“Kamu ngapain, Ka?”Sepasang tangan yang tiba-tiba saja melingkari perutnya dari belakang membuat Arka hampir berteriak andai saja ia tidak mendengar suara yang sudah akrab di telinganya.“Masak.”“Bahaya, nggak usah lah, kan ada Bi—” Caraka menutup mulutnya dan langsung melepaskan belitan tangannya saat menyadari kalau sekarang di rumahnya tidak hanya ada dirinya dan Arka.Si Bibi, yang ditinggalkan mertuanya di rumah itu sejak tadi duduk di bar stool sambil mengupas mangga, tapi Caraka tidak menyadarinya dan langsung memeluk Arka sesampainya di rumah. Kini wanita berusia paruh baya itu hanya mengulum senyum melihat Caraka yang salah tingkah.“Mas Caraka mau nemenin Non masak?” tanyanya penuh pengertian. Mungkin pasangan pengantin lama rasa baru itu ingin menghabiskan waktu berdua.“Boleh, Bi. Biar saya aja yang nemenin Arka masak.”“Bibi permisi dulu ya, Mas, Non, mau mandi sore dulu.”“Makanya, Abang. Dilihat dulu, ada orang nggak. Kalo aja bukan Bibi yang di sini, Mama misalnya, g
Caraka menatap Randy tanpa bergeming sedikit pun. Begitu pun Randy—yang meskipun dengan tangan terborgol—masih berani menatap Caraka dengan nyalang.“Aku tau kamu lagi banyak masalah, Ran. Kepergian Om, sakitnya Tante, utang keluarga, aku tau itu semua bikin kamu dalam kondisi sulit. Tapi apa iya karena itu kamu lalu menggadaikan hatimu ke setan dan milih jadi orang jahat? Yang kamu culik itu istriku, Ran. Keluargamu juga.”Satu sudut bibir Randy terangkat sebelum menyemburkan kenyataan yang selama ini tidak diketahui Caraka. “Detik ketika ayahmu menolak membantu ayahku, aku udah nggak nganggep kita keluarga. Dan kamu, untuk apa kamu belain keluarga Bestari? Harusnya, Ka … harusnya setengah dari harta kekayaan keluarga itu adalah milik keluarga Abimana.Caraka mengernyitkan kening. Ia jarang sekali menyebut keluarganya sebagai keluarga Abimana. Ia, Randy, ayah mereka, sama-sama berbari nama belakang Abimana karena permintaan dari buyut mereka.Sudah beberapa generasi mereka menggunaka
“Caraka, Randy keluargamu, nggak bisakah ini diselesaikan secara kekeluargaan?”Lelaki berkemeja batik lengan panjang yang mencekal tangan Caraka itu tampak sangat kelelahan. Mungkin perjalanannya dari sebuah kota kecil di Jawa tengah yang membuatnya kelelahan, mungkin juga karena masalah yang akhir-akhir ini menimpa keluarganya yang membuat lelaki itu tampak kuyu.Caraka mengenal lelaki yang bernama Laksono sebagai kakak laki-laki dari ibu Randy. Beberapa kali mereka bertemu, termasuk saat lelaki itu datang melayat ke Bogor waktu ayahnya meninggal dunia bertahun-tahun silam.“Pakdhe,” Caraka menyalami lelaki itu kemudian mengajaknya untuk berbicara di kursi tunggu yang ada di teras kantor polisi, setelah Caraka meminta waktu sebentar kepada polisi yang akan mengantarnya bertemu dengan Randy.“Pakdhe nyampe Jakarta kapan?” tanya Caraka memulai pembicaraan.“Tadi pagi. Kamu apa kabar? Istrimu baik-baik aja?”Caraka mengangguk singkat. Ia tadi mendengar jelas permintaan lelaki itu, kare
"Abang sama Mas kenapa sih?" tanya Arka saat kedua lelaki itu hanya memandanginya tanpa mengucapkan sepatah kata pun setelah dokter keluar dari kamar rawat itu.Jantung Caraka masih berdebar kencang, begitu pun dengan Arga yang masih mencoba mencerna apa yang dikatakan dokter meskipun dokter tadi berbicara dengan bahasa yang sangat mudah dimengerti untuk orang awam.Tiba-tiba Caraka bersimpuh di lantai dengan wajah ditutupi kedua tangannya yang terlipat di atas kasur, tepat di sebelah istrinya.“Abang kenapa?” tanya Arka panik.Arga juga menghampiri Caraka dan memegang kedua lengan bagian atasnya, khawatir luka di kepala Caraka membuatnya pusing lagi. “Caraka, pindah ke ranjang, kupanggilin dokter abis ini.”Caraka mendongak, kini sebuah senyuman sudah menghiasi bibirnya, walau matanya masih tampak berkaca-kaca.“Abang nangis?” tanya Arka semakin bingung.“Nggak.” Caraka menggeleng cepat kemudian duduk di pinggir ranjang, menghadap pada Arka yang masih terlihat tenang setelah mendenga
“Polisi mau minta keterangan, nggak apa-apa?” Sekali lagi Caraka memastikan karena Arka terlihat biasa saja pagi itu, namun hal itu justru membuat Caraka khawatir. “Kalo kamu belum bisa, biar Abang bilang mereka untuk nunda sehari atau dua hari.”“Nggak apa-apa. Tapi Abang di sini kan?”“Iya, nanti Abang bilang kalo kamu maunya ditemenin Abang.” Caraka keluar kamar sebentar untuk berbicara kepada dua orang polisi yang menunggu di selasar depan ruang rawat Arka.Tak berselang lama, Caraka masuk kembali bersama kedua polisi itu. Arka sudah merapikan diri dan duduk dengan bersandar pada bed electric yang sudah diposisikan lebih tinggi.Pertanyaan demi pertanyaan membuat Arka terpaksa memutar ulang memori atas kejadian buruk yang terjadi padanya.Caraka yang memperhatikan setiap gesture dan ekspresi yang diberikan Arka saat menjawab pertanyaan, mulai bisa menilai di mana saat Arka merasa tidak nyaman atau saat di mana Arka bisa meng-handle kondisinya.Setelah mengetahui hal itu, Caraka se
Sudah hampir jam sembilan malam, saat akhirnya orang tua Arka, ibu Caraka, Oshi, serta Arga tiba di rumah sakit. Mereka hampir seperti berlari kecil menuju ruang rawat Arka, walaupun Arga sudah berkali-kali menenangkan mereka dan mengatakan kalau Arka dan Caraka baik-baik saja.Beruntung, polisi datang tepat waktu dan berhasil mengamankan Randy beserta dua orang lainnya.Sementara Arga yang saat itu tengah dalam perjalanan menuju ujung Jakarta Utara langsung putar balik begitu mendapat kabar dari Danang yang membawa adik dan adik iparnya ke rumah sakit.Begitu rombongan mereka masuk, mata semua orang tertuju pada Caraka yang mengenakan kaos berlumur darah di bagian punggungnya, duduk memunggungi mereka, sedang merebahkan kepalanya di kasur sambil memegang tangan Arka yang masih belum sadarkan diri.“Raka,” panggil ibunya yang dengan pelan mengusapi kepala Caraka, sambil memperhatikan kain kasa berbentuk persegi yang kini menempel di kepala anaknya.Caraka yang sudah tertidur pun terba