"Siapa yang ngizinin kamu masuk kamarku?" Arka berteriak kesal kala melihat sosok lelaki yang duduk santai di sofa kamarnya.
"Apa aku harus izin untuk masuk ke kamar istriku?"
"Astaga! Bisa nggak sih nggak nyebut-nyebut itu?" Arka mendengkus kesal sementara lelaki di hadapannya tersenyum simpul.
"Orang dibilang aku ngerasa nggak pernah nikah juga," gumam Arka entah pada siapa, yang jelas ia bangkit dari posisi tidurnya dan memilih duduk di foot board ranjang.
Meskipun setelah bangun tidur tadi ia masih berharap bahwa semuanya adalah mimpi, tapi begitu melihat sosok Caraka di dalam kamarnya, ia jadi sadar kalau harapannya tidak terkabul. Mau tidak mau, cepat atau lambat, ia harus menghadapi lelaki yang mengaku bernama Caraka Altair Abimana itu.
"So, apa yang mau kamu omongin sampe nerobos masuk ke kamarku?"
"Hubungan kita." Caraka menjawab dengan singkat dan nada yang dingin.
"Hubungan yang mana? Aku sama sekali nggak ngerasa punya hubungan sama kamu."
Caraka menghela napas kasar. "Aku tau, Arka. Ini pasti jadi pukulan berat buatmu. Tapi, kita nggak bisa kembali ke masa lalu lagi. Semuanya udah terjadi. Apa ucapan orang tuamu, foto-foto, video, dan dokumen yang ditunjukkan tadi masih belum bisa buat kamu percaya?"
"Iya, aku nggak percaya," jawab Arka angkuh.
"Ok ok, aku berusaha untuk ngerti. Kalau aku jadi kamu juga pasti aku nggak akan bisa langsung percaya. Aku cuma minta ... dengerin omongan orang tuamu. Apa mungkin mereka mempersiapkan kebohongan ini untuk kamu? Buat apa juga? Nggak ada gunanya Arka. Mau nggak mau kamu harus mulai mempersiapkan diri untuk menjalani rumah tangga yang seutuhnya." Caraka berdiri, meninggalkan Arka yang kini duduk diam.
Arka mencoba menelaah kata per kata yang baru saja diucapkan Caraka. Setelah apa yang diucapkan papa mamanya, kakaknya, dan kini Caraka sendiri, rasanya Arka tidak punya cara lagi untuk menafikan ucapan semua orang.
Helaan napas berat keluar dari Arka saat ia melihat ponselnya. Sepuluh missed call dan puluhan pesan dari Yudha memenuhi notifikasinya. Yudha pasti sangat khawatir padanya sekaligus bingung dengan apa yang terjadi hari ini.
Lalu harus bagaimana ia menceritakannya pada Yudha?
Yudha tidak mungkin bisa menerima hal itu begitu saja, sama seperti dirinya yang sampai detik itu masih sulit mempercayai apa yang terjadi pada hidupnya.
Sejujurnya ia ingin menghubungi Yudha, mengadukan semuanya pada lelaki yang sudah beberapa tahun ini ada di sampingnya, tapi satu sisi hatinya yang lain merasa tidak tega untuk berbagi kisahnya yang juga otomatis akan mengakhiri hubungannya dengan Yudha. Karenanya, Arka membuka aplikasi pesan singkat, berharap Yudha dapat ditenangkan hanya dengan balasan pesannya.
Arka: Maaf Yud, tadi aku tidur
Arka: It's ok Yud
Arka: Semua baik-baik aja kok
Arka: Nanti agak malem aku hubungi kamu ya
Arka: Abis mandi aku mau ngobrol bentar sama orang tuaku
Setelah beberapa pesan singkat itu, Arka memilih menyegarkan dirinya. Siapa tahu guyuran air bisa membuat kepalanya yang sejak tadi panas bisa sedikit dingin.
***
"Udah ngomong sama Caraka, Dek?" Pertanyaan pertama yang menyapa Arka saat ia turun dari tangga membuatnya seketika berhenti di tempat.
"Udah, dikit, Pa."
