Caraka melajukan mobilnya setelah mendapat nomor telepon Yudha, mantan pacar Arka yang masih berani menemui Arka saat ia tidak bisa berada di sisi istrinya itu. Di tengah perjalanan ia menghubungi nomor ponsel yang diberikan Arka."Halo, dengan siapa?" jawab suara di seberang telepon yang membuat Caraka berdecak tanpa sadar."Saya Caraka, suaminya Arka."Ganti suara di seberang telepon yang terdengar mencibir."Bisa kita ketemu? Saya rasa ada yang perlu kita bicarakan.""Saya nggak ada urusan sama kamu.""Iya, awalnya memang tidak ada. Tapi setelah hari ini kamu menemui Arka dan membuat dia ketakutan di saat saya nggak ada, maka saya jadi punya urusan sama kamu.""Fine, Kemang Fight Gym, jam lima sore."Sambungan telepon itu terputus begitu saja setelah Yudha mengatakan di mana ia akan menemui Caraka."Sialan! Nyata-nyata nantang." Padahal Caraka berniat untuk bicara baik-baik, tapi kalau lawan bicaranya mengajak 'bicara' dengan cara lain, ia tidak akan menolak. Sudah lama juga otot-o
"Arka, udahan dong marahnya.""Kesel tau, Bang. Apa sih enaknya berantem? Ujung-ujungnya badan sakit semua kan? Coba, besok gimana Abang kerja kalo jalan aja pincang gitu," gerutu Arka sambil mencuci piring bekas makan malam mereka, sementara Caraka memilih duduk di dekat meja makan sambil mengamati Arka.Caraka bisa saja menceritakan semua yang terjadi, termasuk Yudha yang mengajaknya bertemu di martial art center dan bagaimana Yudha menyerangnya lebih dulu, tapi ia memilih bungkam. Itu urusannya dengan Yudha, Arka tidak perlu tahu.Meskipun sejak tadi Arka tidak berhenti mengomelinya, tapi nyatanya Caraka suka mendengar celotehan Arka yang tampak menggemaskan dengan versi yang berbeda dari biasanya."Kamu kalo muridmu berantem, ngomel panjang lebar gini juga, Ka?""Muridku nggak sampe adu jotos ya, Bang. Paling mentok dorong-dorongan.""Iya, tapi kamu omelin juga?""Ya ... nggak sih, dikasih tau aja baik-baik.""Trus kenapa Abang diomelin dari tadi?"Arka mengeringkan tangannya kemu
Arka mengerjapkan matanya, ia tidak bisa tidur sejak sesi pillow talk-nya dengan Caraka, sementara lelaki itu kini telah terlelap."Abang pernah ngerasainnya. Jatuh cinta sama seseorang, tapi kemudian Abang mengubur perasaan Abang." Kalimat itu masih berputar-putar di otak Arka. Arka tahu itu hanya masa lalu Caraka, tapi ... rasanya tetap saja tidak nyaman.Kini Arka sadar, mungkin itu yang dirasakan Caraka. Mengetahui kalau ia pernah mencintai laki-laki lain dan laki-laki itu masih mencoba mendekatinya, pasti membuat Caraka juga merasa tidak nyaman."Belum tidur, Ka?"Arka menoleh terkejut saat mendengar suara Caraka."Karena nggak Abang peluk? Sini."Arka tidak habis pikir, dari mana Caraka bisa mengira ia tidak bisa tidur karena tidak memeluknya. Mereka juga baru dua malam tidur satu kasur. "Dih. Nggak gitu yaaa."Caraka terkekeh, kemudian beringsut mendekat. Ranjang di kamar yang berada di lantai bawah itu memang paling lebar di antara ranjang yang lain. Sebenarnya kamar itu adala
