Home / Romansa / When I Me(e)t You / 4 Pisah Kamar

Share

4 Pisah Kamar

Author: Ans18
last update Last Updated: 2025-02-25 21:59:06

"Siapa yang ngizinin kamu masuk kamarku?" Arka berteriak kesal kala melihat sosok lelaki yang duduk santai di sofa kamarnya.

"Apa aku harus izin untuk masuk ke kamar istriku?"

"Astaga! Bisa nggak sih nggak nyebut-nyebut itu?" Arka mendengkus kesal sementara lelaki di hadapannya tersenyum simpul.

"Orang dibilang aku ngerasa nggak pernah nikah juga," gumam Arka entah pada siapa, yang jelas ia bangkit dari posisi tidurnya dan memilih duduk di foot board ranjang.

Meskipun setelah bangun tidur tadi ia masih berharap bahwa semuanya adalah mimpi, tapi begitu melihat sosok Caraka di dalam kamarnya, ia jadi sadar kalau harapannya tidak terkabul. Mau tidak mau, cepat atau lambat, ia harus menghadapi lelaki yang mengaku bernama Caraka Altair Abimana itu.

"So, apa yang mau kamu omongin sampe nerobos masuk ke kamarku?"

"Hubungan kita." Caraka menjawab dengan singkat dan nada yang dingin.

"Hubungan yang mana? Aku sama sekali nggak ngerasa punya hubungan sama kamu."

Caraka menghela napas kasar. "Aku tau, Arka. Ini pasti jadi pukulan berat buatmu. Tapi, kita nggak bisa kembali ke masa lalu lagi. Semuanya udah terjadi. Apa ucapan orang tuamu, foto-foto, video, dan dokumen yang ditunjukkan tadi masih belum bisa buat kamu percaya?"

"Iya, aku nggak percaya," jawab Arka angkuh.

"Ok ok, aku berusaha untuk ngerti. Kalau aku jadi kamu juga pasti aku nggak akan bisa langsung percaya. Aku cuma minta ... dengerin omongan orang tuamu. Apa mungkin mereka mempersiapkan kebohongan ini untuk kamu? Buat apa juga? Nggak ada gunanya Arka. Mau nggak mau kamu harus mulai mempersiapkan diri untuk menjalani rumah tangga yang seutuhnya." Caraka berdiri, meninggalkan Arka yang kini duduk diam.

Arka mencoba menelaah kata per kata yang baru saja diucapkan Caraka. Setelah apa yang diucapkan papa mamanya, kakaknya, dan kini Caraka sendiri, rasanya Arka tidak punya cara lagi untuk menafikan ucapan semua orang.

Helaan napas berat keluar dari Arka saat ia melihat ponselnya. Sepuluh missed call dan puluhan pesan dari Yudha memenuhi notifikasinya. Yudha pasti sangat khawatir padanya sekaligus bingung dengan apa yang terjadi hari ini.

Lalu harus bagaimana ia menceritakannya pada Yudha?

Yudha tidak mungkin bisa menerima hal itu begitu saja, sama seperti dirinya yang sampai detik itu masih sulit mempercayai apa yang terjadi pada hidupnya.

Sejujurnya ia ingin menghubungi Yudha, mengadukan semuanya pada lelaki yang sudah beberapa tahun ini ada di sampingnya, tapi satu sisi hatinya yang lain merasa tidak tega untuk berbagi kisahnya yang juga otomatis akan mengakhiri hubungannya dengan Yudha. Karenanya, Arka membuka aplikasi pesan singkat, berharap Yudha dapat ditenangkan hanya dengan balasan pesannya.

Arka: Maaf Yud, tadi aku tidur

Arka: It's ok Yud

Arka: Semua baik-baik aja kok

Arka: Nanti agak malem aku hubungi kamu ya

Arka: Abis mandi aku mau ngobrol bentar sama orang tuaku

Setelah beberapa pesan singkat itu, Arka memilih menyegarkan dirinya. Siapa tahu guyuran air bisa membuat kepalanya yang sejak tadi panas bisa sedikit dingin.

***

"Udah ngomong sama Caraka, Dek?" Pertanyaan pertama yang menyapa Arka saat ia turun dari tangga membuatnya seketika berhenti di tempat.

"Udah, dikit, Pa."

