Meira. Kekasih dari mas Alan itu bernama Meira. Salsabila cukup membenci menyebut nama itu. Tetapi mau bagaimana lagi, wanita itu kembali hadir yang mau tidak mau membuka kembali lembar kenangan menyakitkan itu.
Salsabila tahu kalau mas Alan dan Meira sudah menjalin hubungan jauh sebelum mereka melangsungkan pernikahan. Salsabila juga tahu kalau dahulu mereka pasangan saling mencintai tetapi terkendala di restu orang tua. Salsabila tidak tahu kenapa bunda Rena tidak merestui keduanya dan malah dirinya yang di jodohkan dengan mas Alan.Namun, lambat laung Salsabila pun juga mengetahui kalau Meira lah yang lebih dahulu di jodohkan. Orang tuanya punya banyak utang, sehingga memilih menggadaikan dan menikahkan anaknya dengan anak rentenir itu. Pernikahan mereka tidak bahagia, suaminya suka main tangan dan dengan bantuan dari mas Alan mereka akhirnya bercerai. Tetapi, ada anak di antara mereka. Ya, anak yang saya lihat kemarin itu adalah anak dari mantan suaminya bukanlah anak dari mas Alan. Kenapa Salsabila bisa mengetahuinya? Karena diam-diam dahulu dia menyelidikinya, dan ia pun percaya kalau anak itu bukanlah anak mas Alan.Dahulu, Salsabila cukup bahagia mendengar kabar itu. Karena itu menandakan mereka tidak saling terikat. Tetapi semakin ke sini, mas Alan malah semakin mendedikasikan diri sebagai ayah dari anak itu. Hal itulah yang membuat Salsabila semakin kecewa kepada mas Alan. Sungguh, Salsabila membenci Meira yang harus hadir di dalam hubungannya dengan Alan. Ataukah, justru dirinyalah yang patut di benci, karena telah menjadi orang ketiga di antara mereka? Entahlah.Karena tanpa sengaja melihat kembali wanita itu bersama suaminya, nama Meira kembali mengingatkannya pada masa lalu. Pada saat di mana ia untuk pertama kalinya mengetahui bahwa pria yang menikahinya melalui perjodohan telah memiliki wanita lain di luar sana.Awal-awal pernikahan keduanya, mereka masih tinggal di sebuah apartemen mewah milik seorang Alan. Salsabila yang saat itu masih berperan menjadi istri yang patuh, pengertian dan ingin dilirik oleh suaminya, tentu saja melakukan segala hal untuk itu. Termasuk menyediakan makanan untuk suaminya, bahkan turun tangan sendiri untuk membersihkan apartemen tersebut.Seperti saat ini, Salsabila yang baru saja menyelesaikan masakannya siangnya itu begitu penasaran untuk mengecek kamar tidur pribadi Alan. Jadi setelah merasa masakannya sudah layak dihidangkan, ia matikan kompor dan meraih mangkuk kosong dari kabinet atas, menuang sup secukupnya sebelum meletakkan mangkuk tersebut di permukaan meja makan. Ada sebuah piring ceper berisikan tumis udang asam manis yang dibuatnya sebelum memasak sup tadi.“Semoga kamu mau makan kali ini, Mas.” Salsabila bergumam penuh harapan meski kemungkinannya sangat kecil, ia tahu betul bahwa selama ini keberadaannya diabaikan dan masakannya pun tak pernah disentuh oleh pria itu.Saat ia sedang menuju ke kamarnya sendiri, langkahnya terhenti saat hendak masuk ke dalam kamarnya. Ia menoleh tatap pintu kamar Alan yang tertutup rapat. Selama Salsabila membersihkan apartemen, ia bahkan tak menyentuh kenop pintu kamar Alan, ia juga tak tahu apa isinya di dalam sana dan bagaimana bentuknya.“Kira-kira bersih apa kotor, ya?” Salsabila bermonolog dalam kesunyian, lalu ia memberanikan diri mendekat meski keraguan seolah menarik sepasang kakinya agar mundur saja.Salsabila menghela napas panjang saat tangannya terangkat menyentuh kenop pintu, rupanya bisa dibuka dengan mudah tanpa dikunci sama sekali. Sepertinya pria itu percaya bahwa Salsabila tidak akan menginjakkan kaki ke ranah pribadi pria itu. Sesaat ia terhenti sejenak, keraguan kembali mengentaknya.