Bab 3
Aku menarik nafas panjang sebelum akhirnya membuka pintu. Raut wajah jelek Ibu berada persis di depanku. Sedangkan Sinta berdiri dengan wajah masam di belakangnya.Sekilas mata wanita itu memindai kakiku, sebelum akhirnya berubah ke wajah aslinya."Ada apa, Bu? Tidak bisakah Ibu membuat pikiranku sedikit tenang walau sebentar?""Orang yang kemarin mobilnya ditabrak oleh Dion, udah dateng. Cepat kamu temui dulu mereka. Ibu takut melihat tampangnya yang garang.""Iya, Kak. Mereka sepertinya nungguin kakak," sambung Sinta dengan wajah khawatir. "Apalagi ini, kenapa harus aku yang menemuinya, sih? Apa Ibu nggak lihat kalau untuk berjalan saja aku kesulitan?" ujarku dengan geram.Benar-benar keterlaluan. Siapa yang seharusnya yang bertanggung jawab, dan siapa yang seharusnya menghadap pada mereka, aneh. Kenapa harus aku lagi?"Ck, ini anak. Kamu 'kan bisa jalan pakai tongkat, gimana sih. Pokoknya Ibu nggak mau tahu, cepat kamu temui mereka dulu, jangan diem di kamar terus," gerutunya sambil menarik tanganku dengan kasar.Mengabaikan mereka yang sikapnya sudah sedikit ketakutan, aku berjalan pelan diikuti oleh Ibu dan Sinta di belakang. Benar saja, ada seorang pria berkemeja biru, yang bagian lengannya digulung sampai siku. Sementara dua pria lainnya bertampang garang, memakai jaket hitam dan berdiri di dekat pintu."Ada apa ini, ya, Pak?" tanyaku setelah duduk di depannya."Oh, jadi Anda yang kami tunggu-tunggu selama beberapa hari ini?! Baiklah, langsung saja. Pria yang bernama Dion alias adik Anda telah menabrak mobil mewah saya, dan dia tidak mau bertanggung jawab. Dia malah berniat kabur dari tempat kejadian. Sementara saat kami hendak membawanya ke kantor polisi, pria itu ketakutan dan mengatakan jika Anda yang akan membayar semuanya."Aku melirik kesal pada wajah Ibu yang mengguncang lenganku pelan."Sudah Sasty, biar nggak banyak omong, bayar saja. Biar mereka cepat pergi dari sini. Ibu malas bertemu dengan orang-orang ini," bisik Ibu di telingaku."Apa, Bu? Aku yang membayar ganti ruginya? Apa aku nggak salah dengar! Mana si Dion, suruh dia menghadap sendiri kepada mereka," balasku dengan gemuruh mulai naik ke kepala."Sasty!"Kuabaikan pekikan Ibu, lalu menatap Sinta yang berdiri."Sinta, mana kakakmu si tukang membuat onar itu?!""Di kamar, Kak." Aku segera berdiri. "Lho, Bu Sasty, bukannya mau menyelesaikan masalah ini, kenapa malah memanggil pria tidak bertanggung jawab itu?!" Pria itu ikut berdiri. Mungkin kesal keinginannya tidak segera tercapai."Sebentar Pak, aku harus memberinya pelajaran!" sahutku cepat."Sasty, kamu jangan macam-macam sama Dion, ya, Ibu nggak terima!!""Justru dia yang jangan macam-macam dan membuat ulah hingga merugikan orang lain. Kalau sudah seperti ini saja, aku sendiri yang harus membereskannya," timpalku sengit."Dion, keluar kamu!!" Aku mendorong pintu kamar dengan kasar. Sontak Dion terlonjak."Astaghfirullah, Dion!!"Pria itu berjingkat kaget."Ngapain lo di kamar gue, keluar!!" bentaknya kasar. Dion buru-buru mematikan layar yang menampilkan adegan esek-esek tersebut. "Benar-benar pria nggak tahu malu, tidak beradab, bahkan di tengah bolong seperti ini kau berani nonton bokep?!" serangku dengan pandangan tajam. Sudah saatnya mereka melihat kemarahanku."Bacot Lo, keluar!!" usirnya lagi. Dia pasti malu