"Loh, Bu—"Wanita itu tersenyum semakin lebar. "Bu Arka kaget ya?"Arka masih mengerjap bingung, bahkan ketika Caraka mengambil punggung tangan ibunya dan mencium kedua pipi ibunya."Kenalin, Ka. Ibunya Abang."Arka akhirnya tersadar dari lamunannya, bergegas melakukan hal yang sama dengan yang tadi dilakukan Caraka."Ayo masuk, kata Raka, kalian udah makan siang di rumah, jadi Ibu cuma nyiapin makanan kecil aja, tapi nanti makan malam di sini ya. Langsung ke dapur aja yuk, biar nggak kayak tamu." Wanita itu melangkah masuk lebih dulu. Ia biasa memanggil Caraka dengan Raka saja, mungkin nanti ia akan kebingungan untuk memanggil Raka dengan Arka yang namanya mirip.Arka menarik tangan Caraka. "Bu Ayu ... ibunya Abang?"Caraka mengangguk, kemudian meraih tangan Arka lagi untuk digenggam dan membawanya menuju dapur yang berbatasan langsung dengan taman kecil di samping rumah."Kaget ya, Bu Arka?"Arka mengangguk. "Bu Ayu jangan panggil saya 'Bu Arka' lagi, Bu."Wanita itu masih tersenyum
Tiga detik, atau bahkan kurang, Arka bahkan tidak sempat mengerjap saking kagetnya.Arka terdiam, mencoba mengatur ritme jantungnya agar kembali normal."Abang nggak suka dicuekin," ucap Caraka. Tangannya terulur mengusap bibir Arka yang membuat Arka berjengit kaget."Aku nggak suka diserang, Bang." Arka mengerucutkan bibirnya karena kesal."Tadi itu kamu anggep diserang?""Iya!"Caraka tersenyum kecut, kemudian kembali bersandar pada susunan bantal dan guling, mencoba memejamkan mata, mengingat kembali tiga detik yang membuat jantungnya menggila."Ih, Abang kok nggak bertanggung jawab sih. Bisa-bisanya langsung tidur abis nyium anak orang."Caraka malah terbahak mendengar Arka merajuk. Ia pikir Arka akan mengamuk, jenis mengamuk yang benar-benar seperti orang marah, tapi rupanya, Arka hanya merajuk."Ya terus gimana, di kamar sesempit ini, kasur ukuran single, naluri Abang sebagai cowok mencuat Arka. Nanti kalo Abang melek terus 'nyerang' kamu lagi gimana?""Nggak bisa, Bang. Kita ha
Suara pintu dibanting dari kamar sebelah memang berhasil membuat mereka merenggangkan jarak.Caraka juga tampak kesal dengan kelakuan adiknya, tapi sedetik kemudian fokus Caraka kembali ke hadapannya—ke seorang gadis yang mengerjap bingung dan seperti baru saja tersesat."Ka, kenapa?"Meskipun mereka sudah merenggangkan jarak, tapi tetap saja kasur berukuran 120x200 itu memaksa tubuh mereka berjarak lebih dekat dari biasanya."Marah?" tanya Caraka lagi."Aku dorong Abang nggak?""Nggak.""Ya udah, nggak usah nanya lagi dong, Bang." Arka baru ingin menutup wajahnya dengan kedua tangan karena rasa malunya, tapi tangan Caraka lebih dulu membawanya ke dalam pelukan."Keluar yuk, Bang.""Sekarang?""Nggak. Besok lusa.""Ok, besok lusa.""Abang, malu ih sama Ibu, masa ke sini malah tidur, bukannya nemenin Ibu.""Gimana, santai kan Ibu?""Ya santai, orang udah kenal. Tapi kok bisa sih Bang, Ibu jadi story teller di sekolahku?""Waktu itu Ibu cerita ke Abang sama ke Mas Arga, katanya pengen k
"Bang. Kok Abang diem aja dari tadi?” tanya Arka yang bingung melihat Caraka mendiamkannya sejak mereka pulang dari kediaman ibunya.Caraka tidak menjawab pertanyaan Arka. Ia langsung masuk ke kamar yang berada di lantai bawah dan merebahkan dirinya.“Abang nggak mandi? Biar kuambilin baju di atas.”“Nggak usah.”“Ya udah, aku mandi dulu di atas ya.”Dengan kebingungannya, Arka naik ke lantai dua. Apa ia salah bicara sampai Caraka marah?Caraka sudah terlelap dengan posisi menghadap dinding saat Arka masuk ke kamar bawah. Arka merebahkan diri di sisi kasur yang kosong, kemudian mematikan lampu tidur di atas nakas.‘Apa aku ada salah? Atau akhirnya dia sadar kalo aku nggak pantes?’ Arka masih terus bertarung dengan pikirannya hingga tertidur.Karena beberapa hari belakangan Arka selalu terbangun tengah malam, sepertinya hal itu menjadi sebuah kebiasaan baru baginya.Anehnya, malam itu ia tidak ingin menangisi kenangannya bersama Yudha. Seharian itu juga ia hanya mengingat Yudha ketika
