Home / Horor / Warisan Terlarang: Kontrak Darah 90 Hari / Bab 3 – Mereka yang Memanggilku

Share

Bab 3 – Mereka yang Memanggilku

Author: T.Y.LOVIRA
last update Last Updated: 2025-07-25 18:22:20

"Kadang yang memanggilmu bukan orang mati. Tapi bagian dari dirimu yang tak pernah kau kuburkan."

Suara itu menggema di kepalanya.

Naira terbangun. Tapi kali ini ia yakin… ia belum benar-benar tidur.

Penthouse 9B sunyi. Terlalu sunyi. Seolah semua suara kota di luar diredam oleh sesuatu yang merayap di dinding-dinding.

Di meja, kerisnya berkilau samar—seperti bernafas.

DOR.

Suara keras menggema dari dinding.

Naira terlonjak. Suara itu seperti pukulan dari dalam.

Ia mendekat. Menempelkan telinga ke permukaan dingin itu.

Tak ada apa-apa.

Sampai—

"Naira."

Suaranya.

Suara Linda.

Jantungnya melesat ke tenggorokan.

“Linda…?”

Tak ada jawaban.

Dentuman itu berulang. Tiga kali. Selalu tiga.

"Kalau jarum kembar tiga kali berturut… jangan tidur. Itu bukan waktu manusia."

Suara kakeknya menggema.

Ia menoleh ke jam digital.

03:33.

Jarum kembar.

DOR.

Kali ini pintu.

Naira meraih keris. Jemarinya memutih karena menggenggam terlalu erat.

“Kalau ini jebakan… aku masuk dengan mata terbuka.”

Ia membuka pintu.

Di bawahnya, tergelincir amplop hitam.

Tulisan tangan di atasnya:

“Waktumu habis di sini. Mereka menunggumu.”

Di dalamnya, selembar foto.

Foto dirinya.

Tidur di ranjang penthouse. Persis posisi beberapa menit lalu.

Koridor Lantai 9.

Lampu-lampu mati satu per satu di belakangnya saat ia berjalan.

Di ujung, satu pintu terbuka: Penthouse 9C.

Naira berdiri di depannya. Nafas memburu.

"Kalau ini perangkap… setidaknya aku mati melawan."

Ia dorong pintu perlahan.

9C jauh berbeda dari 9B.

Tidak ada marmer. Tidak ada furnitur mewah.

Hanya lantai kayu tua penuh noda gelap seperti darah kering.

Di tengahnya, kursi reyot.

Seseorang duduk di sana. Membelakangi.

“Linda…?”

Kursi berputar.

Wajah yang muncul membuat darahnya berhenti mengalir.

Linda.

Adiknya.

Tapi matanya kosong. Hitam. Tak berkelopak.

Lehernya membiru, seperti dicekik.

Dan senyumnya—

Senyum itu bukan milik manusia.

“Naira…”

Suaranya pecah. Berlapis.

“Linda… apa yang terjadi sama kamu?”

Tubuh itu berdiri.

Gerakannya kaku. Seperti boneka.

“Bukan Linda.”

Suaranya berat. Tua.

Naira mundur. “Apa kau… Revan?”

“Revan hanya pemanggil. Aku… yang menunggu.”

“Menunggu apa?”

“Darahmu. Dan pintumu.”

Keris di tangannya berdenyut, menyala merah samar.

Sosok “Linda” berhenti.

Senyumnya berubah jadi seringai.

“Ah… kunci itu. Warisan Penjaga.”

“Jangan mendekat.”

“Kalau tidak… apa?”

Lidah hitam menjulur dari mulutnya—panjang, basah, menjuntai ke dada.

Naira mengayunkan keris.

Udara bergetar.

Seperti tirai tipis robek.

Sosok itu menjerit. Jeritan bukan manusia.

Tubuhnya ambruk. Lalu hilang.

Hening.

Naira berdiri terpaku. Nafas terengah.

Lantai kayu di bawahnya hangat. Seperti ada sesuatu yang bernafas.

Ia menoleh ke kursi reyot.

Kosong.

Tak ada Linda. Tak ada siapa pun.

Hanya secarik kertas:

“Hari Ketiga: Kamu akan bertemu mereka semua.”

Koridor berubah.

Lampu menyala merah.

Dari kejauhan, samar, ia mendengar langkah kaki. Banyak.

Dan bisikan-bisikan:

"Kau memanggil kami… kami sudah menunggu…"

Naira berlari kembali ke 9B.