karena aksinya ketahuan. Ibu melotot pada Dion. Ada keterkejutan di wajah wanita itu."Kamu yang keluar dan bereskan sendiri masalahmu," balasku lantang.Dion mendekat dengan wajah ketakutannya, memindai beberapa orang pria yang berdiri di belakangku."Apaan sih. Bisa juga 'kan kakak yang membereskannya. Ngapain mesti aku, sih. Kakak tahu 'kan aku nggak punya duit sama sekali. Lagian kalau aku punya duit sudah kubayar saat kejadian!!" Sikap Dion berubah melembut, dia pasti ketakutan sekarang.Aku mengambil nafas dan melirik ke arah pria yang juga berdiri di belakangku. Pria tersebut ikut menyaksikan semuanya."Silahkan, terserah apa yang akan Bapak lakukan pada Dion, entah itu memenjarakannya atau melaporkannya ke polisi, karena jujur saya sudah lelah untuk mengurusnya.""Lah kok jadi begini sih, Bu Sasty, bagaimana ini?!" jawabnya kesal."Kakak!!" Dion berteriak ketakutan."Sasty, kamu nggak bisa kayak gini. Kasihan adikmu! Cepat bayar berapapun yang mereka butuhkan, biar urusannya selesai." Ibu mulai merengek dan mengeluarkan jurus andalannya."Mau bayar pakai apa, pakai ginjalku?!" semburku geram."Kak, aku nggak mau masuk penjara." "Bodo amat, aku nggak peduli!" tukasku cepat. Sudah saatnya Dion diberi pelajaran agar dia tidak terus-menerus berbuat seenaknya.Aku berbalik pada tiga pria yang berdiri dengan bingung tersebut."Maaf, Pak. Jujur saja saat ini saya tidak memiliki uang sama sekali, bapak lihat 'kan, saya baru saja keluar dari rumah sakit. Saya pasrah apapun kehendak Bapak kepada adik saya!!"Mereka saling lirik bersama dengan rekannya."Baik kalau begitu, jika tidak melihat Bu Sasty yang terluka, kami tidak akan segan menyeret Dion ke kantor polisi saat ini juga. Namun kami juga tidak akan mendapatkan apa-apa di sana. Adapun mobil saya juga rusak parah. Saya akan memberi waktu satu minggu, saya harap saat kami kembali ke rumah ini, Anda sudah memiliki uang untuk membayar semuanya." Pria itu langsung meninggalkanku yang berjalan ke arah kursi, siap mendengar ceramah Ibu lainnya."Kenapa kamu tega sekali pada Dion, Sasty?! Ibu minta uang untuk bantuin dia, kamu malah menutup sambungan telepon. Lalu saat Sinta meminta uang juga, kamu malah memelototinya. Dan sekarang, tega kamu biarkan nasib adikmu yang hendak digiring ke penjara. Sebenarnya apa sih maumu?!" Panjang lebar Ibu bersuara dan kudengarkan dengan baik."Apa Ibu nggak lihat kalau aku sedang sakit?! Aku sedang malas berdebat sekarang. Untuk urusan uang, aku tidak punya uang sepeserpun. Seminggu di rumah sakit aku mengeluarkan uang cukup banyak untuk biaya berobat. Jadi mungkin sampai akhir bulan kita harus berhemat," ujarku dingin."Ibu nggak peduli dengan keadaanmu! Lagian pihak perusahaan juga nggak mungkin diam saja melihat karyawan yang masuk rumah sakit!"Ya ampun, terbuat dari apa hati wanita yang bernama Ibu."Iya, Kakak tiba-tiba saja berubah sekarang. Apa jangan-jangan ada seseorang yang mengacaukan pikiran kakak, hingga kakak berbuat kejam kepada keluarga sendiri?!" Sinta ikut bersuara dengan sikapnya yang lancang."Diam kamu!!""Sasty, apa kamu nggak ingat pesan almarhum ayahmu kalau kami semua adalah tanggung jawabmu, hah?!" Ibu mulai mengingatkanku atas amanah ayah.Aku menyilangkan tangan di dada."Benar kalian adalah tanggung jawabku, tentunya ketika kalian