Home / Horor / Warung Kopi Dunia Bawah / Bab 5: Lelang Kursi Paling Angker

Share

Bab 5: Lelang Kursi Paling Angker

Author: D.Arluna
last update Last Updated: 2025-06-12 10:00:56

Hujan kembali turun malam itu. Tidak deras, tapi cukup untuk membuat atap seng WarKoDuBa bernyanyi dengan irama sedih. Lampu-lampu jalan di gang sempit itu meredup seperti biasa, dan kabut pelan-pelan turun, menyelimuti warung dengan keheningan yang... aneh.

Dimas berdiri di depan rak kayu kecil, mengatur barisan gelas. Tangannya diam, tapi pikirannya sibuk.

"Mas Dimas... kamu ngerasa nggak? Kursi nomor 4 akhir-akhir ini... nggak pernah dipakai," kata Toyo sambil menunjuk kursi kayu di dekat jendela.

Kursi itu terlihat biasa. Tidak ada yang mencolok. Tapi... sejak tiga minggu terakhir, siapa pun yang duduk di situ selalu pergi sebelum pesan. Kadang mereka pucat. Kadang menangis. Dan ada satu yang muntah koin.

Dimas mengangguk. "Iya. Aku juga ngerasain."

"Kemarin si Mbak-Mbak yang makeup-nya tebel duduk di situ. Dia bilang 'kayak ada yang bisikin aku dari belakang'. Terus tiba-tiba dia ngajak jadian sama tiang listrik," tambah Randi yang sedang mengedit video dari balik meja kasir.

Karina menatap kursi itu lama. "Dia... belum bisa pergi. Tapi dia juga nggak tahu kenapa masih di sini."

"Dia siapa?" tanya Toyo sambil mendekat.

"Hantu yang dulu mati karena... kecewa dengan secangkir kopi."

Randi nyengir. "Serius? Mati gara-gara kopi?"

Karina menoleh. "Buat sebagian orang, rasa pahit itu akhir. Bukan awal."

---

Dimas mengambil satu kertas karton dan mulai menulis besar-besar:

LELANG KURSI PALING ANKER – HANYA UNTUK YANG SIAP MENANTANG RASA PALING DALAM!

Hadiah: Segelas kopi buatan Dimas.

Resiko: Tidak dijamin kembali dengan pikiran utuh.

Tempat: WarKoDuBa – Kursi Nomor 4

Waktu: Tengah malam Jumat Wage.

---

“Mas, yakin mau ngadain acara kayak gini? Nanti yang dateng bukan cuma manusia,” bisik Toyo sambil menyapu lantai.

“Justru itu. Kadang rasa takut harus dihadapi, bukan dihindari,” jawab Dimas sambil menempelkan pengumuman di kaca depan.

“Kalau kursinya ngamuk gimana?" tanya Randi. “Kita nggak punya asuransi hantu, Mas."

Karina tersenyum tipis. “Aku akan jaga. Tapi kalau dia marah, itu artinya... dia butuh didengar. Bukan ditenangkan.”

---

Tengah malam datang. WarKoDuBa gelap. Hanya lilin-lilin kecil yang menyala di atas tiap meja. Lilin meja empat berkedip seperti mau padam.

Pelanggan pertama muncul: seorang laki-laki tua dengan jas lusuh dan topi fedora bolong.

"Saya siap duduk," katanya tenang.

“Silakan Pak,” ujar Dimas. “Tapi harus benar-benar siap. Ini bukan sekadar kursi.”

Lelaki itu duduk.

Tiba-tiba jendela bergetar. Cangkir di meja nomor empat berembun meski tidak ada kopi di dalamnya. Lelaki itu berkeringat, matanya melotot, lalu berdiri dan berteriak:

“MAAFKAN AKU, MIRA! AKU TIDAK TAHU KOPIMU ADALAH BENTUK CINTA!”

Dia berlari keluar. Daun pintu terbuka sendiri, lalu menutup dengan pelan.

Semua hening.

“Yah… gagal lagi,” desah Randi.

---

Pelanggan berikutnya muncul. Seorang pemuda berjubah hitam. Mata merah. Napas berat.

“Aku ingin duduk. Aku ingin rasa yang mengingatkanku siapa aku sebelum mati."

Dimas menatapnya lekat. “Silakan.”

Pemuda itu duduk perlahan. Tak lama, kursi bergoyang sendiri. Ada suara lirih. Tangisan. Cangkir di atas meja mengisi sendiri. Aroma kopi, tapi bercampur bau tanah basah dan darah.

Toyo meringis. “Mas… itu kayak kopi campur kenangan kelam.”

Pemuda itu minum. Satu tegukan. Lalu ia tersenyum... dan menghilang. Hanya menyisakan sehelai bulu ayam hitam di kursinya.

Karina menunduk. “Satu rasa tersampaikan.”

---

Lelang berlangsung semalam penuh. Ada arwah pelajar, mantan dukun, wanita yang kehilangan anak, sampai makhluk tanpa wajah yang hanya bisa berkomunikasi lewat bau.

