"Arkadewi Lintang Bestari, saya … suami kamu."
Arka hanya menatap kosong ke arah lelaki yang mengaku sebagai suaminya. Tiga detik kemudian, pandangannya beralih kembali kepada Yudha, kekasihnya. "Yud, sekarang bentuk penipuan bukan cuma ‘mama minta pulsa ya’, udah berani nunjukin wajah loh. Jangan biarin aku dihipnotis, Yud."
Sungguh, Yudha ingin terbahak mendengar ucapan Arka, andaikan ia tidak melihat ekspresi yang ditunjukkan lelaki itu. Tapi, ada satu hal yang mengganggunya, lelaki itu menyebut nama Arka dengan lengkap dan tatapannya yang seolah tidak ada keraguan kalau statusnya adalah suami Arka.
"Lepasin tangan pacar saya!" Yudha yang akhirnya berhasil mengabaikan segala pertanyaan dalam pikirannya, ikut mencekal tangan lelaki itu dan menariknya agar melepaskan tangan Arka.
Masih mengabaikan Yudha, Caraka menatap Arka lekat. "Arka, keluargamu nanti yang jelasin semuanya. Mereka nunggu kamu di rumah sekarang."
"Yud, pergi aja yuk," rengek Arka.
Caraka hampir menggeram kesal kalau saja tidak ingat bahwa dirinya lah yang tadi berinisiatif untuk melihat istrinya dari kejauhan dan berakhir menghampiri Arka karena tidak tenang melihat istrinya itu bermesraan dengan lelaki lain.
"Ayo." Yudha langsung berdiri, tampaknya lelaki di hadapannya itu memiliki kelainan jiwa sampai mengaku sebagai suami Arka.
Caraka menahan bahu Arka agar wanita itu duduk kembali. Saat itu lah emosi Yudha benar-benar terpancing.
"Brengsek! Jangan sentuh Arka!" Karena emosi yang sudah tersulut, Yudha tidak peduli lagi kalau ia akan menimbulkan keributan. Tangannya dengan cekatan menarik kerah baju Caraka dan mendorong Caraka untuk menjauh dari kekasihnya.
Beberapa pengunjung cafe mulai terlihat tertarik dengan tontonan di depan mereka, sementara pegawai cafe saling tatap, masih mempertimbangkan untuk melerai atau membiarkan saja pertengkaran itu.
"Dek."
Arka langsung menoleh ke arah suara yang sudah dikenalnya. "Mas Arga."
Arga berjalan menuju ke arah dua lelaki yang sedang bersi tegang. Tangannya mencoba mengurai cengkeraman tangan seorang laki-laki di kerah adik iparnya.
"Siapa ini, Dek?" tanya Arga setelah berhasil membuat kedua lelaki itu duduk di meja yang sama, tanpa adu fisik.
Arka menunduk. Seperti orang tuanya, kakaknya itu juga melarangnya untuk pacaran. Jadi, selama ini ia juga tidak pernah memperkenalkan seorang lelaki kepada kakaknya sebagai pacar. Terlalu malas untuk mendapat omelan dari keluarganya seperti saat dulu pertama kali dengan naifnya ia mengenalkan seorang kekasih ke keluarganya.
"Ini siapa, Mas?" Bukannya menjawab, Arka justru melemparkan pertanyaan balasan sambil menunjuk lelaki penipu itu dengan dagunya.
"Saya Yudha, Mas. Pacar Arka." Yudha berinisiatif memperkenalkan diri. Kesempatan tidak akan datang dua kali kan. Saat ini ada kakak dari kekasihnya di depan batang hidungnya, jadi lebih baik ia memperkenalkan diri untuk membuka jalan.
Arka memejamkan matanya, enggan melihat reaksi kakaknya.
"Saya Arga, kakaknya Arka."
Yudha tersenyum sambil mengangguk sopan.
"Saya bawa adik saya pulang dulu ya, ada urusan keluarga yang harus kami bicarakan di rumah." Lalu Arga menoleh pada adiknya. "Pulang yuk, Dek. Mama Papa mau ngomong sama kamu."
