"Nggak bisa, Yud. Orang tuaku bakal ngamuk kalo aku ngenalin kamu sebagai pacarku ke mereka.""Udah dua tahun loh kita pacaran, Ka. Dan kamu tau kan kalo aku berniat serius sama kamu?"Ini bukan pertama kalinya Yudha meminta kepada Arka untuk memperkenalkannya kepada kedua orang tua Arka. Mereka sudah dua tahun bersama dan rasanya sungguh tidak nyaman selalu bersembunyi dari kedua orang tua Arka—gadis manis yang dikenal Yudha sejak ia bertemu dengannya di sebuah event.Arka terus mengaduk iced lemon tea di depannya tanpa minat. Pembicaraan yang sama, yang terus berulang, dan akan berakhir sama. Pertengkaran.Yudha meraih tangan Arka, mengusap pelan punggung tangan gadis itu dengan ibu jarinya. "Kamu nggak pernah nanya ke orang tuamu, Ka? Kenapa kamu dilarang pacaran? Apa orang tuamu maunya kamu langsung dinikahi? Apa gimana? Kamu udah 23 tahun, Ka. Harusnya kamu udah bisa milih apa yang kamu mau.""Ralat. Bagi orang tuaku, aku 'baru' 23 tahun, bukan 'sudah' 23 tahun. Ada perbedaan yan
"Arkadewi Lintang Bestari, saya … suami kamu."Arka hanya menatap kosong ke arah lelaki yang mengaku sebagai suaminya. Tiga detik kemudian, pandangannya beralih kembali kepada Yudha, kekasihnya. "Yud, sekarang bentuk penipuan bukan cuma ‘mama minta pulsa ya’, udah berani nunjukin wajah loh. Jangan biarin aku dihipnotis, Yud."Sungguh, Yudha ingin terbahak mendengar ucapan Arka, andaikan ia tidak melihat ekspresi yang ditunjukkan lelaki itu. Tapi, ada satu hal yang mengganggunya, lelaki itu menyebut nama Arka dengan lengkap dan tatapannya yang seolah tidak ada keraguan kalau statusnya adalah suami Arka."Lepasin tangan pacar saya!" Yudha yang akhirnya berhasil mengabaikan segala pertanyaan dalam pikirannya, ikut mencekal tangan lelaki itu dan menariknya agar melepaskan tangan Arka.Masih mengabaikan Yudha, Caraka menatap Arka lekat. "Arka, keluargamu nanti yang jelasin semuanya. Mereka nunggu kamu di rumah sekarang.""Yud, pergi aja yuk," rengek Arka.Caraka hampir menggeram kesal kala
Seumur hidupnya, baru dua kali Arka mendapat kejutan yang membuat jantungnya berdetak tidak karuan. Pertama, ketika muridnya yang masih TK, entah bagaimana caranya mencoba memanjat pohon mangga yang ada di halaman sekolah tempatnya mengajar dan membuat anak itu terjatuh hingga patah tulang kanan. Kedua, saat ini, saat ada seorang lelaki yang memperkenalkan diri sebagai suaminya.Untuk kasus kali ini, bahkan Arka tidak tahu harus bersikap seperti apa. Menatap kedua orang tuanya yang tetap duduk tenang di tempatnya sama sekali tidak membantunya. Ia pasti pernah amnesia. Tidak ada alasan lain yang membuatnya yakin pernah menikah kecuali hal itu.Arka bahkan tidak sanggup untuk menyambut uluran tangan dari lelaki bernama Caraka itu."Kapan kita nikahnya?" tanya Arka dengan judesnya. "Ingatanku cukup kuat, dan aku yakin nggak pernah amnesia sampe kehilangan potongan memori hidupku. Jadi aku tanya ke kamu, yang ngaku sebagai suamiku, kapan kita nikahnya?"Caraka menarik tangannya yang mengg