Sebuah rumah makan dengan konsep masakan sunda yang telah menjadi langganan mereka, dipilih Yudha untuk makan siang mereka berdua. Yudha menatap Arka, hampir tidak berkedip karena rasa rindunya pada gadis itu.Arka sedikit salah tingkah mendapati Yudha yang terus menatapnya, Hingga makanan tersaji di atas meja pun, Yudha seperti tidak ingin mengalihkan perhatiannya."Mau ngomong apa, Yud?""Gimana hari ini? Murid-muridmu pada nurut? Nggak ada yang bikin kamu harus lari-lari?"Arka terdiam. Yudha memang selalu menanyakan hal itu setiap harinya. Katanya, ia suka mendengar Arka bercerita antusias tentang murid-muridnya. Dulu, Arka suka mendapat perhatian seperti ini dari Yudha. Tapi tidak kali ini, hatinya bisa goyah karena perhatian-perhatian kecil dari Yudha."Ya gitulah, namanya juga anak-anak. Yud, aku nggak bisa lama-lama, aku mesti cepet pulang, jadi kalo kamu mau ngomong sesuatu yang penting, mending buruan deh. Kamu tau kan aku kalo laper, makanku cepet."Yudha terkekeh, tapi sep
"Konspirasi Ibu sama Mas Arga? Konspirasi apa?"Caraka mengedikkan bahu."Abaaang."Oh Tuhan, apa Arka tidak sadar kalau ia begitu menggemaskan saat sedang merengek seperti itu.Bukan, Arka bukan tipe wanita yang membuatnya kesal kalau sudah mengeluarkan nada manjanya. Arka tipe wanita yang membuatnya ingin memenuhi semua keinginannya saat ia mengeluarkan senjatanya itu.Sementara hati kecil Caraka masih malu untuk menceritakan semuanya."Abaaang. Ini permintaan ketigaku, aku mau tau apa maksud Abang tadi."Caraka menatap Arka dengan lekat, sampai tiba-tiba tatapannya terdistraksi pegawai coffee shop yang datang membawakan pesanan mereka.Ok, pasti setelah ini Arka akan lupa pada permintaannya. Caraka bisa sedikit menghela napas lega sambil menyesap americano miliknya."Jadi sejak kapan, Bang?"Astaga! Ternyata Arka tidak lupa. Mungkin memang begini kalau perempuan sedang menuntut jawaban dari laki-laki."Abang kan pengen aku percaya sama Abang, kalo gini aja Abang nggak mau cerita, m
“Nyariin kakak ya?”Arka membeku di tempat. Ia memang belum pernah mencium aroma yang begitu kuat seperti itu, tapi Arka bisa menebak kalau kedua alumni di depannya itu baru saja menenggak alkohol—jika dilihat dari wajah mereka yang memerah dan nada bicara yang aneh."Nggak, Kak. Permisi ya, Kak." Arka berusaha menyingkir dari hadapan kedua laki-laki itu, tapi kakinya yang gemetar membuat Arka malah tersandung kaki meja dan terjerembab di lantai."Sialan!" umpat Arka.Kedua laki-laki itu semakin terlihat senang setelah mendengar Arka mengumpat. Bagi mereka, si gadis manis tadi telah berubah menjadi gadis yang seksi karena umpatannya.Setelah bertukar tatap, seakan saling mengirimkan kode, seorang laki-laki bertubuh kurus dengan tinggi menjulang mendekati Arka dan menahan kedua tangannya di lantai, sementara laki-laki satunya tiba-tiba saja menimpa tubuh Arka dan berusaha melepaskan kancing baju Arka.Kejadian yang berlangsung dalam hitungan detik itu membuat Arka panik. Ia berusaha me
