Home / Romansa / When I Me(e)t You / 6 You Can Call Me Anything

Share

6 You Can Call Me Anything

Author: Ans18
last update Last Updated: 2025-02-25 21:59:58

“Bu Arka, tumben tampangnya kusut?” tanya Anggun, wanita yang sudah dua tahun ini menjadi kepala sekolah di sana.

Arka hanya tersenyum menanggapinya. Usia mereka terpaut cukup jauh, dan Arka memang tidak terlalu dekat dengan wanita itu. Entah mengapa, sejak awal Arka selalu merasa ada yang disembunyikan wanita itu darinya.

Sekolah tempat Arka mengajar, dikelola sebuah yayasan. Ada daycare, playgroup, hingga TK di dalamnya. Bukan sekolah kecil seperti yang dibayangkan banyak orang. Yayasan itu dikelola orang-orang profesional, hingga banyak orang tua yang memercayakan anaknya ke sekolah itu, meskipun harus merogoh kocek yang dalam.

“Kenapa, Ka?” tanya Yasmin.

“Lagi ada sedikit masalah. Makanya hampir telat tadi.” Kali ini Arka membalas karena yang bertanya adalah Yasmin, sahabat dekatnya sejak ia mengenyam pendidikan sarjana dan magister Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).

Jangan kira yayasan tempat Arka mengajar mengambil sembarang orang untuk mengajar anak PAUD. Arka dan Yasmin adalah dua orang yang mengenyam pendidikan hingga magister untuk mengajar anak-anak itu.

Entah apa pertimbangan pemilik yayasan, Yasmin lah yang ditugaskan untuk mengajar kelas PAUD, sementara Arka harus cukup puas mengajak anak TK.

“Masalah berat, Ka?” tanya Yasmin lagi.

“Yaaah lumayan, yang jelas menyangkut masa depanku.”

“Dijodohin?”

Arka hanya tersenyum nanar. Kalau dijodohkan, ia masih punya peluang untuk menolak, atau mencari upaya apa pun untuk membatalkan perjodohan. Tapi ini? Tiba-tiba saja statusnya berubah menjadi seorang istri. Ia bisa apa? Satu-satunya jalan adalah mengajukan cerai.

“Udah yuk, siap-siap ngajar. Lupain dulu masalah orang dewasa. Bukannya ini tujuan dulu kita tetep ngeyel ngambil magister PAUD meskipun dipandang sebelah mata sama orang lain?”

Arka menyetujui ucapan sahabatnya. “Karena anak-anak itu selalu bisa membuat kita happy dan stres di saat yang bersamaan, sampai kita bisa lupa sama masalah sendiri.”

“Heem. Untuk saat-saat seperti ini nggak usah munafik dengan bilang kalau anak-anak itu layaknya kertas putih polos yang bisa kita tulis hal-hal baik di atasnya. Udahlah realistis aja, mereka juga jadi hiburan di tengah peliknya kehidupan kita.”

***

“Bu Arka!” teriak seorang anak bernama Sammy sambil berlari kembali ke kelasnya.

“Loh, Sam. Bukannya tadi kamu udah keluar kelas? Belum dijemput Mami?”

“Udah, Bu. Tapi Sam dimintain tolong sama Om di lapangan. Kata Mami aku boleh ke kelas dulu buat bantuin omnya.”

“Om siapa?” Arka mengernyitkan dahi. Wah, ia harus memperingatkan pihak keamanan kalau sampai ada om-om tidak dikenal berhasil masuk ke dalam sekolah itu.

“Om siapa, Sam? Kamu kenal omnya?”

“Omnya lagi ngobrol sama Mami, Bu. Omnya minta tolong aku buat manggil Bu Arka.”

“Hah?”

“Omnya bilang, mau makan siang, udah laper. Kasihan Bu, kalo omnya mesti nunggu Bu Arka lama-lama, nanti omnya kelaperan.”