"Siapa yang ngizinin kamu masuk kamarku?" Arka berteriak kesal kala melihat sosok lelaki yang duduk santai di sofa kamarnya."Apa aku harus izin untuk masuk ke kamar istriku?""Astaga! Bisa nggak sih nggak nyebut-nyebut itu?" Arka mendengkus kesal sementara lelaki di hadapannya tersenyum simpul."Orang dibilang aku ngerasa nggak pernah nikah juga," gumam Arka entah pada siapa, yang jelas ia bangkit dari posisi tidurnya dan memilih duduk di foot board ranjang.Meskipun setelah bangun tidur tadi ia masih berharap bahwa semuanya adalah mimpi, tapi begitu melihat sosok Caraka di dalam kamarnya, ia jadi sadar kalau harapannya tidak terkabul. Mau tidak mau, cepat atau lambat, ia harus menghadapi lelaki yang mengaku bernama Caraka Altair Abimana itu."So, apa yang mau kamu omongin sampe nerobos masuk ke kamarku?""Hubungan kita." Caraka menjawab dengan singkat dan nada yang dingin."Hubungan yang mana? Aku sama sekali nggak ngerasa punya hubungan sama kamu."Caraka menghela napas kasar. "Aku
Seharusnya Arka bangun pagi seperti kebiasaannya di hari kerja. Tapi karena malam sebelumnya ia tidak bisa tidur, memikirkan masalah yang baru saja menimpanya, ditambah lagi dengan upayanya untuk menghindar dari kekasihnya, Arka baru membuka mata setelah jam di dindingnya menunjuk angka tujuh."Astaga!" Arka bangkit dan langsung berlari menuju kamar mandi.Usai mandi yang sangat singkat, Arka mengusapkan cc cream ke wajahnya, mengikat rambutnya asal dan segera berniat berangkat. Biarlah masalah dandanannya akan dia benahi sesampainya di sekolah nanti."Baru bangun? Bukannya kamu udah harus sampe di sekolah jam setengah delapan?"Pertanyaan pertama yang didengarnya di hari itu, sebelum nanti ia akan mendengar serentetan pertanyaan dari muridnya yang masih dipenuhi rasa penasaran di umur mereka yang belum genap menginjak usia enam tahun.Arka melirik ke arah si penanya, tapi kemudian mendengkus kesal dan berlalu begitu saja tanpa menjawabnya setelah menyadari orang yang bertanya adalah
“Bu Arka, tumben tampangnya kusut?” tanya Anggun, wanita yang sudah dua tahun ini menjadi kepala sekolah di sana.Arka hanya tersenyum menanggapinya. Usia mereka terpaut cukup jauh, dan Arka memang tidak terlalu dekat dengan wanita itu. Entah mengapa, sejak awal Arka selalu merasa ada yang disembunyikan wanita itu darinya.Sekolah tempat Arka mengajar, dikelola sebuah yayasan. Ada daycare, playgroup, hingga TK di dalamnya. Bukan sekolah kecil seperti yang dibayangkan banyak orang. Yayasan itu dikelola orang-orang profesional, hingga banyak orang tua yang memercayakan anaknya ke sekolah itu, meskipun harus merogoh kocek yang dalam.“Kenapa, Ka?” tanya Yasmin.“Lagi ada sedikit masalah. Makanya hampir telat tadi.” Kali ini Arka membalas karena yang bertanya adalah Yasmin, sahabat dekatnya sejak ia mengenyam pendidikan sarjana dan magister Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).Jangan kira yayasan tempat Arka mengajar mengambil sembarang orang untuk mengajar anak PAUD. Arka dan Yasmin adalah
"Kenapa kita nggak pulang aja sih?" Arka masih tidak terima lelaki di depannya itu memaksanya makan siang bersama di sebuah restoran makanan Jepang."Kita perlu bicara." Caraka memanggil pelayan restoran untuk meminta buku menu selagi Arka terus saja menyuarakan keberatannya."Tapi kan bisa di rumah.""Kamu terlalu merasa berkuasa kalau di rumah. Makanya aku cari tempat yang netral. Minimal kalau kamu merajuk, kamu nggak akan mencak-mencak kayak kemaren karena malu dilihat orang."Arka membuka mulut, ingin membantah apa yang diucapkan Caraka, tapi sepertinya otaknya sedang tidak bekerja, hingga akhirnya Arka menutup mulutnya kembali."Kamu nggak makan sushi?" tanya Caraka yang bingung mendapati Arka hanya memesan nasi kari Jepang."Aku nggak suka sushi."Caraka tiba-tiba merasa bersalah karena tadi tidak menanyakan terlebih dulu apa yang disuka dan tidak disuka Arka. "Sorry, aku nggak tau kalo kamu nggak suka sushi.""Katanya suami, tapi apa yang disuka istrinya nggak tau," ledek Arka