Caraka duduk di sofa ruang tamu sebuah rumah mewah di kawasan Jakarta Selatan. Semula ia kira, ia harus mengantar Arka ke rumah sakit atau ke tempat praktik dokter. Nyatanya Arka malah mengarahkannya ke kawasan elit itu.“Nama dokternya Karina, Bang. Tapi aku biasa manggil Tante Karin, karena udah kenal dari dulu. Waktu aku hubungin, diminta langsung ke rumahnya aja.” Begitu penjelasan Arka saat Caraka merasa kebingungan. Ia kadang lupa kalau dirinya menikah dengan keturunan perempuan keluarga Bestari, dan hal-hal seperti ini yang kadang bisa mengingatkannya.Sudah hampir satu jam Arka berada di dalam ruang kerja dokter itu. Caraka hanya bisa menunggu gelisah sambil menerka-nerka apa yang terjadi di dalam sana.“Abang,” panggil Arka saat Caraka tengah larut dalam lamunannya.“Udah?” Caraka berdiri menyambut Arka yang kini terlihat lebih cerah aura wajahnya meskipun terlihat jelas jejak air mata di sudut-sudut matanya.Tanpa disangka Caraka, Arka tidak berhenti di depannya, tetapi mala
Caraka bergerak gelisah dalam tidurnya. Mungkin karena biasanya ada sosok Arka yang dipeluknya dan malam itu ia kehilangan sosok itu dalam pelukannya.Ia berusaha memiringkan badannya ke kiri untuk mengurangi rasa pegal karena sejak awal tidur menghadap ke kanan. Matanya mengerjap pelan, ia sadar ada cahaya lain yang bukan berasal dari lampu tidur di atas nakas yang tadi bahkan tidak ia hidupkan.“Arka? Kapan kamu masuk?” tanyanya dengan suara serak khas orang bangun tidur.“Eh? Kok Abang bangun? Cahaya hpku ganggu Abang ya?”Caraka memilih duduk, toh ia sudah tidak lagi merasakan kantuk setelah menyadari keberadaan Arka di sampingnya.“Nggak, emang kebangun aja, pegel.”“Emang tadi Abang ke lokasi proyek lagi?” tanya Arka. Arka pikir badan caraka pegal-pegal karena baru turun lapangan.“Iya, kan Abang nggak konsen kerja gara-gara istri Abang marah-marah nggak jelas, jadi Abang milih ke proyek aja, lihat progress rusun yang waktu itu kita datengin itu.”Arka terkekeh, teringat kembal
Arka menutup pintu kamar mandi dan langsung menguncinya. Karena kakinya yang gemetar, ia langsung bersimpuh di lantai, bersandar pada pintu kabinet, menahan suara tangisnya agak tidak terdengar sampai keluar.Ingatan itu kembali lagi.Kenapa di saat seperti ini? Kenapa di saat statusnya sudah menjadi istri orang lain?“Arka. Abang minta maaf, Ka. Kamu udah terlalu lama di kamar mandi, Sayang.”Mendengar teriakan Caraka dari luar kamar, Arka segera menghapus air matanya dan mencuci muka. Ia tidak mau Caraka sampai curiga dengan kondisinya.“Arka, Abang minta maaf.” Caraka mengatakannya dengan tulus namun dengan menjaga jarak agar Arka tidak terlihat takut padanya.Arka tersenyum meskipun terlihat sangat kaku. “Abang udah makan?”Caraka menggeleng, merasa sangat bersalah dengan keadaan Arka, bagaimana mungkin ia bisa makan malam lebih dulu. “Makan bareng ya. Kamu juga belum makan kan.” Caraka berbalik, memilih berjalan lebih dulu.Hening.Caraka tidak berani memulai percakapan, pun begi
“Arka, Abang salah apa? Kok tiba-tiba kamu marah?”Arka menggeleng-geleng. “Aku mau tidur, Bang.”“Mau dipeluk?”Lagi-lagi Arka menggeleng. Caraka menghela napas, tidak mengerti salahnya di mana. Bukannya mereka tadi sedang membicarakan resepsi pernikahan.Setelah hampir satu jam Caraka tidak menemukan apa yang membuat Arka emosi, ia mengalah pada kantuknya. Arka sudah tertidur sejak tadi, memeluk gulingnya, tidak seperti biasa yang mengiakan ketika ia menawarkan diri untuk memeluknya.Caraka terpaksa bangun jauh lebih pagi daripada biasanya karena tidurnya yang tidak nyenyak. Caraka memilih keluar kamar, menuju ruang kerjanya yang berada di lantai dua untuk mengerjakan desain salah satu proyeknya.Saat ia turun satu jam kemudian, Arka tengah duduk di stool bar sambil minum air hangat. Caraka mengernyit bingung, biasanya Arka minum air putih dengan suhu normal, bahkan kadang air dingin dari kulkas.“Udah bangun?” tanya Caraka dengan nada biasa, mencoba mengabaikan kemarahan tanpa seba