"Caraka lagi pulang sebentar ke rumah ibunya. Harusnya kamu sebagai istri juga berkunjung ke sana, kenalan sama mertuamu. Tapi Papa tau masih berat buat kamu nerima semua ini. Papa ngerti. Papa nggak akan maksa. Yang penting kamu coba kasih kesempatan buat Caraka."
"Emang rumah ibunya dia di mana?" tanya Arka yang kini mengambil posisi duduk di sebelah papanya.
"Di Bogor."
"Oooh."
"Caraka udah cukup lama diasingkan sama eyangmu. Kamu bisa bayangin nggak kalau kamu terpisah dari Papa Mama selama hampir tujuh tahun? Cuma bisa denger suara lewat sambungan telepon sama lihat wajah via video call, pasti Caraka juga tersiksa."
"Kenapa Eyang jahat ke semua orang?"
"Hush! Jangan ngomong gitu." Dalam hatinya, lelaki paruh baya itu juga menyetujui ucapan Arka. Apa yang dilakukan orang tuanya justru membuat Arka dan Caraka sama-sama merasakan sakit yang tidak seharusnya terjadi apabila wanita yang paling dituakan di keluarga Bestari itu tidak memaksakan kehendaknya tujuh tahun silam.
"Pa."
"Hmm?"
"Aku ...." Baru satu kata, dan Arka tidak berani melanjutkannya, padahal ia ingin menceritakan hubungannya dengan Yudha yang sudah ingin serius.
"Kenapa?"
"Aku ... nanti tidur di kamarku sendiri kan? Dia nggak tidur sama aku kan?" Pertanyaan absurd ini yang akhirnya lolos dari mulut Arka.
Hadi terbahak mendengar pertanyaan anaknya. "Bebas, Dek. Caraka boleh tidur di kamarmu, kan kalian udah sah sebagai suami istri. Tapi kalo kamu belum siap, kamar tamu udah disiapin kok buat Caraka."
"Emang dia bakal balik ke sini? Nggak nginep di rumah orang tuanya?"
"Ya coba, Dek, kamu yang nanya. Kan suamimu, kenapa Papa yang mesti nanya hal kayak gitu ke dia."
"Ih, Papa apaan sih. Nomornya aja nggak punya."
Karena kesal dengan papanya yang mulai meledeknya, Arka memilih pergi mencari mamanya yang sedang mengawasi ART menyiapkan makan malam untuk keluarga mereka. Tapi baru beberapa langkah, sebuah pesan singkat masuk ke dalam ponselnya, pesan singkat dari papanya yang mengirimkan attachment nomor ponsel Caraka.
"Papa! Aku nggak minta nomornya!"
***
Sepuluh menit seblum makan malam dimulai, Caraka datang sambil menyeret kopernya menuju kamar tamu yang berada di lantai bawah, dekat ruang keluarga. Diam-diam Arka merasa lega karena artinya lelaki yang kini berstatus sebagai suaminya itu tidak akan menginjakkan kaki di kamarnya.
Ya, mau tidak mau, Arka terpaksa (untuk sementara) mengakui lelaki itu sebagai suaminya.
Makan malam itu berlangsung canggung, tidak seperti biasanya. Arka yang biasanya akan menceritakan kejadian-kejadian lucu yang terjadi pada murid-muridnya, kini memilih diam. Ditambah dengan absennya Arga, suasana makan malam itu semakin sunyi.
"Ibu kamu sehat, Ka?"
"Hah?" Arka menatap bingung ke arah papanya, lupa kalau kini ada orang lain dengan nama serupa dirinya.
"Papa tanya Caraka, Dek."
"Iya, sehat kok, Pa," jawab Caraka singkat.
"Kamu nggak mau nginep di rumah ibumu? Udah bertahun-tahun kalian nggak ketemu, nggak apa-apa kok kalo kamu mau nginep di sana." Kini Avi yang berbicara.
Avi adalah salah satu orang yang dulu menolak ide gila dari mertuanya. Tapi sebagai anak menantu di keluarga Bestari, ucapannya tidak ada artinya jika dibanding titah Dewi Ayu Bestari.
"Nggak, Ma. Ibu udah ngizinin kok. Besok aku ke rumah Ibu lagi."