Arka berlari di sepanjang koridor rumah sakit hingga menemukan kamar rawat yang ditempati kekasihnya. Seketika rasa bersalah bergemuruh di dadanya saat mengingat kalau dirinya telah menghianati Yudha.Benar kan? Ia telah menghianati Yudha. Harusnya ia mengatakannya sejak awal. Walaupun baru beberapa hari ia menutupi pernikahan yang terjadi di masa lalunya dari Yudha, hatinya benar-benar merasa bersalah.Arka mengetuk pintu ruang rawat sebelum suara seseorang mempersilakannya masuk."Masuk, Ka. Masih tidur sih dia, efek obat.""Kok bisa kecelakaan sih? Gimana ceritanya?" tanya Arka pada Dharma, satu-satunya orang yang menunggui kekasihnya itu."Nggak tau gue, dari cerita temennya sekantor sih, tadi dia keluar kantor, pinjem motor temennya, nggak tau mau ke mana. Cerita detail kecelakaannya gue nggak tau.""Naik motor? Memang mobilnya ke mana?"Dharma mengedikkan bahu."Kamu makan siang dulu aja, biar aku yang nunggu Yudha."Dharma mengangguk lantas berlalu pergi saat Arka mendekati ran
Apa impian kencan pertama bagi seorang wanita? Diajak ke restoran mewah? Diajak ke tempat yang paling hits se-ibukota? Atau diajak ke pantai untuk makan malam romantis?Setidaknya itu yang ada di kepala Caraka. Tapi Arka dengan santai menggiringnya menuju sebuah tempat makan dengan cabang franchise di mana-mana, bahkan ada hampir di setiap mall.“Arka, ini beneran nggak apa-apa makan di sini?”“Lah, memangnya kenapa, Bang? Abang ngarep makan di mana? Aku pengen chicken cordon bleu, Bang,” rengek Arka. “Udah pengen banget dari kemaren.”“Kan ada resto yang jual chicken cordon bleu juga, dan jauh lebih enak dari di sini.”“Tapi ribet. Kan kita mau nonton abis ini.”“Nontonnya di sini? Nggak di Premiere?”Arka mengernyitkan dahinya. “Abang sebelum sama aku, pernah kencan sama cewek model apa sih? Di sini semua lengkap, Abang. Nggak ribet pindah tempat, nyari parkir.”“Tapi kamu … keluarga Bestari, Ka.”“Iya, kalo Abang kencannya sama Eyang, mungkin harus bawa ke restoran mewah. Astaga, A
“Kenapa muka Abang kusut? Masalahnya belum beres?” tanya Arka bingung begitu melihat Caraka masuk ke dalam ruangannya dan langsung menuju dispenser, menghabiskan satu gelas air dingin.Caraka berbalik, menatap Arka dari tempatnya berdiri. Tidak ada yang salah dengan wanita itu. Arka tidak terlalu girly dengan pakaian serba pink seperti barbie berjalan atau menggunakan pernak-pernik yang membuatnnya seperti toko aksesories berjalan.Penampilan Arka justru terlihat simple, dengan celana jeans dan blouse putih yang dikenakannya. Tidak ada yang salah. Ia hanya tampak girly karena kitten heels yang dikenakannya. Itu hanya selera berpakaian. Kenapa Daniel sampai berkata seperti itu, Caraka benar-benar tidak habis pikir.“Bang.”“Hmm?” Caraka baru tersadar kalau ia sudah terlalu lama menatap Arka.“Kenapa? Ada yang salah?” Arka melihat lagi penampilannya, barangkali ada noda di bajunya atau sesuatu yang salah dengan bajunya.“Nggak. Nggak ada.” Caraka mendekat, melihat buku yang sedang dibac
