Share

06. Pujian-pujian Keberuntungan

Pagi harinya, Salsabila benar-benar merasakan pusing di kepala. Semalam ia menghabiskan waktu menangisi pria itu kembali. Selepas dia melihat suaminya kembali bersama wanitanya itu, rasa sakit yang selama ini berusaha ditepisnya kembali lagi dan membuatnya benar-benar hancur semalam.

Terlebih lagi saat ia kembali membayangkan saat di mana ia untuk pertama kalinya melihat rupa seorang wanita cantik yang bernama Maira itu.

Tak ingin terlihat kembali hancur, Salsabila menunjukkan kembali ketegaran penuh kepura-puraan itu. Ia kemudian keluar dari dalam kamarnya, kembali bersiap untuk ke kantor. Hanya di kantor ia bisa sedikit menenangkan diri dan berusaha menyibukkan diri sehingga tidak terlalu lama terpenjara dalam kesedihan ini.

Saat Salsabila akan membelokkan tubuh ke arah dapur, ternyata pria itu sudah berada di sana tengah menikmati sarapannya. Entah sejak kapan pria itu kembali, Salsabila sama sekali tidak menyadarinya.

"Kau tidak sarapan?"

Sebuah suara di belakangnya menghentikan kegiatan Salsabila yang berniat melarikan diri tanpa disadari oleh pria itu.

Salsabila menghela napas dan berbalik untuk mmenjawab, "Aku akan sarapan di kantor, Mas."

Alan sama sekali tak menahannya, justru ia mengingatkan sesuatu hal yang lainnya.

"Ingat, ya. Pesta dari kolegaku akan digelar sebentar malam."

Salsabila mengangguk.

Alan kembali bersuara, "Aku sudah memesankan gaun untukmu, Dimas yang akan mengambilnya," ucapnya dengan nada pelan, lalu kembali melanjutkan sarapannya.

"Iya, Mas. Kalau begitu aku pamit dulu!" Tidak ada jawaban lagi di belakangnya, dan Salsabila sudah berlalu dari tempat itu untuk segera pergi dari kungkungan suasana yang begitu dingin ini.

****

Alan melihat ke Patek Philippe di pergelangan tangan entah untuk ke berapa kalinya. Gerakan itu kemudian di ikuti dongakkan mengecek arah pintu masuk. Ke mana dia? Alan yakin sudah mengirimkan alamat dan jam serta kembali mengingatkan Salsabila tentang pesta itu. Dan bukankah Salsabila sudah berjanji untuk menemaninya menghadiri pesta tersebut, tetapi kenapa sampai sekarang belum muncul juga? Sebenarnya Alan tak terlalu suka melibatkan Salsabila di pertemuan bisnis seperti ini. Alan tahu betapa gatalnya mulut para rekanan dan media menguliti soal kehidupan pribadinya dan Alan tahu Salsabila tidak nyaman menghadapinya. Hanya saja image bahwa rumah tangganya baik-baik saja harus ditampilkan dengan sesekali muncul bersama seperti ini.

Setelah melirik jam sekali lagi, Salsabila akhirnya muncul. Wanita itu berpenampilan anggung dalam balutan gaun hitam dan make up yang membuatnya semakin bersinar. Senyum yang diikuti lesung pipi dari kedua sisi itu ekstra yang sempurna. Tatapan Salsabila dan Alan bertemu kemudian wanita itu menghampirinya.

"Makin cantik saja kamu, Salsa," puji ibu Indrawan, istri pemilik pesta malam ini yang berdiri di sampingnya.

Salsabila tersenyum. "Terima kasih, Bu."

Sulit menyembunyikan kecantikan wanita itu memang. Alan menyadari itu, dia pun lelaki normal dan mengakui kalau Salsabila memang memesona. Tanpa di suruh, sama seperti biasanya saat dia menemaninya mendatangi ke acara seperti ini, dia akan menempel dan menemaninya untuk menyapa rekanan-rekanan yang hadir. Menyapa dan berbasa-basi mengenai usaha kami masing-masing memang harus di lakukan di sini. Sejak dahulu, Salsabila memang sering membuatnya berdecak kagum atas kecerdasan otak dan keanggunan perilakunya.

"Hai, Lan," sapa seseorang yang membuat Alan dan beberapa orang di sekitar seketika menoleh.

"Selamat ulang tahun, Pak," ucap Alan sembari memeluk Pak Indrawan yang barusan menyapa.

Pak Indrawan adalah salah satu pengusaha sukses dan teman lama orang tua Alan. Kalau saja tidak terhalang kesibukan mengurus usaha di Surabaya, papa dan mama pasti juga menghadiri acara malam ini. Tak hanya dirinya, Salsabila dan semua orang di pesta ini saling bergantian memberikan ucapan selamat dan doa untuk Pak Indrawan atas bertambahnya usianya yang sudah memasuki ke enam puluh delapan tahun.