"Caraka lagi pulang sebentar ke rumah ibunya. Harusnya kamu sebagai istri juga berkunjung ke sana, kenalan sama mertuamu. Tapi Papa tau masih berat buat kamu nerima semua ini. Papa ngerti. Papa nggak akan maksa. Yang penting kamu coba kasih kesempatan buat Caraka."

"Emang rumah ibunya dia di mana?" tanya Arka yang kini mengambil posisi duduk di sebelah papanya.

"Di Bogor."

"Oooh."

"Caraka udah cukup lama diasingkan sama eyangmu. Kamu bisa bayangin nggak kalau kamu terpisah dari Papa Mama selama hampir tujuh tahun? Cuma bisa denger suara lewat sambungan telepon sama lihat wajah via video call, pasti Caraka juga tersiksa."

"Kenapa Eyang jahat ke semua orang?"

"Hush! Jangan ngomong gitu." Dalam hatinya, lelaki paruh baya itu juga menyetujui ucapan Arka. Apa yang dilakukan orang tuanya justru membuat Arka dan Caraka sama-sama merasakan sakit yang tidak seharusnya terjadi apabila wanita yang paling dituakan di keluarga Bestari itu tidak memaksakan kehendaknya tujuh tahun silam.

"Pa."

"Hmm?"

"Aku ...." Baru satu kata, dan Arka tidak berani melanjutkannya, padahal ia ingin menceritakan hubungannya dengan Yudha yang sudah ingin serius.

"Kenapa?"

"Aku ... nanti tidur di kamarku sendiri kan? Dia nggak tidur sama aku kan?" Pertanyaan absurd ini yang akhirnya lolos dari mulut Arka.

Hadi terbahak mendengar pertanyaan anaknya. "Bebas, Dek. Caraka boleh tidur di kamarmu, kan kalian udah sah sebagai suami istri. Tapi kalo kamu belum siap, kamar tamu udah disiapin kok buat Caraka."

"Emang dia bakal balik ke sini? Nggak nginep di rumah orang tuanya?"

"Ya coba, Dek, kamu yang nanya. Kan suamimu, kenapa Papa yang mesti nanya hal kayak gitu ke dia."

"Ih, Papa apaan sih. Nomornya aja nggak punya."

Karena kesal dengan papanya yang mulai meledeknya, Arka memilih pergi mencari mamanya yang sedang mengawasi ART menyiapkan makan malam untuk keluarga mereka. Tapi baru beberapa langkah, sebuah pesan singkat masuk ke dalam ponselnya, pesan singkat dari papanya yang mengirimkan attachment nomor ponsel Caraka.

"Papa! Aku nggak minta nomornya!"

***

Sepuluh menit seblum makan malam dimulai, Caraka datang sambil menyeret kopernya menuju kamar tamu yang berada di lantai bawah, dekat ruang keluarga. Diam-diam Arka merasa lega karena artinya lelaki yang kini berstatus sebagai suaminya itu tidak akan menginjakkan kaki di kamarnya.

Ya, mau tidak mau, Arka terpaksa (untuk sementara) mengakui lelaki itu sebagai suaminya.

Makan malam itu berlangsung canggung, tidak seperti biasanya. Arka yang biasanya akan menceritakan kejadian-kejadian lucu yang terjadi pada murid-muridnya, kini memilih diam. Ditambah dengan absennya Arga, suasana makan malam itu semakin sunyi.

"Ibu kamu sehat, Ka?"

"Hah?" Arka menatap bingung ke arah papanya, lupa kalau kini ada orang lain dengan nama serupa dirinya.

"Papa tanya Caraka, Dek."

"Iya, sehat kok, Pa," jawab Caraka singkat.

"Kamu nggak mau nginep di rumah ibumu? Udah bertahun-tahun kalian nggak ketemu, nggak apa-apa kok kalo kamu mau nginep di sana." Kini Avi yang berbicara.

Avi adalah salah satu orang yang dulu menolak ide gila dari mertuanya. Tapi sebagai anak menantu di keluarga Bestari, ucapannya tidak ada artinya jika dibanding titah Dewi Ayu Bestari.

"Nggak, Ma. Ibu udah ngizinin kok. Besok aku ke rumah Ibu lagi."

"Harusnya kamu banyak istirahat karena jetlag, bukan malah mondar-mandir Jakarta-Bogor." Diam-diam Avi khawatir kalau Caraka akan tidur bersama putrinya. Meskipun mereka sudah berstatus suami istri, tapi Avi tetap saja masih belm rela.

