Pagi itu, hujan gerimis menyelimuti gang sempit tempat WarKoDuBa berdiri. Warung itu sepi, tak seperti biasanya. Aroma kopi masih menggantung, tapi suasana terasa janggal. Seolah-olah sesuatu yang tak kasat mata sedang mengintip dari balik kabut.
Dimas sedang menyapu halaman depan saat Toyo muncul dengan ekspresi gugup. "Mas Dimas... semalam aku lihat sesuatu. Warung baru. Di ujung gang, tiba-tiba ada bangunan muncul dari tanah. Serius. Tadinya cuma tenda, sekarang udah kayak kafe kecil. Tapi... auranya serem banget." Dimas mengernyit. "Tadi malam belum ada apa-apa di situ." Toyo mengangguk cepat. "Tapi tadi subuh, ada suara gamelan campur remix dangdut dari dalam. Aku nggak bohong, Mas." Randi masuk dari arah belakang warung dengan laptop di tangan. "Mas... kita punya masalah." "Masalah apa lagi? Kopi habis?" "Lebih dari itu. WarKoDuBa viral, tapi bukan karena kita. Akun baru muncul di media sosial—@JamuMakMarwah. Dan... dia buka warung persis di seberang kita. Dukun. Tapi dukun influencer." Dimas menyipitkan mata. "Dukun influencer?" "Yup. Dia buka warung jamu spiritual. Ada menu 'Teh Pembuka Rezeki', 'Kopi Aura Pengasihan', dan 'Latte Anti-Mimpi Buruk'. Kontennya udah FYP tiga kali." --- Siang itu, mereka bertiga memutuskan menengok ke seberang. Bangunan kecil itu berdiri mencolok, dengan neon ungu menyala bertuliskan: "Warung Jamu Gaib Mak Marwah – Menyeduh Nasib, Meneguk Takdir." Interiornya mirip salon spiritual. Dinding dipenuhi foto-foto selebgram (sebagian tampak transparan), dan di tengah ruangan berdiri seorang perempuan bergaun batik ketat, dengan alis setajam golok dan lipstik merah menyala. "Selamat datang, tamu dari seberang," ucapnya dengan suara mendengung. "Aku tahu kalian akan datang." "Kami cuma ingin tahu siapa yang berani buka warung di jalur yang sudah dijaga dengan rasa," kata Dimas tenang. Mak Marwah tertawa. "Rasa bisa direkayasa. Emosi bisa dikemas. Aku tidak cuma menyeduh minuman... aku menjual ilusi." "Kalau begitu, kamu bukan penyeduh... kamu pedagang rasa palsu," balas Randi. Mak Marwah tersenyum simpul. "Apa pun namanya, yang penting viral. Kau tidak bisa bertahan hanya dengan 'kejujuran rasa' di zaman sekarang. Dunia ini... butuh sensasi." --- Malam itu, WarKoDuBa terasa berbeda. Bahkan arwah pelanggan tetap seperti tidak betah. Meja Karina kosong. Cuma secarik kertas bertuliskan: "Maaf, aku sedang mencari ketenangan. Akan kembali jika rasa ini tenang." Toyo duduk di lantai sambil melamun. "Mas... kita bakal kalah ya?" Dimas memandangi kompor kecilnya. "Belum tentu. Tapi kita memang harus berbuat sesuatu." Randi menyalakan proyektor mini dan menunjukkan video Mak Marwah. Ia sedang membuat live sambil menyeduh jamu beras kencur. "Lihat ini. Caption-nya: 'Tamu dari dimensi lain ikut ngantri jamu cinta!'. Ini... clickbait supernatural." "Kalau dia bisa menyeduh kebohongan dengan rasa manis, maka kita harus menyeduh kebenaran walau pahit," kata Dimas tegas. --- Keesokan harinya, Dimas mengadakan rapat darurat. Karina akhirnya muncul kembali, wajahnya sedikit pucat dari biasanya. "Kita akan adakan tantangan. Kompetisi. Battle rasa," ujar Dimas. "Battle of the Brew," seru Randi antusias. "Aku setuju," kata Karina. "Tapi bukan untuk menentukan siapa paling laku. Tapi siapa yang paling jujur." Mereka membuat spanduk dari kain bekas dan cat putih: "PERTARUNGAN RASA – WarKoDuBa vs Warung Jamu Gaib" Tempat: Lapangan kosong di antara dua warung. Waktu: Saat bulan setengah—agar arwah dan manusia bisa hadir bersamaan. --- Hari pertandingan tiba. Panggung sederhana didirikan. Kursi penonton terdiri dari kursi plastik, kursi goyang, dan batu nisan yang bisa