Tapi saat membuka pintu, bukan suite mewah yang ia temukan.

Di baliknya, sawah berkabut.

Dan seseorang berdiri di tengahnya.

Revan.

Menggendong tubuh Naira kecil.

Naira berdiri di ambang pintu.

Sawah berkabut itu terasa nyata—bau lumpur, dingin embun, bahkan suara serangga malam bercampur dengan detak jantungnya sendiri.

Revan berdiri di tengah petak sawah, menggendong seorang anak kecil.

Bukan sembarang anak kecil.

Itu dirinya.

Naira kecil.

Tubuh mungil itu terkulai, mata tertutup, bibirnya pucat.

“Kenapa kamu bawa… aku?” suara Naira parau, nyaris tak keluar.

Revan menatap wajah Naira kecil, ekspresinya datar.

“Karena bagian dari dirimu tertinggal di sini.”

“Aku… tidak paham.”

“Ini tempat di mana kamu membiarkan dirimu mati. Sekarang… kamu harus ambil kembali.”

Naira mundur. “Kalau aku tidak mau?”

Revan mendekat. Lumpur berdesis di bawah sepatunya, seperti ada sesuatu yang merayap di bawahnya.

“Maka kamu tidak akan pernah bisa menutup gerbang. Dan mereka akan mengambil semua orang yang kamu cintai.”

Kabut menebal.

Dari baliknya, sosok-sosok mulai muncul.

Pertama satu. Lalu dua. Lalu puluhan.

Tubuh-tubuh kurus, berkulit hitam legam. Mata kosong, wajah tak sepenuhnya manusia.

Beberapa mengenakan pakaian robek seperti pekerja pabrik. Beberapa hanya sarung kotor. Ada yang berdiri tegak, ada yang merangkak di tanah.

Dan Naira mengenali beberapa wajah itu.

Guru SD-nya.

Pemilik warung dekat kos.

Tukang ojek yang biasa mengantar Linda ke rumah sakit.

Orang-orang yang pernah hadir sebentar di hidupnya.

Orang-orang yang pernah menolong… atau disakiti… oleh Naira.

Mereka semua menatapnya.

Kosong. Menunggu.

“Siapa mereka…?” bisik Naira.

“Jalur hidupmu,” jawab Revan. “Setiap orang yang pernah menyentuh hidupmu—dengan bantuan, doa, atau luka—membuka jalur ke dalam tubuhmu. Dan sekarang… jalur itu aktif.”

“Aku… jalur?”

Revan menatapnya. “Tidak. Kamu simpul. Dan simpul yang terikat terlalu lama… akhirnya akan ditarik.”

Naira menggenggam keris lebih erat. Bilahnya kembali berdenyut, lebih cepat dari sebelumnya.

Salah satu sosok itu melangkah mendekat—seorang pria tua tanpa mata. Tangannya terulur, bergetar.

“Naira…” suaranya lirih, seperti ribuan bisikan bercampur.

Naira mundur. “Aku… aku tidak mau melihat ini.”

Revan mendekat, berdiri di sampingnya. “Kalau begitu, buka matamu lebar-lebar. Karena inilah yang sebenarnya kamu bayar.”

Tiba-tiba tanah di bawahnya bergerak.

Lumpur terbelah, memperlihatkan sesuatu yang berkilau di dalamnya.

Kalung kecil. Perak. Kalung yang hilang sebelas tahun lalu.

Naira menatapnya tak percaya. “Kalung ini… milik Mama.”

Revan mengangguk. “Dia meninggalkannya di sini. Sebagai tanda. Kamu tahu apa artinya?”

“Tidak.”

“Bahwa ibumu pernah berdiri di tempat yang sama. Sebagai pintu. Sama seperti kamu.”

Kabut semakin pekat.

Sosok-sosok itu semakin mendekat.

Naira merasakan tangannya ditarik oleh tangan-tangan dingin yang muncul dari lumpur.

“Lepaskan aku!” teriaknya.

Revan tidak menolong. “Kalau kau ingin lepas, tanyakan pada mereka apa yang mereka mau.”

“Apa yang kalian mau?!”

Serentak, ratusan suara menjawab:

“Kami mau dibebaskan.”

Keris di tangannya menyala terang.

Panasnya membakar telapak tangannya.

Di bilahnya, ukiran baru muncul, menggoreskan kata-kata dalam aksara yang tak ia kenali.

Revan berbisik: “Kalau kau ingin membuka jalur… tusukkan itu ke tanah.”