Arka tersenyum. Pasti Yudha—yang akhirnya tidak sabar untuk mengajaknya berbicara—yang nekat datang ke sekolah. Padahal berulang kali ia mewanti-wanti Yudha untuk tidak datang ke sekolah, ia hanya … tidak suka gosip.

“Sam, mau ke tempat Mami kan? Kalo omnya masih ada, tolong Bu Arka bilang ke omnya minta nunggu sebentar ya, Bu Arka mau ambil tas di kantor.”

“Iya, Bu.” Secapat kilat bocah itu datang, dan secepat kilat pula bocah itu berlari pergi dari hadapan Arka.

Arka bergegas kembali ke kantor guru untuk mengambil tasnya. Kali ini ia akan memaklumi kelakuan Yudha yang menjemputnya ke sekolah. Lagipula ia juga ingin berbicara serius dengan Yudha.

Setelah mengambil tasnya, Arka melangkah menuju halaman sekolah dan hanya ada tiga mobil di sana. Satu mobil milik kepala sekolah, satu lagi mobil milik salah satu guru lainnya, dan satu mobil lagi milik …?”

Mobil itu yang jelas bukan milik Yudha. Kecuali, Yudha tiba-tiba saja ganti mobil tanpa sepengetahuannya.

Arka berjalan pelan menuju sisi kiri mobil, kemudian mengintip dari jendela mobil yang agak gelap. Baru saja ia mendekat, jendela mobil itu tiba-tiba saja terbuka.

“Buruan, Ka. Laper.”

“Ngapain kamu jemput aku? Aku nggak minta dijemput.”

Caraka menahan kekesalannya. Ia benar-benar lapar dan ia baru saja kembali dari Bogor untuk menukar motor sport yang tidak disukai Arka dengan motor biasa, lalu mengambil mobil di rumah mertuanya dan datang menjemput Arka yang kini terlihat marah karena kedatangannya.

Arka seketika berbalik untuk pergi.

Caraka keluar dari mobil dan mengejar Arka hingga ia berhasil meraih pergelangan tangan Arka. “Arka, masuk mobil atau semua orang di sekolah ini akan tahu kalau aku adalah suami kamu.”

“Caraka! Nggak lucu.”

“Aku memang nggak lagi bercanda. Mau bukti?”

Dengan bersungut kesal, Arka kembali ke arah mobil Caraka dan masuk melalui pintu penumpang depan.

“Brengsek!” umpat Arka yang ternyata didengar oleh Caraka yang baru saja masuk ke dalam mobil.

“Waaah, aku nggak nyangka guru TK bisa mengumpat selancar itu. Kamu nggak ngajarin muridmu yang aneh-aneh kan?”

“Jangan bikin aku makin kesel, Ka.” Arka terdiam, memanggil Carakan dengan panggilan ‘Ka’ rasanya seperti memanggil dirinya sendiri. “Caraka. Jangan bikin aku makin kesel. Cepet jalanin mobilnya, aku nggak mau ada orang lain yang ngelihat kamu jemput aku.”

“Kenapa?”

“Bahkan pacarku aja nggak pernah jemput aku di sekolah. Kamu nggak sepede itu kan?”

“Oh, jelas aku percaya diri. Dia cuma pacarmu, aku suamimu. Apa salahnya aku jemput kamu ke tempatmu kerja?”

“Jangan gila deh, Car … aka.”

Arka mengacak rambutnya sendiri. Harus seperti apa ia memanggil Caraka? Terlalu panjang untuk memanggil Caraka. Ia tidak suka memenggal panggilannya dengan ‘Ka’, apalagi ‘Car’.

“You can call me anything, Ka. Tapi karena aku lebih tua dari kamu beberapa tahun, mungkin kamu bisa manggil aku dengan lebih sopan. Bukannya kamu juga harus ngajarin sopan santun ke muridmu? Dan anak kecil kan lebih cepet nangkap pelajaran kalau lewat contoh. You can call me ‘Bang’ atau ‘Abang’.”

“Nggak usah mimpi!”

