Home / Romansa / When I Me(e)t You / 3 Penjelasan untuk Arka

Share

3 Penjelasan untuk Arka

Author: Ans18
last update Last Updated: 2025-02-25 21:58:43

Seumur hidupnya, baru dua kali Arka mendapat kejutan yang membuat jantungnya berdetak tidak karuan. Pertama, ketika muridnya yang masih TK, entah bagaimana caranya mencoba memanjat pohon mangga yang ada di halaman sekolah tempatnya mengajar dan membuat anak itu terjatuh hingga patah tulang kanan. Kedua, saat ini, saat ada seorang lelaki yang memperkenalkan diri sebagai suaminya.

Untuk kasus kali ini, bahkan Arka tidak tahu harus bersikap seperti apa. Menatap kedua orang tuanya yang tetap duduk tenang di tempatnya sama sekali tidak membantunya. Ia pasti pernah amnesia. Tidak ada alasan lain yang membuatnya yakin pernah menikah kecuali hal itu.

Arka bahkan tidak sanggup untuk menyambut uluran tangan dari lelaki bernama Caraka itu.

"Kapan kita nikahnya?" tanya Arka dengan judesnya. "Ingatanku cukup kuat, dan aku yakin nggak pernah amnesia sampe kehilangan potongan memori hidupku. Jadi aku tanya ke kamu, yang ngaku sebagai suamiku, kapan kita nikahnya?"

Caraka menarik tangannya yang menggantung di udara, kemudian mengalihkan perhatian kepada kedua orang tua Arka.

"Papa sama Mama yang mau cerita? Istriku pasti nggak akan percaya apa pun yang kuceritain."

"Istriku, istriku. Jangan sembarangan manggil orang ya masnya!" Arka mengerucutkan bibir kemudian meraih tangan mamanya yang duduk di sampingnya. "Nggak bener kan, Ma?"

"Tanya papamu," jawab Avi singkat.

"Pa?"

***

Arka membanting pintu kamarnya kemudian mengunci pintu itu.

"Ini pasti mimpi. Nanti ketika aku bangun, semuanya akan kembali seperti biasa." Yakin Arka dalam hati. Walau ia tahu sugestinya itu hanya akan bertahan beberapa detik.

"Nggak mungkin! Dua jam yang lalu aku masih single, kenapa tiba-tiba detik ini jadi punya suami. Nggak mungkin!"

Arka merebahkan diri di kasurnya, sambil berguling ke kanan dan ke kiri, berusaha memikirkan perubahan besar, bahkan super besar yang terjadi di hidupnya.

Saat itu lah pintu kamarnya diketuk seseorang. Khawatir lelaki bernama Caraka itu yang mengetuk pintu kamarnya, Arka memilih diam. Hingga suara yang sudah familiar di indra pendengarannya membuat ia berani membuka pintu.

"Dek, boleh Mas Arga ngomong?"

"Kalo masih ngomongin si Caraka itu, aku nggak mau!" teriak Arka dari dalam kamar.

"Dek, katanya udah dewasa, ayo dong ngomong dulu sama Mas. Kan tadi baru Papa Mama yang ngomong sama kamu." Arga menghela napas pasrah. Ia juga tidak suka kondisi ini. Membayangkan tiba-tiba ada yang mengaku sebagai suaminya tentu menyakiti perasaan Arka. Apalagi Arga baru tahu kalau adiknya itu ternyata sudah memiliki pacar.

"Nih, minum dulu." Arga menyerahkan sebotol minuman dingin pada Arka, begitu adiknya itu membuka pintu kamar. "Belum minum kan tadi abis dari ruang kerja Papa."

"Mas Arga, Papa bohong kan? Nggak mungkin banget, Mas. Kalau pun itu terjadi, itu nggak atas persetujuanku. Nggak sah, Mas."

Alih-alih langsung menjawabnya, Arga merengkuh pundak adiknya dan mengajaknya duduk di sofa yang ada di kamar adiknya itu.

"Perasaanmu gimana, Ka?"

"Maaas, jawab dulu pertanyaanku. Papa bohong kan?"