masih kecil. Tapi sekarang semuanya sudah berbeda. Kalian sudah sama-sama dewasa dan bisa menjalani hidup seperti orang normal pada umumnya. Kau bisa kuliah sambil bekerja dan bertanggung jawab pada hidupmu sendiri. Dan Dion, juga harus bertanggung jawab akan perbuatannya sendiri," ujarku lantang. Wajah Ibu dan Sinta berubah terkejut."Berani sekali kamu berkata seperti itu, ya?! Kami ini keluargamu dan kami ini adalah tanggung jawabmu! Ingat itu!" Ibu yang kecewa dengan jawabanku menatapku semakin garang."Lalu aku ini apa artinya buat Ibu?!""Apa?!""Dengar Bu, aku juga punya hati dan perasaan. Dimana hati nurani Ibu saat aku berada di rumah sakit. Dan sekarang dengan mudahnya Ibu mengatakan jika kalian adalah tanggung jawabku. Tidakkah Ibu memiliki empati sedikit saja padaku, atau sekadar menanyakan kabarku terlebih dahulu. Apa Ibu tidak ingat berapa ratus juta uang yang sudah kuhasilkan dan kuberikan hanya untuk memenuhi tanggung jawab kepada kalian?! Aku ingin bertanya pada Ibu sekarang. Sebenarnya aku ini anak Ibu atau bukan, sih?! Jangan karena Ayah menitipkan kalian padaku, lantas kalian bertahun-tahun menindasku dan menjadikan aku mesin penghasil uang sekaligus robot untuk bekerja di rumah ini!! Aku capek, Bu!!"Bibir itu terkatup. Sorot matanya yang tajam berubah menurun. Geram sekali aku melihat orang-orang yang tidak punya belas kasihan ini."Bukan seperti itu, Sasty. Kamu tahu 'kan bagaimana keadaan keluarga kita. Kami semua hanya mengandalkanmu saja. Kalau tidak, dari mana kami memiliki uang." Ibu pura-pura terisak, padahal matanya kering tanpa air mata."Maaf, Bu, aku sudah lelah dengan semuanya. Sekarang terserah bagaimana pikiran Ibu!!""Sasty …." Ibu langsung menekan dadanya. Wanita itu merosot ke lantai dengan sambil memejamkan mata. Akting yang selalu digunakannya jika aku mendebatnya."Cukup, Bu. Nggak usah bersandiwara di depanku. Aku muak melihat sikap kalian semua!!""Kakak!""Tega-teganya ya, Kakak berpikir seperti itu. Padahal jelas Kakak tahu sendiri bagaimana kondisi jantung Ibu!" Sinta berteriak kesal sambil menatap nyalang. Duduk menyangga tubuh Ibu, tak menyurutkan wajahnya untuk mendongak memasang wajah kebencian.Membuang napas berat, kutatap balik wajahnya. Enak saja dia meninggikan suaranya di depanku. Mungkin lupa kalau isi perut dan pakaiannya dibelikan olehku. "Bawa ibu ke kamar dan suruh istirahat. Itupun kalau ibu benar-benar sakit. Dan kau, ajak kakakmu untuk membereskan kamarku. Lipat lagi baju-baju yang sudah kalian acak-acak. Aku tidak mau tahu, dalam waktu satu jam, kamarku harus kembali bersih!" "Apa Kakak sudah gila? Aku nggak mau!!" teriaknya kesal. Makin lama sikapnya makin tidak bisa ditolerir."Terserah, jika kau ingin membangkang, itu artinya kau sudah siap kehilangan uang jajan dan biaya transport. Uang untuk kuliahmu juga kau yang tanggung sendiri!!" Ancamanku tidak main-main. Mereka sudah dewasa dan seharusnya sudah lepas
