Seumur hidupnya, baru dua kali Arka mendapat kejutan yang membuat jantungnya berdetak tidak karuan. Pertama, ketika muridnya yang masih TK, entah bagaimana caranya mencoba memanjat pohon mangga yang ada di halaman sekolah tempatnya mengajar dan membuat anak itu terjatuh hingga patah tulang kanan. Kedua, saat ini, saat ada seorang lelaki yang memperkenalkan diri sebagai suaminya.
Untuk kasus kali ini, bahkan Arka tidak tahu harus bersikap seperti apa. Menatap kedua orang tuanya yang tetap duduk tenang di tempatnya sama sekali tidak membantunya. Ia pasti pernah amnesia. Tidak ada alasan lain yang membuatnya yakin pernah menikah kecuali hal itu.
Arka bahkan tidak sanggup untuk menyambut uluran tangan dari lelaki bernama Caraka itu.
"Kapan kita nikahnya?" tanya Arka dengan judesnya. "Ingatanku cukup kuat, dan aku yakin nggak pernah amnesia sampe kehilangan potongan memori hidupku. Jadi aku tanya ke kamu, yang ngaku sebagai suamiku, kapan kita nikahnya?"
Caraka menarik tangannya yang menggantung di udara, kemudian mengalihkan perhatian kepada kedua orang tua Arka.
"Papa sama Mama yang mau cerita? Istriku pasti nggak akan percaya apa pun yang kuceritain."
"Istriku, istriku. Jangan sembarangan manggil orang ya masnya!" Arka mengerucutkan bibir kemudian meraih tangan mamanya yang duduk di sampingnya. "Nggak bener kan, Ma?"
"Tanya papamu," jawab Avi singkat.
"Pa?"
***
Arka membanting pintu kamarnya kemudian mengunci pintu itu.
"Ini pasti mimpi. Nanti ketika aku bangun, semuanya akan kembali seperti biasa." Yakin Arka dalam hati. Walau ia tahu sugestinya itu hanya akan bertahan beberapa detik.
"Nggak mungkin! Dua jam yang lalu aku masih single, kenapa tiba-tiba detik ini jadi punya suami. Nggak mungkin!"
Arka merebahkan diri di kasurnya, sambil berguling ke kanan dan ke kiri, berusaha memikirkan perubahan besar, bahkan super besar yang terjadi di hidupnya.
Saat itu lah pintu kamarnya diketuk seseorang. Khawatir lelaki bernama Caraka itu yang mengetuk pintu kamarnya, Arka memilih diam. Hingga suara yang sudah familiar di indra pendengarannya membuat ia berani membuka pintu.
"Dek, boleh Mas Arga ngomong?"
"Kalo masih ngomongin si Caraka itu, aku nggak mau!" teriak Arka dari dalam kamar.
"Dek, katanya udah dewasa, ayo dong ngomong dulu sama Mas. Kan tadi baru Papa Mama yang ngomong sama kamu." Arga menghela napas pasrah. Ia juga tidak suka kondisi ini. Membayangkan tiba-tiba ada yang mengaku sebagai suaminya tentu menyakiti perasaan Arka. Apalagi Arga baru tahu kalau adiknya itu ternyata sudah memiliki pacar.
"Nih, minum dulu." Arga menyerahkan sebotol minuman dingin pada Arka, begitu adiknya itu membuka pintu kamar. "Belum minum kan tadi abis dari ruang kerja Papa."
"Mas Arga, Papa bohong kan? Nggak mungkin banget, Mas. Kalau pun itu terjadi, itu nggak atas persetujuanku. Nggak sah, Mas."
Alih-alih langsung menjawabnya, Arga merengkuh pundak adiknya dan mengajaknya duduk di sofa yang ada di kamar adiknya itu.
"Perasaanmu gimana, Ka?"
"Maaas, jawab dulu pertanyaanku. Papa bohong kan?"
Arga benar-benar tidak tega melihat mata adiknya yang mulai berkaca-kaca. Kapan terakhir kali adiknya itu menangis di depannya? Rasanya sudah bertahun-tahun silam sampai ia tidak bisa mengingatnya lagi.
