Share

4. Senjata Makan Tuan

Nesta kesal. Bayangkan saja, jika setiap kali dia membuat kesalahan, gajinya dipotong 20%--lima kali kesalahan dan gajinya akan habis.

Situasi semakin memburuk dengan adanya kontrak kerja yang menyatakan bahwa dia tidak dapat mengundurkan diri sebelum masa kerjanya berakhir. Jika melanggar, denda yang harus dibayarkan adalah tiga kali lipat gaji.

Nesta ingin sekali meninggalkan kantor yang tidak manusiawi ini.

Dia mengingat bahwa nanti jam 10.00 ada rapat pimpinan. Itu berarti Nesta memiliki kesempatan untuk membalas Viano.

Tunggu saja, bos sombongnya itu akan merasakan akibatnya!

Dia tidak peduli jika dipecat. Lebih baik dipecat daripada menjadi budak di sini. Masih banyak tempat kerja lain yang mau menerima Nesta. Lagipula, dia bisa mendapatkan uang pesangon yang cukup besar.

Saat merencanakan hal itu, Nesta tanpa sadar tersenyum sendiri. Semakin dia membayangkannya, semakin seru. Viano akan 'tumbang' kali ini.

Lusi, yang baru tiba di kantor, merasa heran melihat tingkah Nesta. Office Girl baru tersebut tidak menyadari bahwa dia sedang tersenyum sendiri. Lusi berpikir, mungkin Nesta sedikit gila.

"Kenapa kamu tertawa sendiri?" tanya Lusi.

Nesta terkejut. "Ibu sering muncul tiba-tiba. Membuat saya kaget."

Nesta curiga. Mungkin saja, Lusi memiliki kemampuan untuk bergerak cepat. Karena setiap kali Lusi datang, Nesta tidak menyadarinya. Tiba-tiba saja, Lusi sudah ada di depannya.

"Saya juga tidak suka menegur kamu!"

Nesta mengerutkan kening. Sejauh mana dia dihina oleh Lusi?

"Lalu, kenapa Ibu menegur saya?"

"Karena saya melihat kamu, tersenyum sendiri!"

"Ya, tidak apa-apa, Bu. Jika saya ingin berguling-guling, itu hak saya."

Meskipun merasa sangat kesal, semua yang dikatakan Nesta adalah benar.

Detik berikutnya, Lusi mengibas tangan di depan wajah Nesta, memamerkan kukunya yang baru dicat merah terang. Sangat kontras dengan Nesta, yang tampak lusuh dengan lap kaca di tangannya.

"Sepertinya kamu harus memeriksakan diri ke psikiater. Karena beberapa kali saya melihat kamu berbicara sendirian." Lusi melenggang pergi setelah berkata demikian.

Saat Lusi membelakangi Nesta dan semakin menjauh, Nesta menirukan gaya sekretaris yang merasa dirinya cantik itu. Lagipula, Nesta bingung, kenapa Lusi tampak membencinya?

Apa yang telah Nesta lakukan padanya, sampai-sampai Lusi harus terus mengganggunya?

***

Rapat dimulai pukul 10.00. Nesta membuat kopi untuk rapat dengan bantuan karyawan lainnya. Setelah kopi dan camilan siap, mereka membawanya ke ruang rapat.

Setiba di sana, Nesta melihat Viano duduk di posisi utama. Dia sibuk dengan pekerjaannya. Matanya hanya fokus pada laptopnya hingga dia tidak menyadari keberadaan orang yang paling dibencinya--Nesta.

Nesta masuk dengan pelan dan kemudian meletakkan kopi di depan Viano.

Ada Lusi dan pimpinan lainnya. Saat Nesta menaruh kopi milik Lusi, Viano mendongak.

CEO Golden Corp. melihat sekeliling, para pimpinan lain sudah meminum kopi mereka.

"Lusi, kopimu sudah kamu minum?" tanyanya.

"Belum, Pak."

Viano merasa lega. "Kalau begitu, tukarlah kopimu dengan punya saya!"

Lusi tercengang. "Apa? Ditukar, Pak?"

"Kenapa? Kamu tidak mau bertukar dengan saya?"

"Bukan begitu, Pak." Lusi menggeleng. "Tapi, kenapa Bapak ingin bertukar?"

"Karena saya ingin minum yang itu."

Karyawan lain memperhatikan mereka saat berbicara. Lusi mengalah, dia bertukar kopi yang baru diletakkan Nesta dengan kopi milik Viano.

Mata Nesta membulat sempurna saat mengetahui Lusi mau bertukar kopi. Ini bisa berbahaya!

Dia menggigit bibirnya. Jika sampai Lusi meminum kopi Viano, akan menjadi masalah besar.

Lebih baik Viano, Nesta bisa dipecat. Berbeda dengan Lusi, dia bisa mendapatkan omelan sepanjang tahun. Lagipula, Viano mungkin akan memotong lagi gajinya.

Sialan, apes bertubi-tubi.