Arga benar-benar tidak tega melihat mata adiknya yang mulai berkaca-kaca. Kapan terakhir kali adiknya itu menangis di depannya? Rasanya sudah bertahun-tahun silam sampai ia tidak bisa mengingatnya lagi.

"Hey, malu sama murid-muridmu. Masa gurunya nangis kayak mereka."

"Mas, ini tu bukan waktunya bercanda. Aku serius. Aku bakalan pergi dari rumah kalo bener apa yang dikatakan Papa."

"Arka, kamu nggak ingat kalo kamu keturunan perempuan keluarga Bestari? Mau kabur ke mana kamu? Ke tempat pacar kamu? Dalam hitungan menit, keluarga Bestari bisa nemuin kamu. Beda kalo mas yang pergi. Pasti nggak bakal dicariin." Arga tersenyum getir. Di saat keluarga lain mengagung-agungkan seorang anak laki-laki, keluarganya sendiri hanya menjadikan anak laki-laki sebagai pencari pundi-pundi uang, sementara anak perempuan akan dipuja dan dimanjakan. Keluarga yang aneh.

"Kok Mas ngomong gitu sih? Daripada bernasib kayak gini, kalo boleh milih aku juga mendingan dilahirkan jadi laki-laki."

Arga hanya menimpali ocehan adiknya dengan tawa. "Caraka orangnya baik kok. Cuma kadang agak dingin aja. Eyang nggak akan sembarangan pilih orang buat nikah sama kamu."

"Mas. Nggak ada sepotong pun ingatanku kalau aku pernah nikah. Jadi ... gimana aku harus nerima keadaan ini? Ini nggak sah, Mas. Aku bisa nuntut—"

"Siapa yang mau kamu tuntut? Eyang? atau Papa yang menjabat langsung tangan Caraka waktu Caraka ngucapin kalimat ijab qabul?"

Beberapa detik setelahnya, Arka meneteskan air mata, dan Arga yang melihatnya hanya bisa menarik adik sematawayangnya ke dalam pelukan. "Pelan-pelan, Dek. Nggak semuanya harus bisa kamu terima sekarang. Satu hal yang harus kamu percaya dari omongan mas, Caraka  orang baik. Kamu bisa pelan-pelan kenalan sama Caraka. Papa Mama nggak yang bakal maksa kamu besok langsung berperan sebagai istri Caraka kok."

"Aku mesti gimana, Mas?"

"Pertama, selesaikan dulu hubunganmu sama pacarmu—"

"Nggak mau! Aku sama Yudha serius, Mas."

"Tapi kamu istri orang."

Arka menutup kedua daun telinganya dan memejamkan mata.

Setiap kali ada yang mengatakan hal itu atau ada yang mengingatkannya, rasanya kepalanya seperti dipukul-pukul dengan palu.

"Sekarang kamu tau kan kenapa Papa Mama, bahkan Mas sendiri ngelarang kamu pacaran? Padahal biasanya Mas selalu dukung apa pun yang kamu lakukan, tapi nggak untuk yang namanya pacaran."

Arka terdiam. Teka-teki satu dekade akhirnya terjawab.

"Nanti Caraka mungkin perlu ngomong sama kamu."

"Nggak mau, Mas!"

"Masa suami mau ngomong, kamu nggak ngizinin. Cuma ngomong, Dek. Mas yakin Caraka nggak bakal macem-macem sama kamu. Maksud Mas, belum untuk saat ini. Dia juga butuh waktu buat kenal kamu."

"Aku mau tidur." Arka berjalan menuju kasur, merebahkan dirinya dengan sepenuh hati. Ia benar-benar ingin tidur dan berharap semua kembali normal saat ia bangun, atau tiba-tiba saja papanya berteriak 'Prank!'.

***

Arka mengerjap pelan, berusaha menyesuaikan retina matanya dengan pencahayaan kamarnya yang kini temaram. Sepertinya hari sudah mulai sore, entah jam berapa ia mulai tertidur, dan saat ia bangun, sinar matahari yang mengintip dari tirai jendelanya mulai berwarna kekuningan.

"Tadi mimpi kan? Cuma mimpi buruk yang terasa nyata." Arka terkekeh sendiri. Mungkin kalau ada orang lain yang melihatnya, dirinya bisa dikira Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ).

