Bab 19"Jangan bercanda, Bu Sasty. Masih pagi ini," kata Ibas dengan senyuman."Saya serius nggak bohong, Pak."Ibas tampak berpikir sebelum akhirnya mengajakku masuk ke ruangan miliknya."Kamu yakin mau di oper ke kantor cabang?"Ibas menghela nafas sambil berdiri gagah. Dia memperhatikan wajahku dari jarak dekat."Ya," jawabku singkat. Kurasa inilah satu-satunya jalan untuk menghindari ibu dan adik-adikku yang tidak tahu diri itu."Wajahmu memerah dan ada bekas tamparan di pipimu. Apakah itu perlakuan ibu dan saudaramu?"Aku tersenyum samar. Jika mengingat kejadian sebelum berangkat kerja rasanya aku ingin menangis. Tapi tidak, aku bukan wanita lemah yang akan menangisi sesuatu yang sudah terjadi.Aku menanggukkan kepala. "Tolong pertimbangkan kepindahan saya! Saya mohon," pintaku lagi. "Baiklah. Aku beri waktu tiga hari untuk menyelesaikan tugasmu. Panggil Dika untuk membantu. Aku akan mencari tempat yang aman untukmu tapi tidak perlu pindah ke kantor cabang. Tempat itu letakny
Bab 20Suara motor menderu di halaman rumah Erna yang luas. Setelahnya, ada delapan orang pemuda dengan jaket hitam dan helm yang dipakainya, bergegas masuk ke dalam ruangan setelah mendobrak pintu. Erna yang baru saja keluar dari kamar tidur dibuatnya terkejut. Orang-orang itu memecahkan barang apa saja yang ada di dalam rumah. Kaca, meja, termasuk hiasan yang berjajar di dalam lemari, tak luput dari serangan tangan-tangan jahil."Apa-apaan ini! Berhenti, kenapa kalian menghancurkan barang-barang di rumahku?!" Erna berteriak histeris. Suara nyaringnya bersahutan dengan kaca-kaca yang pecah. "Tolong! Tolong!" Erna panik sambil berteriak. Tapi tak ada seorangpun yang datang untuk menolong; padahal jarak dari satu rumah ke rumah lain cukup dekat.Prang …!! Prang ….!!!"Suruh si Dion keluar, atau aku bakar sekalian rumah ini!!" ujar salah satu dari mereka. Ia menatap Erna dengan wajah dingin. Di tangannya tongkat baseball berputar-putar siap memecah apa saja."Cepat!!" ulangnya lagi
Bab 21Setelah tidak berhasil mendatangi kos-kosan tempat Sasty berada, Erna tidak putus asa. Kali ini dia berinisiatif mendatangi kantor dimana wanita itu bekerja. Siapa tahu dia bisa mendapat jalan keluar berupa alamat putrinya sekarang."Seperti yang kami beritakan sebelumnya, Bu Prasasty yang Anda cari sudah dipindahkan ke kantor cabang, dan kami tidak memiliki akses untuk memberitahu Ibu alamat lengkapnya," ujar seorang pria setelah Erna bertanya-tanya."Tapi saya ibunya. Tolonglah, Nak. Salah satu anggota keluarganya berada di rumah sakit sekarang. Sasty harus tahu keadaan adiknya.""Maaf, saya tidak bisa membantu!""Kalau kamu tidak memberikan alamatnya, coba berikan nomor telepon kantor atau apa saja yang bisa dihubungi. Ini darurat, Nak. Saya mohon," ujar Erna dengan wajah dibuat sesedih mungkin. Berharap dengan tatapannya yang menghiba akan membuat pria tampan di depannya kasihan.Pria itu lagi-lagi menggeleng dan hampir kehabisan akal. "Sekali lagi saya minta maaf, Bu.
