Apa impian kencan pertama bagi seorang wanita? Diajak ke restoran mewah? Diajak ke tempat yang paling hits se-ibukota? Atau diajak ke pantai untuk makan malam romantis?Setidaknya itu yang ada di kepala Caraka. Tapi Arka dengan santai menggiringnya menuju sebuah tempat makan dengan cabang franchise di mana-mana, bahkan ada hampir di setiap mall.“Arka, ini beneran nggak apa-apa makan di sini?”“Lah, memangnya kenapa, Bang? Abang ngarep makan di mana? Aku pengen chicken cordon bleu, Bang,” rengek Arka. “Udah pengen banget dari kemaren.”“Kan ada resto yang jual chicken cordon bleu juga, dan jauh lebih enak dari di sini.”“Tapi ribet. Kan kita mau nonton abis ini.”“Nontonnya di sini? Nggak di Premiere?”Arka mengernyitkan dahinya. “Abang sebelum sama aku, pernah kencan sama cewek model apa sih? Di sini semua lengkap, Abang. Nggak ribet pindah tempat, nyari parkir.”“Tapi kamu … keluarga Bestari, Ka.”“Iya, kalo Abang kencannya sama Eyang, mungkin harus bawa ke restoran mewah. Astaga, A
"Kalian serius?" tanya Hadi Wijaya di tengah makan malam, setelah Caraka mengutarakan niatnya untuk mengesahkan pernikahan mereka (isbath nikah) di pengadilan agama."Kalian udah nggak bisa mundur lagi setelah ini. Arka, kamu yakin? Kalau sekarang kalian pisah, semuanya gampang, nggak perlu berurusan sama hukum." Kini Avi menatap langsung mata putrinya yang duduk di hadapannya."Ma, kok ngomongnya gitu? Mestinya kita bersyukur Arka udah mau nerima pernikahan mereka," tegur Hadi."Terlalu cepet, Pa. Mama takut nanti Arka nyesel.""Aku udah ngomongin ini sama Abang, Ma."Avi melirik Caraka dengan kesal. Entah apa yang sudah dilakukan lelaki itu pada anaknya hingga Arka bisa luluh dalam hitungan hari. "Gimana cara kamu ngerayu Arka sampe dia luluh secepet ini?""Ma." Tiga orang di meja makan itu—Hadi Wijaya, Arka, dan Arga—bersamaan menegur sang nyonya rumah."Ma, pernikahan di bawah tangan akan merugikan pihak perempuan, dilihat dari sisi mana pun, Ma." Kini Caraka angkat bicara karena
"Aku bingung, Bang. Kenapa kita mesti ke pengadilan agama juga? Kirain tadi abis dari KUA langsung beres," tanya Arka bingung, setelah mereka menyelesaikan urusan di pengadilan agama.Pada akhirnya Arka memilih untuk mengambil cuti demi menemani Caraka wira-wiri ke KUA dan pengadilan agama. Walau Caraka sudah meminta Arka mengajar saja daripada harus mengambil cuti dadakan, tapi Arka tetap memilih menemani Caraka. Dia tidak terlalu resah, karena sudah meminta salah seorang guru cadangan untuk mengampu kelasnya selama ia cuti."Tadi ke KUA cuma minta surat pernyataan aja kalau pernikahan kita emang belum dicatat. Kita kan nikah siri, nikahnya udah kejadian, jadi mesti ke pengadilan agama buat minta pengesahan perkawinan. Kalo putusan pengadilan setuju, baru kita bawa putusannya ke KUA buat dicatatkan di sana. Gitu.""Eh, berarti ada kemungkinan putusan pengadilannya nolak dong?"Caraka terdiam, mengapa ia tidak terpikirkan hal itu?"Ya ... ada kemungkinan sih.""Trus gimana kalo gitu
“Temenmu nggak jadi ikut?”“Masih jam makan siang, dia belum tega ninggalin café-nya. Tapi nanti dia main ke rumah. Boleh kan, Bang?”“Bolehlah. Selama temenmu cewek, Abang izinin kamu ajak main ke rumah. Tapi kalo cowok, harus pas ada Abang.”Arka mengangguk, lagipula dia tidak punya teman laki-laki.“Tadi—” Caraka ragu untuk menanyakannya, khawatir Naya mengerjainya. Biasanya persahabatan wanita seperti itu kan.“Tadi kenapa?” tanya Arka penasaran.“Sejak kapan kamu bisa main gitar?”“Dari SMP.” Arka terdiam. Ada masa-masa kelamnya yang membuat ia bersahabat baik dengan gitar, walaupun ia sudah bisa main gitar sejak SMP, tapi saat-saat terpuruknya itu lah yang membuatnya jadi mahir memainkan gitar.“Pantes jago. Suaramu juga bagus.”“Abang ngeledek ya? Pasti tadi suaraku fals. Iya?”“Nggak, Ka. Cuma … Naya ngomong sesuatu yang aneh tadi.”Arka langsung menoleh dan menatap Caraka dengan horor. Apa yang dikatakan sahabatnya yang kadang tidak punya filter itu? “Naya ngomong apa, Bang?”
