Hujan kembali turun malam itu. Tidak deras, tapi cukup untuk membuat atap seng WarKoDuBa bernyanyi dengan irama sedih. Lampu-lampu jalan di gang sempit itu meredup seperti biasa, dan kabut pelan-pelan turun, menyelimuti warung dengan keheningan yang... aneh.
Dimas berdiri di depan rak kayu kecil, mengatur barisan gelas. Tangannya diam, tapi pikirannya sibuk. "Mas Dimas... kamu ngerasa nggak? Kursi nomor 4 akhir-akhir ini... nggak pernah dipakai," kata Toyo sambil menunjuk kursi kayu di dekat jendela. Kursi itu terlihat biasa. Tidak ada yang mencolok. Tapi... sejak tiga minggu terakhir, siapa pun yang duduk di situ selalu pergi sebelum pesan. Kadang mereka pucat. Kadang menangis. Dan ada satu yang muntah koin. Dimas mengangguk. "Iya. Aku juga ngerasain." "Kemarin si Mbak-Mbak yang makeup-nya tebel duduk di situ. Dia bilang 'kayak ada yang bisikin aku dari belakang'. Terus tiba-tiba dia ngajak jadian sama tiang listrik," tambah Randi yang sedang mengedit video dari balik meja kasir. Karina menatap kursi itu lama. "Dia... belum bisa pergi. Tapi dia juga nggak tahu kenapa masih di sini." "Dia siapa?" tanya Toyo sambil mendekat. "Hantu yang dulu mati karena... kecewa dengan secangkir kopi." Randi nyengir. "Serius? Mati gara-gara kopi?" Karina menoleh. "Buat sebagian orang, rasa pahit itu akhir. Bukan awal." --- Dimas mengambil satu kertas karton dan mulai menulis besar-besar: LELANG KURSI PALING ANKER – HANYA UNTUK YANG SIAP MENANTANG RASA PALING DALAM! Hadiah: Segelas kopi buatan Dimas. Resiko: Tidak dijamin kembali dengan pikiran utuh. Tempat: WarKoDuBa – Kursi Nomor 4 Waktu: Tengah malam Jumat Wage. --- “Mas, yakin mau ngadain acara kayak gini? Nanti yang dateng bukan cuma manusia,” bisik Toyo sambil menyapu lantai. “Justru itu. Kadang rasa takut harus dihadapi, bukan dihindari,” jawab Dimas sambil menempelkan pengumuman di kaca depan. “Kalau kursinya ngamuk gimana?" tanya Randi. “Kita nggak punya asuransi hantu, Mas." Karina tersenyum tipis. “Aku akan jaga. Tapi kalau dia marah, itu artinya... dia butuh didengar. Bukan ditenangkan.” --- Tengah malam datang. WarKoDuBa gelap. Hanya lilin-lilin kecil yang menyala di atas tiap meja. Lilin meja empat berkedip seperti mau padam. Pelanggan pertama muncul: seorang laki-laki tua dengan jas lusuh dan topi fedora bolong. "Saya siap duduk," katanya tenang. “Silakan Pak,” ujar Dimas. “Tapi harus benar-benar siap. Ini bukan sekadar kursi.” Lelaki itu duduk. Tiba-tiba jendela bergetar. Cangkir di meja nomor empat berembun meski tidak ada kopi di dalamnya. Lelaki itu berkeringat, matanya melotot, lalu berdiri dan berteriak: “MAAFKAN AKU, MIRA! AKU TIDAK TAHU KOPIMU ADALAH BENTUK CINTA!” Dia berlari keluar. Daun pintu terbuka sendiri, lalu menutup dengan pelan. Semua hening. “Yah… gagal lagi,” desah Randi. --- Pelanggan berikutnya muncul. Seorang pemuda berjubah hitam. Mata merah. Napas berat. “Aku ingin duduk. Aku ingin rasa yang mengingatkanku siapa aku sebelum mati." Dimas menatapnya lekat. “Silakan.” Pemuda itu duduk perlahan. Tak lama, kursi bergoyang sendiri. Ada suara lirih. Tangisan. Cangkir di atas meja mengisi sendiri. Aroma kopi, tapi bercampur bau tanah basah dan darah. Toyo meringis. “Mas… itu kayak kopi campur kenangan kelam.” Pemuda itu minum. Satu tegukan. Lalu ia tersenyum... dan menghilang. Hanya menyisakan sehelai bulu ayam hitam di kursinya. Karina menunduk. “Satu rasa tersampaikan.” --- Lelang berlangsung semalam penuh. Ada arwah pelajar, mantan dukun, wanita yang kehilangan anak, sampai makhluk tanpa wajah yang hanya bisa berkomunikasi lewat bau. Tapi tidak ada yang bisa duduk lebih dari lima menit... kecuali satu. Pagi menjelang