Share

BAB 7

“Apa, Mas Arman hanya anak angkat?” Rasanya bagai disambar petir di siang bolong. Entah aku kaget ingin menangis atau gembira, dia yang menjadi suamiku saat ini bukanlah anak kandung dari mertua yang membenciku selama ini.

“ Mas, tidak bercanda kan?” tanyaku dengan penuh serius.

“Ma-maaf Sin, selama ini Mas belum bisa jujur. Mas takut, kamu tidak menerima keadaanku yang sebenarnya." Sekali lagi di hapus nya air matanya kemudian melanjutkan pembicaraannya.

“Mas takut kamu tidak menerima lamaran Mas dulunya, Jika kamu mengetahui yang sebenarnya. Sehingga dalam waktu sebulan mengenalmu aku berusaha cepat melamar mu Sin,” lanjutnya.

“ Kenapa Mas Arman tidak jujur dari dulu. Aku tetap menerima diri Mas Arman , meskipun aku tahu yang sebenarnya,” aku tetap berusaha menyemangatinya agar tidak kecewa.

“Terima kasih Sin! seharusnya status aku kamu ketahui dari sebelum kita menikah. Sekarang untuk membalas budi kepada mereka, aku tetap membantu usaha milik Ayah dan juga harus memberikan Kesya dan Bang Junet jatah bulanan.”

Sekarang aku baru tahu kenapa Mas Arman berusaha menyenangkan mereka yang terus saja menghinaku.

Jatah bulanan untuk saudaranya dan Ibu selalu diberikan bagai air mengalir kapan mereka butuh selalu ada Mas Arman beri tanpa peduli aku sebagai Istri yang wajib Mas Arman nafkahi.

Sekarang bagiku tidak ada balas budi jika diriku yang nantinya akan tertindas menderita. Bukan maksudku membuat Mas Arman jadi anak durhaka pada ibu, tapi jika mereka butuh nafkah dari Mas Arman harus menghargai aku sebagai Istrinya. Karena penghasilan suami adalah milik Istri. Aku juga berhak mengetahui berapa jumlah yang diberi untuk mereka.

***

Seperti biasa pagi hari sebelum pergi beraktivitas aku selalu menyediakan sarapan pagi.

Bagi wanita yang mempunyai kerja di luar rumah seperti aku, menyediakan sarapan pagi buat suami sangat penting.

Menurutku tidak punya alasan karena sibuk dan tidak punya waktu. Karena Ibuku selalu mengajarkan aku menjadi wanita yang mandiri dari sejak kecil.

Kebiasaan bangun pagi sekali kemudian masak di dapur sudah menjadi kegiatan rutinku setiap pagi dari sejak duduk di bangku SD. Jadi, setelah aku menikah dengan Mas Arman, sarapan pagi Mas Arman selalu ada kusiapkan sebelum berangkat kerja.

Bagiku sarapan pagi di rumah itu lebih penting dari pada beli sarapan di luar. Karena, kebersihan dan sehatnya makanan bagiku itu jauh lebih penting.

“Sin, menurut kamu...kapan kita pergi pamit ke Ayah dan Ibu. Aku mau pamit buat usaha sendiri saja meskipun usaha kecil-kecilan.” Sambil memasukkan makanan ke dalam mulutnya.

“ Aku saja yang pamit langsung ke rumah Ibu Mas. Kamu fokus saja dengan kerja di toko bantu-bantu Ayah.”

“ Kamu yakin bisa pergi pamit ke Ibu sendiri, kamu tidak takut dapat hinaan dari Ibuku lagi,”

“ Kenapa harus takut,? Bagiku hinaan dari saudaramu dan Ibumu itu hal yang sudah biasa aku alami sejak sah menjadi istrimu.” Dengan penuh percaya diri aku meyakinkan Mas Arman.

“ Oke! Aku serahkan penuh semuanya sama Ibu Guruku tersayang menghadapi Ibu hehehehe." Dicubitnya pipiku kemudian menyudahi sarapannya.

***

Seperti yang sudah kusepakati dengan Mas Arman, sepulang dari sekolah aku akan pergi pamit ke Ibu.

“Assalamualaikum,”

Lama tak terdengar jawaban Ibu dari dalam aku mengulang salamku lagi.

“Assalamualaikum,”

Kemudian tampak sosok yang sangat ku kenali melangkah keluar menghampiriku

“Waalaikumsalam,”

“Ya elah, kukira kedatangan menantuku yang miskin ini adalah orang yang datang minta-minta sumbangan ke rumah-rumah.” Diliriknya penampilanku dengan wajah sinis

Aku yang tak mau kalah dengannya kali ini mulai menguatkan diri untuk tidak terlihat lemah.