Bab 22Erna keluar dari Bank bersama Harun dengan uang dalam tas yang dipeluknya erat. Pada akhirnya wanita itu berhasil menggadaikan sertifikat rumah senilai 100 juta rupiah."Mas, aku masih ragu apakah keputusanku ini benar atau tidak. Bagaimana kalau aku tidak sanggup membayarnya." Erna berkata dengan lesu sementara Harun memasang senyum sumringah. Dia hanya tinggal membujuk Erna untuk meminjami uangnya, seperti biasa."Sudah, nanti kita bicara di rumah. Bahaya kalau di jalan seperti ini kita bicara uang. Meleng sedikit, copet dan begal berkeliaran." Harun melirik ke sana ke mari. Ada beberapa motor dengan si pengemudi duduk di atasnya. Mereka tentu saja begal kelas kakap. Bukan hal yang tabu lagi, mereka kerap mengintai para nasabah yang habis mencairkan uang dari bank. Bahkan sebagian besar ada yang bersekongkol dengan satpam atau pekerja di dalam."Ya sudah." Erna menurut. Dia naik boncengan di belakang Harun. Motor pun melaju ke gang-gang sempit untuk mengecoh setelah dibuntu
Bab 23Melangkah pelan aku masuk ke ruanganku. Setiap hari adalah awal baru yang indah bagiku. Tanpa Ibu, Dion dan Sinta, kini hidupku semakin tenang tanpa gangguan mereka. Aku juga tak perlu sembunyi-sembunyi dan takut ada yang mengenali, karena sekarang penampilanku sudah tertutup dengan hijab dan masker, yang kukenakan ketika berada di luar lingkungan kantor.Pintu diketuk dari luar. Setelahnya Dika melongokkan kepala."Ada apa, Dik?" tanyaku tanpa basa- basi."Sas, boleh aku masuk?" Aku terkekeh. Sejak kapan dia perlu izinku untuk masuk me ruanganku."Nggak boleh. Memangnya ini kafe lantas kamu bisa masuk seenaknya. " "Idih, gitu amat, Bu."Dika satu- satunya sahabatku itu nyengir. Dia masuk dan mendudukkan badannya pada kursi di depanku. Kunyalakan monitor di depanku sambil menunggu tujuannya datang ke mari, yang sepertinya bukan akan membicarakan tentang pekerjaan. Background pantai menyapa kala layar sudah sepenuhnya menyala."Kalau ada perlu, cepat ngomong. Aku banyak ker
Bab 24"Silahkan, Bu Sasty." Aish, kenapa pria itu begitu formal menyebut namaku."Pak Ibas, ssttt!" Kuletakkan telunjuk di bibir pada Ibas yang sengaja menggoda. Pria itu dengan cepat membuka pintu mobil samping.Bagaimana kalau ada yang dengar, Dion misalnya. Padahal dalam perjalanan ke mari, sudah kuwanti- wanti agar pria itu membantuku meluluskan sanggahan Dion yang menduga jika distro itu masih milikku. Kalau begini, alamat ketahuan sebelum rencana beres."Aku hanya bercanda. Lagian 'gak ada orang yang dengar kok." Ibas celingukkan melihat ke kiri dan ke kanan yang memang sedikit sepi. Benar juga. Kata Anita, biasanya distro akan ramai menjelang sore sampai malam hari.Aku menggelengkan kepala dengan gemas, kala pandangan mataku sampai di dalam ruangan. Dion tengah asik- asikan merebahkan diri di atas sofa, dengan kaki lebar yang diangkat ke atas. Kuberi kode pada Anita hingga wanita itu mendekat. Sebelumnya Anita sudah 'ku kirimi pesan tentang Ibas. Aku sendiri penasaran aka
Bab 25"Saya benar-benar sedang tidak memiliki uang sekarang, Pak. Uang itu habis untuk membiayai anak saya yang menikah, lalu memperbaiki rumah yang dihancurkan oleh para preman." Suara Ibu terdengar memelas. Menikah? Dion atau Sinta? Keduanya memang harus dinikahkan segera mungkin.Tiba-tiba rara kasihan menyelimuti dalam dada atas kesedihannya. Tapi tidak, biarkan Ibu menerima pelajaran berharga sebagai buah dari apa yang ditanamnya selama ini.Brakk!!Terdengar suara gebrakan meja. Bukan hanya aku sepertinya yang terkejut, bahkan pengunjung yang lain juga ikut terusik."Kami tidak butuh alasan apapun yang keluar dari mulut Ibu. Bayar hutangnya, atau kalau tidak, terpaksa kami menyita barang-barang berharga di rumah Ibu. Itu pun masih belum menutupi hutang-hutang Ibu yang banyak itu!!" ancamnya tak main- main."Tapi Pak, masalahnya bukan hanya saja yang berhutang. Harun yang lebih besar mengambil jatahnya. Masa' iya dia nggak ikut andil. Ini curang namanya!" Ibu menyanggah ucapa
Bab 26Entah ke mana Ibas akan membawaku. Tapi saat melihat toko sembako langgananku, seketika bayangan ibu yang berdiri di depan perusahaan membuatku sedih, aku berinisiatif memintanya untuk berhenti. Ini sudah awal bulan, dan aku lupa mengirimkan kebutuhan untuk di rumah."Kenapa, ada sesuatu yang ingin dibeli?" Aku mengangguk dan keluar dari mobil, tanpa kuduga Ibas turut mengikuti dari belakang.Aku masih kesal dengan Ibu, tapi kewajibanku harus tetap kutunaikan. Aku masuk ke dalam toko itu, kebetulan si pemilik mengenalku dan langsung menyapa ramah. "Seperti biasa ya, Pak haji," ujarku karena memang sudah lama berlangganan."Sekalian dikirim juga ke rumah?" tanya pria itu tersenyum ramah padaku. Aku mengangguk."Iya, tolong ya, Pak.""Bapak pikir tadi kamu orang lain lho, ternyata kamu beneran Sasty. Makin cantik aja dengan hijab.""Pak Haji bisa aja," ucapku sambil tersipu malu pada pria beristri dua itu. "Oh ya, satu jam yang lalu ibumu ke sini nanyain kamu. Katanya apa ka