"Ehem!" Caraka berdeham sekaligus membersihkan tenggorokannya. "Buku nikah udah di tangan, terus—""Santai, Bang." Arka terlihat panik saat Caraka semakin mendekat ke arahnya.Caraka menatap Arka seperti harimau yang akan menekan mangsanya. Atau sebenarnya itu hanya ada di pikiran Arka?Dalam satu gerakan lembut, Caraka menarik Arka ke dalam pelukannya.Sepertinya ini pertama kalinya mereka berpelukan sambil berdiri. Biasanya selalu sebelum tidur sampai keesokan paginya.Ada rasa lega luar biasa di hati Caraka yang membuatnya tak henti mencium puncak kepala Arka."Jadi selanjutnya kita harus apa, Ka?"Merasakan tangan Arka yang seperti ingin mendorongnya menjauh, Caraka mengulum senyumnya. Kenapa rasanya semenyenangkan ini menggoda istrinya?"Abang, aku masih punya jatah permintaan kan ke Abang?""Hah? Jatah permintaan apa?""Waktu itu kan Abang janji mau ngabulin tujuh permintaanku, baru juga dipenuhi satu kali."Caraka menarik lagi ingatannya ke saat Arka marah padanya karena ia men
“Temenmu nggak jadi ikut?”“Masih jam makan siang, dia belum tega ninggalin café-nya. Tapi nanti dia main ke rumah. Boleh kan, Bang?”“Bolehlah. Selama temenmu cewek, Abang izinin kamu ajak main ke rumah. Tapi kalo cowok, harus pas ada Abang.”Arka mengangguk, lagipula dia tidak punya teman laki-laki.“Tadi—” Caraka ragu untuk menanyakannya, khawatir Naya mengerjainya. Biasanya persahabatan wanita seperti itu kan.“Tadi kenapa?” tanya Arka penasaran.“Sejak kapan kamu bisa main gitar?”“Dari SMP.” Arka terdiam. Ada masa-masa kelamnya yang membuat ia bersahabat baik dengan gitar, walaupun ia sudah bisa main gitar sejak SMP, tapi saat-saat terpuruknya itu lah yang membuatnya jadi mahir memainkan gitar.“Pantes jago. Suaramu juga bagus.”“Abang ngeledek ya? Pasti tadi suaraku fals. Iya?”“Nggak, Ka. Cuma … Naya ngomong sesuatu yang aneh tadi.”Arka langsung menoleh dan menatap Caraka dengan horor. Apa yang dikatakan sahabatnya yang kadang tidak punya filter itu? “Naya ngomong apa, Bang?”
"Aku bingung, Bang. Kenapa kita mesti ke pengadilan agama juga? Kirain tadi abis dari KUA langsung beres," tanya Arka bingung, setelah mereka menyelesaikan urusan di pengadilan agama.Pada akhirnya Arka memilih untuk mengambil cuti demi menemani Caraka wira-wiri ke KUA dan pengadilan agama. Walau Caraka sudah meminta Arka mengajar saja daripada harus mengambil cuti dadakan, tapi Arka tetap memilih menemani Caraka. Dia tidak terlalu resah, karena sudah meminta salah seorang guru cadangan untuk mengampu kelasnya selama ia cuti."Tadi ke KUA cuma minta surat pernyataan aja kalau pernikahan kita emang belum dicatat. Kita kan nikah siri, nikahnya udah kejadian, jadi mesti ke pengadilan agama buat minta pengesahan perkawinan. Kalo putusan pengadilan setuju, baru kita bawa putusannya ke KUA buat dicatatkan di sana. Gitu.""Eh, berarti ada kemungkinan putusan pengadilannya nolak dong?"Caraka terdiam, mengapa ia tidak terpikirkan hal itu?"Ya ... ada kemungkinan sih.""Trus gimana kalo gitu