"Harusnya kamu banyak istirahat karena jetlag, bukan malah mondar-mandir Jakarta-Bogor." Diam-diam Avi khawatir kalau Caraka akan tidur bersama putrinya. Meskipun mereka sudah berstatus suami istri, tapi Avi tetap saja masih belm rela.
"Kamu tidur di—"
Ucapan Avi itu disela langsung oleh suaminya. "Ma, biar Caraka sama Arka yang mutusin. Mereka harus mulai belajar mengurus rumah tangga mereka sendiri."
Avi menatap suaminya penuh permusuhan, kemudian meninggalkan meja makan begitu saja. Tapi Hadi tidak tinggal diam. Ia langsung mengejar istrinya yang sedang emosi.
"Aku nggak akan tidur di kamarmu sampe kamu yang ngizinin, kamu tenang aja," ucap Caraka yang seperti merasa tidak terganggu dengan suasana makan malam yang memanas.
"Bagus lah kalo kamu sadar diri." Arka memilih ikut pergi dari ruang makan itu seperti kedua orang tuanya.
'Terlalu banyak yang kukorbankan demi keluargamu, Arka. Udah saatnya aku meminta hakku.'
[POV Arkadewi Lintang Bestari]Aku tahu dunia ini semakin berkembang, termasuk ragam penipuan. Dan seperti yang sedang kuhadapi saat ini. Di depanku ada seorang laki-laki tengah mengaku sebagai suamiku.But yeah, harus kuakui, he’s so damn hot.Postur tubuhnya jelas lebih menjulang dibandingkan aku yang hanya 160cm. Aku melirik Yudha yang duduk di hadapanku. Mungkin lelaki itu sama tingginya dengan Yudha … atau lebih tinggi?Lelaki itu hanya mengenalan kaos polos berwarna putih dan celana jeans, yang membuat penampilannya seperti anak muda yang sedang ada janji nongkrong dengan teman-temannya.Rambutnya tidak ditata klimis, tapi tidak juga berantakan. Pas. Seperti oppa-oppa yang biasa kutonton di drama Korea. Tapi somehow dia mengingatkanku pada seorang aktor Thailand, sayangnya aku lupa namanya. Nama aktor Thailand terlalu sulit untuk kuhapalkan.Otot tangannya terlihat mencuat dari balik kulitnya, menandakan kalau ia rutin work out atau memang bekerja di bidang yang membutuhkan kekua
[POV Caraka Altair Abimana]Aku menyeret koper berukuran sedang yang kubawa dari London melalui bagian keimigrasian. Sebagian besar barangku sudah dikirim pulang lebih dulu oleh orang suruhan keluarga Bestari, jadi sekarang aku tidak perlu menenteng banyak barang.Keluar dari bandara, lagi-lagi orang suruhan keluarga Bestari telah standby di area penjemputan. Begitu melihatku, mereka langsung mengambil alih barang bawaanku dan menunjukkan di mana aku harus menunggu selagi mereka mengambil mobil.“Apa Pak Hadi Wijaya memerintahkan saya untuk langsung menuju kediaman beliau?” tanyaku begitu mobil yang dikendarai seorang supir dan ada seorang lagi yang duduk di bangku penumpang depan mulai melaju.“Hmm ….”Dengan tidak adanya jawaban dari kedua orang yang duduk di bangku depan, aku mengasumsikan mertuaku tidak memberikan perintah apa pun selain menjemputku di bandara.“Oke lah, saya telepon beliau aja.” Oh damn! Aku lupa kalau masih menggunakan ponsel dan nomor London.Laki-laki yang dud
[POV Caraka Altair Abimana]Aku terdiam di dalam sebuah ruang perawatan yang jelas sekali bukan ruang perawatan kelas 1, kelas 2, apalagi kelas 3. Ruang rawat ini cukup luas, dengan hanya sebuah ranjang pasien yang terletak di sudut ruangan, membuat pasien yang dirawat di dalamnya tidak perlu berbaur dengan pasien lain.Seorang gadis tengah tergeletak tak berdaya di atas ranjang berukuran single di tengah ruangan. Berbagai macam alat bantu dengan kabel-kabelnya berjuntaian di di sekitar gadis itu. Jangan lupakan cairan infus yang menetes teratur dan hampir kehabisan isinya. Aku harus segera melapor setelah keluar dari ruangan ini.Kembali kuedarkan pandangan ke sekeliling. Di sudut ruangan yang lain terdapat satu set sofa berbahan kulit, entah sintetis atau asli, yang jelas set sofa itu saja sudah mampu menunjukkan derajat orang yang menyewa kamar ini sebagai kamar rawat.Di sisi ruangan yang lain ada sebuah televisi layar datar yang tergantung di dinding, dengan kabinet yang berada d
