"Buka mulutmu lagi, Sayang." Wanita baya itu dengan telaten menyuapi anak gadisnya. Sesendok bubur dia dekatkan kembali pada mulut Chiara, namun gadis itu malah menutup mulutnya dengan telapak tangan setelah suapan ke tiga."Cukup, Ma. Chia sudah kenyang."Ambar membuang napas. Dia mencoba sabar atas penolakan Chiara, sebab dirinya tahu jika masakan rumah sakit memang hambar. Nyaris tidak ada rasa. "Ya sudah, minum dulu baru minum obatnya." Setelah menaruh kembali mangkuk di atas baki, Ambar memberikan segelas air putih pada putrinya."Oke, siap." Tentu saja Chiara segera menerimanya, lalu meneguknya banyak-banyak. "Bagaimana perasaan kamu sekarang, Nak? Masih ada yang sakit?"Chiara kembali menyerahkan gelas yang isinya tinggal separuh itu kepada ibunya sebelum menjawab. "Chia sudah merasa sehat sekarang, Ma. Tidak ada yang sakit sama sekali. Chia rasa jantung ini sangat cocok dengan Chia, sedikit pun tidak ada efek samping. Tidak pernah Chia merasa sebaik ini sebelumnya." Gadis it
Ambar langsung bergegas berdiri saat presensi Indra terlihat oleh kedua matanya. Suaminya itu baru saja menemui dokter yang menangani Chiara. Sudah dua minggu berlalu semenjak putri bungsunya melakukan operasi pencangkokan jantung, tentunya Ambar ingin tahu tentang bagaimana perkembangan kesehatan putrinya.Meskipun jarak masih lumayan jauh, namun senyum tipis Indra sudah terlihat oleh pandangan kedua mata Ambar, pertanda bagus. Tidak sabar, wanita baya itu datang menghampiri lalu berdiri di depannya dengan tatapan menuntut penjelasan."Bagaimana, Pa?" tanyanya."Dokter sudah memperbolehkan Chiara pulang."Embusan napas lega Ambar terlepas begitu saja mendengar ucapan suaminya. "Syukurlah ..." namun, senyuman itu tak bertahan lama. Sedetik kemudian raut wajahnya kembali berubah sendu. Ambar mendongak dengan bimbang. Ada kecemasan yang mampu terbaca di wajah si wanita baya. "Lalu, apa yang harus kita katakan pada putri kita, Pa? Tidak mungkin kita terus menerus menyembunyikan fakta kem
Tiga kursi yang mengelilingi meja makan itu telah terisi. Lengkap, semua anggota keluarga berkumpul di sana untuk makan pagi, seperti biasanya. Suara denting sendok dan garpu saling beradu di atas piring keramik yang berisi sajian menu menggugah selera sedikit membuyarkan suasana hening yang tercipta."Mama berencana liburan ke Lombok minggu depan. Kamu mau ikut?" di sela acara makannya Karina membuka satu pertanyaan untuk Sang putra. Ia melirik sejenak ke arah Nardo sekedar untuk menanti jawaban atas pertanyaannya. "...."Alih-alih menjawab, pria tampan salinan ayahnya itu tak memberikan respons sama sekali, seakan ucapan Sang ibunda tak berhasil menembus indera rungunya. Nardo hanya mengaduk-aduk makanannya tanpa minat. Pria itu memang kehilangan nafsu makan akhir-akhir ini."Nardo?" merasa tak mendapatkan atensi, Karina memanggil nama putranya, sampai pria itu tersentak kembali dalam kehidupan nyata setelah angannya melanglang buana entah ke mana. "Ya?" tanyanya."Kamu melamun."N
Jika obat dari merindu adalah sebuah pertemuan, lantas bagaimana caranya menyembuhkan rasa rindu pada seseorang yang telah tiada? Chiara memejamkan mata pedih di ambang pintu kamar Naomi. Sudah berulang kali ia menyeka air mata, tapi berkali-kali pula air kesedihan itu kembali meluncur membasahi pipi, seakan tidak akan ada habisnya. Dia sangat merindukan kakaknya, rindu yang tidak akan mungkin ada penawarnya. Sekarang mereka sudah berbeda dunia.Chiara baru tahu jika kamar mendiang sang kakak telah pindah ke lantai dasar. Kamar yang semula adalah kamar tamu itu kini berubah dipenuhi warna pastel pada setiap sisi temboknya, khas Naomi. Hampa adalah hal pertama yang gadis itu tangkap, sebab dirinya menyadari jika kamar yang sedang dia pijak kini sudah kosong, tidak lagi berpenghuni sebab pemiliknya telah pergi. Dengan langkah sangat pelan gadis itu mendekati sebuah lemari kaca, lemari yang dipenuhi oleh piala-piala mendiang kakaknya. Dia menatapnya nanar dengan setitik air mata. Tanga