Arka mengangguk pasrah. Kakaknya tidak marah karena statusnya dengan Yudha saja cukup untuk membuat Arka tenang. Ia bahkan lupa bertanya lebih lanjut siapa lelaki yang mengaku sebagai suaminya. Tapi ... ia tidak perlu memedulikannya kan? Toh lelaki itu kini hanya terdiam karena kehadiran Arga. Ia jelas tidak bisa melanjutkan penipuannya.
Arga menggandeng tangan Arka untuk keluar dari cafe, Caraka mengikuti di belakangnya, meninggalkan Yudha yang masih mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi.
"Mas, kok dia ikut mobil kita?" Arka baru saja akan masuk ke dalam mobil kakaknya, tapi urung ia lakukan saat melihat si penipu ikut membuka handle pintu penumpang belakang.
"Udah, Dek. Masuk mobil. Udah ditunggu Papa Mama."
Tanpa membantah lagi, Arka masuk ke dalam mobil, mengenakan seat belt sambil berkali-kali melirik ke arah kakaknya, berharap mendapat penjelasan yang memadai untuk menenangkan hatinya.
Tidak mungkin si penipu itu ternyata tidak menipu kan?
Tidak mungkin lelaki itu benar-benar suaminya kan?
Apa ia pernah amnesia?
"Mas Arga," panggil Arka pelan.
"Jangan banyak nanya, nanti biar dijelasin Papa sama Mama. Mas nggak punya kapasitas di sini buat ngejelasin ke kamu. Tugas Mas cuma bawa kamu pulang."
"Kenapa? Kamu takut kalo saya beneran suami kamu?"
Suara itu lagi. Arka mendengkus kesal saat suara lelaki itu terdengar dari kursi penumpang belakang.
"Caraka!" tegur Arga kesal.
Setelah itu, tidak ada lagi yang berbicara, ketiganya memilih diam daripada terjadi perdebatan.
Sekitar empat puluh menit kemudian, barulah mobil yang dikendarai Arga sampai ke rumah keluarga mereka. Arka masuk terlebih dulu sambil hampir berlari dan bergegas mencari kedua orang tuanya.
"Sudah ketemu, Dek?" Itulah kalimat pertama yang diucapkan Hadi Wijaya ketika anak gadisnya menerobos masuk ke dalam ruang kerjanya. Istrinya tengah duduk di salah satu sisi sofa, menunggu kedatangan orang yang mereka tunggu.
"Maksud Papa? Ketemu siapa?"
"Duduk dulu, Dek."
Tatapan Arka beralih pada mamanya yang memintanya duduk.
"Caraka mana?"
Arka mengernyitkan dahi. "Siapa Caraka?"
Pucuk dicita ulam pun tiba. Caraka masuk ke dalam ruang kerja yang tidak sepenuhnya tertutup itu. Matanya menatap kedua orang tua Arka dan mendekat untuk mencium punggung tangan mereka berdua.
Arka membelalakkan mata ketika melihat papa mamanya hanya diam saat lelaki penipu itu mencium punggung tangan mereka.
"Gimana kabarmu, Ka?" Hadi Wijaya terlihat ramah saat menyapa lelaki yang kini duduk di seberangnya, sementara istrinya tidak menunjukkan ekspresi apa pun.
"Hah? Kabarku? Papa nanya kabarku?" tanya Arka bingung.
Hadi tergelak mendengar pertanyaan Arka, anak gadisnya yang polos itu. "Caraka. Papa nanya kabar Caraka. Kan kamu dipanggil 'Dek' di rumah. Gimana sih? Lupa sama panggilan sendiri?"
Ok, jadi lelaki penipu itu bernama Caraka.
"Baik, Pa. Papa sama Mama sehat?"
Wait! Kenapa lelaki penipu itu memanggil orang tuanya dengan panggilan Papa Mama?
Kalau saja Arka sedang olahraga di atas treadmill, pastilah alat ukur detak jantung di alat itu akan berwarna merah dan berbunyi dengan berisiknya.
"Seperti yang kamu lihat, kami sehat-sehat aja. Gimana nggak sehat kalo seminggu sekali disuguhin tarian sama nyanyian dari guru TK buat uji coba sebelum diajarkan ke muridnya."