“Andra, besok mulai masuk sekolah sama Mama ya.”Arka malam itu sedang menemani Andra di dalam kamarnya, menyusun puzzle 250 pcs dengan gambar kota London, hadiah dari Daniel yang entah mengapa memberikan anak seusia Andra puzzle serumit itu.Tapi Andra menyukainya, dan pelan-pelan, setiap malam ia mencoba memasang puzzle itu keping demi keping. Sudah seminggu Andra melakukannya, belum selesai memang, tapi ia juga tidak ingin dibantu baik oleh ayahnya maupun mamanya.Andra mengangguk pelan setelah mendengar ucapan mamanya.“Besok Mama juga ada di sekolah, tapi Mama ngajar kelas lain. Guru Andra namanya Bu Eka. Andra boleh nyari Mama tapi pas istirahat ya. Besok bakal banyak temen kok di sekolah.”“Aku nyari Mama kalo udah pulang sekolah.”“Beneran?”“Iya, Ma.”“Andra nggak bakal kangen Mama?”“Kan cuma sebentar, pulang sekolah ketemu lagi.”Kenapa malah Andra yang menenangkan mamanya? Karena sejujurnya memang seresah itu Arka sejak beberapa hari belakangan. Padahal Andra baru akan mas
"Ka. Ini makanannya dikirim duluan aja ya.”Caraka yang terlelap di sofabed dekat baby box milik Andra, terkesiap saat mendengar suara kakak iparnya.“Apa sih, Mas?”“Kamu baru bangun tidur?”Caraka memilih duduk untuk mengumpulkan nyawanya. Diliriknya Andra yang masih tertidur pulas di baby box-nya.“Iya, ketiduran sambil nemenin Andra. Tadi Mas Arga ngomong apa sih?”“Ini catering-nya mau dianter sekarang ke sana? Apa nanti aja, jam lima gitu. Eh tapi sekarang juga udah jam tiga sih.”“Catering?” Sampai detik Arga mengucapkan masalah catering dan jam berapa diantar, Caraka masih berusaha memahaminya dan gagal.“Ya ampun, Caraka! Nanti malam kan keluarga ngumpul buat ngerayain ulang tahu Arka. Kan kamu yang waktu itu minta tolong ke Leira buat bantuin ngurus catering, biar orang rumah nggak repot sekalian kejutan buat Arka.”“Lah, emang sekarang tanggal berapa?”“Tiga puluh.”“Astaga!”“Jangan bilang kamu belum ngucapin? Arka ngembek berminggu-minggu baru tau rasa!”Rasanya seperti d
Arka terbangun dari tidurnya saat mendengar tangisan Andra. Dalam kamar mereka memang disediakan baby box agar Andra bisa tidur seruangan dengan mereka selama malam hari.Selain karena Arka yang ingin mengurus keperluannya sendiri—selagi masih bisa, sekalian agar baby sitter mereka bisa beristirahat dan bekerja dengan maksimal keesokan hari saat mereka berdua bekerja.Arka tidak bisa lagi kembali tidur setelah menenangkan Andra yang ternyata hanya ingin berganti pampers.Karena itu ia memilih duduk sambil bersandar pada ranjang headboard-nya sambil menatap Caraka yang masih pulas.‘Abang inget nggak sih aku ulang tahun? Nggak ya kayaknya? Abang lagi pusing banget pasti. Urusan kerjaan, urusan kantor arsitek yang lagi dibangun, belum lagi masalah trauma Abang.’ Arka menghela napas berat, masih memikirkan banyak hal di dalam kepalanya selagi memandangi Caraka.“Orang kalo dipandangin terus tuh, lumer nggak sih?”Suara berat dan serak Caraka membuat Arka terkejut. Padahal mata suaminya m