Share

Watak Asli Keluargaku ketika Aku Sakit
Watak Asli Keluargaku ketika Aku Sakit
Penulis: Bun say

Bab 1

Bab 1

"Sinta, ayo bangun!"

Aku mengetuk pintu kamar adikku yang perempuan. Tapi hingga berkali-kali, gadis itu tidak kunjung juga membuka pintunya. Penasaran, aku membuka pintu kamarnya kemudian menyibak gorden. Kulihat Sinta masih terlelap di bawah selimut tebal.

"Sinta, bangun dulu. Cepat mandi, sholat dan sarapan. Kamu bisa terlambat kuliah nanti," ujarku sambil mengguncang bahunya.

Gadis itu hanya menggeliat dan mengangguk pelan.

"Iya Kak, bentar lagi. Udah sana keluar, ganggu aja," jawabnya masih dengan mata terpejam.

"Ya udah, awas kalau telat nyalahin kakak." Aku segera keluar dari kamarnya sambil memunguti baju kotor yang tercecer.

Tak langsung ke dapur, aku memilih mengetuk pintu kamar adik pertamaku. Keadaan Dion tidak jauh berbeda dengan Sinta. Pria bujangan super pemalas itu lebih bebal lagi.

Kamarnya bau asap rokok dan bau segala macam aroma menusuk hidung. Dion tampak terlelap dan ngorok. Selimutnya entah ada dimana. Dia tidur hanya mengenakan boxer saja.

Dasar anak ini, padahal usianya sudah di atas 25 tahun. Tapi kebiasaannya tidur tidak memakai baju dan celana, membuatku kadang-kadang sedikit risih. Dia bukan anak kecil yang bebas bertelanjang meskipun di kamarnya sendiri.

"Dion, hei, bangun. Ini udah jam berapa? Bukannya ngasih contoh ke adikmu, malah sama sama kebluk. Ayo bangun, biasakan sholat subuh."

Aku membangunkan pria itu tanpa lelah bahkan sejak akil baligh, sebelas tahun lalu.

Kuguncang bahunya dengan ujung telunjuk. Tapi bukannya menurut, Dion malah melemparku dengan bantal.

Bugh!!

Sontak saja aku terdorong ke belakang dengan posisi terduduk di lantai. Sakit!

"Dion! Nggak sopan kamu, ya!!"

"Ahh … berisik, sana pergi, ganggu orang aja," semburnya marah. Tanpa membuka mata.

"Yang penting kakak sudah mencoba membangunkan kamu, ya. Urusan ibadah dan yang lainnya terserah padamu," ujarku kesal sambil membanting pintu.

Aku menghela nafas dan berjalan gontai menuju ke ruang makan.

Belum selesai perasaan dongkol itu, Ibu sudah keluar dari dalam kamar. Rambut yang acak-acakan disertai daster kusut menandakan jika Ibu tak jauh berbeda dengan kedua putra-putrinya.

"Ibu juga baru bangun?!" Aku melirik ke arahnya dengan malas.

"Iya. Memangnya kenapa? Masalah buat kamu?!" Ibu menyahut ketus. Wanita itu memilih duduk di meja makan alih-alih pergi ke kamar mandi untuk cuci muka. Benar-benar perbuatan yang tidak patut untuk dicontoh.

"Sikat gigi dan sholat dulu, Bu. Itu jigong juga harusnya dibersihin dulu."

"Bawel!"

Arggh, kadang aku lelah melihat keadaan keluargaku yang jauh dari adab dan agama. Sampai kapan aku memaklumi watak-watak mereka.

Ibu mengambil bakwan dan melahapnya, tentunya setelah meneguk teh manis untuk berkumur-kumur.

Benar-benar jorok.

Tak bicara lagi karena pasti ujung-ujungnya Ibu akan mengomel tak tahu waktu, aku memilih diam dan mengambil sarapan.

Kutatap meja makan. Aku sudah menyiapkan makanan sejak pagi buta, hanya untuk menyenangkan tiga orang manusia yang tinggal di rumah ini. Tapi bukannya bersyukur, mereka malah marah dan merasa terganggu. Seolah-olah apa yang kulakukan semuanya salah di mata mereka.

Aku kembali masuk ke dalam kamar, meraih tas dan bersiap pergi. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Bisa macet di jalan jika aku terlambat pergi. Tahu sendiri jalanan di ibukota seperti apa.

"Sasty, jangan lupa uang untuk arisan Ibu. Mana? Malu Ibu kalau hari ini nggak bayar."

Langkahku terhenti. Aku diam saja. Tiada hari tanpa uang untuk Ibu. Baginya aku hanyalah mesin uang.

Tak ingin menyahutinya, segera kukeluarkan lima lembar uang merah dari dalam dompet. Wajah khas bangun tidur Ibu, berubah sumringah.

Mata Ibu berbinar. Namun detik berikutnya, beliau kembali menadahkan tangan.

"Apalagi, Bu?" tanyaku malas. "Uangku hanya tinggal untuk bensin dan makan siang. Apa Ibu tega mengambil jatahku juga, sedangkan sampai gaji turun masih tersisa 2 minggu lagi!"

"Issh, lima puluh ribu lagi. Masa nggak ada? Kamu kan bisa nyelip nyelipin uang dari mana saja, lagian kamu kerja di perusahaan bonafit," ucap Ibu santai.