"Arka, bisa nggak jangan naik turun tangga? Abang susah ngejar kamu.” Tentu saja itu dusta karena Caraka sudah naik turun tangga sejak Arka pergi mengajar. Kakinya sudah pulih walaupun belum bisa diajak lomba lari.“Nggak ada yang nyuruh Abang ngejar,” Arka duduk bersila di atas sofa perpustakaan, berpura-pura membaca buku karena malas meladeni Caraka.“Tapi pengen dikejar kan?” goda Caraka yang kini mengambil posisi duduk di samping Arka.“Nggak!” jawab Arka (terlalu) cepat.“Kan Abang udah pernah bilang, dari artikel—”“Coba, tunjukin ke aku artikel mana yang dari kapan itu Abang omongin!” sela Arka. Ia jadi mengira kalau Caraka membohonginya.“Udah lama Abang bacanya, lupa di mana.”Arka berdecak pelan sambil menahan wajahnya yang terasa panas, entah karena tadi dia baru saja menangis atau karena Caraka mendekatinya.“Maaf ya, Abang salah sangka. Tapi kalo kamu nanya kenapa Abang bertahan ya … karena Abang mau bertahan.”“Alasan macam apa itu?”Caraka mengedikkan bahu. Ia memang su
Sebuah rumah makan dengan konsep masakan sunda yang telah menjadi langganan mereka, dipilih Yudha untuk makan siang mereka berdua. Yudha menatap Arka, hampir tidak berkedip karena rasa rindunya pada gadis itu.Arka sedikit salah tingkah mendapati Yudha yang terus menatapnya, Hingga makanan tersaji di atas meja pun, Yudha seperti tidak ingin mengalihkan perhatiannya."Mau ngomong apa, Yud?""Gimana hari ini? Murid-muridmu pada nurut? Nggak ada yang bikin kamu harus lari-lari?"Arka terdiam. Yudha memang selalu menanyakan hal itu setiap harinya. Katanya, ia suka mendengar Arka bercerita antusias tentang murid-muridnya. Dulu, Arka suka mendapat perhatian seperti ini dari Yudha. Tapi tidak kali ini, hatinya bisa goyah karena perhatian-perhatian kecil dari Yudha."Ya gitulah, namanya juga anak-anak. Yud, aku nggak bisa lama-lama, aku mesti cepet pulang, jadi kalo kamu mau ngomong sesuatu yang penting, mending buruan deh. Kamu tau kan aku kalo laper, makanku cepet."Yudha terkekeh, tapi sep
"Bang. Kok Abang diem aja dari tadi?” tanya Arka yang bingung melihat Caraka mendiamkannya sejak mereka pulang dari kediaman ibunya.Caraka tidak menjawab pertanyaan Arka. Ia langsung masuk ke kamar yang berada di lantai bawah dan merebahkan dirinya.“Abang nggak mandi? Biar kuambilin baju di atas.”“Nggak usah.”“Ya udah, aku mandi dulu di atas ya.”Dengan kebingungannya, Arka naik ke lantai dua. Apa ia salah bicara sampai Caraka marah?Caraka sudah terlelap dengan posisi menghadap dinding saat Arka masuk ke kamar bawah. Arka merebahkan diri di sisi kasur yang kosong, kemudian mematikan lampu tidur di atas nakas.‘Apa aku ada salah? Atau akhirnya dia sadar kalo aku nggak pantes?’ Arka masih terus bertarung dengan pikirannya hingga tertidur.Karena beberapa hari belakangan Arka selalu terbangun tengah malam, sepertinya hal itu menjadi sebuah kebiasaan baru baginya.Anehnya, malam itu ia tidak ingin menangisi kenangannya bersama Yudha. Seharian itu juga ia hanya mengingat Yudha ketika
Suara pintu dibanting dari kamar sebelah memang berhasil membuat mereka merenggangkan jarak.Caraka juga tampak kesal dengan kelakuan adiknya, tapi sedetik kemudian fokus Caraka kembali ke hadapannya—ke seorang gadis yang mengerjap bingung dan seperti baru saja tersesat."Ka, kenapa?"Meskipun mereka sudah merenggangkan jarak, tapi tetap saja kasur berukuran 120x200 itu memaksa tubuh mereka berjarak lebih dekat dari biasanya."Marah?" tanya Caraka lagi."Aku dorong Abang nggak?""Nggak.""Ya udah, nggak usah nanya lagi dong, Bang." Arka baru ingin menutup wajahnya dengan kedua tangan karena rasa malunya, tapi tangan Caraka lebih dulu membawanya ke dalam pelukan."Keluar yuk, Bang.""Sekarang?""Nggak. Besok lusa.""Ok, besok lusa.""Abang, malu ih sama Ibu, masa ke sini malah tidur, bukannya nemenin Ibu.""Gimana, santai kan Ibu?""Ya santai, orang udah kenal. Tapi kok bisa sih Bang, Ibu jadi story teller di sekolahku?""Waktu itu Ibu cerita ke Abang sama ke Mas Arga, katanya pengen k