"Udah bangun?"

Arka membeku di tempat. Ia sama sekali tidak mengenal suara itu. Hanya papa dan kakaknya yang pernah masuk ke kamarnya, dan Arka yakin suara yang baru saja bertanya padanya bukanlah suara kedua orang yang memiliki hubungan darah dengannya.

"Arka, kita perlu bicara."

Arka terpaksa menoleh ke sumber suara karena kali ini ia yakin ada seseorang yang bicara padanya, bukan hanya halusinasinya.

"Aaaaaaa!" Saat Arka melihat sosok lelaki yang duduk di sofa kamarnya, seketika itu juga ia berteriak dengan suara yang memekakkan telinga. "Siapa yang ngizinin kamu masuk kamarku?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • When I Me(e)t You   85 Dianggap Apa Arka?

    "Mas Arga, ini Non Arka agak aneh, Mas,” lapor salah satu ART di rumah itu yang dititipi pesan Arga untuk memantau kondisi adiknya itu.Sebenarnya Arga tidak tega meninggalkan Arka sendiri di rumah, tapi ia juga tidak bisa mengabaikan pekerjaan yang diserahkan papanya sebelum papanya berangkat ke Solo. Kalau saja papanya tidak pergi ke Solo, Arga bisa saja bekerja dari rumah, tapi sebagai pengganti papanya, ia terpaksa mengikuti ritme kerja di kantor papanya, termasuk dengan deretan meeting yang sangat melelahkan baginya.“Aneh gimana, Bi?”“Udah lima atau enam kali berendam di kolam renang.”“Hah? Gimana, Bi?” Arga sampai kebingungan mencerna ucapan ART-nya. “Kan Arka memang begitu kalo lagi banyak pikiran.”“Tapi ini udah berkali-kali, Mas. Bibi takut Non sakit. Si Non berendem di dalem kolam renang kayak biasanya kalo mood-nya lagi jelek, Mas, sekitar setengah jam. Abis itu mentas, naik ke kamar. Nggak lama, sekitar sejam-an, turun lagi, berendem lagi, trus mentas lagi. Begitu teru

  • When I Me(e)t You   84 Permintaan Kelima

    Arka mengerjap pelan, berusaha menyesuaikan cahaya yang masuk ke retina matanya. Dari bau yang diciumnya dan dari tirai di sekelilingnya, ia tahu kalau dirinya sedang berada di rumah sakit, klinik, atau ... entahlah, yang jelas sebuah fasilitas kesehatan.Ia melirik ke tangan kanannya yang dilingkupi kehangatan, berbeda dengan tangan kirinya yang ada di sisi tubuhnya.Raut wajah Arka terlihat kesal saat ia melihat tangannya sedang digenggam Caraka yang merebahkan kepalanya di atas kasur, sepertinya lelaki itu tertidur."Arka, udah sadar?"Kelegaan yang luar biasa terlihat di wajah Arka saat Yasmin menyibak tirai dan mendekat ke arahnya. Setidaknya ada orang lain di situ, bukan hanya dirinya dan Caraka.Arka mengangguk pelan sambil menarik tangannya yang digenggam Caraka, dan hal itu langsung membuat Caraka terbangun."Sayang, udah bangun? Ada yang sakit?"'Hatiku!' Tapi alih-alih menjawabnya, Arka memilih mengabaikan keberadaan Caraka termasuk dengan usapan lelaki itu di keningnya.Ma

  • When I Me(e)t You   83 Satu Jam Penuh Siksaan

    Apa rasanya melihat suami sendiri duduk di sebelah seorang anak kecil yang begitu menggemaskan, dan keduanya tampak begitu menikmati permainan yang ada di depan mereka?Sayangnya anak itu bukan anaknya, melainkan anak wanita yang pernah dicintai suaminya.Oh, God! Mereka tampak seperti keluarga sempurna.Arka berusaha tidak mengacuhkan 'keluarga kecil' itu, pun ia juga harus membagi fokusnya dengan 19 keluarga lainnya. Tapi sial, matanya sering kali berhianat untuk melirik ke arah mereka.Jangan tanyakan rasanya. Hati Arka rasanya sedang menjadi talenan, di mana ada orang yang sedang mencincang bawang di atasnya. Hatinya terasa diiris-iris.Padahal tadi pagi ia sedikit merasa lega ketika Caraka pergi di pagi hari buta karena harus mengurus kecelakaan kerja di proyeknya.Setidaknya Arka bisa menghindar sampai ia menemukan momen yang pas, atau sampai mulutnya mampu menyuarakan kebingungannya.Melihat Caraka di dalam ruang kelasnya dan berperan sebagai ayah Putri, tidak pernah ada dalam