Naira menatapnya. “Apa yang akan keluar?”

Revan tersenyum samar. “Bukan apa… tapi siapa.”

Naira menancapkan keris ke lumpur.

Sekejap, tanah bergetar. Sosok-sosok itu menjerit. Kabut berubah merah.

Dari kedalaman bumi… sesuatu mulai muncul.

Sebuah pintu kayu tua, penuh ukiran darah.

Dan di baliknya, suara ibunya berbisik:

“Kamu akhirnya datang, Na.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Is Ru
bagus kak cerita menarik banget..kalo gak kerja mah aku lanjut lagi nanti disela sela senggang ya kak
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Warisan Terlarang: Kontrak Darah 90 Hari   Bab 18 – Gerbang Kedua

    "Kalau kau ingin tahu siapa dirimu… lihat siapa yang berdiri di belakangmu sebelum kau lahir." Dingin menusuk. Tubuh Naira serasa dilempar ke jurang tak berujung. Saat matanya terbuka, ia tidak lagi berada di penthouse. Ia berdiri di sebuah jalan tanah yang basah, diterangi rembulan pucat. Udara berbau tanah dan kemenyan. Pohon-pohon bambu di kanan-kirinya bergoyang perlahan, menghasilkan bunyi seperti bisikan. Di ujung jalan, terlihat rumah kayu. Rumah kakeknya. Tapi berbeda. Lebih tua. Lebih suram. “Masuklah… lihat bagaimana semuanya dimulai…” Naira melangkah, kakinya berat seperti ditarik tanah. Saat mendekati teras, terdengar suara—seorang perempuan. “Jangan paksa aku, Pak!” Naira terhenti. Itu… suara ibunya. Ia mendekat ke jendela. Di dalam, terlihat ibunya yang masih muda. Wajahnya tegang, matanya sembab. Di hadapannya berdiri seorang lelaki tua—kakeknya. “Kau tahu darahmu bukan darah biasa, Salma,” suara kakeknya berat. “Kau pewaris. Kalau kau menolak, kita semua

  • Warisan Terlarang: Kontrak Darah 90 Hari   Bab 17 – Pintu Berbisik

    "Kalau kau dengar suara di kepalamu, jangan percaya. Itu bukan kau… tapi pintu yang sedang membuka matamu." Naira terbangun di ranjang penthouse 9B. Badannya terasa lebih ringan, tapi dingin menjalar dari dalam, seperti ada yang merayap di bawah kulitnya. Ruangan itu gelap. Hanya ada cahaya samar dari jendela besar. Dia duduk. Tangannya meraba bahu—pola rantai itu masih ada. Tapi sekarang bercahaya samar, berdenyut… seperti napas. “Kau bisa melihat mereka sekarang…” Suara itu. Lembut tapi membuat bulu kuduk berdiri. “Siapa… siapa kalian?” Naira berbisik. Tidak ada jawaban. Hanya desis yang menyusup ke telinganya. Dia melangkah ke depan cermin besar. Refleksinya… bukan dirinya. Wajah itu pucat, mata gelap, bibir berlumur darah. Rambutnya basah seakan habis ditenggelamkan. Naira terhuyung mundur. “Bukan aku…” “Kau sedang melihat salah satu dari kami. Yang pernah dibuka pintu ini. Yang dulu… juga menjual hidupnya.” Dia memejamkan mata, berharap bayangan itu hilang. Tapi keti

  • Warisan Terlarang: Kontrak Darah 90 Hari   Bab 16 – Tumbal Darah

    "Setiap pintu butuh tumbal. Dan darah… adalah kunci yang paling mudah." Naira terbangun dengan bau besi menusuk hidungnya. Bau darah. Penthouse 9B sudah berubah. Karpetnya hilang, diganti lantai hitam licin seperti marmer basah. Di tengah ruangan, ada lingkaran besar—digambar dengan cairan merah yang masih mengkilap. “Tidak…” bisiknya, mundur ke dinding. Di kursi pojok, Revan menunggu. Kali ini ia mengenakan pakaian ritual serba hitam, dengan kalung tulang menggantung di lehernya. “Selamat datang di tahap berikutnya,” katanya tenang. “Hari Ketujuh. Tumbal pertama.” Naira menggigil. “Aku sudah melepaskan Mama… apa lagi yang kau mau?!” Revan berdiri. Langkahnya membuat lantai bergetar ringan. “Pintu tidak kenyang hanya dengan jiwa. Ia butuh darah. Dan kali ini, darahmu sendiri.” Dia menunjuk ke tengah lingkaran. “Duduk.” “Tidak.” “Duduk, atau kau akan ditarik paksa.” Sebelum Naira sempat melawan, udara di sekelilingnya berubah dingin. Angin gelap melilit pergelangan tangannya