Tiga detik, atau bahkan kurang, Arka bahkan tidak sempat mengerjap saking kagetnya.Arka terdiam, mencoba mengatur ritme jantungnya agar kembali normal."Abang nggak suka dicuekin," ucap Caraka. Tangannya terulur mengusap bibir Arka yang membuat Arka berjengit kaget."Aku nggak suka diserang, Bang." Arka mengerucutkan bibirnya karena kesal."Tadi itu kamu anggep diserang?""Iya!"Caraka tersenyum kecut, kemudian kembali bersandar pada susunan bantal dan guling, mencoba memejamkan mata, mengingat kembali tiga detik yang membuat jantungnya menggila."Ih, Abang kok nggak bertanggung jawab sih. Bisa-bisanya langsung tidur abis nyium anak orang."Caraka malah terbahak mendengar Arka merajuk. Ia pikir Arka akan mengamuk, jenis mengamuk yang benar-benar seperti orang marah, tapi rupanya, Arka hanya merajuk."Ya terus gimana, di kamar sesempit ini, kasur ukuran single, naluri Abang sebagai cowok mencuat Arka. Nanti kalo Abang melek terus 'nyerang' kamu lagi gimana?""Nggak bisa, Bang. Kita ha
"Loh, Bu—"Wanita itu tersenyum semakin lebar. "Bu Arka kaget ya?"Arka masih mengerjap bingung, bahkan ketika Caraka mengambil punggung tangan ibunya dan mencium kedua pipi ibunya."Kenalin, Ka. Ibunya Abang."Arka akhirnya tersadar dari lamunannya, bergegas melakukan hal yang sama dengan yang tadi dilakukan Caraka."Ayo masuk, kata Raka, kalian udah makan siang di rumah, jadi Ibu cuma nyiapin makanan kecil aja, tapi nanti makan malam di sini ya. Langsung ke dapur aja yuk, biar nggak kayak tamu." Wanita itu melangkah masuk lebih dulu. Ia biasa memanggil Caraka dengan Raka saja, mungkin nanti ia akan kebingungan untuk memanggil Raka dengan Arka yang namanya mirip.Arka menarik tangan Caraka. "Bu Ayu ... ibunya Abang?"Caraka mengangguk, kemudian meraih tangan Arka lagi untuk digenggam dan membawanya menuju dapur yang berbatasan langsung dengan taman kecil di samping rumah."Kaget ya, Bu Arka?"Arka mengangguk. "Bu Ayu jangan panggil saya 'Bu Arka' lagi, Bu."Wanita itu masih tersenyum
Arka mengerjapkan matanya, ia tidak bisa tidur sejak sesi pillow talk-nya dengan Caraka, sementara lelaki itu kini telah terlelap."Abang pernah ngerasainnya. Jatuh cinta sama seseorang, tapi kemudian Abang mengubur perasaan Abang." Kalimat itu masih berputar-putar di otak Arka. Arka tahu itu hanya masa lalu Caraka, tapi ... rasanya tetap saja tidak nyaman.Kini Arka sadar, mungkin itu yang dirasakan Caraka. Mengetahui kalau ia pernah mencintai laki-laki lain dan laki-laki itu masih mencoba mendekatinya, pasti membuat Caraka juga merasa tidak nyaman."Belum tidur, Ka?"Arka menoleh terkejut saat mendengar suara Caraka."Karena nggak Abang peluk? Sini."Arka tidak habis pikir, dari mana Caraka bisa mengira ia tidak bisa tidur karena tidak memeluknya. Mereka juga baru dua malam tidur satu kasur. "Dih. Nggak gitu yaaa."Caraka terkekeh, kemudian beringsut mendekat. Ranjang di kamar yang berada di lantai bawah itu memang paling lebar di antara ranjang yang lain. Sebenarnya kamar itu adala