"Ehem!" Caraka berdeham sekaligus membersihkan tenggorokannya. "Buku nikah udah di tangan, terus—""Santai, Bang." Arka terlihat panik saat Caraka semakin mendekat ke arahnya.Caraka menatap Arka seperti harimau yang akan menekan mangsanya. Atau sebenarnya itu hanya ada di pikiran Arka?Dalam satu gerakan lembut, Caraka menarik Arka ke dalam pelukannya.Sepertinya ini pertama kalinya mereka berpelukan sambil berdiri. Biasanya selalu sebelum tidur sampai keesokan paginya.Ada rasa lega luar biasa di hati Caraka yang membuatnya tak henti mencium puncak kepala Arka."Jadi selanjutnya kita harus apa, Ka?"Merasakan tangan Arka yang seperti ingin mendorongnya menjauh, Caraka mengulum senyumnya. Kenapa rasanya semenyenangkan ini menggoda istrinya?"Abang, aku masih punya jatah permintaan kan ke Abang?""Hah? Jatah permintaan apa?""Waktu itu kan Abang janji mau ngabulin tujuh permintaanku, baru juga dipenuhi satu kali."Caraka menarik lagi ingatannya ke saat Arka marah padanya karena ia men
“Arka, Abang salah apa? Kok tiba-tiba kamu marah?”Arka menggeleng-geleng. “Aku mau tidur, Bang.”“Mau dipeluk?”Lagi-lagi Arka menggeleng. Caraka menghela napas, tidak mengerti salahnya di mana. Bukannya mereka tadi sedang membicarakan resepsi pernikahan.Setelah hampir satu jam Caraka tidak menemukan apa yang membuat Arka emosi, ia mengalah pada kantuknya. Arka sudah tertidur sejak tadi, memeluk gulingnya, tidak seperti biasa yang mengiakan ketika ia menawarkan diri untuk memeluknya.Caraka terpaksa bangun jauh lebih pagi daripada biasanya karena tidurnya yang tidak nyenyak. Caraka memilih keluar kamar, menuju ruang kerjanya yang berada di lantai dua untuk mengerjakan desain salah satu proyeknya.Saat ia turun satu jam kemudian, Arka tengah duduk di stool bar sambil minum air hangat. Caraka mengernyit bingung, biasanya Arka minum air putih dengan suhu normal, bahkan kadang air dingin dari kulkas.“Udah bangun?” tanya Caraka dengan nada biasa, mencoba mengabaikan kemarahan tanpa seba
Arka menutup pintu kamar mandi dan langsung menguncinya. Karena kakinya yang gemetar, ia langsung bersimpuh di lantai, bersandar pada pintu kabinet, menahan suara tangisnya agak tidak terdengar sampai keluar.Ingatan itu kembali lagi.Kenapa di saat seperti ini? Kenapa di saat statusnya sudah menjadi istri orang lain?“Arka. Abang minta maaf, Ka. Kamu udah terlalu lama di kamar mandi, Sayang.”Mendengar teriakan Caraka dari luar kamar, Arka segera menghapus air matanya dan mencuci muka. Ia tidak mau Caraka sampai curiga dengan kondisinya.“Arka, Abang minta maaf.” Caraka mengatakannya dengan tulus namun dengan menjaga jarak agar Arka tidak terlihat takut padanya.Arka tersenyum meskipun terlihat sangat kaku. “Abang udah makan?”Caraka menggeleng, merasa sangat bersalah dengan keadaan Arka, bagaimana mungkin ia bisa makan malam lebih dulu. “Makan bareng ya. Kamu juga belum makan kan.” Caraka berbalik, memilih berjalan lebih dulu.Hening.Caraka tidak berani memulai percakapan, pun begi