Bab 5Sinta segera berdiri sambil menghentakkan kakinya. Dia menatapku dengan wajah kesal, setelah itu langsung masuk ke dalam kamar Ibu dan berteriak-teriak, memanggil wanita yang selalu menjadi pelindungnya. Benar-benar kekanak-kanakan."Bu, Ibu, aku sedang butuh uang. Dan ternyata Kakak memiliki uang banyak. Aku hendak meminjamnya, tapi dia tidak memberikannya, Bu. Ayo dong, Bu. Bantu aku!" Dasar tukang ngadu."Apa, biar Ibu yang bicara dengan kakakmu!" Wanita yang rambutnya dicepol asal itu segera menghampiriku.Kebetulan aku masih berdiri di tempatku, siap mendengar ceramah dan permintaannya soal uang. Jika berhubungan dengan uang, jangan harap Ibu akan mundur atau mengalah. Tidak akan pernah terjadi. Wanita itu rela melakukan apa saja asal mendapatkan sesuatu yang menjadi idolanya; yaitu uang."Mana uangnya, Sasty. Cepat berikan pada Ibu. Jangan sampai Sinta nangis-nangis hanya karena masalah ini," pintanya tak tahu diri."Kenapa aku harus memberikannya pada dia, Bu? Ini uang
Bab 6"Awas ya, kalau sampai kamu berani lakuin itu. Sekarang juga aku akan pergi dari rumah. Biar kalian mikir, hidup tanpa uang itu menyedihkan!!" ancamku tak main-main."Coba aja kalau berani. Emangnya kakak kuat hidup tanpa keluarga, nggak mungkin. Aku berani taruhan!!" Dion membalas dengan wajahnya yang mengejek. Aku menghela nafas. Kukira adikku yang bajing*n itu akan gentar dengan ancamanku. Tapi ternyata aku salah. Orang-orang yang sudah digilakan oleh uang, bisa melakukan apa saja bahkan mencelakai saudara kandungnya sendiri. Miris."Dion, Sasty, apa-apaan kalian ini? Kerjaannya ribut terus. Dasar berandal. Lepasin Kakakmu, Dion. Kamu mau punya kakak yang kakinya cacat, iya? Siapa yang mau nikah sama dia nanti." Ibu menarik-narik kaos oblong Dion dengan berbagai umpatan keluar dari bibirnya."Kak Sasty nggak mau ngasih uangnya, Bu! Bikin naik darah aja dia," balasnya tak mau disalahkan."Sasty, kamu ini kenapa sih jadi pelit gini, heran Ibu. Dan kamu Dion, ambil tuh uangny
Bab 7Ponselku berkedip beberapa kali, nama Dika tercetak di sana. Kusambar ponsel kemudian mendekatkannya ke arah telinga. Tumben di jam kantor seperti ini Dika menghubungi. Tiba-tiba saja entah kenapa perasaanku tidak enak."Ya, Dik. Apa kamu ketinggalan sesuatu?" tanyaku."Eum, nggak, sih. Tapi …." Ragu-ragu Dika bicara."Ada apaan sih, kok malah diem?!""Ibumu datang ke kantor, Sas. Sengaja menemuiku untuk mencarimu. Ketika kukatakan kamu belum masuk kerja karena kakimu cedera, Ibumu bersimpuh di depan para karyawan. Dia juga menjelek-jelekkanmu. Imbasnya, Pak Anton yang melihat itu langsung membawanya ke ruangan dan memberikan sejumlah uang.""Ya ampun Ibu, bisa-bisanya dia datang ke kantor," ucapku geram. Aku tak sangka ibu akan melakukan hal nekat sejauh itu. Sejak minggat aku memang memblokir nomor orang rumah, hingga baik Dion maupun Sinta tidak bisa menghubungiku. Siapa sangka Ibu malah bertindak nekat."Lalu sekarang bagaimana, apa Ibu masih ada di sana?" tanyaku penasara
Bab 8"Kamu udah siap?" tanya Dika begitu aku keluar dari kamar kos. "Udah, yuk." Pria itu tersenyum simpul dan membawaku ke parkiran. Dika tampak telaten membantuku menuruni satu persatu tangga, tidak peduli meskipun beberapa penghuni lain yang berlalu lalang kerap melirik aneh ke arahku.Sampai di pinggir jalan, mobil yang dipesan oleh Dika datang. Kami langsung pergi ke rumah sakit untuk kontrol sore itu. Mengganti perban sekaligus mengecek keadaan kaki di bagian dalam."Lumayan bagus. Tapi masih butuh beberapa minggu lagi untuk bisa berdiri normal. Pastikan jangan terkena air dan jangan terlalu dipaksa berjalan." Penjelasan dari dokter membuatku lega. Setelah menyelesaikan administrasi dan mengambil obat, Dika membawaku ke kantin dekat rumah sakit. Memesan beberapa makanan, lalu menikmatinya sambil sesekali bercanda."Kakak ada di sini rupanya!" Aku dan Dika sontak menoleh. Dia lagi.Entah dari mana datangnya hingga Dion tiba-tiba saja ada di sini. Kuperhatikan dengan malas pe
