Share

Bab 7

Bab 7

Ponselku berkedip beberapa kali, nama Dika tercetak di sana. Kusambar ponsel kemudian mendekatkannya ke arah telinga. Tumben di jam kantor seperti ini Dika menghubungi. Tiba-tiba saja entah kenapa perasaanku tidak enak.

"Ya, Dik. Apa kamu ketinggalan sesuatu?" tanyaku.

"Eum, nggak, sih. Tapi …." Ragu-ragu Dika bicara.

"Ada apaan sih, kok malah diem?!"

"Ibumu datang ke kantor, Sas. Sengaja menemuiku untuk mencarimu. Ketika kukatakan kamu belum masuk kerja karena kakimu cedera, Ibumu bersimpuh di depan para karyawan. Dia juga menjelek-jelekkanmu. Imbasnya, Pak Anton yang melihat itu langsung membawanya ke ruangan dan memberikan sejumlah uang."

"Ya ampun Ibu, bisa-bisanya dia datang ke kantor," ucapku geram.

Aku tak sangka ibu akan melakukan hal nekat sejauh itu.

Sejak minggat aku memang memblokir nomor orang rumah, hingga baik Dion maupun Sinta tidak bisa menghubungiku. Siapa sangka Ibu malah bertindak nekat.

"Lalu sekarang bagaimana, apa Ibu masih ada di sana?" tanyaku penasaran. Setahuku jika tujuannya datang untuk mencariku, Ibu tidak akan menyerah semudah itu.

"Aku dan yang lainnya sudah berusaha untuk menyuruhnya pergi, tapi sepertinya ibumu terlalu bebal. Makanya kami membiarkannya duduk di kursi tunggu. Katanya lagi dia nggak akan pulang sebelum ketemu dengan kamu." Terdengar helaan nafas di ujung telepon.

"Ya udah aku ke sana," putusku kemudian.

"Sas, ingat pesanku, ya. Kau harus teguh dengan pendirianmu, jangan goyah meski ibumu menghiba padamu. Kamu tahu 'kan, bagaimana selama ini kau hanya diperbudak?!"

"Iya, Dik. Aku tahu. Makasih udah mengingatkan," ujarku sambil memutus sambungan, lalu memesan go-car untuk sampai ke kantor.

***

Begitu aku sampai, Ibu memburu di depan pintu masuk. Wajahnya terlihat senang melihatku ada di depannya.

"Sasty, Ibu tahu kamu akan datang. Ayo kita pulang. Banyak kerjaan rumah butuh sentuhan kamu. Ibu nggak bisa menghandlenya sendiri. Lagian urusan Dion 'kan belum selesai."

Kupasang wajah datar dengan kening berlipat. Bukannya rindu dan mengajakku pulang baik-baik, Ibu ternyata hanya memikirkan keadaan di rumah. Hadeuh, padahal aku sedikit bersyukur Ibu mengkhawatirkan keadaanku meskipun sedikit. Nyatanya, aku tetap saja harus menelan pil pahit itu sendiri.

"Ngapain Ibu datang ke kantor dan cari masalah? Apa Ibu nggak malu dilihatin banyak orang?"

"Sasty, bukan begitu maksud Ibu. Kamu ini nggak pulang-pulang, ya jelas Ibu khawatir. Makanya—"

"Makanya Ibu nekat datang ke sini, merendahkan harga diri dengan bersimpuh di depan orang-orang agar mereka merasa kasihan, gitu? Semua itu Ibu lakukan demi uang, begitu 'kan?" ujarku sinis. Tak habis pikir dengan wanita yang satu ini. Di otaknya hanya ada uang saja.

"Jangan bicara begitu, Sasty. Aku ini ibumu, ibu kandung yang melahirkanmu. Sudah sepantasnya kamu berbakti padaku. Lagian ngapain kamu minggat dari rumah, nyusahin orang saja." Ibu berdecak. Sebentar saja sudah kelihatan watak aslinya.

"Karena Ibu sudah mendapatkan uangnya, sekarang pulang dan jangan coba-coba datang ke tempat ini lagi. Atau aku benar-benar akan berhenti memberikan nafkah untuk kalian, kalau perlu aku akan pergi ke luar kota dan melupakan hubungan kita!!"

Mendengar ucapanku, wajah Ibu memerah. Ditariknya kuat-kuat rambutku yang dicepol asal, hingga kepalaku rasanya mau pecah.

"Kamu sudah berani mengancam Ibu, hah? Anak nggak tahu diri. Susah payah aku besarkanmu, berani-beraninya ya kamu berkata begitu di depan ibumu sendiri. Mau jadi apa kamu kalau kabur ke luar kota, dasar anak durhaka! Lagian tanpa kami semua, kamu itu bukan apa-apa. Emangnya hidup sebatang kara itu enak?!"

"Itu lebih baik daripada aku harus ditindas setiap hari oleh kalian!!" ujarku berapi-api.

Tak peduli meskipun beberapa orang mulai berbisik-bisik membicarakan kami. Biar saja aku disebut anak durhaka. Mereka tidak tahu saja bagaimana perangai Ibu terhadapku, yang selama ini telah menjadikan aku seorang babu demi untuk memuaskan seluruh kebutuhannya.

"Udah, nggak usah berdebat. Ayo pulang sekarang, Ibu nggak mau sampai kamu keluar dari rumah."

"Aku nggak akan pulang, Bu. Ibu saja yang pulang sana!!!"

"Sasty, jangan jadi anak pembangkang kamu. Ayo pulang!"

Ibu menyeretku dengan paksa. Aku menepis tangannya berkali-kali, namun kakiku yang terluka membuatku tidak berdaya.