“Alhamdulillah Bu Mertuaku yang cantik, wanita yang mirip dengan orang minta sumbangan ini adalah menantu anda hehehe,” raut wajahnya berubah menjadi merah ketika aku membalas cemoohannya yang tidak seperti biasa.

“Oh iya, Ibu mertuaku yang cantik! Bolehkah aku masuk dan duduk bicara seperti biasa denganmu?" Sesekali kulirik ke dalam siapa tahu saja ada Kesya yang menguping pembicaraan kami.

Tanpa dipersilahkan masuk aku tetap memaksa masuk dan duduk di ruang tamu. Ibu mendekatiku kemudian mendekatkan telapak tangannya ke jidatku.

“Sin, kamu masih menantu aku kan? Kamu tidak kesurupan kan?” segera kuberbalik arah meliriknya untuk meyakinkan bahwa aku ini masih menantunya yang selama ini dibencinya.

“ Kenapa Bu? Ada yang salah dengan kedatanganku hari ini?” Kemudian aku mengajaknya lagi untuk duduk mendekatiku.

“Sini Bu, ayo duduk dekat aku. Masa sih, Ibu tidak mau duduk dekat menantu." Segera kutarik pergelangan tangannya kemudian duduk di sampingku

“ I-iya, Sin. I-bu duduk." Didekatkan bokongnya untuk duduk di sampingku.

“Maaf Bu, kedatangan aku kemari Cuma mau mewakili Mas Arman untuk pamit. Bahwa mulai besok, Mas Arman tidak akan kerja di toko milik Bapak lagi.”

“Maksud kamu apa Sinta? Apa yang kamu lakukan sehingga Arman tidak kerja di toko lagi?"

“Hmm, aku tidak melakukan apa-apa. Aku hanya memberikan sedikit modal dari hasil uang tabunganku untuk membantu Mas Arman untuk buka usaha sendiri.” Terlihat jelas wajah Ibu mulai menahan amarah.

“Jangan ambil keputusan secepat itu kamu perempuan miskin. Aku tahu jelas Arman anakku tidak bisa menghasilkan uang jika dia keluar kerja dari usaha milik Ayahnya." Dengan penuh percaya diri Ibu masih saja menghinaku dan menunjukkan jari telunjuknya ke arahku.

“Kayaknya Mas Arman tidak membutuhkan bantuan dalam hal materi. Tapi, kami hanya butuh dukungan dan doa dari Ibu. Semoga tabungan aku dan Mas Arman bisa mencukupi untuk modal awal." Pandanganku ke arahnya tak mau kalah.

Kali ini aku mengumpulkan keberanian untuk menjawab segala perkataan dari Ibu.

“Oke, kita buktikan apakah kalian punya cukup uang untuk modal Arman? Jika tidak berhasil jangan harap Arman bisa kembali kerja dengan Ayahnya lagi.”

“Andaikan Mas Arman berhasil , tanggapan Ibu bagaimana ?” Tiba – tiba saja pertanyaan ini terlontar begitu saja keluar dari mulutku.

“ Jika kalian berhasil dalam membangun usaha, bisa kupastikan Kesya dan Junet tidak akan meminta nafkah bulanan dari Arman lagi, tapi andaikan kalian jatuh bangkrut aku ingin kamu segera bercerai dengan Arman. Karena sejak kehadiran kamu , Arman anakku sudah banyak perubahan. Aku yakin itu semua Karena ulahmu.” Di tunjukkan jari telunjuknya tepat di depan wajahku.

“ Insya Allah Bu, aku tidak akan menyusahkan Ibu. Lagi pula...aku sebagai istri Mas Arman harus bisa memberikan dia semangat agar tidak dipandang sebelah mata."

“Apa yang bisa kamu banggakan? Penghasilanmu saja tidak cukup membiayai kebutuhan hidupmu sendiri."Lagi – lagi kalimat itu yang kudengar dari mulut Ibu.

“ kalau begitu aku pamit, semoga Kesya dan Bang Junet bisa membantu Bapak dalam usaha dagangnya ya, Bu.” Ku mendekatkan diri padanya untuk salaman namun kali ini tanganku ditepisnya.

“Baru tinggal di kontrakan saja sudah sombong.”