"Pa, bisa nggak pembicaraan ini on track? Nggak melenceng ke mana-mana." Arka kini dalam mode seriusnya, bahkan candaan papanya tak lagi terasa lucu baginya.
Avi, mamanya memilih diam, sejak Arka menuruti perintahnya untuk duduk. Ia juga sama sekali tidak merasa perlu untuk menjawab pertanyaan dari Caraka dan Arka, apalagi menimpali candaan suaminya.
"Iya, iya. Kok ngambekan sih kamu, Dek. Kamu udah kenalan belum sama Caraka?"
Arka melirik pada Carakan kemudian kembali menatap papanya. "Caraka siapa sih? Bukan masalah namanya, Pa. Tapi dia ini siapa?" Dalam hati dan otak Arka, ia masih mencoba meyakinkan diri bahwa lelaki yang duduk di seberangnya adalah penipu.
Caraka menghela napas, berdiri, kemudian mengulurkan tangannya pada wanita yang sudah bertahun-tahun tidak dilihatnya. "Caraka Altair Abimana, suami kamu."
[POV Arkadewi Lintang Bestari]Aku tahu dunia ini semakin berkembang, termasuk ragam penipuan. Dan seperti yang sedang kuhadapi saat ini. Di depanku ada seorang laki-laki tengah mengaku sebagai suamiku.But yeah, harus kuakui, he’s so damn hot.Postur tubuhnya jelas lebih menjulang dibandingkan aku yang hanya 160cm. Aku melirik Yudha yang duduk di hadapanku. Mungkin lelaki itu sama tingginya dengan Yudha … atau lebih tinggi?Lelaki itu hanya mengenalan kaos polos berwarna putih dan celana jeans, yang membuat penampilannya seperti anak muda yang sedang ada janji nongkrong dengan teman-temannya.Rambutnya tidak ditata klimis, tapi tidak juga berantakan. Pas. Seperti oppa-oppa yang biasa kutonton di drama Korea. Tapi somehow dia mengingatkanku pada seorang aktor Thailand, sayangnya aku lupa namanya. Nama aktor Thailand terlalu sulit untuk kuhapalkan.Otot tangannya terlihat mencuat dari balik kulitnya, menandakan kalau ia rutin work out atau memang bekerja di bidang yang membutuhkan kekua
[POV Caraka Altair Abimana]Aku menyeret koper berukuran sedang yang kubawa dari London melalui bagian keimigrasian. Sebagian besar barangku sudah dikirim pulang lebih dulu oleh orang suruhan keluarga Bestari, jadi sekarang aku tidak perlu menenteng banyak barang.Keluar dari bandara, lagi-lagi orang suruhan keluarga Bestari telah standby di area penjemputan. Begitu melihatku, mereka langsung mengambil alih barang bawaanku dan menunjukkan di mana aku harus menunggu selagi mereka mengambil mobil.“Apa Pak Hadi Wijaya memerintahkan saya untuk langsung menuju kediaman beliau?” tanyaku begitu mobil yang dikendarai seorang supir dan ada seorang lagi yang duduk di bangku penumpang depan mulai melaju.“Hmm ….”Dengan tidak adanya jawaban dari kedua orang yang duduk di bangku depan, aku mengasumsikan mertuaku tidak memberikan perintah apa pun selain menjemputku di bandara.“Oke lah, saya telepon beliau aja.” Oh damn! Aku lupa kalau masih menggunakan ponsel dan nomor London.Laki-laki yang dud
[POV Caraka Altair Abimana]Aku terdiam di dalam sebuah ruang perawatan yang jelas sekali bukan ruang perawatan kelas 1, kelas 2, apalagi kelas 3. Ruang rawat ini cukup luas, dengan hanya sebuah ranjang pasien yang terletak di sudut ruangan, membuat pasien yang dirawat di dalamnya tidak perlu berbaur dengan pasien lain.Seorang gadis tengah tergeletak tak berdaya di atas ranjang berukuran single di tengah ruangan. Berbagai macam alat bantu dengan kabel-kabelnya berjuntaian di di sekitar gadis itu. Jangan lupakan cairan infus yang menetes teratur dan hampir kehabisan isinya. Aku harus segera melapor setelah keluar dari ruangan ini.Kembali kuedarkan pandangan ke sekeliling. Di sudut ruangan yang lain terdapat satu set sofa berbahan kulit, entah sintetis atau asli, yang jelas set sofa itu saja sudah mampu menunjukkan derajat orang yang menyewa kamar ini sebagai kamar rawat.Di sisi ruangan yang lain ada sebuah televisi layar datar yang tergantung di dinding, dengan kabinet yang berada d