Caraka bergerak gelisah dalam tidurnya. Mungkin karena biasanya ada sosok Arka yang dipeluknya dan malam itu ia kehilangan sosok itu dalam pelukannya.Ia berusaha memiringkan badannya ke kiri untuk mengurangi rasa pegal karena sejak awal tidur menghadap ke kanan. Matanya mengerjap pelan, ia sadar ada cahaya lain yang bukan berasal dari lampu tidur di atas nakas yang tadi bahkan tidak ia hidupkan.“Arka? Kapan kamu masuk?” tanyanya dengan suara serak khas orang bangun tidur.“Eh? Kok Abang bangun? Cahaya hpku ganggu Abang ya?”Caraka memilih duduk, toh ia sudah tidak lagi merasakan kantuk setelah menyadari keberadaan Arka di sampingnya.“Nggak, emang kebangun aja, pegel.”“Emang tadi Abang ke lokasi proyek lagi?” tanya Arka. Arka pikir badan caraka pegal-pegal karena baru turun lapangan.“Iya, kan Abang nggak konsen kerja gara-gara istri Abang marah-marah nggak jelas, jadi Abang milih ke proyek aja, lihat progress rusun yang waktu itu kita datengin itu.”Arka terkekeh, teringat kembal
Caraka bergerak gelisah dalam tidurnya. Mungkin karena biasanya ada sosok Arka yang dipeluknya dan malam itu ia kehilangan sosok itu dalam pelukannya.Ia berusaha memiringkan badannya ke kiri untuk mengurangi rasa pegal karena sejak awal tidur menghadap ke kanan. Matanya mengerjap pelan, ia sadar ada cahaya lain yang bukan berasal dari lampu tidur di atas nakas yang tadi bahkan tidak ia hidupkan.“Arka? Kapan kamu masuk?” tanyanya dengan suara serak khas orang bangun tidur.“Eh? Kok Abang bangun? Cahaya hpku ganggu Abang ya?”Caraka memilih duduk, toh ia sudah tidak lagi merasakan kantuk setelah menyadari keberadaan Arka di sampingnya.“Nggak, emang kebangun aja, pegel.”“Emang tadi Abang ke lokasi proyek lagi?” tanya Arka. Arka pikir badan caraka pegal-pegal karena baru turun lapangan.“Iya, kan Abang nggak konsen kerja gara-gara istri Abang marah-marah nggak jelas, jadi Abang milih ke proyek aja, lihat progress rusun yang waktu itu kita datengin itu.”Arka terkekeh, teringat kembal
Arka menutup pintu kamar mandi dan langsung menguncinya. Karena kakinya yang gemetar, ia langsung bersimpuh di lantai, bersandar pada pintu kabinet, menahan suara tangisnya agak tidak terdengar sampai keluar.Ingatan itu kembali lagi.Kenapa di saat seperti ini? Kenapa di saat statusnya sudah menjadi istri orang lain?“Arka. Abang minta maaf, Ka. Kamu udah terlalu lama di kamar mandi, Sayang.”Mendengar teriakan Caraka dari luar kamar, Arka segera menghapus air matanya dan mencuci muka. Ia tidak mau Caraka sampai curiga dengan kondisinya.“Arka, Abang minta maaf.” Caraka mengatakannya dengan tulus namun dengan menjaga jarak agar Arka tidak terlihat takut padanya.Arka tersenyum meskipun terlihat sangat kaku. “Abang udah makan?”Caraka menggeleng, merasa sangat bersalah dengan keadaan Arka, bagaimana mungkin ia bisa makan malam lebih dulu. “Makan bareng ya. Kamu juga belum makan kan.” Caraka berbalik, memilih berjalan lebih dulu.Hening.Caraka tidak berani memulai percakapan, pun begi