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sophia Setiawan
lucu liat tingkahnya Arka - Caraka.. makin seru
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • When I Me(e)t You   153 (Extra Part) When I Meet You (2)

    [POV Arkadewi Lintang Bestari]Aku tahu dunia ini semakin berkembang, termasuk ragam penipuan. Dan seperti yang sedang kuhadapi saat ini. Di depanku ada seorang laki-laki tengah mengaku sebagai suamiku.But yeah, harus kuakui, he’s so damn hot.Postur tubuhnya jelas lebih menjulang dibandingkan aku yang hanya 160cm. Aku melirik Yudha yang duduk di hadapanku. Mungkin lelaki itu sama tingginya dengan Yudha … atau lebih tinggi?Lelaki itu hanya mengenalan kaos polos berwarna putih dan celana jeans, yang membuat penampilannya seperti anak muda yang sedang ada janji nongkrong dengan teman-temannya.Rambutnya tidak ditata klimis, tapi tidak juga berantakan. Pas. Seperti oppa-oppa yang biasa kutonton di drama Korea. Tapi somehow dia mengingatkanku pada seorang aktor Thailand, sayangnya aku lupa namanya. Nama aktor Thailand terlalu sulit untuk kuhapalkan.Otot tangannya terlihat mencuat dari balik kulitnya, menandakan kalau ia rutin work out atau memang bekerja di bidang yang membutuhkan kekua

  • When I Me(e)t You   152 (Extra Part) When I Meet You (1)

    [POV Caraka Altair Abimana]Aku menyeret koper berukuran sedang yang kubawa dari London melalui bagian keimigrasian. Sebagian besar barangku sudah dikirim pulang lebih dulu oleh orang suruhan keluarga Bestari, jadi sekarang aku tidak perlu menenteng banyak barang.Keluar dari bandara, lagi-lagi orang suruhan keluarga Bestari telah standby di area penjemputan. Begitu melihatku, mereka langsung mengambil alih barang bawaanku dan menunjukkan di mana aku harus menunggu selagi mereka mengambil mobil.“Apa Pak Hadi Wijaya memerintahkan saya untuk langsung menuju kediaman beliau?” tanyaku begitu mobil yang dikendarai seorang supir dan ada seorang lagi yang duduk di bangku penumpang depan mulai melaju.“Hmm ….”Dengan tidak adanya jawaban dari kedua orang yang duduk di bangku depan, aku mengasumsikan mertuaku tidak memberikan perintah apa pun selain menjemputku di bandara.“Oke lah, saya telepon beliau aja.” Oh damn! Aku lupa kalau masih menggunakan ponsel dan nomor London.Laki-laki yang dud

  • When I Me(e)t You   151 (Extra Part) When I Met You

    [POV Caraka Altair Abimana]Aku terdiam di dalam sebuah ruang perawatan yang jelas sekali bukan ruang perawatan kelas 1, kelas 2, apalagi kelas 3. Ruang rawat ini cukup luas, dengan hanya sebuah ranjang pasien yang terletak di sudut ruangan, membuat pasien yang dirawat di dalamnya tidak perlu berbaur dengan pasien lain.Seorang gadis tengah tergeletak tak berdaya di atas ranjang berukuran single di tengah ruangan. Berbagai macam alat bantu dengan kabel-kabelnya berjuntaian di di sekitar gadis itu. Jangan lupakan cairan infus yang menetes teratur dan hampir kehabisan isinya. Aku harus segera melapor setelah keluar dari ruangan ini.Kembali kuedarkan pandangan ke sekeliling. Di sudut ruangan yang lain terdapat satu set sofa berbahan kulit, entah sintetis atau asli, yang jelas set sofa itu saja sudah mampu menunjukkan derajat orang yang menyewa kamar ini sebagai kamar rawat.Di sisi ruangan yang lain ada sebuah televisi layar datar yang tergantung di dinding, dengan kabinet yang berada d

