Share

Bab 2

Bab 2

"Sinta, kakak di rumah sakit sekarang. Kamu ke sini, ya. Temenin kakak."

"Aku harus kuliah, Kak. Lagian kakak juga pasti nggak akan memberiku uang transport dan makan. Ah, pusing. Gimana ini. Harusnya kakak hati-hati agar tidak sampai celaka dan nyusahin banyak orang."

Hatiku nyeri. Bukan berempati atas keadaanku Sinta malah berkeluh kesah di ujung telepon. Adik yang kujaga siang malam saat sakit itu, nyatanya sama sekali tidak menyayangiku.

Kubiarkan dia nyerocos sendirian sampai akhirnya telepon ditutup dari seberang. Ingin menghubungi Dion, tapi percuma, pria itu pasti tidak sudi mengangkat panggilanku.

Beberapa orang pekerja yang satu kantor denganku, bergantian datang ke rumah sakit untuk menjenguk. Aku begitu terharu mendapatkan perhatian dari mereka, juga biaya rumah sakit yang langsung ditanggung oleh perusahaan.

Pak Anton senior diatasku tersenyum begitu masuk ruangan. Beliau sigap datang ke rumah sakit dan mengurus semuanya setelah mendengar kabar kecelakaan itu.

"Karena ini masuk kecelakaan di tempat kerja, semuanya kami yang menanggung. Ada klaim asuransi juga yang akan turun setelah kita mengurus berkasnya. Biasanya butuh waktu tujuh hari. Kamu tenang saja dan istirahat dengan nyaman. Kamu bebas cuti dan tinggal di rumah sampai kamu sembuh."

Pria berparas tampan dan berkacamata itu menjelaskan semuanya. Aku jadi merasa terharu.

"Terima kasih karena sudah repot-repot membantu saya sampai sejauh ini, Pak."

Pria beranak dua itu tersenyum. "Tak masalah. Bukan hanya kamu sebenarnya, jika yang lainnya terluka pun, saya akan melakukan hal yang sama. Oh ya, kenapa saya tidak melihat keluargamu sejak kemarin? Bukankah seharusnya mereka menjagamu di sini, ya? Kalau tidak salah, kamu punya dua adik, dan ibumu masih ada, 'kan?"

Aku tersenyum getir. Tak mungkin aku mengatakan jika mereka tidak ingin menjengukku.

"Ya sudah, tidak apa-apa. Kalau begitu saya permisi. Oh ya, ini ada bingkisan dari istri saya," ujar pria itu sambil meletakkan banyak makanan di atas nakas. Aku tersenyum haru dan berkali-kali berterima kasih padanya. Pak Anton pun berlalu dibalik pintu meninggalkan aku sendiri yang merenung memikirkan nasibku.

Beruntung Dika sesekali datang setelah pulang kerja. Pria itu lebih mengerti bagaimana keadaanku di rumah.

***

Masih kuingat perkataan Ayah waktu itu, di detik-detik terakhir sebelum kepergiannya.

"Sasty, Bapak titipkan ibu dan dua adikmu padamu, karena bapak tahu hanya kamu yang bisa diandalkan. Bimbing dan jaga mereka sampai besar, Nduk."

Ucapan bapak yang berat dan sesak terus terngiang di pikiranku. Hingga akhirnya pria itu menghembuskan napas terakhir.

Aku yang waktu itu tinggal di rumah bude sebagai anak angkatnya, terpaksa pulang kembali ke rumah ibu. Aku tetap bersekolah dan lanjut kuliah atas biaya dari bude. Sekarang wanita mulia itu sudah meninggal dunia.

Dari sanalah semuanya dimulai. Aku mulai menjadi babu untuk mereka. Ibu selalu beralasan tidak mampu bekerja karena tidak pernah mengeluarkan keringat untuk menghasilkan uang.

Sementara waktu itu Dion baru kelas lima SD, sedangkan Sinta tiga tahun di bawahnya.

Menghembuskan nafas berkali-kali aku berinisiatif untuk menghubungi Ibu. Benarkah wanita itu tidak ada keinginan untuk menjengukku sama sekali?

Jika iya, maka keterlaluan mereka semua.

"Halo, Bu?"

"Sasty, kebetulan sekali kamu nelpon. Ibu sedang bingung sekarang. Kamu ada pegangan uang, nggak? Si Dion nabrak mobil orang. Ibu takut dia dituntut kalau nggak segera membayar ganti rugi."