“Arka, Abang salah apa? Kok tiba-tiba kamu marah?”Arka menggeleng-geleng. “Aku mau tidur, Bang.”“Mau dipeluk?”Lagi-lagi Arka menggeleng. Caraka menghela napas, tidak mengerti salahnya di mana. Bukannya mereka tadi sedang membicarakan resepsi pernikahan.Setelah hampir satu jam Caraka tidak menemukan apa yang membuat Arka emosi, ia mengalah pada kantuknya. Arka sudah tertidur sejak tadi, memeluk gulingnya, tidak seperti biasa yang mengiakan ketika ia menawarkan diri untuk memeluknya.Caraka terpaksa bangun jauh lebih pagi daripada biasanya karena tidurnya yang tidak nyenyak. Caraka memilih keluar kamar, menuju ruang kerjanya yang berada di lantai dua untuk mengerjakan desain salah satu proyeknya.Saat ia turun satu jam kemudian, Arka tengah duduk di stool bar sambil minum air hangat. Caraka mengernyit bingung, biasanya Arka minum air putih dengan suhu normal, bahkan kadang air dingin dari kulkas.“Udah bangun?” tanya Caraka dengan nada biasa, mencoba mengabaikan kemarahan tanpa seba
"Ehem!" Caraka berdeham sekaligus membersihkan tenggorokannya. "Buku nikah udah di tangan, terus—""Santai, Bang." Arka terlihat panik saat Caraka semakin mendekat ke arahnya.Caraka menatap Arka seperti harimau yang akan menekan mangsanya. Atau sebenarnya itu hanya ada di pikiran Arka?Dalam satu gerakan lembut, Caraka menarik Arka ke dalam pelukannya.Sepertinya ini pertama kalinya mereka berpelukan sambil berdiri. Biasanya selalu sebelum tidur sampai keesokan paginya.Ada rasa lega luar biasa di hati Caraka yang membuatnya tak henti mencium puncak kepala Arka."Jadi selanjutnya kita harus apa, Ka?"Merasakan tangan Arka yang seperti ingin mendorongnya menjauh, Caraka mengulum senyumnya. Kenapa rasanya semenyenangkan ini menggoda istrinya?"Abang, aku masih punya jatah permintaan kan ke Abang?""Hah? Jatah permintaan apa?""Waktu itu kan Abang janji mau ngabulin tujuh permintaanku, baru juga dipenuhi satu kali."Caraka menarik lagi ingatannya ke saat Arka marah padanya karena ia men
“Temenmu nggak jadi ikut?”“Masih jam makan siang, dia belum tega ninggalin café-nya. Tapi nanti dia main ke rumah. Boleh kan, Bang?”“Bolehlah. Selama temenmu cewek, Abang izinin kamu ajak main ke rumah. Tapi kalo cowok, harus pas ada Abang.”Arka mengangguk, lagipula dia tidak punya teman laki-laki.“Tadi—” Caraka ragu untuk menanyakannya, khawatir Naya mengerjainya. Biasanya persahabatan wanita seperti itu kan.“Tadi kenapa?” tanya Arka penasaran.“Sejak kapan kamu bisa main gitar?”“Dari SMP.” Arka terdiam. Ada masa-masa kelamnya yang membuat ia bersahabat baik dengan gitar, walaupun ia sudah bisa main gitar sejak SMP, tapi saat-saat terpuruknya itu lah yang membuatnya jadi mahir memainkan gitar.“Pantes jago. Suaramu juga bagus.”“Abang ngeledek ya? Pasti tadi suaraku fals. Iya?”“Nggak, Ka. Cuma … Naya ngomong sesuatu yang aneh tadi.”Arka langsung menoleh dan menatap Caraka dengan horor. Apa yang dikatakan sahabatnya yang kadang tidak punya filter itu? “Naya ngomong apa, Bang?”