"Hey, malu sama murid-muridmu. Masa gurunya nangis kayak mereka."
"Mas, ini tu bukan waktunya bercanda. Aku serius. Aku bakalan pergi dari rumah kalo bener apa yang dikatakan Papa."
"Arka, kamu nggak ingat kalo kamu keturunan perempuan keluarga Bestari? Mau kabur ke mana kamu? Ke tempat pacar kamu? Dalam hitungan menit, keluarga Bestari bisa nemuin kamu. Beda kalo mas yang pergi. Pasti nggak bakal dicariin." Arga tersenyum getir. Di saat keluarga lain mengagung-agungkan seorang anak laki-laki, keluarganya sendiri hanya menjadikan anak laki-laki sebagai pencari pundi-pundi uang, sementara anak perempuan akan dipuja dan dimanjakan. Keluarga yang aneh.
"Kok Mas ngomong gitu sih? Daripada bernasib kayak gini, kalo boleh milih aku juga mendingan dilahirkan jadi laki-laki."
Arga hanya menimpali ocehan adiknya dengan tawa. "Caraka orangnya baik kok. Cuma kadang agak dingin aja. Eyang nggak akan sembarangan pilih orang buat nikah sama kamu."
"Mas. Nggak ada sepotong pun ingatanku kalau aku pernah nikah. Jadi ... gimana aku harus nerima keadaan ini? Ini nggak sah, Mas. Aku bisa nuntut—"
"Siapa yang mau kamu tuntut? Eyang? atau Papa yang menjabat langsung tangan Caraka waktu Caraka ngucapin kalimat ijab qabul?"
Beberapa detik setelahnya, Arka meneteskan air mata, dan Arga yang melihatnya hanya bisa menarik adik sematawayangnya ke dalam pelukan. "Pelan-pelan, Dek. Nggak semuanya harus bisa kamu terima sekarang. Satu hal yang harus kamu percaya dari omongan mas, Caraka orang baik. Kamu bisa pelan-pelan kenalan sama Caraka. Papa Mama nggak yang bakal maksa kamu besok langsung berperan sebagai istri Caraka kok."
"Aku mesti gimana, Mas?"
"Pertama, selesaikan dulu hubunganmu sama pacarmu—"
"Nggak mau! Aku sama Yudha serius, Mas."
"Tapi kamu istri orang."
Arka menutup kedua daun telinganya dan memejamkan mata.
Setiap kali ada yang mengatakan hal itu atau ada yang mengingatkannya, rasanya kepalanya seperti dipukul-pukul dengan palu.
"Sekarang kamu tau kan kenapa Papa Mama, bahkan Mas sendiri ngelarang kamu pacaran? Padahal biasanya Mas selalu dukung apa pun yang kamu lakukan, tapi nggak untuk yang namanya pacaran."
Arka terdiam. Teka-teki satu dekade akhirnya terjawab.
"Nanti Caraka mungkin perlu ngomong sama kamu."
"Nggak mau, Mas!"
"Masa suami mau ngomong, kamu nggak ngizinin. Cuma ngomong, Dek. Mas yakin Caraka nggak bakal macem-macem sama kamu. Maksud Mas, belum untuk saat ini. Dia juga butuh waktu buat kenal kamu."
"Aku mau tidur." Arka berjalan menuju kasur, merebahkan dirinya dengan sepenuh hati. Ia benar-benar ingin tidur dan berharap semua kembali normal saat ia bangun, atau tiba-tiba saja papanya berteriak 'Prank!'.
***
Arka mengerjap pelan, berusaha menyesuaikan retina matanya dengan pencahayaan kamarnya yang kini temaram. Sepertinya hari sudah mulai sore, entah jam berapa ia mulai tertidur, dan saat ia bangun, sinar matahari yang mengintip dari tirai jendelanya mulai berwarna kekuningan.
"Tadi mimpi kan? Cuma mimpi buruk yang terasa nyata." Arka terkekeh sendiri. Mungkin kalau ada orang lain yang melihatnya, dirinya bisa dikira Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ).