saat seorang gadis kecil datang. Rambutnya dikepang dua. Pakaiannya lusuh. Dia tidak bicara. Tapi berjalan langsung ke kursi empat dan duduk. Dimas langsung berdiri. “Tunggu! Ini—” Karina menahannya. “Biarkan. Kadang anak-anak lebih kuat daripada kita karena mereka belum terlalu banyak berdusta pada diri sendiri.” Gadis itu diam, menatap cangkir kosong. Tiba-tiba dia tertawa kecil. "Dia bilang kopinya nggak pernah cukup manis. Tapi aku suka yang pahit. Karena itu nyata." Gelas itu mengisi sendiri. Gadis itu menyeruput perlahan. “Dia bisa pergi sekarang,” katanya. Lalu berdiri. Dan menghilang. --- Kursi nomor empat kini kosong. Tapi tidak menakutkan lagi. Aroma kopi masih ada, tapi kini bercampur hangatnya matahari pagi. Dimas menuliskan catatan baru dan menempelnya di kursi: “Untuk yang siap duduk dan berdamai dengan rasa terdalam.” Randi datang membawa tripod. “Mas... boleh aku bikin konten tentang ini?” Dimas tersenyum. “Boleh. Tapi jangan kamu ubah ceritanya jadi viral palsu.” Toyo menambahkan, “Tulis yang jujur aja. Bahwa di WarKoDuBa... bahkan kursi pun bisa punya kenangan.” Karina mengangguk. “Dan kadang, kenangan itu hanya ingin didengar. Sama seperti kita semua.” --- Malam itu, warung ditutup lebih awal. Tapi kursi nomor empat... tetap dibiarkan terbuka. Siapa tahu, ada yang masih ingin duduk. Dan merasa.Malam baru saja turun ketika Dimas keluar dari warung sambil menghela napas panjang. Hawa Kota Bawah terasa lebih lembap dari biasanya. Kabut halus mengambang di sekitar jalan-jalan setapak, seolah menyembunyikan sesuatu yang belum sempat diungkap dunia.“Lo nggak takut keluar malam-malam begini?” tanya Toyo, menyusul dari belakang sambil mengunyah keripik lele rasa keju.Dimas melirik temannya, “Gue barusan ditelpon pelanggan baru. Katanya penting. Dia maksa banget buat ketemuan malam ini, di luar warung.”“Siapa?” Toyo mengangkat alis. “Kalo cewek cakep, gue ikut.”“Dia bilang namanya... Reina.”Toyo langsung berhenti mengunyah. “Reina? Nama yang terlalu... megah buat dimensi bawah, ya.”Dimas mengangguk. “Tungguin warung. Gue nggak lama.”Toyo mendengus, tapi tetap melambaikan tangan. “Jangan sampai lo pulang udah jadi kodok, Dim.”Dimas tersenyum tipis, lalu berjalan melewati gang sempit yang hanya diterangi lampu neon redup. Tempat pertemuannya adalah di ujung dermaga kecil yang
Malam itu, langit di atas Warung Kopi Dunia Bawah tampak lebih pekat dari biasanya. Awan hitam menggantung rendah seperti hendak menyampaikan kabar buruk. Dimas yang sedang membersihkan gelas-gelas kopi di bar, merasakan suasana aneh itu. Bukan karena cuaca, melainkan karena getaran tak biasa yang merambat dari lantai kayu ke telapak kakinya."Toyo, lu ngerasa nggak sih, warung kita kayak... bergetar pelan?" tanya Dimas tanpa menoleh.Toyo yang tengah sibuk mengepel lantai berhenti, berdiri diam, lalu menempelkan telinganya ke lantai."Wah iya, Mas. Kayak ada yang jalan di bawah tanah... atau sesuatu yang gede banget..."Tiba-tiba, lonceng pintu berbunyi. Namun bukan suara khas pintu kayu dibuka, melainkan suara geraman berat—seperti gesekan rantai baja berkarat. Aroma belerang langsung memenuhi ruangan."Kita kedatangan tamu dari neraka nih kayaknya," gumam Randi yang baru turun dari lantai dua sambil membawa kamera. "Cekrek dikit ah, siapa tahu kontennya bisa viral."Dari pintu masu