"Aku bingung, Bang. Kenapa kita mesti ke pengadilan agama juga? Kirain tadi abis dari KUA langsung beres," tanya Arka bingung, setelah mereka menyelesaikan urusan di pengadilan agama.Pada akhirnya Arka memilih untuk mengambil cuti demi menemani Caraka wira-wiri ke KUA dan pengadilan agama. Walau Caraka sudah meminta Arka mengajar saja daripada harus mengambil cuti dadakan, tapi Arka tetap memilih menemani Caraka. Dia tidak terlalu resah, karena sudah meminta salah seorang guru cadangan untuk mengampu kelasnya selama ia cuti."Tadi ke KUA cuma minta surat pernyataan aja kalau pernikahan kita emang belum dicatat. Kita kan nikah siri, nikahnya udah kejadian, jadi mesti ke pengadilan agama buat minta pengesahan perkawinan. Kalo putusan pengadilan setuju, baru kita bawa putusannya ke KUA buat dicatatkan di sana. Gitu.""Eh, berarti ada kemungkinan putusan pengadilannya nolak dong?"Caraka terdiam, mengapa ia tidak terpikirkan hal itu?"Ya ... ada kemungkinan sih.""Trus gimana kalo gitu
"Kalian serius?" tanya Hadi Wijaya di tengah makan malam, setelah Caraka mengutarakan niatnya untuk mengesahkan pernikahan mereka (isbath nikah) di pengadilan agama."Kalian udah nggak bisa mundur lagi setelah ini. Arka, kamu yakin? Kalau sekarang kalian pisah, semuanya gampang, nggak perlu berurusan sama hukum." Kini Avi menatap langsung mata putrinya yang duduk di hadapannya."Ma, kok ngomongnya gitu? Mestinya kita bersyukur Arka udah mau nerima pernikahan mereka," tegur Hadi."Terlalu cepet, Pa. Mama takut nanti Arka nyesel.""Aku udah ngomongin ini sama Abang, Ma."Avi melirik Caraka dengan kesal. Entah apa yang sudah dilakukan lelaki itu pada anaknya hingga Arka bisa luluh dalam hitungan hari. "Gimana cara kamu ngerayu Arka sampe dia luluh secepet ini?""Ma." Tiga orang di meja makan itu—Hadi Wijaya, Arka, dan Arga—bersamaan menegur sang nyonya rumah."Ma, pernikahan di bawah tangan akan merugikan pihak perempuan, dilihat dari sisi mana pun, Ma." Kini Caraka angkat bicara karena
Apa impian kencan pertama bagi seorang wanita? Diajak ke restoran mewah? Diajak ke tempat yang paling hits se-ibukota? Atau diajak ke pantai untuk makan malam romantis?Setidaknya itu yang ada di kepala Caraka. Tapi Arka dengan santai menggiringnya menuju sebuah tempat makan dengan cabang franchise di mana-mana, bahkan ada hampir di setiap mall.“Arka, ini beneran nggak apa-apa makan di sini?”“Lah, memangnya kenapa, Bang? Abang ngarep makan di mana? Aku pengen chicken cordon bleu, Bang,” rengek Arka. “Udah pengen banget dari kemaren.”“Kan ada resto yang jual chicken cordon bleu juga, dan jauh lebih enak dari di sini.”“Tapi ribet. Kan kita mau nonton abis ini.”“Nontonnya di sini? Nggak di Premiere?”Arka mengernyitkan dahinya. “Abang sebelum sama aku, pernah kencan sama cewek model apa sih? Di sini semua lengkap, Abang. Nggak ribet pindah tempat, nyari parkir.”“Tapi kamu … keluarga Bestari, Ka.”“Iya, kalo Abang kencannya sama Eyang, mungkin harus bawa ke restoran mewah. Astaga, A
“Kenapa muka Abang kusut? Masalahnya belum beres?” tanya Arka bingung begitu melihat Caraka masuk ke dalam ruangannya dan langsung menuju dispenser, menghabiskan satu gelas air dingin.Caraka berbalik, menatap Arka dari tempatnya berdiri. Tidak ada yang salah dengan wanita itu. Arka tidak terlalu girly dengan pakaian serba pink seperti barbie berjalan atau menggunakan pernak-pernik yang membuatnnya seperti toko aksesories berjalan.Penampilan Arka justru terlihat simple, dengan celana jeans dan blouse putih yang dikenakannya. Tidak ada yang salah. Ia hanya tampak girly karena kitten heels yang dikenakannya. Itu hanya selera berpakaian. Kenapa Daniel sampai berkata seperti itu, Caraka benar-benar tidak habis pikir.“Bang.”“Hmm?” Caraka baru tersadar kalau ia sudah terlalu lama menatap Arka.“Kenapa? Ada yang salah?” Arka melihat lagi penampilannya, barangkali ada noda di bajunya atau sesuatu yang salah dengan bajunya.“Nggak. Nggak ada.” Caraka mendekat, melihat buku yang sedang dibac