  • When I Me(e)t You   82 Hari Ayah

    Arka merebahkan diri di sofabed ruang televisi setibanya di rumah. Ia terlalu malas untuk masuk ke dalam kamar.Mata Arka hampir terpejam sebelum ia teringat kembali ucapan muridnya yang mengira Caraka adalah ayahnya. Arka terkekeh geli, tapi tak lama kemudian rasa penasarannya mencuat.Setelah menimbang-nimbang sesaat, antara menghubungi tante Putri atau membuka database murid, akhirnya Arka memilih membuka laptopnya yang berada di kamar lamanya. Beruntung database murid disimpan di dalam server yang bisa diakses dari mana pun selama ada jaringan internet.Arka baru mau mengetikkan username dan password untuk bisa masuk ke dalam database murid, saat tiba-tiba ponselnya berbunyi.“Iya, Bang?”“Udah sampe rumah?” Suara Caraka terdengar khawatir.“Udah.”“Kok nggak bilang Abang?”“Oh iya, lupa. Belum lama juga kok nyampenya.”“Udah makan siang?”“Udah beli tapi belum makan.”“Makan dulu gih.”“Bentar ya, Bang. Lima menit.”“Lagi ngapain emangnya?”Arka menghela napas. Caraka tidak akan

  • When I Me(e)t You   81 Tidak Punya Ayah

    -London, enam tahun lalu-Caraka melangkahkan kaki keluar dari apartemennya dalam cuaca yang menggigil di akhir tahun. Tidak biasanya dia keluar di jam-jam seperti itu, tapi perutnya yang meronta di tengah cuaca dingin dan kehabisan stok makanan adalah kombinasi yang sempurna untuk membuatnya menyeret kaki menuju café yang buka 24 jam di ujung jalan.Ia merapatkan dua lapis jaket yang dikenakannya kemudian memasukkan kedua tangannya ke dalam kantong jaket. London dengan suhu 2 derajat celcius berhasil membuat gigi Caraka bergemeletuk.Baru ia melangkahkan kaki ke dalam café, sosok yang tak asing baginya terlihat duduk di salah satu meja. Tidak banyak café yang buka 24 jam, mungkin saja memang Niken sedang sangat ingin makan supper, dan café itu hanyalah satu-satunya opsi, atau mungkin Niken sedang menunggu Delia.“Ken.”Niken mendongak dan mendapati Caraka yang tengah menatapnya bingung.“Kamu ngapain jam segini, Ka?” Pasalnya memang saat itu sudah menunjukkan hampir pukul 02.00 dini

  • When I Me(e)t You   80 Ayah?

    Arka masih mengatur ritme jantung dan otaknya, ia juga masih menata pikirannya karena apa yang baru saja muridnya ucapkan itu, sebelum Putri berkata lagi, “Bukan ya, Bu? Ayah Putri kan nggak pernah pulang. Kalo pulang pasti nemuin Putri kan.”Hati Arka mencelos saat mendengarnya, apalagi saat melihat raut kesedihan di wajah Putri. Rasanya mungkin Arka tidak akan pernah bisa melupakannya. Anak itu tidak menangis, hanya menunduk sambil menatap ponsel Arka yang masih di tangannya dengan tatapan sendu. “Mungkin cuma mirip aja, Putri.”“Iya, Bu. Cuma mirip. Putri pulang ya, Bu.”Arka mengangguk, badannya masih terasa lemas untuk berdiri apalagi mengantar Putri sampai ke luar sekolah seperti niat awalnya.Barulah beberapa saat setelahnya Arka tersadar. Seharusnya ia menemui mama dari Putri, karena wanita itu belum pernah hadir di acara sekolah karena kesibukannya. Arka paham, sebagai single parent pastilah tidak mudah mengatur waktu untuk datang ke sekolah anaknya dan ini salah satu kesempa