“Maaf, Mas. Aku masuk, aku cuma mau beresin kamar kamu saja. Permisi, ya!” Salsabila meminta izin untuk dirinya saja, ia lalu membuka lebih lebar pintu kamar Alan, perlahan menarik kakinya agar masuk—menginjak selasar di sana. Salsabila menekan tombol lampu pada tembok di dekat pintu, sekarang ia bisa melihat isi kamar Alan lebih jelas, memperhatikannya seraya melangkah pelan.Ada sebuah meja berisikan beberapa tumpuk map, lampu untuk belajar dan sebuah laptop di sana, posisinya persis di samping jendela—mungkin suaminya itu sering memanfaatkan cahaya yang masuk untuk kerjakan pekerjaan kantornya di sana. Sebuah kursi berada di depannya, beberapa helai pakaian tersampir di bahu kursi, membuat Salsabila mendekat dan meraihnya.“Ini kotor atau bersih?” Sebuah jeans panjang serta dua buah kaus, Salsabila membaui aromanya sejenak, terlalu manis aromanya untuk dikatakan jika pakaian itu sudah disentuh keringat Alan. Salsabila kembali meletakkannya di sana, ia kembali memperhatikan sekitar, sebelum bola matanya terhenti pada sebuah pigura foto di permukaan laci sisi ranjang besar milik pria itu.Salsabila kembali mendekat, ia hempaskan bokongnya di tepi ranjang sebelum meraih benda yang semakin membuat fokus matanya tak ingin beralih. Sorot mata Salsabila meredup untuk detik-detik berikutnya, ia seketika diserang sisi melankolis kali ini.Pigura dalam genggamannya memperlihatkan sepasang manusia—yang lebih pantas disebut pasangan kekasih, sebab pose kedanya tampak begitu mesra dan tidak bisa membohongi penglihatan siapa pun itu. Foto tersebut diambil dengan latar belakang sebuah gereja katedral yang begitu terkenal di Barcelona, bahkan telah masuk warisan dunia UNESCO meski proses pembangunannya belum selesai, sebut saja La Sagrada Familia. Tampak seorang perempuan dengan tinggi setara bahu Alan berdiri di sebelahnya seraya memeluk erat pinggang laki-laki itu dan tersenyum lebar menatap ke arah kamera, tangan kanan Alan tampak merangkul si perempuan, dengan senyum yang juga tak kalah lebarnya di arahkan pada kamera.“Barcelona?” gumam Salsabila.Salahkah jika ia kesal sekarang? Boleh tidak ia menerka-nerka tentang siapa perempuan dalam foto itu? Salsabila harusnya sadar bahwa pria yang dinikahinya itu dengan proses sebuah perjodohan tentu saja tidak mungkin kalau tidak memiliki seorang kekasih di luar sana. Alan adalah pria yang sempurna, siapa pun perempuanakan bertekuk lutut dengan segala kekayaan dan pesonanya. Hanya saja, entah kenapa ia begitu sedih dan ketakutan menyadari bahwa pria yang dinikahinya itu masih terpenjara dalam kenangan masa lalunya, dan sama sekali tak berniat untuk beranjak dari sana.Dan yang paling Salsabila sesali sekarang adalah ia banyak tidak tahu perihal kehidupan suaminya sendiri. Benar-benar tak mengerti apa pun tentang sosok bernama Alan Putra Dirgantara.Salsabila letakkan kembali pigura itu di tempat semula, ia menyadari kalau benda itu pasti sangat berharga—sebab Alan meletakkannya di tempat strategis, ia bahkan bisa melihatnya setiap waktu. Lalu, Alan bahkan tak menyingkirkannya meski ia telah memiliki dirinya—seorang istri. Salsabila tak akan tahu suaminya punya wanita lain jika ia tak nekat memasuki kamar pria itu. Miris dan pelik.‘Aku memang bodoh, Mas. Karena tidak tahu apa-apa tentang kamu, dan masa lalumu. Dan kenapa juga kita harus terikat sama satu hal sesakral ini?’Tanpa sadar kedua tangan Salsabila meremas permukaan seprai. Boleh jika ia terluka? Masing-masing akan memiliki rahasia kecilnya. Alan dengan miliknya, pun Salsabila sebaliknya, meski Salsabila sendiri tak pernah memiliki foto kenangan dengan seseorang di masa lalu. Ini bukan pertandingan, dan Salsabila tak ingin berlomba-lomba dalam hal konyol memamerkan apa pun di masa lalu—terutama jika hal itu akan menyakiti pasangannya.Pagi harinya, Salsabila benar-benar merasakan pusing di kepala. Semalam ia menghabiskan waktu menangisi pria itu kembali. Selepas dia melihat