Aku segera pergi meninggalkan Ibu, kata-katanya barusan tidak membuatku kecewa karena bagiku itu sudah biasa terlontar dari mulutnya.

*POV IBU*

Pagi ini aku sudah sepakat dengan Kesya untuk pergi ke sekolah tempat Sinta sebagai guru.

Entah kenapa sejak kejadian kemarin sore aku mempunyai tekad untuk menyelidikinya.

Kemarin dia sangat percaya diri membantu Arman dalam membuka usaha baru. Seakan-akan dia sudah punya banyak uang untuk membantu Arman.

Bagiku, dia hanya seorang wanita yang kurang pantas dengan anakku Arman. Apa yang diandalkan darinya, penampilannya saja mirip dengan pembantu. Cantik sih iya, tapi kecantikannya tak pernah aku anggap jika dia tidak terbiasa memakai riasan makeup layaknya wanita lain.

Apalagi dia hanyalah seorang guru dengan status honorer. Aku sangat malu pada orang-orang ketika Arman salah dalam memilih pasangan. Pagi ini kami pergi ke sana memilih naik taksi.

“ Ayo Kesya! Kalau berjalan itu yang cepat, nanti keburu dilihat oleh Sinta."Kami berjalan dekat pagar sekolah dengan cara mengendap layaknya maling.

“Aduh Bu, jalannya jangan cepatcepat. Tunggu aku.”

“Kalau kamu lambat aku tinggal ya ke dalam.” Kemudian aku segera mendekati pintu pagar sekolah.

“ Siapa kalian, ada perlu apa?” Suara itu terdengar jelas di belakang kami.

“Eh, Pak Satpam! Anu pak. Kami...sedang mencari seseorang,” Kesya dengan segera menghampiri Pas Satpam yang bertugas menjaga pintu gerbang saat itu.

“Cari siapa?”

“Kami cari guru honorer yang ada di sini namanya Sinta eh maksudnya Ibu Sinta.”

“Di sini tidak ada seorang guru honorer yang bernama Sinta, kalian mungkin salah orang.” Kemudian Pak Satpam itu bersiap ingin menutup pintu gerbang sekolah.

“Eh pak tunggu...tunggu Pak! Ini aku perlihatkan fotonya, mana ya aku cari di Handphoneku dulu sabar.” Kesya dengan cepat mengambil gawai miliknya dari saku kemudian memperlihatkan wajah Sinta kepadanya.

“Oh ini, dia adalah kepala sekolah di sini. Namanya Bu Sinta Dewi, tapi...kami di sini memanggilnya dengan sebutan Bu Dewi," jelasnya.

“Apa,? Kepala sekolah tidak mungkin ini pasti tidak mungkin. Anda mungkin salah Pak dia ini hanya guru honorer di sini." Kemudian aku mengambil ponsel dalam saku memperlihatkan foto Sinta agar lebih yakin.

“ Jika Ibu kurang percaya sini aku ajak masuk ke ruangan Bu Dewi." Di ajaknya aku dan Kesya anakku segera menuju ke ruangan Sinta.

Ketika kami berjalan menuju ruangan kepala sekolah, tampak di belakang kami masuk sebuah mobil Rush putih mirip seperti mobil Rush yang terparkir di rumah Novita teman Sinta.

Mobil itu berhenti tidak jauh dari tempat kami. Aku yang makin penasaran, menghentikan langkah kakiku ingin melihat jelas ke arah wanita yang menyetir mobil itu.

Tampak di dalamnya seorang wanita yang tak asing si mataku. Tapi penampilannya kali ini begitu elegan, dengan wajah yang menggunakan riasan make up di tambah lagi menggunakan lipstik yang senada dengan warna kulitnya.

Kutunggu sampai wanita itu keluar dari mobil untuk memastikan.

“ Nah Bu, ini dia Ibu kepala sekolah kita yang Ibu cari ternyata dia sudah datang.” Pak Satpam yang berjalan mendampingi kami Segera mengarah ke wanita itu.

“ Pagi Bu Dewi." Pak satpam menyalami wanita itu ketika baru keluar dari mobilnya dan bersiap menuju ke ruangan kepala sekolah.

“Pagi pak,” dibalasnya salam Pak Satpam tersebut dengan santai diiringi senyuman yang tak asing di mataku.

Kesya dan Aku tiba-tiba bersamaan menyebut nama wanita yang selama ini kami anggap layaknya pembantu.

“Sinta!“

Wanita yang mirip Sinta itu menoleh ke arah kami

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status