'Ya Tuhan … tolong selamatkan aku. Jangan biarkan aku pulang ke neraka yang menyiksaku selama ini,' jeritku dalam hati.

"Tolong berhenti!! Apa-apaan ini? Kenapa anda menyeret seorang wanita yang jelas-jelas tidak berdaya?!"

Tiba-tiba suara seorang pria menghentikan tangan ibu yang mencengkram bahu hendak menyeretku pergi.

"Pak Anton," ucapku serupa gumaman. Wajah Pak Anton mengeras melihat keadaanku yang acak-acakan.

"Tadinya saya membiarkan ibumu menunggu di kantor karena dia tak mau saat saya menyuruhnya pergi baik-baik. Bahkan saya sudah memberikan ongkos, yang saya pikir cukup untuk keperluan ibumu. Ternyata begini kelakuannya. Pantas saja selama ini kamu tersiksa, Sasty. Bahkan di rumah sakit tidak ada satu orang pun keluargamu yang menunggu."

Wajah Ibu pucat mendengar penuturan dari pimpinanku ini. Wanita itu melepaskan tangannya dan memasang wajah sendu.

"Anda tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi putriku ini, Pak. Dia—"

"Cukup, Ibu tak perlu menjelek-jelekkan aku pada orang lain," ujarku menyela agar Ibu tak kembali menebarkan kebohongan.

"Tapi, Sas—"

"Pulanglah!" Aku mendekat ke arah Pak Anton yang sepertinya akan pergi.

"Saya nebeng di mobil bapak, ya. Hanya sampai pertigaan jalan."

Lihat situasi yang tidak mengenakkan, mau tak mau Pak Anton pun mengangguk. Mungkin bingung kenapa aku memilih pergi dengannya alih-alih pulang bersama dengan ibu.

Bisa kulihat dari spion mobil, Ibu mendengus kesal. Dia masih berdiri di tepi jalan. Aku bersyukur kali ini bisa menolak ajakan ibu. Semoga kedepannya aku bisa Istiqomah, agar aku bisa melanjutkan hidup meskipun harus berjalan seorang diri.

"Sebenarnya saya tidak mengerti ada masalah apa antara kamu dan ibumu, Sas. Tapi dibalik itu semua saya yakin kamu adalah seorang anak yang baik. Terbukti selama ini kamu tidak pernah macam-macam di kantor. Ya, kamu tahu 'kan bagaimana kelakuan anak anak di luar jam kantor?!"

Aku mengangguk. "Banyak hal yang tidak bisa saya jelaskan kepada bapak, namun intinya selama ini keluarga saya hanya hidup dari hasil kerja keras saya, tanpa sedikitpun mau berterima kasih atau menghargai usaha saya, Pak. Dan Ibu hanya menginginkan uang saya saja tanpa peduli dengan keadaan saya."

Pak Anton manggut-manggut mendengar penjelasanku. Tentunya pria yang memiliki IQ diatas rata-rata itu, cukup mengerti saat ibu dan keluargaku tidak mau mendatangiku di rumah sakit.

"Baiklah apapun masalahmu, saya harap kamu bisa menyelesaikannya dengan baik. Coba ikuti saran saya, berbakti kepada orang tua dan keluarga adalah kewajiban. Namun bukan berarti kita harus menyerahkan segalanya, terutama hidup dan penghasilan kamu. Lagian kamu 'kan cerdas, bisa mengatur keuangan dengan baik. Pisahkan mana untuk dirimu, masa depanmu, juga untuk keluargamu. Lagian gaji sebagai manajer lapangan cukup besar. Maka dari itu baik-baiklah mengelolanya."

Aku tersenyum sekilas dan melirik ke samping. Pak Anton juga tersenyum meski kedua tangannya fokus pada kemudi.

"Terima kasih atas nasehatnya, Pak, meskipun sedikit terlambat Insya Allah saya akan mengubahnya."

"Ingat Sasty, tidak ada kata terlambat untuk merubah semuanya."

***

"Gila ya ibumu, Sas. Aku nggak nyangka dia sampai nyeret kamu untuk pulang."

Dika terkejut ketika kuceritakan kejadian setelah aku sampai ke kantor tadi. Dia kebetulan berada di lantai 14, di ruangannya, hingga tidak sempat melihat keadaan di lobby.

"Itulah, Dik. Makanya niatku semakin bulat untuk pergi jauh dari keluargaku. Biarlah, aku akan memberikan jatah untuk mereka secukupnya saja. Melihat mereka pun sudah dewasa dan sudah saatnya mencari jalan kehidupan sendiri."

Dika mengangguk.

"Meskipun terlambat aku mendukung keputusanmu. Ingat Sas, kamu tidak akan selamanya muda, lagi pula jika kamu terus-terusan melajang mereka juga belum tentu mau mengurusmu saat kamu tua nanti. Mulai sekarang pikirkan hidupmu. Kau juga perlu seseorang untuk melindungimu. Saat ini mungkin ibumu selalu mengancam jika hanya mereka keluargamu. Tapi semua itu akan berubah begitu kamu menikah dan memiliki keluarga sendiri. Aku yakin ibu dan keluargamu akan berhenti merecoki hidupmu."

Aku mendengarkan ucapan dari Dika dan memasukkannya dalam hati. Dia benar.

Pada akhirnya aku bersyukur karena dikelilingi orang-orang yang sangat menyayangiku, dengan memberikan nasihat-nasihatnya; mulai dari Pak Anton dan Dika.

Tentu saja melihat dari kacamata mereka, mungkin merasa miris dengan keadaan hidupku yang diperbudak oleh orang keluargaku sendiri ini.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status