duduk sendiri. Juri terdiri dari: Satu manusia patah hati (dipilih dari polling media sosial) Satu roh penasaran Satu entitas tak dikenal yang hanya muncul saat gerhana rasa Dimas maju dengan senyap. Ia menyeduh kopi biasa. Hitam. Pahit. Tanpa embel-embel. Tapi aromanya... menyentuh kenangan. "Aku tidak menyeduh janji," katanya. "Aku menyeduh kenyataan." Mak Marwah datang dengan asap ungu, gamelan latar, dan lima asisten hantu genit. Ia menyeduh minuman berkilau. Mengeluarkan bunga dari gelasnya. Menyanyi sambil mengaduk. "Aku menyeduh ilusi terbaik dalam hidupmu!" serunya. --- Juri mencicipi. Roh penasaran meneteskan air mata dan berkata, "Yang satu membuatku mengingat hidup, yang lain membuatku lupa bahwa aku sudah mati." Manusia patah hati berkata, "Yang satu pahit tapi jujur, yang lain manis tapi bikin khilaf. Aku bingung." Entitas tak dikenal hanya berkata, "Rasa yang terlalu manis, kadang menyembunyikan busuk." --- Malam itu, tidak ada pemenang diumumkan. Tapi keesokan harinya, pelanggan WarKoDuBa kembali. Meja Karina penuh lagi. Kursi tua di pojok terisi arwah baru yang ingin curhat. Dan koin seribu muncul di depan kasir, tanda terima kasih dari pelanggan yang tak kasat mata. Mak Marwah? Masih buka. Tapi mulai lebih sepi. Karena ilusi, meski memikat, tidak bisa diseduh dua kali dengan rasa yang sama.Udara di balik pintu itu seperti menyambut mereka dengan tamparan dingin yang menusuk kulit. Cahaya abu-abu menyebar ke segala arah, tapi anehnya, tidak ada matahari, tidak ada bulan—hanya langit kelabu yang berdenyut pelan seperti napas makhluk raksasa.Toyo melangkah pertama, matanya menyapu dataran yang membentang. “Tempat ini…” suaranya serak, “kayak dunia yang pernah kita lihat lewat kursi, tapi lebih… hidup.”Karina memandangi tanah di bawah kaki mereka. Lapisan debu tipis menutupi permukaan, dan setiap langkah membuatnya beterbangan, berputar seperti kabut kecil. “Hidup? Toy… dunia ini nggak kelihatan hidup. Ini kayak… kuburan raksasa.”“Bukan,” Dimas membetulkan. “Tempat ini bernafas. Bumi di sini bukan tanah mati. Dia… memantau kita.”Rani merapatkan jaketnya, memandang sekeliling. Tak ada pepohonan, tak ada batu besar, hanya hamparan luas dengan gundukan-gundukan aneh yang bentuknya seperti tubuh-tubuh raksasa yang tidur. Beberapa bergetar halus, seperti otot yang berkedut d
Jam dinding di Warung Kopi Dunia Bawah kembali berdetak normal.Tik… tok… tik… tok… seolah waktu sudah kembali pada jalurnya.Namun, di antara aroma kopi hangat dan cahaya lampu kuning yang temaram, ada sesuatu yang tetap menggantung—seperti bayangan yang belum selesai bercerita.Karina duduk menunduk, jari-jarinya mengelus bibir cangkir hitam yang kini kosong.“Kalau dipikir-pikir…” suaranya nyaris hanya gumaman, “kita tadi keluar dari dunia mereka, tapi nggak ada jaminan mereka nggak bisa masuk lagi.”Toyo menjatuhkan diri ke kursi, memijat lehernya. “Dan kalau mereka punya akses… berarti kursi itu masih jadi jembatan.”Dimas mengangguk pelan. “Kursi itu bukan cuma jembatan, Toy. Dia itu sinyal. Kayak mercusuar. Setiap kali kita duduk, setiap kali kita menatapnya… mungkin mereka bisa ngelihat kita dari sana.”Rani menatap kursi itu lama. “Jadi… selama kursi ini ada, kita nggak pernah benar-benar aman.”Sima meletakkan sebuah palu besi di meja. “Kalau gitu, kita hancurin aja. Biar ku
