Share

BAB 6

Kata orang aku cantik. Kulit yang berwarna kuning langsat, dan mempunyai bodi yang tinggi semampai membuat orang-orang betah memandang.

Gigi yang tersusun rapi dan mempunyai lesung di kedua pipi menambah daya tarik senyumanku.

Tapi, entah kenapa diriku lebih suka berpenampilan sederhana dibanding dengan tampil gaya yang berlebihan.

Dari kecil aku sudah bisa mencari penghasilan sendiri. Keahlian dalam membuat jajanan kue bisa membantu mencari jajan tambahan. Ibu sangat bangga padaku di usia belia anak seusiaku sudah bisa membeli perlengkapan sekolah dari hasil keringat sendiri.

Teman-teman sebayaku sebagian besar sudah menggunakan ponsel android sementara saat duduk di bangku SMP diriku masih menggunakan ponsel adul komuniketer alias Handphone yang bisa komunikasi dan senter.

Tapi, aku tak mau membebani ibu untuk segera punya ponsel android, entah ide dari mana yang muncul di benakku tiba-tiba ingin membuat kacang goreng balado kemudian aku titip di warung-warung.

Awalnya tiap warung ku titipkan tiga puluh bungkus dalam waktu dua hari jualanku habis di borong anak-anak. Kata pemilik warung, jualan aku gurih pas di lidah dan bisa bertahan lama hingga sebulan masih tetap awet.

Kemudian mereka minta dititipkan lagi jajanan itu, semakin lama jualanku semakin banyak peminatnya. Sehingga, aku semakin semangat setiap pulang sekolah harus buat jajanan kacang balado kemudian dititip di warung-warung.

Dalam waktu enam bulan usaha kecil-kecilan berkembang pesat. Awalnya, Bi Uni adik dari Ibu yang mempromosikan daganganku kepada teman-temannya di luar kota, akhirnya mereka sangat suka dengan rasanya yang gurih pas di lidah.

Kemudian ,mereka pesan lagi dan sampai sekarang pelangganku dari hari ke hari makin bertambah. Di usia Empat belas tahun saat duduk di bangku kelas dua SMP bukan Cuma uang jajan yang aku punya. Tapi, bisa membeli ponsel bahkan juga bisa membeli laptop dengan uang sendiri.

Mungkin anak seusiaku aat itu lebih banyak meluangkan waktu buat kumpul dengan teman-temannya. Karena aku tahu betul bagaimana rasanya mencari uang itu susah, sehingga lebih memilih berpenampilan sederhana dibanding bergaya berlebihan.

Lebih baik uang yang aku punya, diberikan kepada orang yang lebih butuh dibanding dengan bergaya layaknya anak orang berada.

Usaha kecil-kecilan aku jalani bukan hanya waktu duduk di bangku SMP, tetapi berlanjut sampai duduk di bangku SMA bahkan berlanjut hingga sampai duduk di bangku kuliah di perguruan tinggi, semakin hari semakin banyak perkembangan.

Untuk mempertahankan usaha ini, aku membeli sebuah rumah di wilayah perkotaan kemudian melanjutkan usahaku di tempat itu. Agar tak kualahan dalam mengurus semuanya, maka aku merekrut Mbah Novita sebagai orang kepercayaan dalam mengelola usaha dan mengawasi karyawan yang kerja di usahaku.

Kuberi dirinya upah setiap bulannya dengan jumlah hampir setara dengan gaji seorang ASN. Sampai saat ini usahaku itu masih banyak peminatnya.

Tapi, melihat kelakuan Ibu Mertua padaku, tak memiliki niat memberitahukan kepada mereka bahwa menantu yang mereka pandang sebelah mata ini adalah seorang kepala sekolah dan mempunyai usaha sendiri.

Sebelum menikah dengan Mas Arman, aku juga membeli beberapa lahan yang berada di dekat perkotaan dan kontrakan.

Tanpa sepengetahuan Mas Arman, aku menyuruh orang kepercayaanku untuk menawarkan kepadanya ada kontrakan kosong yang siap huni dengan harga terjangkau.

Itu dia, kontrakan milikku, yang selama ini kami tinggali berdua dengan Mas Arman. Dirinya hanya mengetahui bahwa kontrakan itu milik temannya.

Berakting di depannya dan keluarganya dengan status menjadi guru honorer, penghasilan tidak seberapa, bagiku itu adalah hal yang paling menantang untuk menguji cinta Mas Arman.

Berusaha mengetahui watak asli dari saudara Mas Arman dan Ibunya. Rasanya sudah hampir lelah bertahan di zona ini.

Tapi, aku tak mau kalah aku harus kuat menghadapi, sampai mereka mengetahui siapa menantu yang mereka pandang sebelah mata ini.

***

“Dia Istriku, pernikahan kami sudah empat bulan,” Mas Arman berjalan mendekati dan merangkul tanganku.

Terlihat jelas wajah wanita cantik itu kurang suka atas perlakuan Mas Arman padaku. Sebagai istrinya aku membalas rangkulannya.

“ Iya, tapi dirinya adalah menantu yang masih kurang dianggap oleh kami. Karena, kami sama sekali belum mengenal dirinya sebelum menikah dengan Kak Arman. kenalnya saja cuma sebulan kemudian nikah," Kesya segera berlalu disusul gadis itu meninggalkan aku dan Mas Arman yang berdiri di depan pintu.