Enteng sekali Ibu berkata seolah-olah aku bisa mengeruk uang dari mana saja.

"Cepat, Sas. Atau kamu telat pergi!!"

Membuang nafas kasar, kuletakkan uang sepuluh ribuan, lima lembar di depan Ibu. Wanita itu mencebik karena kuberi uang recehan.

"Biar saja, toh itu sama-sama uang juga, kan?! Kita belum bisa mencetaknya sendiri."

"Terus jatah Sinta, Dion? Mana? Kamu tahu kan mereka bakal ngomel ke Ibu kali nggak dapat jatah."

"Mereka sudah dewasa, suruh cari duit sendiri. Emang enak kerja! Nggak, Bu. Capek! Lagian Sinta sudah kuberi uang bulanan, masa udah habis aja."

"Ya udah, sana pergi, bawel, ah. Jangan lupa kalau ada lembur kamu ambil buat nambah-nambahin uang gaji kamu."

Kutinggalkan wanita yang sudah puas setelah memegang lembaran rupiah tersebut. Aku berjalan ke parkiran dan menaiki motor keluaran lama, karena belum mampu membeli motor baru.

Sedangkan Dion dan Sinta sudah memiliki motor baru untuk pergi kuliah dan bekerja. Siapa lagi yang membelinya kalau bukan aku.

Aku Prasasty Dewi, 30 tahun, si tulang punggung keluarga.

Seharusnya hidup kami nyaman dan mandiri, andaikan saja Ibu bisa memberi contoh untuk kedua adikku. Tapi Ibu tak jauh berbeda dengan kedua adikku itu. Ibu adalah wanita gila uang yang tiap waktu selalu saja merengek meminta uang untuk memenuhi keinginannya; entah itu arisanlah, jalan-jalanlah, atau hunting ke tempat-tempat mahal demi untuk memanjakan matanya.

Dion sendiri adalah pria pengangguran yang tidak lulus kuliah. Selama beberapa tahun dia mengecohku dengan mengatakan kuliahnya baik-baik saja. Aku baru mengetahuinya di tahun kedua setelah Sinta keceplosan bicara. Yang ternyata dia di DO dari kampus.

Lalu Sinta sendiri masih kuliah semester lima, meskipun belakangan aku sedikit curiga karena Sinta sering sekali bolos kuliah dan malah pergi keluyuran dengan teman-temannya.

Tak jarang gadis itu pulang tengah malam dengan keadaan mabuk. Untuk yang satu ini aku masih belum menyelidikinya lebih lanjut, toh nanti juga kebenaran akan terbuka sendiri. Aku tidak ingin terlalu pusing memikirkannya, karena semua orang di rumahku hanya mementingkan uangku saja.

"Bu Sasty, langsung ke lapangan saja, ya. Cek bahan apa saja yang kemarin malam datang."

"Baik, Pak!"

Suara Pak Anton di ujung telepon membuatku lagi-lagi harus menarik nafas pelan. Sebagai manajer lapangan, tugasku adalah mengontrol proyek yang sedang dibangun.

Kukemudikan roda dua ini menuju tempat tujuan. Membutuhkan waktu sekitar tiga puluh menit, hingga akhirnya aku sampai di sana. Para pekerja sudah sampai lebih dulu, meskipun jam kerja belum dimulai.

"Bu Sasty, udah datang saja." Para pekerja yang sudah mengenalku menyapa dengan ramah. Ada kopi mengepul dalam gelas plastik di tangannya.

"Iya Pak, takut keburu macet di jalan," ujarku sambil berkeliling dengan beberapa orang. Banyak yang kami bicarakan pagi itu, sebelum akhirnya besi steger yang bersusun di sebelah timur, roboh dan porak-poranda karena bertumpuk terlalu banyak.

"Bu Sasty, awas!!" Seorang pekerja berteriak. Naas aku yang hendak mengelak, tertimpa besi sehingga engkel kaki terluka.

"Argghh!!"

"Bu Sasty!"

"Ya ampun, cepat bawa Bu Sasty dari sini." Para pekerja yang lain berteriak. Mereka mendekat dengan perasaan khawatir.

Jujur saja aku ingin menangis merasakan rasa nyeri dan ngilu di saat bersamaan. Bukan hanya tulang yang terasa retak, namun darah mengucur dari bagian kaki.

Meski tidak sampai pingsan, jelas aku merasa nyeri di bagian engkel. Aku tidak bisa bergerak dan hanya bisa pasrah, saat para pekerja itu membawaku ke salah satu mobil yang mengiringiku ke rumah sakit.

Akibat pengaruh obat aku tidak sadarkan diri. Tahu-tahu aku mengerjapkan mata dengan kaki yang sudah terbungkus kain kasa tebal. Rasanya berat, sakit dan kaku. Aku tidak bisa menggerakkannya sama sekali.

Perawat yang melihatku sadar, langsung mendekat dan tersenyum.

"Bu Sasty, sudah sadar?!"

"Suster, di mana keluarga saya?!" Itu yang pertama kali aku tanyakan mengingat ruangan ini terlihat sangat sepi.

Kemana mereka? Bukankah seharusnya Ibu, Dion dan Sinta ada di sini?

"Eumh, maaf, Bu. Tadi rekan Ibu sudah menghubungi keluarga di rumah, namun sepertinya mereka beralasan untuk tidak datang ke sini."

Deg!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status