"Udah bangun?"
Arka membeku di tempat. Ia sama sekali tidak mengenal suara itu. Hanya papa dan kakaknya yang pernah masuk ke kamarnya, dan Arka yakin suara yang baru saja bertanya padanya bukanlah suara kedua orang yang memiliki hubungan darah dengannya.
"Arka, kita perlu bicara."
Arka terpaksa menoleh ke sumber suara karena kali ini ia yakin ada seseorang yang bicara padanya, bukan hanya halusinasinya.
"Aaaaaaa!" Saat Arka melihat sosok lelaki yang duduk di sofa kamarnya, seketika itu juga ia berteriak dengan suara yang memekakkan telinga. "Siapa yang ngizinin kamu masuk kamarku?"
[POV Arkadewi Lintang Bestari]Aku tahu dunia ini semakin berkembang, termasuk ragam penipuan. Dan seperti yang sedang kuhadapi saat ini. Di depanku ada seorang laki-laki tengah mengaku sebagai suamiku.But yeah, harus kuakui, he’s so damn hot.Postur tubuhnya jelas lebih menjulang dibandingkan aku yang hanya 160cm. Aku melirik Yudha yang duduk di hadapanku. Mungkin lelaki itu sama tingginya dengan Yudha … atau lebih tinggi?Lelaki itu hanya mengenalan kaos polos berwarna putih dan celana jeans, yang membuat penampilannya seperti anak muda yang sedang ada janji nongkrong dengan teman-temannya.Rambutnya tidak ditata klimis, tapi tidak juga berantakan. Pas. Seperti oppa-oppa yang biasa kutonton di drama Korea. Tapi somehow dia mengingatkanku pada seorang aktor Thailand, sayangnya aku lupa namanya. Nama aktor Thailand terlalu sulit untuk kuhapalkan.Otot tangannya terlihat mencuat dari balik kulitnya, menandakan kalau ia rutin work out atau memang bekerja di bidang yang membutuhkan kekua
[POV Caraka Altair Abimana]Aku menyeret koper berukuran sedang yang kubawa dari London melalui bagian keimigrasian. Sebagian besar barangku sudah dikirim pulang lebih dulu oleh orang suruhan keluarga Bestari, jadi sekarang aku tidak perlu menenteng banyak barang.Keluar dari bandara, lagi-lagi orang suruhan keluarga Bestari telah standby di area penjemputan. Begitu melihatku, mereka langsung mengambil alih barang bawaanku dan menunjukkan di mana aku harus menunggu selagi mereka mengambil mobil.“Apa Pak Hadi Wijaya memerintahkan saya untuk langsung menuju kediaman beliau?” tanyaku begitu mobil yang dikendarai seorang supir dan ada seorang lagi yang duduk di bangku penumpang depan mulai melaju.“Hmm ….”Dengan tidak adanya jawaban dari kedua orang yang duduk di bangku depan, aku mengasumsikan mertuaku tidak memberikan perintah apa pun selain menjemputku di bandara.“Oke lah, saya telepon beliau aja.” Oh damn! Aku lupa kalau masih menggunakan ponsel dan nomor London.Laki-laki yang dud
[POV Caraka Altair Abimana]Aku terdiam di dalam sebuah ruang perawatan yang jelas sekali bukan ruang perawatan kelas 1, kelas 2, apalagi kelas 3. Ruang rawat ini cukup luas, dengan hanya sebuah ranjang pasien yang terletak di sudut ruangan, membuat pasien yang dirawat di dalamnya tidak perlu berbaur dengan pasien lain.Seorang gadis tengah tergeletak tak berdaya di atas ranjang berukuran single di tengah ruangan. Berbagai macam alat bantu dengan kabel-kabelnya berjuntaian di di sekitar gadis itu. Jangan lupakan cairan infus yang menetes teratur dan hampir kehabisan isinya. Aku harus segera melapor setelah keluar dari ruangan ini.Kembali kuedarkan pandangan ke sekeliling. Di sudut ruangan yang lain terdapat satu set sofa berbahan kulit, entah sintetis atau asli, yang jelas set sofa itu saja sudah mampu menunjukkan derajat orang yang menyewa kamar ini sebagai kamar rawat.Di sisi ruangan yang lain ada sebuah televisi layar datar yang tergantung di dinding, dengan kabinet yang berada d
