Naira membuka mata. Putih. Hanya itu yang terlihat. Tak ada dinding, tak ada atap, bahkan tak ada lantai yang jelas. Tapi dia berdiri, atau melayang—sulit membedakannya. Tubuhnya ringan, terlalu ringan, seolah sebagian dirinya sudah hilang. “Aku… di mana?” suaranya bergema panjang. Tak ada jawaban. Lalu—suara langkah. Pelan. Berirama. Naira menoleh. Dan terhenti. Di hadapannya, berdiri seorang perempuan. Tinggi, kurus, rambut panjang menutupi sebagian wajah. Tapi Naira tahu—dia tahu—itu dirinya sendiri. Versi lain dari dirinya. Perempuan itu tersenyum samar. “Akhirnya kau sampai juga.” Naira mundur, tubuhnya bergetar. “Apa… siapa kamu?” “Bukan siapa-siapa.” Suara itu identik dengannya. “Aku… kamu. Tapi tanpa semua beban. Tanpa semua luka.” Naira menelan ludah. “Jangan main-main.” “Ini bukan main-main.” Bayangan itu mendekat, langkahnya tidak menyentuh tanah. “Kau datang ke sini karena memilih dirimu sebagai harga. Sekarang, kau harus benar-benar jadi dirimu yang baru. Yan
"Semua gerbang menuntut harga. Tapi harga terakhir… selalu mematahkan." Naira berdiri di hadapan gerbang ketiga. Berdenyut. Hidup. Bau anyir bercampur kemenyan memenuhi udara. Revan berdiri di sampingnya. “Setelah kau masuk, tidak ada jalan keluar. Apa kau siap?” Naira tidak menjawab. Tangannya gemetar menggenggam keris, tapi matanya lurus menatap gerbang. “Kau ingin mengakhiri ini? Berikan yang paling kau cintai.” Suara pintu menggema, lebih jelas, lebih dekat. Langkah Naira terasa berat ketika memasuki gerbang. Gelap menelan segalanya. Lalu cahaya samar muncul. Dia berdiri di sebuah ruangan kosong. Tidak ada dinding. Tidak ada atap. Hanya lantai putih tak berujung. Di tengah ruangan itu… berdiri dua sosok. Ayahnya. Dan Linda, adiknya. Keduanya terikat rantai di leher dan tangan, mata mereka kosong seperti tak sadar. “Ayah… Linda…” Naira berlari mendekat. Tapi setiap langkah membuat lantai di bawahnya bergetar, muncul tulisan merah yang terbentuk dari darah. “Pilih sal
"Kalau kau ingin tahu siapa dirimu… lihat siapa yang berdiri di belakangmu sebelum kau lahir." Dingin menusuk. Tubuh Naira serasa dilempar ke jurang tak berujung. Saat matanya terbuka, ia tidak lagi berada di penthouse. Ia berdiri di sebuah jalan tanah yang basah, diterangi rembulan pucat. Udara berbau tanah dan kemenyan. Pohon-pohon bambu di kanan-kirinya bergoyang perlahan, menghasilkan bunyi seperti bisikan. Di ujung jalan, terlihat rumah kayu. Rumah kakeknya. Tapi berbeda. Lebih tua. Lebih suram. “Masuklah… lihat bagaimana semuanya dimulai…” Naira melangkah, kakinya berat seperti ditarik tanah. Saat mendekati teras, terdengar suara—seorang perempuan. “Jangan paksa aku, Pak!” Naira terhenti. Itu… suara ibunya. Ia mendekat ke jendela. Di dalam, terlihat ibunya yang masih muda. Wajahnya tegang, matanya sembab. Di hadapannya berdiri seorang lelaki tua—kakeknya. “Kau tahu darahmu bukan darah biasa, Salma,” suara kakeknya berat. “Kau pewaris. Kalau kau menolak, kita semua
"Kalau kau dengar suara di kepalamu, jangan percaya. Itu bukan kau… tapi pintu yang sedang membuka matamu." Naira terbangun di ranjang penthouse 9B. Badannya terasa lebih ringan, tapi dingin menjalar dari dalam, seperti ada yang merayap di bawah kulitnya. Ruangan itu gelap. Hanya ada cahaya samar dari jendela besar. Dia duduk. Tangannya meraba bahu—pola rantai itu masih ada. Tapi sekarang bercahaya samar, berdenyut… seperti napas. “Kau bisa melihat mereka sekarang…” Suara itu. Lembut tapi membuat bulu kuduk berdiri. “Siapa… siapa kalian?” Naira berbisik. Tidak ada jawaban. Hanya desis yang menyusup ke telinganya. Dia melangkah ke depan cermin besar. Refleksinya… bukan dirinya. Wajah itu pucat, mata gelap, bibir berlumur darah. Rambutnya basah seakan habis ditenggelamkan. Naira terhuyung mundur. “Bukan aku…” “Kau sedang melihat salah satu dari kami. Yang pernah dibuka pintu ini. Yang dulu… juga menjual hidupnya.” Dia memejamkan mata, berharap bayangan itu hilang. Tapi keti
"Setiap pintu butuh tumbal. Dan darah… adalah kunci yang paling mudah." Naira terbangun dengan bau besi menusuk hidungnya. Bau darah. Penthouse 9B sudah berubah. Karpetnya hilang, diganti lantai hitam licin seperti marmer basah. Di tengah ruangan, ada lingkaran besar—digambar dengan cairan merah yang masih mengkilap. “Tidak…” bisiknya, mundur ke dinding. Di kursi pojok, Revan menunggu. Kali ini ia mengenakan pakaian ritual serba hitam, dengan kalung tulang menggantung di lehernya. “Selamat datang di tahap berikutnya,” katanya tenang. “Hari Ketujuh. Tumbal pertama.” Naira menggigil. “Aku sudah melepaskan Mama… apa lagi yang kau mau?!” Revan berdiri. Langkahnya membuat lantai bergetar ringan. “Pintu tidak kenyang hanya dengan jiwa. Ia butuh darah. Dan kali ini, darahmu sendiri.” Dia menunjuk ke tengah lingkaran. “Duduk.” “Tidak.” “Duduk, atau kau akan ditarik paksa.” Sebelum Naira sempat melawan, udara di sekelilingnya berubah dingin. Angin gelap melilit pergelangan tangannya
"Setiap luka yang kau tutupi, akan muncul di permukaan… sebagai rantai." Naira tersentak. Ia tidak tahu sudah berapa lama berdiri di ruang itu—kabutnya lenyap, tapi tubuhnya terasa berat. Saat melihat tangannya, ia hampir menjerit. Goresan merah seperti urat bercahaya menjalar dari ujung jari hingga ke bahu, membentuk pola bercabang seperti akar pohon. Pola itu berdenyut. Hidup. “Tidak…” Naira memeluk dirinya. “Apa yang terjadi padaku?” Suara Revan datang dari belakang. Ia sudah kembali dengan wajah manusiawinya. “Itu bukan luka. Itu rantai. Dan setiap rantai menandakan ikatan baru dengan pintu.” “Aku tidak mau ini!” “Tidak ada yang mau. Tapi kau sudah memilih ketika masuk.” Naira meraba bahunya. Pola itu panas, menyengat seperti dibakar. Di bawah kulitnya, sesuatu bergerak, menjalar ke tulang. “Kenapa sekarang?!” “Karena kau sudah membuka gerbang pertama. Kau mulai mengerti apa artinya jadi simpul—jembatan antara dunia ini dan mereka.” “Kalau aku potong ini dengan keris—”