“Andra, besok mulai masuk sekolah sama Mama ya.”Arka malam itu sedang menemani Andra di dalam kamarnya, menyusun puzzle 250 pcs dengan gambar kota London, hadiah dari Daniel yang entah mengapa memberikan anak seusia Andra puzzle serumit itu.Tapi Andra menyukainya, dan pelan-pelan, setiap malam ia mencoba memasang puzzle itu keping demi keping. Sudah seminggu Andra melakukannya, belum selesai memang, tapi ia juga tidak ingin dibantu baik oleh ayahnya maupun mamanya.Andra mengangguk pelan setelah mendengar ucapan mamanya.“Besok Mama juga ada di sekolah, tapi Mama ngajar kelas lain. Guru Andra namanya Bu Eka. Andra boleh nyari Mama tapi pas istirahat ya. Besok bakal banyak temen kok di sekolah.”“Aku nyari Mama kalo udah pulang sekolah.”“Beneran?”“Iya, Ma.”“Andra nggak bakal kangen Mama?”“Kan cuma sebentar, pulang sekolah ketemu lagi.”Kenapa malah Andra yang menenangkan mamanya? Karena sejujurnya memang seresah itu Arka sejak beberapa hari belakangan. Padahal Andra baru akan mas
"Ka. Ini makanannya dikirim duluan aja ya.”Caraka yang terlelap di sofabed dekat baby box milik Andra, terkesiap saat mendengar suara kakak iparnya.“Apa sih, Mas?”“Kamu baru bangun tidur?”Caraka memilih duduk untuk mengumpulkan nyawanya. Diliriknya Andra yang masih tertidur pulas di baby box-nya.“Iya, ketiduran sambil nemenin Andra. Tadi Mas Arga ngomong apa sih?”“Ini catering-nya mau dianter sekarang ke sana? Apa nanti aja, jam lima gitu. Eh tapi sekarang juga udah jam tiga sih.”“Catering?” Sampai detik Arga mengucapkan masalah catering dan jam berapa diantar, Caraka masih berusaha memahaminya dan gagal.“Ya ampun, Caraka! Nanti malam kan keluarga ngumpul buat ngerayain ulang tahu Arka. Kan kamu yang waktu itu minta tolong ke Leira buat bantuin ngurus catering, biar orang rumah nggak repot sekalian kejutan buat Arka.”“Lah, emang sekarang tanggal berapa?”“Tiga puluh.”“Astaga!”“Jangan bilang kamu belum ngucapin? Arka ngembek berminggu-minggu baru tau rasa!”Rasanya seperti d
Arka terbangun dari tidurnya saat mendengar tangisan Andra. Dalam kamar mereka memang disediakan baby box agar Andra bisa tidur seruangan dengan mereka selama malam hari.Selain karena Arka yang ingin mengurus keperluannya sendiri—selagi masih bisa, sekalian agar baby sitter mereka bisa beristirahat dan bekerja dengan maksimal keesokan hari saat mereka berdua bekerja.Arka tidak bisa lagi kembali tidur setelah menenangkan Andra yang ternyata hanya ingin berganti pampers.Karena itu ia memilih duduk sambil bersandar pada ranjang headboard-nya sambil menatap Caraka yang masih pulas.‘Abang inget nggak sih aku ulang tahun? Nggak ya kayaknya? Abang lagi pusing banget pasti. Urusan kerjaan, urusan kantor arsitek yang lagi dibangun, belum lagi masalah trauma Abang.’ Arka menghela napas berat, masih memikirkan banyak hal di dalam kepalanya selagi memandangi Caraka.“Orang kalo dipandangin terus tuh, lumer nggak sih?”Suara berat dan serak Caraka membuat Arka terkejut. Padahal mata suaminya m