“Andra, besok mulai masuk sekolah sama Mama ya.”Arka malam itu sedang menemani Andra di dalam kamarnya, menyusun puzzle 250 pcs dengan gambar kota London, hadiah dari Daniel yang entah mengapa memberikan anak seusia Andra puzzle serumit itu.Tapi Andra menyukainya, dan pelan-pelan, setiap malam ia mencoba memasang puzzle itu keping demi keping. Sudah seminggu Andra melakukannya, belum selesai memang, tapi ia juga tidak ingin dibantu baik oleh ayahnya maupun mamanya.Andra mengangguk pelan setelah mendengar ucapan mamanya.“Besok Mama juga ada di sekolah, tapi Mama ngajar kelas lain. Guru Andra namanya Bu Eka. Andra boleh nyari Mama tapi pas istirahat ya. Besok bakal banyak temen kok di sekolah.”“Aku nyari Mama kalo udah pulang sekolah.”“Beneran?”“Iya, Ma.”“Andra nggak bakal kangen Mama?”“Kan cuma sebentar, pulang sekolah ketemu lagi.”Kenapa malah Andra yang menenangkan mamanya? Karena sejujurnya memang seresah itu Arka sejak beberapa hari belakangan. Padahal Andra baru akan mas
"Ka. Ini makanannya dikirim duluan aja ya.”Caraka yang terlelap di sofabed dekat baby box milik Andra, terkesiap saat mendengar suara kakak iparnya.“Apa sih, Mas?”“Kamu baru bangun tidur?”Caraka memilih duduk untuk mengumpulkan nyawanya. Diliriknya Andra yang masih tertidur pulas di baby box-nya.“Iya, ketiduran sambil nemenin Andra. Tadi Mas Arga ngomong apa sih?”“Ini catering-nya mau dianter sekarang ke sana? Apa nanti aja, jam lima gitu. Eh tapi sekarang juga udah jam tiga sih.”“Catering?” Sampai detik Arga mengucapkan masalah catering dan jam berapa diantar, Caraka masih berusaha memahaminya dan gagal.“Ya ampun, Caraka! Nanti malam kan keluarga ngumpul buat ngerayain ulang tahu Arka. Kan kamu yang waktu itu minta tolong ke Leira buat bantuin ngurus catering, biar orang rumah nggak repot sekalian kejutan buat Arka.”“Lah, emang sekarang tanggal berapa?”“Tiga puluh.”“Astaga!”“Jangan bilang kamu belum ngucapin? Arka ngembek berminggu-minggu baru tau rasa!”Rasanya seperti d
Arka terbangun dari tidurnya saat mendengar tangisan Andra. Dalam kamar mereka memang disediakan baby box agar Andra bisa tidur seruangan dengan mereka selama malam hari.Selain karena Arka yang ingin mengurus keperluannya sendiri—selagi masih bisa, sekalian agar baby sitter mereka bisa beristirahat dan bekerja dengan maksimal keesokan hari saat mereka berdua bekerja.Arka tidak bisa lagi kembali tidur setelah menenangkan Andra yang ternyata hanya ingin berganti pampers.Karena itu ia memilih duduk sambil bersandar pada ranjang headboard-nya sambil menatap Caraka yang masih pulas.‘Abang inget nggak sih aku ulang tahun? Nggak ya kayaknya? Abang lagi pusing banget pasti. Urusan kerjaan, urusan kantor arsitek yang lagi dibangun, belum lagi masalah trauma Abang.’ Arka menghela napas berat, masih memikirkan banyak hal di dalam kepalanya selagi memandangi Caraka.“Orang kalo dipandangin terus tuh, lumer nggak sih?”Suara berat dan serak Caraka membuat Arka terkejut. Padahal mata suaminya m