Suara khawatir Ibu terdengar di ujung telepon, tapi Bukan untukku. Baru saja aku hendak bertanya, apakah dia akan ke rumah sakit atau tidak, kini fakta di telinga seolah mematahkan segalanya.

"Apa Ibu nggak mau datang sekedar untuk menjengukku?"

Kualihkan pertanyaan pada wanita itu.

"Eh, bu-bukan begitu, Sas. Si Dion lebih butuh Ibu. Kamu tahu bagaimana keadaan dia kalau bikin ulah, kan? Pusing," katanya, yang kutahu hanya alasan basi belaka.

"Setelah berhari-hari aku tinggal di rumah sakit, bukannya menanyakan kabarku atau sekedar mampir sebentar, Ibu malah langsung menadahkan tangan untuk Dion seolah-olah di rumah sakit ini aku menghasilkan banyak uang."

"Ck, gimana ibu harus ngomong sama kamu, Sas. Di rumah juga banyak masalah. Si Dion dan si Sinta sama saja bikin Ibu jengkel. Belum lagi orang itu ngotot karena mobilnya masuk bengkel. Lagian nggak ada yang beberes dan siapin makanan. Ibu sampai kelaparan dan beli nasi bungkus. Kamu harusnya ngerti dong, gimana sih kamu!!"

Suara ibu yang bersungut-sungut membuatku kesal.

Kututup panggilan telepon karena tidak mau lagi mendengar ocehan ibu, yang seperti biasa tidak akan berhenti sebelum dia mengeluarkan unek-unek dalam kepalanya.

***

Dua orang teman kantor mengantarku pulang atas suruhan Pak Anton.

Pemandangan pertama yang terlihat di depan mata adalah, body motor Dion yang hancur bagian depannya. Halaman yang kotor dan berdebu, juga rumah yang berantakan seperti kapal pecah.

Aku pulang setelah satu minggu dirawat di rumah sakit. Luka di kaki masih diperban cukup tebal. Untuk melangkah aku harus menggunakan kruk. Bahkan setelah sembuh nanti, aku masih harus menggunakan ankle breast. Benar-benar memprihatinkan. Selama itu juga tidak ada yang datang berkunjung atau sekedar menanyakan kabarku. Beruntung aku tak berkecil hati karena akan mulai membiasakan semuanya.

"Ya ampun, apa orang-orang di rumah ini kerja semua, Sas? Sampai-sampai nggak ada orang yang beberes."

Dika seorang asisten di kantor menggeser baju-baju yang bertumpuk di atas sofa.

Pria itu bahkan harus menutup hidungnya melihat bekas nasi bungkus yang berserakan di atas meja. Beberapa ada yang sudah dihinggapi lalat dan tungau.

"Aku nggak tahu, Dik. Udah tinggalin aja, semua ini bukan urusanmu."

"Nggak apa-apa sih, Sas. Lagian aku ngeri aja jika melihat makanan buluk seperti ini."

Aku mengangguk pelan pada pria pecinta kebersihan itu.

Betapa malunya aku melihat orang lain mulai memunguti sampah di atas meja dan mulai memasukkan ke dalam kresek. Dika langsung berjalan ke dapur dan membuang sampah.

Pintu kamar Dion dan Sinta masih tertutup, sementara hanya kamar Ibu saja yang terbuka karena banyak baju bertebaran di ujung pintu.

Tiba-tiba pintu ruangan terbuka. Sinta menguap di ujung pintu yang langsung berhadapan dengan Dika. Pria itu sampai menutup hidungnya dan menjauh.

"Eh, Kakak udah pulang? Bagi duit dong, Kak. Aku mau main sama teman, nih." Aku melotot melihat kelakuan adikku yang di otaknya hanya ada duit dan duit.

Andika yang melihat ekspresiku hanya mengusap tengkuknya, kemudian permisi untuk pulang.

Kubiarkan wanita itu cemberut karena tidak mendapat jawaban dariku. Segera kubawa tas sambil berjalan tertatih menuju ke dalam kamar. Aku membanting pintu dan menguncinya dengan erat, tak ingin demit itu mengganggu waktu istirahatku.

Baru saja aku hendak merebahkan diri di atas ranjang. Pandanganku menyapu seluruh ruangan tiga kali tiga meter ini.

Astaga, apa yang sebenarnya mereka cari di kamarku, hingga membuatnya sangat berantakan.

Belum selesai sampai di sana, suara melengking Ibu yang tiba-tiba terdengar membuat kekesalanku kembali naik.

"Sasty! Buka pintunya cepaten, Sas!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status