring dalam sebuah pemikiran tak masuk akal bahkan hanya karena sebuah nama."Apa kau terpengaruh?""Tentu saja. Sepertinya itu berhasil karena aku percaya dengan ibuku. Hahaha," Denny tergelak lagi karena konyolnya pemikiran saat itu.Mereka terlihat serasi dan bahagia."Apa yang akan kita lakukan selanjutnya?" Denny kemudian melihat Mira meminta pendapat soal rencana yang sebenarnya sudah mereka buat."Uhmm pertama, aku mau buat adik untuk Azrah, ini adalah tujuan yang paling bagus untuk dilakukan. Apa aku salah?""Haish... selalu saja cari keuntungan."Denny hanya nyengir, sementara ia tetap fokus berkendara."Rencana kedua adalah membangun usaha toko di pasar tradisional dan selanjutnya akan menjadi
Mira dan juga Denny sangat panik dan segera membawa Marina ketempat yang nyaman di dalam mobil.Mereka membawa pulang wanita itu dan memindahkannya ke kamar.Mira sangat iba melihatnya. Ia bisa merasakan Marina sangat terluka. Ia sangat mengerti bahwa Marina sangat mencintai Dika."Mira, sejak tadi kau melamun, apa yang kamu pikirkan?" tegur Denny karena Mira hanya termenung menatap wajah Marina."Selalu ada yang membuat wanita terluka sampai seperti ini. Apakah lelaki nggak tahu kalau wanita itu cuma makhluk yang lemah. Saat mencintai, dia sangat mudah dikhianati. Saat setia, pria tidak menyadari dan saat terluka ia hanya bisa menangis menyalahkan dirinya sendiri yang tak sempurna. Hanya saja, meskipun sangat lemah...wanita mampu bertahan dalam situasi seperti ini," ujarnya pelan, seolah mengenang apa yang dialaminya dulu.Saat itu Denny mengabaikan segala yang ia miliki. Cinta dan ketabahannya harus berakhir dengan selembar surat cerai.Akan tetapi Marina...dia mendapat selembar sur
"Aku membebaskan kamu, tapi kamu kembalikan kerugian yang sudah kamu tumbukan sejak awal, bagaimana?""Hah, omong kosong! Kau kira aku percaya?""Tidak. Kau tidak perlu percaya. Karen aku juga yakin kamu tidak punya uang untuk melakukannya. Kau kan cuma bisa memeras perempuan, mana mungkin bisa kembalikan uang sebanyak itu. Tapi...aku bisa sih mengurangi dakwaan soal pemerasan kamu yang terakhir, dengan syarat kamu ikuti permainan kami."Dika meremas tangannya kuat, sebab, dakwaan soal pemerasan uang itu berbuntut panjang. Marina minta uang itu dikembalikan tiga kali lipat berikut biaya persalinannya kelak."Aku tidak memeras, tapi dia yang memberikan.""Marina juga mendapatkan tamparan keras darimu, apa itu juga bisa dilaporkan tindak kekerasan? Ah Dika, sangat banyak catatan kriminal yang kau lakukan," ejek Denny. "Mungkin hukuman lima belas tahun penjara tidak cukup untuk kamu.""Jadi apa maumu?!" kali ini Dika terlihat menyerah.Denny tersenyum menang. Ia sudah membaca gelagat Dik
Seperti yang dikatakan Mira, polisi memang sudah berhasil meringkus Dika sehingga mereka mendapatkan pemberitahuan keesokan harinya.Mira segera menemui Marina dan menceritakan apa yang telah ia lakukan untuk Dika."Marina, aku minta maaf karena terpaksa menguntit kepergian kamu ke bank. Dan inilah akhirnya, kami memutuskan penyelesaian dengan polisi saja.*Marina menunduk dalam. Sepertinya ia ragu menyetujui tindakan Mira."Kau masih menyukai Dika, Marina? Apakah pria itu layak untuk wanita sebaik kamu?"Marina masih tak menjawab. Dilema di hatinya saat ini adalah soal harga dirinya yang hancur. Bagaimana mungkin ia melahirkan tanpa seorang suami, apa yang akan ia lakukan?"Kau berpikir bahwa Dika akan menikahi kamu, Marina? Itu tidak mungkin, Marina. Tidak semudah itu untuk memiliki suami yang baik seperti yang kita inginkan.""Tapi Bu....saya butuh status, meskipun hanya seorang janda, bukan sampah seperti ini," isaknya kemudian. "Saya masih tak mengerti, apakah kesalahan ini semua
Mereka sepakat untuk menguntit kemana Marina pergi. Dan benar saja, Marina memang datang mengambil uang di sebuah Bank. Mereka bahkan bisa memperkirakan berapa jumlah uang yang diambil Marina di bank tersebut."Kenapa Marina membutuhkan uang sebanyak itu?" gumam Mira yang sempat didengar Denny."Sudahlah, kita hanya butuh menguntit apa yang sebenarnya ia lakukan."Tak lama kemudian, wanita itu menuju sebuah restoran kecil di pinggir jalan tak jauh dari bank itu.Denny dan Mira tetap menguntit dan memperhatikan gerak gerik Marina yang terlihat gelisah seperti menunggu seseorang.Dan ternyata tak lama kemudian, seorang pria berhodie mendekati dan duduk di hadapan Marina.Marina menoleh kesana kemari untuk memastikan tidak ada yang melihat pertemuan mereka. Marina tahu, ini tidak benar, tapi ia ingin mengungkapkan perasaannya pada pria itu saat ini."Heh, kau datang juga akhirnya," bisik pria itu menatap puas wanita di hadapannya. "Benar, aku datang dan membawa apa yang kau minta, Mas."