  • When I Me(e)t You   150 (Extra Part) Kalandra Evano yang Tak Sesuai Namanya

    “Andra, besok mulai masuk sekolah sama Mama ya.”Arka malam itu sedang menemani Andra di dalam kamarnya, menyusun puzzle 250 pcs dengan gambar kota London, hadiah dari Daniel yang entah mengapa memberikan anak seusia Andra puzzle serumit itu.Tapi Andra menyukainya, dan pelan-pelan, setiap malam ia mencoba memasang puzzle itu keping demi keping. Sudah seminggu Andra melakukannya, belum selesai memang, tapi ia juga tidak ingin dibantu baik oleh ayahnya maupun mamanya.Andra mengangguk pelan setelah mendengar ucapan mamanya.“Besok Mama juga ada di sekolah, tapi Mama ngajar kelas lain. Guru Andra namanya Bu Eka. Andra boleh nyari Mama tapi pas istirahat ya. Besok bakal banyak temen kok di sekolah.”“Aku nyari Mama kalo udah pulang sekolah.”“Beneran?”“Iya, Ma.”“Andra nggak bakal kangen Mama?”“Kan cuma sebentar, pulang sekolah ketemu lagi.”Kenapa malah Andra yang menenangkan mamanya? Karena sejujurnya memang seresah itu Arka sejak beberapa hari belakangan. Padahal Andra baru akan mas

  • When I Me(e)t You   149 Orang Terpenting di Hidupku

    "Ka. Ini makanannya dikirim duluan aja ya.”Caraka yang terlelap di sofabed dekat baby box milik Andra, terkesiap saat mendengar suara kakak iparnya.“Apa sih, Mas?”“Kamu baru bangun tidur?”Caraka memilih duduk untuk mengumpulkan nyawanya. Diliriknya Andra yang masih tertidur pulas di baby box-nya.“Iya, ketiduran sambil nemenin Andra. Tadi Mas Arga ngomong apa sih?”“Ini catering-nya mau dianter sekarang ke sana? Apa nanti aja, jam lima gitu. Eh tapi sekarang juga udah jam tiga sih.”“Catering?” Sampai detik Arga mengucapkan masalah catering dan jam berapa diantar, Caraka masih berusaha memahaminya dan gagal.“Ya ampun, Caraka! Nanti malam kan keluarga ngumpul buat ngerayain ulang tahu Arka. Kan kamu yang waktu itu minta tolong ke Leira buat bantuin ngurus catering, biar orang rumah nggak repot sekalian kejutan buat Arka.”“Lah, emang sekarang tanggal berapa?”“Tiga puluh.”“Astaga!”“Jangan bilang kamu belum ngucapin? Arka ngembek berminggu-minggu baru tau rasa!”Rasanya seperti d

  • When I Me(e)t You   148 Hasil Konsultasi

    Arka terbangun dari tidurnya saat mendengar tangisan Andra. Dalam kamar mereka memang disediakan baby box agar Andra bisa tidur seruangan dengan mereka selama malam hari.Selain karena Arka yang ingin mengurus keperluannya sendiri—selagi masih bisa, sekalian agar baby sitter mereka bisa beristirahat dan bekerja dengan maksimal keesokan hari saat mereka berdua bekerja.Arka tidak bisa lagi kembali tidur setelah menenangkan Andra yang ternyata hanya ingin berganti pampers.Karena itu ia memilih duduk sambil bersandar pada ranjang headboard-nya sambil menatap Caraka yang masih pulas.‘Abang inget nggak sih aku ulang tahun? Nggak ya kayaknya? Abang lagi pusing banget pasti. Urusan kerjaan, urusan kantor arsitek yang lagi dibangun, belum lagi masalah trauma Abang.’ Arka menghela napas berat, masih memikirkan banyak hal di dalam kepalanya selagi memandangi Caraka.“Orang kalo dipandangin terus tuh, lumer nggak sih?”Suara berat dan serak Caraka membuat Arka terkejut. Padahal mata suaminya m

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status