  • Warisan Terlarang: Kontrak Darah 90 Hari   Bab 15 – Rantai Keenam

    "Setiap luka yang kau tutupi, akan muncul di permukaan… sebagai rantai." Naira tersentak. Ia tidak tahu sudah berapa lama berdiri di ruang itu—kabutnya lenyap, tapi tubuhnya terasa berat. Saat melihat tangannya, ia hampir menjerit. Goresan merah seperti urat bercahaya menjalar dari ujung jari hingga ke bahu, membentuk pola bercabang seperti akar pohon. Pola itu berdenyut. Hidup. “Tidak…” Naira memeluk dirinya. “Apa yang terjadi padaku?” Suara Revan datang dari belakang. Ia sudah kembali dengan wajah manusiawinya. “Itu bukan luka. Itu rantai. Dan setiap rantai menandakan ikatan baru dengan pintu.” “Aku tidak mau ini!” “Tidak ada yang mau. Tapi kau sudah memilih ketika masuk.” Naira meraba bahunya. Pola itu panas, menyengat seperti dibakar. Di bawah kulitnya, sesuatu bergerak, menjalar ke tulang. “Kenapa sekarang?!” “Karena kau sudah membuka gerbang pertama. Kau mulai mengerti apa artinya jadi simpul—jembatan antara dunia ini dan mereka.” “Kalau aku potong ini dengan keris—”

  • Warisan Terlarang: Kontrak Darah 90 Hari   Bab 14 – Wajah Asli Revan

    "Kau ingin tahu siapa aku? Aku adalah masa depanmu… kalau kau berhenti melawan." Gelap. Naira berdiri di ruang tanpa dinding. Tidak ada lantai, tidak ada langit—hanya kabut hitam pekat yang menempel di kulitnya seperti cairan kental. “Ini… di mana?” suaranya menggema, seperti berbicara di dalam tengkorak kosong. Dari kabut, muncul cahaya merah samar. Satu langkah. Dua langkah. Revan. Tapi bukan Revan seperti yang ia kenal. Wajahnya pecah-pecah seperti cermin retak, sebagian menampakkan kulit manusia, sebagian lagi… kosong, seperti topeng hitam yang hidup. “Selamat datang di inti pintu, Naira,” katanya. Suaranya bergema, terdengar dari segala arah. “Ini bukan tempat manusia. Ini tempat di mana semua perjanjian ditulis ulang.” “Kenapa kau di sini?!” Naira mundur, keris terangkat. “Kau bukan manusia, kan?” Revan terkekeh. “Aku manusia. Atau… dulu pernah. Sama sepertimu.” “Berhenti bicara berputar-putar! Siapa kau sebenarnya?!” Revan mendekat. Setiap langkahnya membuat kabut be

  • Warisan Terlarang: Kontrak Darah 90 Hari   Bab 13 – Malam Darah 

    "Darahmu adalah kuncimu. Tapi ingat… kunci bisa membuka, atau mengurungmu selamanya." Langit di luar penthouse berubah warna—merah tua, seperti darah yang membeku. Jam digital di meja menunjukkan 18:00. Senja. Gerbang telah memilih. Naira berdiri di tengah ruangan, kakinya gemetar. Ibunya duduk di pojok, memeluk diri sendiri. “Na… kau dengar itu?” Dari balik dinding, suara bergema. Bukan hanya bisikan—tapi jeritan. Teriakan berlapis, dari banyak mulut. Seperti seluruh lantai 9 berubah jadi rumah penyiksaan. Darah merembes dari celah lantai marmer. Mengalir cepat, membentuk pola lingkaran di sekitar mereka. Penthouse tak lagi seperti hotel. Tapi seperti altar kuno. TV menyala. Revan muncul, kali ini berdiri di ruangan gelap yang penuh simbol. “Selamat datang di malam darah, Naira. Di sinilah kontrakmu diuji.” “Apa maksudmu?!” Naira menjerit. “Gerbang sudah mengambil pilihannya. Tapi kau masih punya kesempatan. Jalani labirinnya. Kalau kau bisa sampai ke inti sebelum tengah mala

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status