"Lan, boleh aku ajak istrimu berdansa? Sudah lama aku tidak berdansa dengan wanita cantik ini," pinta pak Indrawan yang diikuti gelak tawa dari istrinya dan Salsabila.

Alan menatap ibu Indrawan yang terlihat santai kemudian kepada Salsabila yang nampak tak keberatan. Selanjutnya pak Indrawan membawa Salsabila ke tengah lantai bergabung dengan pasangan lainnya. Pak Indrawan memang sedari dulu mengagumi banyak wanita muda dan cantik, makanya godaan itu hanya dianggap candaan semata. Kepada Salsabila godaan itu hanya seperti candaan orang tua kepada anaknya. Alan dan Salsabila sama sekali tidak mempermasalahkannya.

"Aku bahkan sudah tidak bisa cemburu melihat kelakuannya. Dia selalu mengatakan mengagumi Salsa," ucap ibu Indrawan memulai.

"Salsa menganggapnya seperti seorang papa, Bu."

"Tentu saja. Kamu memang beruntung punya Salsa. Dia perhatian dan juga cantik," puji ibu Indrawan lagi.

Ya, kecantikan Salsabila sekarang memang jauh berbeda dari saat dahulu pertama mereka bertemu. Tentu saja, ini sudah berjalan selama tiga tahun lamanya. Meskipun cukup manis dengan kedua lesung pipi yang menghiasi pipinya ketika tersenyum, dulu Salsabila memang tidak memperhatikan penampilannya. Perubahan Salsabila terjadi karena campur tangan adik perempuan Alan, Alexa. Dia sering membawa Salsabila merawat diri ke salon secara rutin dan mengajarkan Salsabila mengenai fashion. Tidak sia-sia, Salsabila yang sekarang memang berkilau dan membuat banyak orang memuji dan mengatai dirinya beruntung memiliki wanita itu sebagai seorang istri.

"Kamu tidak ada rencana punya anak bersama Salsabila, Lan? Belum ada penerus loh di keluargamu." Tepukan ringan yang berasal ibu Indrawan membuat Alan tersentak kaget.

"Aku yakin orang tuamu juga berharap kamu mempunyai keturunanmu sendiri. Tiga tahun menikah, masa tidak ada tanda-tanda untuk memiliki anak. Mumpung kalian masih muda, buatlah beberapa anak," sambung ibu Indrawan kembali.

Alan cuma bisa tersenyum kecil menanggapi topik itu. Bagaimana bisa hamil jika tidak pernah mengusahakan untuk memilikinya? Selama tiga tahun bersama, kegiatan tidur bersama kerap mereka lakukan. Hanya saja, kegiatannya sebatas berbaring di atas ranjang bersama, tidak ada yang menjurus ke hal yang bisa menghasilkan anak. Sebenarnya pernah. Hanya sekali terjadi, itu pun Alan mengutuki kejadian itu.

"Mungkin Alexa bisa mendahului, Bu."

Alan memilih menyambar nama adiknya untuk di angkat ke topik obrolan yang cukup sensitif ini.

"Aku ragu Alexa akan menikah. Bisa dilihat dari kegiatannya yang masih menginginkan bebas dan hidup sendiri. Adikmu itu bukan tipe pendiam seperti Salsabila."

Wajar saja ibu Indrawan berpikir demikian, pemikiran itu pun sama bagi kebanyakan orang yang sudah pernah menjumpai adiknya. Alexa seumuran dengan Salsabila, tetapi soal kedewasaan Salsabila jauh lebih dewasa dibanding adiknya yang masih bersifat childish. Alexa itu masih suka dengan kesibukannya yang sekarang, bekerja, menghadiri fashion show, dan menghadiri beberapa pesta yang menyenangkan baginya. Sama sekali belum ada tanda-tanda untuk melepas masa lajang.

"Beberapa tahun lagi Alexa pasti juga akan di paksa menikah, Bu. Ibu tahu 'kan umur tiga puluh itu, umur maksimal di keluarga kami untuk bebas."

Alan menyinggung soal batas usia yang diberikan oleh orang tuanya untuk melajang.

"Tentu. Dirgantara pasti akan segera mencarikan jodoh yang pas untuk Alexa. Oh ya, bagaimana dengan anakku saja?"

Alan terkekeh mendengar celetukan dari ibu Indrawan. Bagaimana mungkin wanita itu mempromosikan anaknya untuk Alexa. Alan masih berusaha tersenyum menanggapinya, namun dalam hati tidak setuju. Gara, anak keluarga Indrawan itu terlalu berbahaya. Playboy cap kakap.

"Ah, tetapi susah juga memiliki Alexa sebagai menantu. Aku pasti kewalahan mendidiknya." Alan kembali terkekeh mendengar perkataan hu Indrawan yang meralat sendiri ucapannya barusan.

Lagi pula, Alan memang merasa menjodohkan dua orang bertolak belakang itu adalah ide yang buruk.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status