Tapi tidak ada yang bisa duduk lebih dari lima menit... kecuali satu.

Pagi menjelang saat seorang gadis kecil datang. Rambutnya dikepang dua. Pakaiannya lusuh. Dia tidak bicara. Tapi berjalan langsung ke kursi empat dan duduk.

Dimas langsung berdiri. “Tunggu! Ini—”

Karina menahannya. “Biarkan. Kadang anak-anak lebih kuat daripada kita karena mereka belum terlalu banyak berdusta pada diri sendiri.”

Gadis itu diam, menatap cangkir kosong. Tiba-tiba dia tertawa kecil. "Dia bilang kopinya nggak pernah cukup manis. Tapi aku suka yang pahit. Karena itu nyata."

Gelas itu mengisi sendiri. Gadis itu menyeruput perlahan.

“Dia bisa pergi sekarang,” katanya. Lalu berdiri. Dan menghilang.

---

Kursi nomor empat kini kosong. Tapi tidak menakutkan lagi. Aroma kopi masih ada, tapi kini bercampur hangatnya matahari pagi.

Dimas menuliskan catatan baru dan menempelnya di kursi:

“Untuk yang siap duduk dan berdamai dengan rasa terdalam.”

Randi datang membawa tripod.

“Mas... boleh aku bikin konten tentang ini?”

Dimas tersenyum. “Boleh. Tapi jangan kamu ubah ceritanya jadi viral palsu.”

Toyo menambahkan, “Tulis yang jujur aja. Bahwa di WarKoDuBa... bahkan kursi pun bisa punya kenangan.”

Karina mengangguk. “Dan kadang, kenangan itu hanya ingin didengar. Sama seperti kita semua.”

---

Malam itu, warung ditutup lebih awal. Tapi kursi nomor empat... tetap dibiarkan terbuka. Siapa tahu, ada yang masih ingin duduk. Dan merasa.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Warung Kopi Dunia Bawah   Bab 90 – Hujan Abu dan Jalan yang Menyempit

    Udara di balik pintu itu seperti menyambut mereka dengan tamparan dingin yang menusuk kulit. Cahaya abu-abu menyebar ke segala arah, tapi anehnya, tidak ada matahari, tidak ada bulan—hanya langit kelabu yang berdenyut pelan seperti napas makhluk raksasa.Toyo melangkah pertama, matanya menyapu dataran yang membentang. “Tempat ini…” suaranya serak, “kayak dunia yang pernah kita lihat lewat kursi, tapi lebih… hidup.”Karina memandangi tanah di bawah kaki mereka. Lapisan debu tipis menutupi permukaan, dan setiap langkah membuatnya beterbangan, berputar seperti kabut kecil. “Hidup? Toy… dunia ini nggak kelihatan hidup. Ini kayak… kuburan raksasa.”“Bukan,” Dimas membetulkan. “Tempat ini bernafas. Bumi di sini bukan tanah mati. Dia… memantau kita.”Rani merapatkan jaketnya, memandang sekeliling. Tak ada pepohonan, tak ada batu besar, hanya hamparan luas dengan gundukan-gundukan aneh yang bentuknya seperti tubuh-tubuh raksasa yang tidur. Beberapa bergetar halus, seperti otot yang berkedut d

  • Warung Kopi Dunia Bawah   Bab 89 – Kursi yang Memanggil Kembali

    Jam dinding di Warung Kopi Dunia Bawah kembali berdetak normal.Tik… tok… tik… tok… seolah waktu sudah kembali pada jalurnya.Namun, di antara aroma kopi hangat dan cahaya lampu kuning yang temaram, ada sesuatu yang tetap menggantung—seperti bayangan yang belum selesai bercerita.Karina duduk menunduk, jari-jarinya mengelus bibir cangkir hitam yang kini kosong.“Kalau dipikir-pikir…” suaranya nyaris hanya gumaman, “kita tadi keluar dari dunia mereka, tapi nggak ada jaminan mereka nggak bisa masuk lagi.”Toyo menjatuhkan diri ke kursi, memijat lehernya. “Dan kalau mereka punya akses… berarti kursi itu masih jadi jembatan.”Dimas mengangguk pelan. “Kursi itu bukan cuma jembatan, Toy. Dia itu sinyal. Kayak mercusuar. Setiap kali kita duduk, setiap kali kita menatapnya… mungkin mereka bisa ngelihat kita dari sana.”Rani menatap kursi itu lama. “Jadi… selama kursi ini ada, kita nggak pernah benar-benar aman.”Sima meletakkan sebuah palu besi di meja. “Kalau gitu, kita hancurin aja. Biar ku