Bab 9Otot-ototku terasa lemas dan tak bertulang melihat pemandangan miris di depanku. Teganya Dion melakukan hal ini. Satu-satunya sumber mata pencaharian yang kusediakan untuknya, malah dia sia-siakan begitu saja."Padahal dua minggu yang lalu saat aku datang bareng temanku, tempat ini baik-baik saja, Sas. Meski ya nggak banyak stok baju yang dijual. Lalu kenapa sekarang jadi begini?" Dika yang berdiri menopang tubuhku pun merasa heran. Aku menggeleng lemah. Bukan hanya dia yang heran, aku lebih dari itu tentu saja. Aku sengaja mengarahkan Dion dengan membuka usaha untuk menghidupi keluarga dari hasil penjualannya. Tapi ternyata, nggak ada gunanya jika di empunya nggak berniat maju. Tak ingin dirundung kesedihan terlalu lama akhirnya aku memilih kembali ke dalam mobil, lalu pulang sambil memikirkan rencana selanjutnya.Tidak. Mereka tak bisa dibiarkan. Ibu, Dion dan Sinta mereka benar-benar menguras pikiranku. Jika seperti ini caranya, bahkan sampai aku membungkuk tua dengan ra
Bab 10Sekuat apapun aku mencoba menghindari Pakde, nyatanya pria itu tidak akan pernah berhenti sebelum memarahiku habis-habisan. Ibu. Kenapa dia begitu dekat dengan pria itu, padahal bude sudah lama meninggal. Seharusnya mereka jaga jarak karena bukan mahram. Rasanya risih saja saat melihat mereka tetap saling berhubungan."Ada apa, Pakde?" tanyaku to the point setelah panggilan kesekian kalinya masuk ke ponsel."Kamu tentu tahu untuk apa Pakde nelpon kalau bukan atas aduan ibumu.Kenapa kamu tega pada mereka, Sas? Kamu tidak memberikan uang serta meninggalkan rumah begitu saja, lepas tanggung jawab. Kamu biarkan ibu dan adik-adikmu kelaparan. Jawab. Apa kamu sengaja? Atau ada seseorang yang mempengaruhimu?!" "Itukah yang Ibu katakan?" tanyaku balik. Pintar sekali ibu bersandiwara."Kau pikir ibumu berdusta?" hardik Pakde. Suara baritonnya terdengar bergemuruh. "Bukankah Ibu selalu seperti itu. Menjual namaku pada orang-orang, lalu menjelek-jelekkanku demi meraih simpati, te
Bab 11"Apa yang terjadi di rumah?" tanyaku cepat. Melihat wajah Sinta yang pias entah karena apa."Kak, Dion digebukin oleh orang-orang yang datang ke rumah tempo hari. Kasihan dia, Kak. Aku mohon, pulanglah. Penyakit Ibu juga kumat lagi.""Kau tidak bohong, 'kan?" Tatapanku menyelidik. Keluargaku yang manipulatif membuatku sedikit tidak percaya pada setiap aduan mereka."Aku nggak bohong, Kak. Kasihan Dion. Tolong pulanglah, hanya Kakak yang bisa menyelamatkan dia," ujarnya setengah memohon. Aku mengangguk pelan, tapi karena kesulitan aku hanya bisa berjalan pelan-pelan. "Kalau tidak keberatan, biarkan saya mengantar kalian apalagi jika rumahnya jauh. Kebetulan saya punya mobil." Pria yang baru kukenal beberapa menit itu menawarkan bantuan. Dengan cepat pula aku menolaknya. "Tidak usah, saya bisa naik angkutan umum," ujarku tak enak hati."Kak, terima aja tawarannya. Nanti Dion keburu mati." Aku melotot pada Sinta. Bisa-bisanya dia menerima bantuan orang asing. Tapi Ibas m