suaminya kembali bersama wanitanya itu, rasa sakit yang selama ini berusaha ditepisnya kembali lagi dan membuatnya benar-benar hancur semalam.Terlebih lagi saat ia kembali membayangkan saat di mana ia untuk pertama kalinya melihat rupa seorang wanita cantik yang bernama Maira itu.Tak ingin terlihat kembali hancur, Salsabila menunjukkan kembali ketegaran penuh kepura-puraan itu. Ia kemudian keluar dari dalam kamarnya, kembali bersiap untuk ke kantor. Hanya di kantor ia bisa sedikit menenangkan diri dan berusaha menyibukkan diri sehingga tidak terlalu lama terpenjara dalam kesedihan ini.Saat Salsabila akan membelokkan tubuh ke arah dapur, ternyata pria itu sudah berada di sana tengah menikmati sarapannya. Entah sejak kapan pria itu kembali, Salsabila sama sekali tidak menyadarinya."Kau tidak sarapan?" Sebuah suara di belakangnya menghentikan
Obrolan mereka tidak terhenti begitu saja di situ. Setelah membahas soal Alexa, ibu Indrawan kembali membahas tentang Salsabila. Pengalihan yang begitu cepat. Sebenarnya Alan sudah jengah mendengar orang yang terus-terusan memuji Salsabila, tetapi mau bagaimana lagi wanita cerdas itu memang patut dipuji dan Alan hanya perlu berpura-pura merasa bangga karena wanita cerdas itu adalah miliknya sekarang."Salsabila itu hebat, Lan. Dia hebat karena bisa dengan cepat beradaptasi di lingkungan ini." Ibu Indrawan kembali mengeluarkan suara, dan tentu saja nama Salsabila yang diangkat menjadi topik perbincangan. "Jujur saja, dulu aku pikir dia akan meminta cerai darimu tidak lama setelah kalian menikah. Dari gadis yatim piatu di panti asuhan tiba-tiba jadi menantu keluarga Dirgantara. Aku yakin dia kaget dan tak terbiasa menghadapi dunia barunya. Tetapi siapa sangka dia masih bertahan, sampai di umur pernikahan kalian yang ke tiga. Aku salut dengannya," puji ibu Indrawan akan kegigihan dari s
Bicara tentang bulan madu, honeymoon atau apa pun itu yang patut dikerjakan sebagai ritual pasangan pengantin baru, menyimpan sebuah trauma yang besar untuk Salsabila. Jika orang yang baru kembali dari bulan madu, pasangan itu akan semakin berbunga-bunga, cinta di antara mereka semakin besar, dan tak terpisahkan.Tetapi berbeda bagi Salsabila dan Alan. Justru sekembalinya dari yang katanya honeymoon itu, malah semakin membuat hubungan keduanya dingin dan semakin kaku. Sejak saat itu, Salsabila merasa setiap ada orang yang membahas tentang honeymoon, membuat pikirannya akan melanglang buana ke kejadian tiga tahun yang lalu, tepat setelah dua bulan pernikahan keduanya.Sama seperti pasangan pengantin baru yang lainnya, ibu Rena tentu saja terus memaksa keduanya untuk melangsungkan bulan madu. Meskipun pada saat itu Alan dan Salsabila menolaknya secara terang-terangan, hanya saja tetap tidak bisa jika itu sudah menyangkut perintah dari orang tuanya.Sek
Dengan piciknya, Salsabila berpikir kalau mungkin saja honeymoon yang telah dirancang oleh kedua orang tua Alan mungkin saja akan menjadi jalan yang baik untuk hubungan pernikahannya dengan suaminya itu.Meskipun berat rasanya pergi hanya berdua dengan Alan, akan tetapi ada secercah harapan untuk masa depan pernikahannya, mungkin saja ada sesuatu yang membahagiakan untuk hubungannya dengan Alan.Hari ini adalah keberangkatan mereka ke Barcelona, keduanya sama-sama keluar dari dalam kamar seraya menarik koper masing-masing, mereka beradu pandang dalam jangka beberapa detik sebelum Alan melenggang lebih dulu menarik kopernya hampiri ruang tamu, ia sandarkan benda itu pada meja, kemudian menyusul duduk di sofa dan mengeluarkan ponselnya, tampak terlihat acuh tak acuh dengan keberadaan dirinya. Sebentar lagi Rena dan Dirgantara akan datang, beliau sampai jauh-jauh dari Surabaya ke Jakarta untuk mengantar langsung pasangan yang masih dikatakan baru itu ke bandara.