"Kamu tidur di—"

Ucapan Avi itu disela langsung oleh suaminya. "Ma, biar Caraka sama Arka yang mutusin. Mereka harus mulai belajar mengurus rumah tangga mereka sendiri."

Avi menatap suaminya penuh permusuhan, kemudian meninggalkan meja makan begitu saja. Tapi Hadi tidak tinggal diam. Ia langsung mengejar istrinya yang sedang emosi.

"Aku nggak akan tidur di kamarmu sampe kamu yang ngizinin, kamu tenang aja," ucap Caraka yang seperti merasa tidak terganggu dengan suasana makan malam yang memanas.

"Bagus lah kalo kamu sadar diri." Arka memilih ikut pergi dari ruang makan itu seperti kedua orang tuanya.

'Terlalu banyak yang kukorbankan demi keluargamu, Arka. Udah saatnya aku meminta hakku.'

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • When I Me(e)t You   107 Melindungimu

    “Ok, mungkin kamu belum laper. Gimana kalo kamu mandi dulu?”Arka menggeleng cepat. Ia tahu, perlahan-lahan orang seperti Randy akan meledak marah dan bisa kalap apabila keinginannya tidak dituruti. Namun ia benar-benar tidak bisa mengikuti kemauan Randy, baik untuk makan maupun untuk mandi. Semuanya terasa berbahaya untuknya.“Aku nggak akan nyakitin kamu. Nggak usah takut.”Arka hampir kelepasan mendengkus karena ucapan Randy. Tidak akan menyakiti? Lalu apa yang baru saja dilakukan lelaki itu padanya? Menamparnya hingga kini pipinya berkedut nyeri dan sudut bibirnya robek.“Kenapa kamu lakuin ini, Ran? Kamu kan saudara Bang Caraka?” tanya Arka pelan, berusaha membuat Randy tidak tersinggung.“Tanya ke eyangmu, kenapa dia milih Caraka buat jadi suamimu? Apa levelku di bawah dia?”Ingin rasanya Arka mengangguk cepat atas pertanyaan itu.“Tapi kenapa kamu baru nemuin aku sekarang kalau kamu bener-bener berniat buat gantiin posisi Bang Caraka sebagai suamiku? Padahal kamu punya waktu be

  • When I Me(e)t You   106 Sakit Jiwa!

    Langkah kaki Arga beserta dua orang lain yang memasuki ruang keluarga rumah Ayu membuat Caraka berdiri."Gimana, Mas?" tanya Caraka langsung to the point saat melihat kakak iparnya datang.Arga kemudian duduk, menggusah napas kasar karena terlalu khawatir dengan keadaan adiknya. Sementara dua orang yang dibawa Arga tengah mengumpulkan sidik jari dan barang bukti lain di area ruang tamu, kamar Oshi, dan tentu saja dapur."Aku udah lapor polisi. Polisi udah mulai gerak. Tapi aku tetep nyuruh orangku buat sama-sama gerak. Aku nggak peduli, yang penting Arka ketemu."Tak berselang lama, kedua orang tua Arka juga datang dengan raut wajah yang membuat Caraka merasa bersalah karena tidak bisa menjaga anak perempuan kesayangan mereka.Ditambah lagi mama mertuanya yang berkali-kali terisak hingga hanya bisa bersandar pada suaminya karena kelelahan menangis.Caraka sudah menceritakan kejadian itu via telepon kepada kakak ipar dan mertuanya, hingga kini hanya ada keheningan di dalam ruangan itu.

  • When I Me(e)t You   105 Unplanned

    "Wah, Raka punya istri cantik kok nggak dikenalin ke keluarga." Randy menarik kursi dan bergabung bersama keduanya setelah berkenalan dengan Arka."Bang Raka bilang sih nunggu bulan depan, pas ada acara keluarga di rumah Tante Saswita.""Oooh." Randy mengangguk sambil beberapa kali melirik Arka yang tengah menikmati Chicken Cordon Bleu di hadapannya—menu yang sama seperti yang ia makan saat kencan pertamanya dengan Caraka. "Kalian berdua akrab ya sampe jalan-jalan bareng."Oshi mengabaikan ucapan Randy, ia memilih menyuapkan kwetiau goreng sapi ke mulutnya, sementara Arka hanya tersenyum simpul."Kamu sepupunya Bang Caraka? Aku manggilnya gimana?" tanya Arka."Sepupu kedua. Maksudnya, unggang kami kakak adik.""Unggang?""Unggang itu sebutan kakek dalam bahasa Ogan. Raka belum pernah cerita?"Arka tersenyum. Kapan Caraka sempat cerita kalau kehidupan mereka naik turun dan berkelok layaknya Kelok Sembilan yang terkenal di Payakumbuh."Trus aku harus manggil apa ke kamu?""Panggil Randy

