Share

Tini Hamil

Sedari malam, tubuh Tini terasa tidak nyaman. Kepalanya sedikit pusing, di tambah dengan kondisi badannya yang terasa lemas. Sepertinya Tini akan sakit, badannya juga terasa begitu pegal-pegal. Hal yang membuat Tini tidak bisa tidur semalaman.

Lutfhi yang tidak suka dengan Tini yang tak kunjung tidur. Meminta Tini untuk segera tidur. Mengingat Tini yang mengerang kesakitan dengan tubuhnya yang pegal-pegal.

Tak hanya di waktu malam saja. Tini juga terus mengerang kesakitan di pagi hari. Bahkan Tini meminta Lutfhi untuk memijat badannya yang pegal-pegal tersebut.

Namun Lutfhi malah memarahi Tini. Dia justru marah pada Tini yang meminta Lutfhi untuk memijat badannya. Lutfhi merasa apa yang Tini lakukan adalah perbuatan yang tidak baik. Lutfhi adalah kepala keluarga, hingga tak pantas untuk Lutfhi memijat badan Tini yang pegal-pegal tersebut.

Tak hanya menolak untuk memijat Tini. Lutfhi juga menolak untuk membawa Tini ke puskemas. Tini yang ingin memeriksakan kondisi tubuhnya yang begitu sakit. Sehingga dia berniat untuk mendatangi puskesmas yang berada di ujung kampung. Lutfhi meminta Tini untuk meminta tolong pada ibunya untuk mengantar Tini memeriksa kondisi tubuhnya. Padahal Lutfhi masih punya beberapa jam untuk memulai pekerjaannya sebagai tukang. Sehingga Lutfhi masih memiliki waktu untuk mengantar Tini menuju puskesmas. Namun Lutfhi lebih memilih untuk mengopi di depan rumahnya, di temani oleh segelas kopi hitam dan gorengan.

Akhirnya Tini dengan terpaksa meminta bantuan dari bapaknya untuk menuju ke puskesmas. Tini tidak mungkin pergi ke puskesmas dengan sendiri saja. Sebab jarak puskesmas yang cukup jauh, di khawatirkan akan membuat Tini kelelahan. Hingga Tini akan semakin lelah, memungkinkan Tini untuk semakin sakit.

Tini di sambut dengan wajah penuh kekhawatiran dari ibunya. Apalagi wajah pucat dari seorang Tini menciptakan sebuah kepanikan tersendiri.

"Kamu kenapa Tin?" tanya Ibunya dengan begitu paniknya.

"Tini sakit Bu, bapak ada di rumah?" jawab Tini dengan begitu lemasnya.

Tak berselang lama, bapak Tini yang sebenarnya sedang sakit juga. Keluar dari dalam rumahnya. Dia langsung memaki seorang Lutfhi yang tidak bertanggungjawab atas istrinya sendiri.

"Kemana suami kamu! Masa dia tidak peduli sama istrinya sendiri. Emang dia lagi apa?" tanya Bapak Tini dengan begitu marahnya.

"Dia mau kerja pak. Makanya dia enggak bisa antar aku buat ke puskesmas." Bela Tini untuk Lutfhi.

"Alasan. Bapak tahu, dia belum mulai bekerja. Tapi dia memang malas saja." ucap Bapak Tini semakin marah.

Tidak ingin suaminya terus menerus menyalahkan Lutfhi. Ibu Tini akhirnya mengambil inisiatif untuk mengantar Tini menuju puskesmas. Ibu Tini memang begitu menyayangi Tini sebagai anak bungsunya. Begitu juga pada Lutfhi sebagai seorang menantu dari ibu Tini. Lutfhi menjadi menantu kesayangan dari ibu Tini. Tak heran ibu Tini kerap merasa sedih saat melihat Lutfhi dimarahi oleh suaminya.

Menyewa dua ojek, ibu Tini pergi bersama Tini menuju puskesmas. Tidak mungkin mereka berdua berjalan kaki menuju ke puskesmas. Melihat kondisi Tini yang terlihat begitu sudah sangat lemas.

Tiba di puskesmas, Tini langsung di tuntun oleh ibunya menuju tempat pendaftaran. Begitu telah mendapatkan nomor antrian, Tini dan ibunya duduk di bangku panjang untuk menunggu pemeriksaan dari dokter yang ada di puskesmas.

Untuk sedikit meredakan rasa pegal yang ada di badan Tini. Ibunya dengan penuh perhatian, memijat tubuh Tini. Mulai dari bahu, hingga kedua tangannya yang begitu pegal. Tak hanya tangan Tini saja yang mendapat sentuhan pijatan dari ibunya. Kepala Tini yang terasa pusing juga, di minta untuk dipijat juga oleh ibunya. Dengan segera ibu Tini pun langsung memijat kepala Tini yang terasa begitu pusing. Pijatan yang di berikan oleh ibunya, membuat Tini merasa sedikit lebih baik. Walaupun tubuh Tini tetap terasa tidak enak. Apalagi rasa mualnya yang semakin menjadi. Itu semakin membuat Tini tersiksa dengan semua itu.

Tak lama kemudian, nama Tini di panggil untuk melakukan pemeriksaan. Dengan segera Tini masuk ke dalam ruang pemeriksaan puskesmas tersebut. Tini begitu tidak sabar untuk segera melakukan pemeriksaan. Apalagi Tini sudah begitu lemas. Ibu Tini juga tetap setia mendampingi puterinya tersebut masuk ke dalam ruang pemeriksaan.