‘Aku mencintai wanita lain.’‘Kau tidak perlu berharap karena aku mencintai wanita lain.’Kalimat itu terus memenuhi kepala Salsabila, ucapan-ucapan menyakitkan yang sebelumnya dilontarkan oleh Alan terus terngiang-ngiang di dalam pikirannya. Sungguh, ia memang tahu bahwa ia menikah bukan karena cinta, tetapi bisakah Alan sedikit saja menjaga perasaannya. Haruskah dia sefrontal itu mengatakan bahwa ia mencintai wanita lain, wanita yang bukan dirinya yang notabene-nya adalah istrinya?Perjalanan yang ditempuh dalam jalur udara sama sekali tidak dinikmati oleh Salsabila. Saat ini menaiki pesawat sampai pesawat yang ditumpanginya mengudara, berat rasanya Salsabila membuka suara. Terlebih lagi Alan di sampingnya sama sekali tak sedikit pun menanggapinya. Dia hanya sibuk dengan majalah di sampingnya dan sama sekali tidak memedulikan dirinya yang tengah melamunkan banyak hal.Baru beberapa jam ia berduaan dengan Alan dan ia sudah makan hati sert
‘Katanya, tempat ini adalah akhir dunia. Kalau memang benar, izinkan aku kembali ke tempat ini untuk terakhir kali bersama seseorang yang benar-benar mencintaiku, menginginkanku, Tuhan!’Salsabila tersenyum kecil menatap keadaan sekitar, angin berembus cukup kencang di dekat pelabuhan La Corun, Galacia, Spanyol. Suara debur ombak lautan biru di dekat mereka terdengar seperti sebuah nyanyian yang cukup panjang, langit dan samudera sering kali bersaing di sana—perihal tentang siapa yang biru dan memikat, nyatanya sama saja, setiap sudut bisa dikagumi oleh orang-orang yang datang mengunjungi tempat tersebut.Salsabila dan Alan berdiri bersebelahan pada selasar yang membentuk sebuah setapak bundar mengitari sebuah mercusuar peninggalan Romawi setinggi 55 meter dengan posisi menghadap ke laut Atlantik Utara dari pesisir pantai Spanyol. Mercusuar yang dibangun pada paruh kedua abad pertama menjadikan tempat itu sebagai mercusuar tertua di dunia yang masih beroperasi.
Pada malam harinya, Alan tampak sedang berbicara dengan seseorang di balik ponselnya. Entah dengan siapa Alan berbicara melalui ponselnya di luar kamar, ia hanya sebentar—sebelum akhirnya kembali seraya mengarahkan layar ponsel di depan wajah, kali ini sebuah panggilan video berlangsung, terlihat wajah Rena di sana, artinya akting harus segera dilangsungkan. “Hallo, Ma.” Alan melambaikan tangan menatap layar ponselnya, ia duduk begitu saja di sisi Salsabila. Jika tadi ada jarak sekitar dua jengkal, kali ini Alan sengaja memangkasnya, kulit lengan bersentuhan –sengaja mempertontonkan kedekatannya dengan Salsabila pada sang ibu. “Salsa dan Alan lagi apa sekarang?” Salsabila tersenyum tulus saat melihat wajah sang ibu mertua, ia tak peduli lagi pada sikap sok harmonis Alan saat ini. Wanita itu masih sibuk mengunyah makanan yang baru pertama ia coba seraya melambaikan tangan pada layar ponsel. “Kita lagi makan, Ma. Salsa baru pertama ke Barcel
Seharian ini Alan tak menampakkan dirinya, sebelumnya ia izin pada Salsabila bahkan akan mengunjungi temannya berhubung mereka ada di Barcelona. Salsabila jadi tidak semangat, bahkan ia hanya menghabiskan waktu di kamar hotel saja dengan menonton film. Sesekali mata perempuan itu melirik ke arah pintu—berharap seseorang muncul di sana.Ponsel yang tergeletak di permukaan ranjang, tak ada dering berbunyi dari nomor Alan, berkali-kali ada panggilan yang masuk pun hanya dari teman kantor Salsabila sendiri. Tetapi ia juga sendiri tak memiliki inisiatif untuk menghubungi Alan terlebih dahulu. Kali ini ia menguap untuk kesekian kalinya, matanya sudah semakin sipit dan memerah, tetapi Salsabila masih tetap bertahan, ia hanya butuh suaminya pulang dengan keadaan yang baik. Sumpah, dia benar-benar merasa kesepian di negara orang lain. Alan sendiri yang menjanjikan akan pulang malam ini, jadi ia harus mencoba percaya.Untuk menenangkan diri, Salsabila berniat untuk kelua