  • When I Me(e)t You   104 Celah Besar

    “Arka di mana?” tanya Caraka begitu sambungan teleponnya dijawab.Lelaki di seberang sambungan telepon yang bisa menangkap kekhawatiran dari nada bicara Caraka langsung berusaha menenangkan. “Di rumah ibu Pak Caraka. Sejak siang, sampai sekarang masih di sana.”“Di Bogor? Dia nganter adik saya sampe Bogor?”“Iya, Pak.”Caraka sedikit lega walau tetap saja dahinya berkerut karena merasakan keanehan. Kenapa Arka tidak mengatakan kalau ia akan mengantar Oshi sampai Bogor? Bukankah tadi ia meminta Arka untuk mengantar Oshi sampai stasiun terdekat dari lokasi mereka membeli ponsel dan kebutuhan Oshi lainnya? Dan kenapa sekarang malah ponsel Arka tidak aktif? Apa Arka takut dia akan marah?“Dilihat terus ya, tolong kasih kabar ke saya kalau Arka pulang dari rumah ibu saya.”“Baik, Pak.”Caraka yang masih merasa tidak tenang langsung mengubah tujuannya. Semula ia melajukan mobilnya menuju Jakarta, demi bisa makan malam bersama dengan Arka yang seharian nyaris diabaikannya karena masalah long

  • When I Me(e)t You   103 Tragedi Oshi

    “Abang, aku bawa mobil sendiri ya, please! Nanti pulangnya aku langsung ke rumah Papa. Ya?”Caraka berpikir sesaat, ia memang harus site visit ke daerah Serpong karena ada sedikit permasalahan yang tidak bisa diselesaikan manager proyek.“Tenang aja, Bang. Kan kata Abang ada orang suruhan yang disuruh jagain aku dari jauh. Nanti aku sering-sering ngasih kabar ke Abang. Hpku stand by setiap detik untuk Abang,” rayu Arka sambil menggoyang-goyangkan tangan suaminya dan menunjukkan senyumnya, berharap Caraka memberikannya izin untuk sesekali membawa mobil sendiri menuju sekolah.“Kalo kamu nggak bisa dihubungi, Abang kasih hukuman ya!” ancam Caraka.“Iya, Bang.”Arka segera melajukan mobilnya setelah menghabiskan sepanjang pagi untuk merayu Caraka yang akhirnya mengizinkannya untuk berangkat sendiri ke sekolah.Bukannya Arka tidak takut, tapi mengingat ada orang suruhan keluarganya yang menjaganya dari jauh, ia pun bisa sedikit tenang. Lagipula berdasarkan cerita dari suaminya, orang yang

  • When I Me(e)t You   102 Semua Ini tentang Kompromi

    "Iya, Mas. Seharian ini bakal sama Abang kok.”“…”“Bisa tenang aja nggak, Mas? Udah ah, Mas Arga katanya mau ketemu WO, sana. Ntar Kak Lei ngambek loh kalo Mas telat.”“…”“Iya. Salam buat Kak Lei.”“Mas Arga?” tanya Caraka ketika melihat Arka sudah meletakkan ponselnya.“Iya.”“Ngomong apa?”“Sebelas-dua belas kayak omongan Abang. Hati-hati, nggak usah khawatir. Gitu pokoknya. Heran, kalian tuh kompak banget kalo lagi akur, kalo lagi pada meledak emosinya, gampang banget tonjok-tonjokan—”Caraka menarik Arka—yang masih wira-wiri—untuk duduk di pangkuannya. “Jangan ngomel terus. Ini karena kita khawatir sama kamu loh.”“Iya, tau.”“Udah siap-siapnya? Kalo udah siap yang mau dibawa, kita turun bawa barangnya sekalian sarapan, jadi nanti kita nggak perlu balik ke kamar lagi.”“Udah kok. Itu aja. Kan katanya nanti disediain wetsuit di sana.”Keduanya lantas keluar kamar dan tak sengaja bertemu Sydney yang berjalan di belakang seorang lelaki asing.Tanpa perlu diperkenalkan pun, Arka yak

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status