“Kamu yang sabar ya Sin, semoga...mereka semua bisa menerima kamu menjadi menantu di rumah ini.” Mas Arman berusaha membelaku namun rasa di hati ini tetap sakit mendengar perkataan dari Kesya. masih saja diriku menjadi menantu yang tidak dianggap olehnya.

Tiba waktunya makan malam, diriku mendapatkan perintah dari Ibu untuk mengatur makan malam di meja. Tetap berusaha kuat dan tegar dari perlakuan mereka dengan menjadikan aku layaknya pembantu ketika keluarga dari Ayah mertua berkunjung kemari

“ Sinta, mana ikan bakar yang sudah Ibu suruh tadi. Itu makanan kesukaan Nayla,” sambil menaruhkan nasi di piring gadis itu.

segera kumenuju lemari makanan dan mengambil ikan itu kemudian menaruhkan di atas meja. Terlihat hubungan Ibu mertuaku dan gadis yang bernama Nayla itu sangat akrab.

Wajah ibu yang biasanya garang terhadapku, tapi di depan Nayla dia terlihat menebar pesona selalu memperlihatkan senyumannya.

Selama menikah dengan Mas Arman, sekalipun tak pernah Ibu memperlakukanku dengan baik, apalagi sampai menaruh nasi ke piringku. Seperti yang dilakukannya pada Nayla.

Sakit? Jangan di tanya. Rasanya sungguh sakit, jadi menantu yang tak di anggap. Mereka menganggap aku layaknya patung hidup bisa disuruh kapan saja harus bisa.

Ingin rasanya aku bergabung makan dengan mereka di meja Makan dan duduk di samping Mas Arman.

Namun lagi-agi Ibu tak mengizinkanku. Aku hanya berdiam diri, di sudut ruang makan menunggu mereka sampai selesai.

Kali ini, gadis yang bernama Nayla lebih banyak memilih diam ketika Mas Arman telah mengatakan aku adalah Istrinya. Padahal, tadi dirinya sibuk kebanyakan aksi untuk menarik perhatian dari Mas Arman.

Bicara berdekatan dengan Mas Arman, sesekali dirangkulnya tangan suamiku. Rasa sakit, ya pasti sakit. Apalagi di usia pernikahan kami yang baru seumur jagung.

Harusnya menikmati indahnya masa pengantin baru. Namun, kali ini aku harus menahan sikapku untuk tidak berulah di hadapan keluarga Mas Arman.

“Eh, Jeng... Pembantu kamu tadi mana? Terdengar jelas di telingaku Ibunya Nayla menganggapku sebagai pembantu.

“Iya ada apa ya Jeng? Jika mau tambah nanti aku panggilkan pembantuku.” Mata Ibu mertuaku segera melirik ke arahku.

“I-Ibu punya pembantu? Mana pembantu Ibu sejak tadi tak kelihatan? Perasaan dari tadi yang bantu-bantu di sini Cuma Sinta.”

“Tuh, yang di belakang kita duduk menunggu siapa? Memang itu bukan pembantu kita.” Jawaban Kesya sungguh keterlaluan.

Mas Arman yang mendengar jawaban Kesya, menganggap aku layaknya pembantu di rumah Ibunya, segera berdiri tanpa menghabiskan makanannya kemudian menarik pergelangan tanganku keluar.

“Ayo kita pulang. Tak ada gunanya kita berlama -lama di sini.” Kemudian aku mengikuti Mas Arman tanpa pamit dengan mereka yang lagi makan.

“Arman mau ke mana kamu. Jangan berlagak tidak sopan, di sini masih ada Nayla gadis yang mau di jodohkan denganmu.” Ibu ikut berdiri meninggalkan meja makan, dan berjalan mengikuti arah kami.

Mas Arman yang melihat Ibu mendekat ke arah kami segera memerintahkan aku naik ke atas motor kemudian menghidupkan mesin motornya.

Kami pergi meninggalkan rumah tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Di perjalanan pulang Mas Arman lebih banyak diam, bingung mulai pembicaraan dari mana.

Aku takut salah bicara, takut menyakiti hati Mas Arman. Diam- diam aku memperhatikan wajah Mas Arman dari belakang di kaca spion motor, ternyata Mas Arman menangis .

Mas Arman yang selama ini aku kenal adalah pria yang tegar akhirnya bisa menangis melihat diriku diperlakukan layaknya pembantu oleh keluarganya.

Sesampainya di kontrakan, Mas Arman memelukku sambil menangis sejadi-jadinya. Aku yang masih dalam posisi diam mematung hanya bisa membalas pelukannya agar dirinya tetap tabah melihat tingkah keluarganya terhadapku.

“ Sin, maafkan Mas, tidak bisa membelamu. Aku tak punya daya melawan Ibu, “

“ Tidak apa-apa Mas, aku mengerti dengan posisimu,” kemudian melepaskan pelukannya.

“Apa? Jadi kamu sudah tahu posisi aku di rumah itu sebenarnya? Apakah kamu sudah mengetahui semuanya Sin?”

“I-Iya aku tahu Kok Mas, aku tahu semuanya." Aku memandang wajahnya dengan serius

“Tak perlu Mas Arman menyembunyikan sesuatu yang seharusnya aku tahu,” lanjutku

Kemudian Mas Arman memandangku lagi dengan wajah yang lebih serius.

“Sin, sejak kapan kamu sudah mengetahui kalau aku ini hanya anak angkat di rumah itu?”

“Apa, Mas Arman hanya anak angkat... ." Aku kaget, bagai mendengar suara petir

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status