Suasana semakin riuh saat mengetahui bahwa Mira adalah orang yang paling berkuasa di perusahaan tersebut.Apa ini? Mereka semakin tak percaya. Bagaimana mungkin Denny yang begitu keras dalam berusaha ternyata tidak memiliki apapun di perusahaan.Begitu juga Danu. Ia semakin tak mengerti bagaimana mungkin keluarga mereka hanya memiliki tidak lebih dari dua puluh persen saham? Kemana uang yang mereka miliki selama ini? Apakah ada suatu permainan yang dimainkan Denny untuk mengalihkan hartanya kepada istrinya?Itulah sebabnya kenapa Denny begitu berat melepaskan perusahaan itu untuknya!Dan karena kenyataan itu, Danu sangat marah lalu iapun segera keluar ruangan untuk mencari udara segar."Mas, aku minta maaf perihal Mira tadi, tapi bukankah itu yang mas Danu inginkan? Mas Danu ingin menerima tanggung jawab ini dan istriku tidak mempermasalahkannya. Untuk itu, aku juga tidak masalah." "Kenapa kau berubah pikiran? Apa kau sudah merasa cukup puas dengan permainan kamu? Kalian mengalihkan
Marina tahu, ia telah bersalah, tapi untuk kali ini saja, ia akan menuruti kemauan Dika. Ia ingin bernapas sejenak dan setidaknya tidak merepotkan Mira untuk menghadapi Dika. Selain itu, keluarganya akan merasa aman dari gangguan Dika."Sungguh, Bu. Sungguh tidak terjadi apapun denganku. Aku hanya menangis karena merindukan keluarga sehingga terasa bengkak wajahku karena menangis," ujar Marina beralasan.Meskipun tak sepenuhnya percaya, Mira menerima saja alasan Marina."Baiklah, kalau begitu cepatlah beristirahat, dan jangan lupa untuk minum vitamin kehamilan supaya tubuhmu tidak terlalu lemah.""Baik, Bu. Terimakasih."***Hari ini, Denny mengadakan pertemuan dewan direksi masalah perwakilan direktur perusahaan yang akan dipegang Danu. Ia harus memberikan pengumuman dan penyerahan alih tugas sementara. Selagi menyiapkan, Danu datang dengan wajah kesal seperti biasa."Apa maksudmu dengan alih tugas sementara? Apa kau pikir aku selemah itu?" protesnya dengan melempar map berisi undan
Marina menahan perih teramat sangat, sedangkan hatinya lebih dari itu. Ingin rasanya ia mengambil pisau yang terselip di pinggang Dika lalu menghujam pria itu dengannya. Tapi ia merasa lemah dan takut dengan bentuk kekerasan seperti itu."Marina, kau harus mengambil langkah yang bagus untuk mengambil kekayaan Denny. Anggap saja tidak perlu buru-buru, sedikit demi sedikit juga bisa kita mulai. Kau tentu bisa melakukannya."Wanita itu masih dalam memegangi pipinya yang terasa panas, ia hanya mendengar ucapan Dika dengan ketidak pastian."Sekarang aku butuh uang lima juta saja untuk membeli motor bekas, tapi bulan depan aku harus membeli motor yang baru, bagaimana, ini adil untuk kita bukan?"Kali ini Marina menatap tajam tak percaya pada pria yang di hadapannya. Ia tak percaya Dika hanyalah monster bertubuh manusia tampan. Sisi hidupnya sangat gelap maka ia tidak akan mau berada di lingkup hidup pria ini sampai kapanpun."Kenapa? Kenapa kamu menatapku seperti itu? Apa kau kira aku tidak
Denny mendengus, "Andaikan itu mudah bagiku, aku memilih untuk bersikap tidak perduli. Tapi bagaimana lagi jika itu sudah menyangkut istri cantikku?""Hehe, menggombal ya? Sudah baikan?" tanya Mira lembut. Tangannya menjangkau rahang suaminya dengan kasih sayang.Ya, ia memang akan merasa lebih baik dengan pelukan dan senyuman Mira yang indah. Akan tetapi setelah ia kembali dalam polemik hidupnya, ia merasa sangat ingin berlari dalam pelukan wanita ini. "Tentu saja. Aku akan semakin baik kalau kau selalu seperti ini, selalu bersikap lembut dan tersenyum.""Kalau begitu, sebaiknya kita kembali ke desa saja, Mas. Dan...aku sangat setuju kalau kamu menyerahkan perusahaan ini untuk Mas Danu."Atas ucapan Mira itu, Denny membelalakkan matanya. Ia tak mengerti bagaimana bisa Mira tahu apa yang sedang ia pikirkan saat ini."Kenapa kita harus ke Desa? Apakah semudah itu menyerahkan perusahaan pada Mas Danu?""Iya, Mas. Setidaknya berikan kesempatan untuk mas Danu bangkit seperti kamu,. berik