Pintu Warung Kopi Dunia Bawah menutup pelan, tapi gema kehadiran pria berjubah ungu itu masih terasa jelas. Tubuhnya samar, nyaris tembus pandang, dan langkahnya seolah tak menyentuh lantai. Randi, Toyo, Dimas, dan Karina menatapnya dengan campuran takjub dan waspada."Kau... mau kembali ke masa lalu?" tanya Dimas perlahan, seakan tak ingin mengganggu realitas yang nyaris pecah di hadapan mereka.Pria itu mengangguk. "Bukan untuk mengubah. Hanya untuk melihat. Aku sudah terlalu tua untuk memperbaiki hidupku. Tapi aku ingin tahu... di titik mana aku berhenti jadi manusia."Karina mendekat, tatapannya lembut namun penuh rasa ingin tahu. "Apa kau tahu siapa dirimu sekarang?"Pria itu menoleh. "Aku... dulu dipanggil Pak Dirman. Guru di sebuah desa kecil di kaki gunung. Aku mendidik anak-anak. Tapi satu kesalahan membuatku kehilangan segalanya."Toyo meneguk ludah. "Kesalahan... seperti apa?"Pak Dirman menunduk. "Aku menuduh seorang murid mencuri. Tanpa bukti. Hanya karena firasat. Dan ka
Warung Kopi Dunia Bawah kembali diselimuti suasana hening. Jam dinding berdetak lambat, aroma kopi robusta khas buatan Dimas menyatu dengan udara, dan Toyo sedang menyapu lantai dengan gaya ninja—melompat sambil bersiul, seperti sedang berada di tengah arena kungfu.“Kalau kau semangat nyapu kayak gitu terus, kita bisa daftarin kamu ke acara TV ‘Master Bersih-Bersih Dunia Gaib’,” sindir Randi dari balik laptopnya.Toyo berhenti dan memelototi Randi, “Ssst! Jangan sembarangan ngomong! Barusan ada yang lewat. Angin dingin, Randi. DINGIN BANGET!”Randi menghela napas. “Angin, Toyo. Angin. Jangan tiap kali ketiup hawa AC kamu pikir itu hantu.”Namun, Dimas yang baru saja menyalakan teko kopi tiba-tiba menghentikan gerakannya. Ia memicingkan mata ke arah kursi pojok yang biasanya kosong. Kursi itu goyang sendiri.“Randi, Toyo… kalian lihat itu?” bisik Dimas.Mereka bertiga menatap ke arah yang sama. Kursi itu jelas-jelas bergerak perlahan, seperti ada seseorang duduk… atau berdiri kemudian
Pagi itu warung kopi Dunia Bawah terasa lebih tenang dari biasanya. Tidak ada ledakan dari dapur, tidak ada pelanggan yang mendadak berubah jadi kodok, dan tidak ada Karina yang menjerit karena putus lagi sama pacar hantu barunya. Semua tampak… normal.Toyo sedang menyapu lantai dengan penuh semangat sambil bersenandung lagu dangdut remix. Randi sibuk mengedit video klip pelanggan semalam yang berasal dari planet berbentuk semangka, sementara Dimas duduk di balik meja kasir, menyeruput kopi sambil membaca surat kabar dunia manusia yang isinya penuh keanehan menurut standar Dunia Bawah."Dimas! Ada paket buat lo!" teriak Pak Kurir Setengah Dewasa, makhluk bertubuh separuh anak-anak dan separuh orang tua yang selalu mengantarkan paket dengan gaya dramatis seperti pengantar naskah film.Dimas menatap bingung ke arah kotak besar yang diturunkan dengan pelan oleh kurir tersebut. Tidak ada nama pengirim, hanya tulisan tangan miring-miring yang berbunyi:> "Untuk: Dimas Dari: Yang Pernah Kau
Pukul dua dini hari. Langit kota masih mendung dan angin malam menyapu lorong-lorong sempit yang menghubungkan rumah-rumah tua di kawasan timur. Dimas berdiri di depan gang buntu yang kini tampak lebih seperti jalan menuju neraka. Toyo berdiri di sampingnya, menggigil bukan karena dingin, tapi karena firasat buruk yang membekap jiwanya sejak mereka keluar dari Warung Kopi Dunia Bawah tadi malam."Mas... yakin ini tempatnya?" bisik Toyo pelan."Yakin nggak yakin, kita udah dipandu sama jejak energi dari Karina. Aura dia terakhir tertinggal di sini..." jawab Dimas sambil menyalakan lampu senter kecil di ponselnya.Randi, yang baru tiba dengan napas tersengal setelah lari dari arah seberang, bergabung sambil mengatur napasnya. "Lo tau nggak, jalanan tadi itu kayak dilipat. Tiba-tiba gue balik lagi ke tempat awal. Ini beneran kawasan gang mistis, Mas."Dimas mengangguk. "Ya. Sialnya, kita udah masuk terlalu dalam. Karina nggak muncul, dan energi jiwanya kayak... terganggu.""Terganggu gim