Seorang dokter umum bernama Santi, menyambut kedatangan Tini dengan begitu ramahnya. Dia meminta Tini untuk berbaring di atas ranjang yang telah di persiapkan. Tentu pemeriksaan akan segera di lakukan oleh dokter Santi.

Tini segera membaringkan tubuhnya di atas ranjang pemeriksaan tersebut. Dokter Santi mulai memasang stetoskop ke kedua telinganya. Dengan stetoskop itu, dokter Santi mulai memeriksa Tini yang di mulai dari bagian perut. Lalu berlanjut ke bagian dada Tini.

Selain itu, tekanan darah Tini juga di periksa oleh dokter Santi. Tidak ada masalah berarti dengan dari Tini. Namun dokter menduga ada janin yang berkembang di rahim Tini. Tapi dokter masih harus memastikan apakah Tini sudah telat datang bulan dalam beberapa minggu terakhir. Tini pun mengungkapkan jika dirinya yang telah mengalami telat datang bulan dalam beberapa minggu terakhir. Hingga dugaan dokter Santi, semakin kuat atas kehamilan yang di alami oleh Tini.

Untuk semakin meyakinkan jika Tini benar-benar hamil. Dokter Santi memberikan Tini sebuah alat test kehamilan. Dengan segera Tini pergi ke toilet untuk mengetahui dugaan hamil yang di sampaikan oleh dokter Santi.

Tini berharap dirinya tidak hamil. Begitu melakukan test kehamilan dengan alat tersebut. Tini terus berdoa agar dirinya tidak hamil kembali. Dua anak saja rasanya sudah cukup berat bagi Tini. Apalagi harus menambah satu anak. Itu akan semakin berat bagi Tini dan Lutfhi. Apalagi pekerjaan serabutan seorang Lutfhi. Semakin membuat Tini merasa kehamilan dari dirinya adalah sebuah bencana besar dalam hidupnya.

Namun apalah daya, harapan Tini tidak sesuai dengan doa yang dia panjatkan. Dua garis biru terpampang nyata di alat kehamilan itu. Tanda seorang Tini hamil kembali. Tini hanya bisa berpasrah dengan apa yang terjadi di hari ini.

Tini membawa alat test kehamilan itu kepada dokter yang menanganinya. Dengan wajah yang begitu lesuh, Tini memberikan hasil dari test kehamilan tersebut.

"Kenapa ibu bersedih. Selamat ibu hamil." Ucap dokter tersebut.

Tak hanya dokter itu yang mengucapkan selamat pada Tini. Ibu Tini juga turut senang dengan kehamilan seorang Tini. Ibu berpikir, ekonomi keluarga Tini mungkin akan meningkat dengan kehadiran seorang anak lagi di hidup Tini. Moto banyak anak, banyak rejeki. Masih cukup di pegang teguh oleh ibu Tini. Sehingga dia meminta Tini untuk menyambut kehamilan dari Tini dengan sebuah kebahagiaan. Bukan sebuah kesedihan seperti yang Tini perlihatkan saat ini.

Tini yang sudah merasa lebih baik. Pulang sendiri, tanpa harus di antar oleh ibunya kembali. Tini ingin memberikan kabar buruk itu pada suaminya. Pasalnya, suami Tini juga berharap mereka sudah tidak perlu menambah anak lagi. Dua anak rasanya sudah cukup.

Tini pulang dari puskesmas, saat itu Lutfhi hendak pergi berangkat kerja menuju rumah tetangganya. Wajah cemberut Tini langsung menjadi pertanyaan tersendiri bagi seorang Lutfhi. Hingga Lutfhi penasaran dengan wajah dari Tini tersebut.

"Kamu kenapa cemberut seperti itu, apa yang terjadi sama kamu?" Tanya Lutfhi dengan begitu penasaran.

"Aku punya kabar buruk buat kita." Jawab Tini semakin sedih.

"Kabar buruk apa?" Tanya Lutfhi kembali.

"Tapi aku harap kamu tidak akan marah mendengar kabar ini." Pinta Tini kian tertekan.

"Sudah katakan saja." Perintah Lutfhi.

"Aku hamil lagi." Ucap Tini sambil menunduk.

"Apa! Hamil lagi?" Luthfi terkejut.

Luthfi langsung mengusap seluruh bagian kepalanya. Wajah Lutfhi terlihat begitu frustasi mendengar kabar yang di bawa oleh Tini tersebut. Bagi Lutfhi, kehamilan seorang Tini adalah musibah yang cukup besar dalam hidupnya.

"Kenapa kamu bisa hamil lagi sih?" Tanya Lutfhi geregetan.

"Kenapa kamu keluar di dalam?" Tanya balik Tini.

"Iya, aku pikir kamu minum obat KB atau suntik KB gitu. Makanya aku pikir aman-aman saja." Jawab Lutfhi semakin panik.

"Mau gimana lagi. Nasi sudah jadi bubur. Mau gak mau, kita terima saja anak ini." Ucap Tini sebelum akhirnya pergi meninggalkan Lutfhi.

Lutfhi yang awalnya terlihat begitu bersemangat untuk bekerja. Terlihat menjadi panik dengan kabar yang di bawa oleh istrinya tersebut. Kehamilan istrinya jelas kabar yang buruk. Biaya persalinan dan sebagainya, di rasa Lutfhi sangat memberatkan baginya. Sehingga Lutfhi tidak berharap Tini kembali hamil anaknya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status