"CUT!" Nardo berteriak cukup lantang dengan sebuah megafon di tangannya, memberi aba-aba. Secara otomatis para pemain dalam set di depan sana menghentikan segala peran yang mereka mainkan. Di detik itu pula seorang Clappers memasukkan sebuah clapper board ke dalam frame dalam keadaan terbalik, menepuknya sekali lalu membaca segala informasi yang tertulis di sana."Oke, perfect! Syuting hari ini cukup sampai di sini. Kerja bagus, ucap Nardo setelahnya. Terlihat para pemain serta para kru mulai membubarkan diri, syuting sudah selesai. Seakan tak ingin membuang waktu, Nardo segera membereskan segala barang bawaannya, memasukkannya ke dalam tas. Namun, suara lembut seorang perempuan yang memanggil namanya menghentikan pergerakan pria itu."K-kak Nardo ..."Ketika pria yang dipanggil mengangkat dagu, wajah memerah Almera lah yang masuk ke dalam retinanya. "Hm?" Pria itu hanya menggumam bertanya, keningnya sedikit berkerut. Almera tidak langsung menjelaskan maksudnya, dia justru terliha
Semenjak Chiara tahu tentang kepergian Naomi, semenjak itu pula gadis itu kehilangan senyumannya. Hari-hari belakangan ini dia tampak murung, membuat ayah dan ibunya merasa khawatir. Namun mereka tahu jika Chiara adalah gadis yang kuat, dia hanya butuh waktu untuk menerima kenyataan.Matahari sudah tepat di atas kepala. Hawa panas tidak sedikit pun membuat Chiara beranjak dari tempat duduknya di teras rumah. Gadis itu masih saja betah mengunci mulutnya, padahal ada Evan yang sedari tadi duduk pada bangku di seberangnya, bersekatkan meja kayu bundar berpelitur mengkilap. Perkuliahan hari ini selesai lebih cepat dari hari biasanya, dan Chiara masih enggan untuk sekedar bertanya pada sang sahabat."Hari ini ada tugas. Nanti mau menyalin punyaku, tidak? Kebetulan sudah aku cicil kerjakan. Kamu mulai masuk besok kan, Chia?" tanya Evan, mencoba membuka percakapan. Jujur saja, pemuda itu merasa sedikit tidak nyaman dengan kediaman Chiara. Karena selama ini Chiara adalah gadis yang banyak ber
Paradise columbarium terasa cukup sepi sore ini. Hanya ada beberapa pengunjung yang berada di setiap sisi dinding berlaci. Chiara mengedarkan pandangannya, menurut petunjuk dari Sang ibu, laci abu Naomi berada di sisi kiri.Ya, setelah Evan pulang, Chiara memutuskan untuk menemui Naomi, sendirian. Dia sudah meminta izin ibunya, beralasan pergi dengan Evan meskipun kenyataannya dia hanya seorang diri. Banyak hal yang ingin gadis itu sampaikan pada mendiang kakaknya, dan dia tidak ingin ada orang lain yang mendengarnya. Setelah sejenak mengembuskan napas berat, langkah kaki Chiara menjejak mendekati dinding laci sebelah kiri tubuhnya. Namun, tiba-tiba saja langkahnya terhenti secara mendadak ketika tatapannya menangkap presensi seseorang yang sangat tidak asing di ujung sana. Sosok seorang pria yang tampak tertidur sambil duduk bersandar pada laci yang Chiara tebak adalah milik Naomi.'Kak Nardo ....'Secara refleks tangan Chiara terangkat menyentuh dada. Entah karena terkejut atau bag
Sudah berbulan-bulan dari terakhir kali Chiara bertemu dengan Nardo di Columbarium, selama itu pula mantan calon Kakak iparnya itu tidak lagi menunjukkan dirinya. Kurang lebih enam bulan lamanya mereka tidak lagi berjumpa, namun siapa yang mengira jika Chiara selalu saja memikirkan pria itu?Sebenarnya Chiara pun bingung dengan apa yang dia rasakan saat ini. Dia merasa aneh dengan jantungnya, bahkan hatinya. Perlahan dirinya memang berhasil mengikhlaskan kepergian Naomi, tetapi rasa lain justru datang menghantui.Sejak saat itu, tidak ada lagi malam tanpa memimpikan wajah pria yang harusnya menjadi suami dari kakaknya. Jantungnya selalu saja berdenyut ngilu setiap kali mengingat wajah penuh duka Nardo. Debaran jantungnya seakan terus menerus menyerukan nama sang pria.Pada awalnya Chiara berpikir jika debaran tidak wajar yang dia rasakan pada Nardo akan menghilang seiring dengan berjalannya waktu. Tetapi nyatanya justru sebaliknya; rasa itu tidak pernah bisa lenyap, justru semakin kua