  • Warung Kopi Dunia Bawah   Bab 88 – Jejak di Bantalan Kosong

    Suara detakan jam dinding yang kembali hidup terasa lebih seperti ancaman daripada tanda waktu normal.Tiap tik dan tok menyerupai hentakan sepatu yang perlahan-lahan mendekat dari lorong panjang yang tak terlihat.Udara di Warung Kopi Dunia Bawah seolah tertahan di antara dua napas.Karina menyandarkan tubuhnya pada meja, kedua tangannya memegang cangkir kopi yang sudah dingin.“Dia belum pergi,” ucapnya lirih, matanya tak lepas dari kursi seberang cangkir hitam.“Kalau memang belum pergi, kenapa cuma meninggalkan bekas duduk? Kenapa nggak nunjukkin wujud?” tanya Toyo, suaranya setengah kesal, setengah cemas.Dimas duduk bersandar di dinding, menatap kosong ke arah sudut warung. “Mungkin wujudnya nggak bisa kita lihat… kecuali kita ada di waktunya dia.”“Waktunya dia?” Rani mengangkat alis.Dimas mengangguk. “Kita ini… hidup di lapisan waktu yang berbeda dari dia. Dia bisa menyentuh kita, memindahkan barang-barang, tapi kita nggak bisa langsung melihatnya kecuali masuk ke lapisan wak

  • Warung Kopi Dunia Bawah   Bab 87 – Waktu yang Tersesat di Kursi Sudut

    Fajar berikutnya datang seperti napas yang enggan. Langit memang berganti terang, tapi di Warung Kopi Dunia Bawah, cahaya pagi tidak pernah sepenuhnya masuk. Seolah di pintu warung ada tangan tak terlihat yang menyaring semua sinar, membiarkan hanya yang pucat dan tak bernyawa.Cangkir hitam itu kini berada di kursi sudut, bukan di meja bundar. Tidak ada yang memindahkannya. Atau setidaknya, tidak ada yang mengaku melakukannya.Karina duduk di bangku dekat jendela, memandangi kursi sudut itu dengan perasaan campur antara curiga dan terhisap.“Aku merasa,” ucapnya, “cangkir itu sedang menunggu seseorang duduk di depannya.”“Jangan-jangan… sudah ada yang duduk,” sahut Toyo pelan, sambil melirik kursi seberang cangkir yang kosong—kosong secara mata, tapi tidak secara udara.Waktu di warung hari itu terasa tersendat. Jam dinding tua yang biasanya tetap berdetak meski jarumnya beku, kini sama sekali tak mengeluarkan suara. Gelas-gelas kopi di rak seperti kehilangan pantulan, seakan isi rua

  • Warung Kopi Dunia Bawah   Bab 86: Langkah yang Datang dari Arah yang Tak Ada

    Fajar kelima sejak cangkir retak ditinggalkan oleh sosok kabut itu datang tanpa warna. Langit di luar warung tidak merah, tidak biru, bahkan tidak kelabu—hanya datar, seperti selembar kain putih yang menutupi panggung sebelum pertunjukan dimulai. Di dalam Warung Kopi Dunia Bawah, semua orang terjaga, meskipun belum ada yang memesan kopi atau membuka mulut. Cangkir retak itu diletakkan di tengah meja bundar, menghadap ke semua arah seakan sedang mengawasi. Karina memandanginya lama. "Dia tidak hilang," katanya akhirnya. "Dia meninggalkan bagian dari dirinya di sini. Retakan itu... mungkin peta." "Peta ke mana?" tanya Rani. "Ke bagian dari kita yang ingin dia ganti," jawab Aluna, suaranya datar seperti lantai kayu warung yang sudah tak menyalakan gema sejak pertemuan kemarin. Mereka memutuskan untuk memeriksa cangkir itu lebih dekat. Toyo, yang selama ini paling paham tentang bahasa benda mati, mengangkatnya dengan hati-hati. Retakannya membentuk garis berkelok yang tidak aca

  • Warung Kopi Dunia Bawah   Bab 85: Kedai Tanpa Musim

    Warung Kopi Dunia Bawah telah kembali membuka pintunya, bukan dengan dentang lonceng atau papan "buka" yang menyala terang, tetapi dengan aroma yang menggamit dan suara-suara samar yang hanya bisa didengar oleh mereka yang kehilangan arah. Langit di atasnya tetap menggantung sebagai halaman kosong, menunggu untuk diisi.Tak ada musim di warung itu. Waktu berjalan dengan cara yang tidak bisa dihitung. Pagi dan malam datang seperti tamu tak diundang, kadang bersama, kadang saling menunggu. Tapi bagi Karina dan kawan-kawan, kedai itu sudah tak lagi beroperasi dalam kerangka waktu biasa. Ia menjadi tempat lintasan: bagi yang tersesat, yang menunggu, dan yang belum lahir dalam kenangan.Pagi hari itu, seorang tamu baru datang. Ia tidak membuka pintu. Tidak melangkah. Ia seperti muncul begitu saja di kursi dekat jendela, tempat cahaya biasanya enggan menyentuh.Rani yang melihatnya lebih dulu. Wajahnya bukan wajah asing, tapi juga tak dikenal. Seperti wajah dari mimpi yang pernah dilupakan.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status