Suara detakan jam dinding yang kembali hidup terasa lebih seperti ancaman daripada tanda waktu normal.Tiap tik dan tok menyerupai hentakan sepatu yang perlahan-lahan mendekat dari lorong panjang yang tak terlihat.Udara di Warung Kopi Dunia Bawah seolah tertahan di antara dua napas.Karina menyandarkan tubuhnya pada meja, kedua tangannya memegang cangkir kopi yang sudah dingin.“Dia belum pergi,” ucapnya lirih, matanya tak lepas dari kursi seberang cangkir hitam.“Kalau memang belum pergi, kenapa cuma meninggalkan bekas duduk? Kenapa nggak nunjukkin wujud?” tanya Toyo, suaranya setengah kesal, setengah cemas.Dimas duduk bersandar di dinding, menatap kosong ke arah sudut warung. “Mungkin wujudnya nggak bisa kita lihat… kecuali kita ada di waktunya dia.”“Waktunya dia?” Rani mengangkat alis.Dimas mengangguk. “Kita ini… hidup di lapisan waktu yang berbeda dari dia. Dia bisa menyentuh kita, memindahkan barang-barang, tapi kita nggak bisa langsung melihatnya kecuali masuk ke lapisan wak
Fajar berikutnya datang seperti napas yang enggan. Langit memang berganti terang, tapi di Warung Kopi Dunia Bawah, cahaya pagi tidak pernah sepenuhnya masuk. Seolah di pintu warung ada tangan tak terlihat yang menyaring semua sinar, membiarkan hanya yang pucat dan tak bernyawa.Cangkir hitam itu kini berada di kursi sudut, bukan di meja bundar. Tidak ada yang memindahkannya. Atau setidaknya, tidak ada yang mengaku melakukannya.Karina duduk di bangku dekat jendela, memandangi kursi sudut itu dengan perasaan campur antara curiga dan terhisap.“Aku merasa,” ucapnya, “cangkir itu sedang menunggu seseorang duduk di depannya.”“Jangan-jangan… sudah ada yang duduk,” sahut Toyo pelan, sambil melirik kursi seberang cangkir yang kosong—kosong secara mata, tapi tidak secara udara.Waktu di warung hari itu terasa tersendat. Jam dinding tua yang biasanya tetap berdetak meski jarumnya beku, kini sama sekali tak mengeluarkan suara. Gelas-gelas kopi di rak seperti kehilangan pantulan, seakan isi rua
Fajar kelima sejak cangkir retak ditinggalkan oleh sosok kabut itu datang tanpa warna. Langit di luar warung tidak merah, tidak biru, bahkan tidak kelabu—hanya datar, seperti selembar kain putih yang menutupi panggung sebelum pertunjukan dimulai. Di dalam Warung Kopi Dunia Bawah, semua orang terjaga, meskipun belum ada yang memesan kopi atau membuka mulut. Cangkir retak itu diletakkan di tengah meja bundar, menghadap ke semua arah seakan sedang mengawasi. Karina memandanginya lama. "Dia tidak hilang," katanya akhirnya. "Dia meninggalkan bagian dari dirinya di sini. Retakan itu... mungkin peta." "Peta ke mana?" tanya Rani. "Ke bagian dari kita yang ingin dia ganti," jawab Aluna, suaranya datar seperti lantai kayu warung yang sudah tak menyalakan gema sejak pertemuan kemarin. Mereka memutuskan untuk memeriksa cangkir itu lebih dekat. Toyo, yang selama ini paling paham tentang bahasa benda mati, mengangkatnya dengan hati-hati. Retakannya membentuk garis berkelok yang tidak aca
Warung Kopi Dunia Bawah telah kembali membuka pintunya, bukan dengan dentang lonceng atau papan "buka" yang menyala terang, tetapi dengan aroma yang menggamit dan suara-suara samar yang hanya bisa didengar oleh mereka yang kehilangan arah. Langit di atasnya tetap menggantung sebagai halaman kosong, menunggu untuk diisi.Tak ada musim di warung itu. Waktu berjalan dengan cara yang tidak bisa dihitung. Pagi dan malam datang seperti tamu tak diundang, kadang bersama, kadang saling menunggu. Tapi bagi Karina dan kawan-kawan, kedai itu sudah tak lagi beroperasi dalam kerangka waktu biasa. Ia menjadi tempat lintasan: bagi yang tersesat, yang menunggu, dan yang belum lahir dalam kenangan.Pagi hari itu, seorang tamu baru datang. Ia tidak membuka pintu. Tidak melangkah. Ia seperti muncul begitu saja di kursi dekat jendela, tempat cahaya biasanya enggan menyentuh.Rani yang melihatnya lebih dulu. Wajahnya bukan wajah asing, tapi juga tak dikenal. Seperti wajah dari mimpi yang pernah dilupakan.