  • When I Me(e)t You   79 Gara-Gara Wallpaper Ponsel

    "Hah?" Arka juga ikut terkejut dengan pertanyaan dari Caraka. "Aku ... aku belum ngecek sih, Bang, belum kelihatan telat juga karena belum jadwal datang bulanku."Caraka mengembalikan fokusnya ke depan, berusaha tidak menampilkan raut wajah kecewa di depan Arka.Sayangnya Arka bisa melihat setitik raut kecewa di wajah suaminya. "Abang kecewa ya?""Nggak. Abang kaget aja tadi kamu ngomong gitu." Tangan kiri Caraka terulur untuk mengusap puncak kepala Arka. "Nggak apa-apa kok. Kita pacaran dulu aja."***“Abang.”Keduanya sudah kembali setelah membeli beberapa mainan untuk anak Niken.Setelah selesai makan malam dan membersihkan diri pun, Arka masih merasa harus membicarakan sesuatu yang mengganjal di pikirannya sejak tadi.“Kenapa?” tanya Caraka yang masih membaca buku sambil bersandar di headboard ranjang dan menunggu Arka memakai skin care yang Caraka tidak pernah tahu ada berapa step itu.Arka menatap Caraka yang terlihat seksi dengan kaca mata yang jarang-jarang digunakannya. Biasa

  • When I Me(e)t You   78 Foto Pernikahan untuk Pernikahan Tujuh Tahun Silam

    "Abang!"Caraka tersentak dari lamunannya saat mendengar panggilan dari Arka yang sedikit kencang. "Hmm?""Abang dari tadi lihatin aku nggak kedip, aku kan malu." Harusnya Arka tidak perlu memakai blush on, karena tatapan Caraka padanya berhasil membuat pipinya merona alami. “Abang tu selalu gini reaksinya kalo aku pake kebaya.”"Cantik banget sih. Duh Abang pengen meluk tapi takut kamu berantakan, nanti tukang salonnya ngamuk sama Abang.""MUA, Bang. Make up artist. Kenapa nyebutnya tukang salon sih.""Eh, udah berubah sebutannya?" tanya Caraka dengan tampang seriusnya.Arka mendengkus pelan. Ia tidak boleh terganggu dengan celetukan aneh Caraka agar mood-nya tetap bagus dan foto pernikahan mereka layak pajang, minimal di ruang tamu rumah mereka dan di salah satu ruangan di rumah keluarga Bestari."Kamu nyesel nggak, Ka, baru pake baju begini sekarang? Dan cuma untuk keperluan foto, bukannya buat acara ijab qabul.""Nyeselin yang udah lewat juga buat apa, Bang. Nggak bisa ngembaliin

  • When I Me(e)t You   77 Exciting Apa Berantakan?

    "Eh ada Dek Oshi.”Oshi melengos begitu Arga menyapanya. Sepertinya kakak ipar abangnya itu tidak pernah lelah beramah tamah dengannya, meskipun ia tidak pernah menggubrisnya.“Shi, salim dulu. Kamu kan bukan anak kecil, nggak perlu Abang suruh setiap kali ketemu mbakmu atau Mas Arga kan?” Caraka berbisik pada Oshi yang sedang mendekati ibunya untuk menyerahkan tote bag berisi pakaian ganti.Meskipun sambil bersungut, Oshi tetap berjalan menghampiri Arga dan Arka yang duduk di sisi lain meja makan.“Baru pulang kuliah, Shi?” tanya Arka. Ia sedang bertekat untuk membuat Oshi bisa menerimanya, walau kelihatannya perjuangannya akan lebih sulit daripada menaklukkan Caraka.Oshi mengangguk singkat, setelahnya mendekat lagi ke arah ibunya. Dia sebenarnya malas setengah mati ketika abangnya memintanya untuk menginap di rumah mereka. Bayangan bertemu kakak iparnya saja sudah cukup mengganggunya, dan ternyata sekarang ditambah dengan kehadiran Arga. Lengkap sudah.“Oshi mau istirahat? Ke kamar

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status