"Ehm, Bu Lusi, biar saya buatkan kopi baru untuk Anda. Rasanya mungkin tidak enak karena sudah dipegang-pegang Pak Viano."

Lusi menolak. "Tidak apa-apa, saya akan minum kopi ini." Dia menunjuk cangkir kopi Viano.

Nesta hampir kehabisan cara. Sementara itu, Lusi merasa ini adalah kesempatan bagus. Sekarang Viano mau bertukar kopi dengannya, siapa tahu setelah ini mereka bisa menjalin hubungan yang lebih dekat.

Sadar bahwa Nesta berusaha mengambil cangkir kopi dari hadapan Lusi, Viano semakin curiga.

"Kenapa kamu sibuk, saya ingin bertukar kopinya?"

Nesta menoleh. "Bukan begitu, Pak. Cangkir yang tadi, kan, sudah Bapak pegang-pegang. Kalau tangan Bapak berisi kuman, nanti Bu Lusi bisa sakit perut. Lagipula, sekarang ini juga sedang berbahaya karena virus. Siapa tahu, tangan Bapak mengandung virusnya."

Karyawan lain tertawa.

"Diam!" bentak Viano. Sekarang dia menatap tajam OG yang paling kurang ajar di kantor. "Kamu jawab saja yang jujur. Pasti minuman itu sudah kamu racuni, kan?"

Nesta berpura-pura terkejut. Berakting layaknya korban penindasan ala sinetron. Jika ada soundtrack, pasti akan semakin dramatis.

"Jangan pura-pura!" Viano bisa menebak, membuat Nesta semakin kesal. "Jika itu tidak diracun, kenapa kamu menghalangi saya bertukar dengan Lusi?"

Selama Nesta belum mampu membuktikan, bosnya itu pasti akan tetap menuduh.

"Bapak jangan menuduh sembarangan. Ingat, Pak, fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan."

Viano tersenyum sinis. "Saya tidak menuduh! Tapi, saya bertanya," tegas Viano.

Jika bukan karena dia adalah bos, Nesta sudah memasukkan Viano ke dalam selokan!

Viano berkata lagi. "Jika memang minuman itu tidak kamu racuni, coba kamu buktikan!"

Sial! Double trouble.

Nesta menghela napas sejenak. "Bapak ingin saya membuktikannya bagaimana?" tantangnya.

"Minum kopi itu!"

Tidak bisa menolak. Sialan, tujuh turunan sial, niatnya mau menjahili Viano malah dia yang kena.

"Kenapa diam? Kamu tidak bisa membuktikannya?"

"Kenapa saya harus takut?"

Viano masih menatap tajam, seolah-olah memerintahkan Nesta untuk minum.

Nesta mengangkat cangkir kopi. "Bapak mau saya minum seberapa banyak?"

Lusi tercengang, Nesta seberani itu pada Viano.

"Minum kopinya sampai habis!"

Nesta melihat cangkir kopi yang tadinya untuk Lusi.

Demi Tuhan, Viano itu sangat menyebalkan!

Nesta kemudian meneguk kopi itu sampai habis.

"Ini!" Dia menunjukkan gelas kopi yang sudah kosong. "Saya minum sampai habis, kan, Pak. Bapak lihat saya masih hidup, tidak keracunan. Bapak berarti telah menuduh saya."

Dasar Bos laknat!

Sekarang mata Nesta menatap Lusi. "Bu Lusi harus hati-hati, masa Pak Viano mau tukar kopi beracun dengan Ibu."

"Diam kamu!"

Meski senjata makan tuan, setidaknya masih mendapatkan bonus membuat Lusi marah.

Benar juga, kata Nesta. Jika kopi itu beracun, berarti Lusi yang akan minum. Tadinya, Lusi kira Viano mau lebih dekat dengannya. Ternyata malah ingin menjadikan Lusi sebagai 'korban'.

Tampan, tetapi tidak punya perasaan.

Viano berdeham. "Saya mau kopi lagi, tapi tidak mau kamu yang membuatnya!"

Memangnya saya mau membuatkan kopi untuk Anda?

Nesta hanya bisa tersenyum pahit.

Segera menyelesaikan pekerjaannya, Nesta kemudian keluar dari ruang rapat tersebut.

Setelah pintu ditutup ....

Kyaaaaa!

Dia berlari tergesa-gesa menuju kamar mandi.

"Asin ... asin ... asin!" Nesta memuntahkan kopi yang barusan dia minum, setelah sampai di kamar mandi. Untung saja, tadi dia masih bisa menahan rasa asin di mulutnya agar Viano tidak curiga.

Viano sialan! Gara-gara dia, Nesta harus minum secangkir kopi asin.

Catat, tadi dia memasukkan dua sendok garam ke dalam kopi. Terbayang, kan, betapa asinnya?

Sementara itu, Viano yang masih memimpin rapat dalam hati tetap yakin bahwa Nesta ingin mengerjainya.

Jika benar, dia tengah bersorak dalam hati.

Aku akan balas dendam padamu!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status