Home / Romansa / When I Me(e)t You / 5 Pindah Rumah Yuk!

Share

5 Pindah Rumah Yuk!

Author: Ans18
last update Last Updated: 2025-02-25 21:59:31

Seharusnya Arka bangun pagi seperti kebiasaannya di hari kerja. Tapi karena malam sebelumnya ia tidak bisa tidur, memikirkan masalah yang baru saja menimpanya, ditambah lagi dengan upayanya untuk menghindar dari kekasihnya, Arka baru membuka mata setelah jam di dindingnya menunjuk angka tujuh.

"Astaga!" Arka bangkit dan langsung berlari menuju kamar mandi.

Usai mandi yang sangat singkat, Arka mengusapkan cc cream ke wajahnya, mengikat rambutnya asal dan segera berniat berangkat. Biarlah masalah dandanannya akan dia benahi sesampainya di sekolah nanti.

"Baru bangun? Bukannya kamu udah harus sampe di sekolah jam setengah delapan?"

Pertanyaan pertama yang didengarnya di hari itu, sebelum nanti ia akan mendengar serentetan pertanyaan dari muridnya yang masih dipenuhi rasa penasaran di umur mereka yang belum genap menginjak usia enam tahun.

Arka melirik ke arah si penanya, tapi kemudian mendengkus kesal dan berlalu begitu saja tanpa menjawabnya setelah menyadari orang yang bertanya adalah Caraka.

"Arka, aku nanya kamu," tegur Caraka yang tengah duduk di sofa ruang keluarga yang berada di lantai dua.

"Ck!" Lagi-lagi Arka mengabaikannya dan berniat segera berangkat. Ia hampir saja telat, waktunya tidak banyak lagi. Jangan dipikir karena muridnya adalah murid TK, lantas ia bisa telat seenaknya. Bahkan pertanyaan murid-muridnya kadang jauh lebih absurd dibanding pertanyaan siswa SMA.

Mengalah, Caraka mengekori Arka di belakangnya, turun menuju ruang makan di mana kedua orang tua Arka telah menikmati sarapan.

"Kamu kesiangan, Dek?" tanya papanya begitu melihat penampilan Arka yang sungguh seadanya, menunjukkan ia sangat terburu-buru.

"Iya, Pa. Aku nggak sarapan di rumah ya, Pa. Takut telat."

"Biar dianter Caraka aja, Dek," ucap Hadi Wijaya sungguh-sungguh, sama sekali tidak terlihat sedang bercanda pada anaknya.

"Nggak mau ah."

"Dek, nggak apa-apa turunin egomu bentar. Caraka bisa nganter kamu daripada kamu telat. Kamu nggak mau jadi contoh buat murid-muridmu kan."

"Ayo," Caraka beranjak menuju kamar yang ditempatinya, kemudian keluar tidak lama kemudian sambil mengenakan jaket.

"Pa ...," rengek Arka. Tatapannya seakan meminta pertolongan pada papanya.

Melihat tidak ada belas kasihan dari papanya, Arka beralih pada mamanya. Bukankah mamanya adalah salah satu orang yang tidak menyetujui pernikahan yang sampai detik itu masih dipertanyakannya.

"Udah sana. Yang penting kamu nggak telat, gitu aja mikirnya." Papanya kembali mendesak Arka.

Sambil menahan kekesalannya, Arka terpaksa melangkah menyusul Caraka yang sudah lebih dulu menuju garasi rumahnya.

"Kita naik ini?"

Caraka yang sudah siap di atas tunggangannya menoleh ke arah Arka yang tampak bingung. Sejak kapan di rumahnya ada motor?

"Kamu nggak mau telat kan? Atau mau ganti bawa mobil, tapi sih jaminan bakal telat kalo gitu. So, your choice?"

Arka menghela napas. Untungnya hari itu ia mengenakan celana panjang yang memudahkannya untuk naik motor sport yang sudah ditunggangi Caraka.

"Kamu nggak biasa naik motor ya?" tanya Caraka.

"Bukan gitu, cuma nggak suka aja naik motor sport."

"Kenapa?"

"Risih. Motor macam apa yang sekan dibikin biar yang duduk di belakang nempel sama yang duduk di depan?"

"Ya udah, hari ini naik ini dulu. Next time aku tuker sama motor matic biasa deh."

"Aku naik ojek aja deh," ucap Arka sambil melangkah pergi.

"Arka! Naik! Kan disuruh Papa."

Arka mengambil helm yang sejak tadi disodorkan Caraka padanya. Tanpa Arka tau, Caraka mengulum senyumnya saat akhirnya Arka memegang bahunya sebagai tumpuan untuknya naik ke atas motor.

"Miringin dikit bisa nggak sih? Susah ini naiknya," gerutu Arka kesal.

"Iyaa, bilang dong baik-baik, nggak perlu marah-marah."

Caraka memiringkan motornya, membiarkan sekali lagi Arka menggunakan bahunya sebagai tumpuan.

"Udah?" tanya Caraka.

"Udah." Sungguh bukan nada halus yang keluar dari bibir Arka. Bahkan jauh lebih lembut saat Arka berbicara dengan tukang ojek daripada Caraka.

"Pegangan!" perintah Caraka.

"Nggak!" jerit Arka.

"Ok. Terserah!" Emosi Caraka akhirnya meledak. Menghadapi gadis semacam Arka mungkin memang tidak bisa dengan kelembutan.

Caraka melajukan motornya, menarik gas dengan sepenuh tenaga, berusaha memberikan pelajaran pada gadis yang duduk di belakangnya.

"Bisa pelan nggak sih?" omel Arka dari kursi penumpang.

"Kan kamu nggak mau telat."

"Iya, tapi nggak gini juga." Suara Arka teredam angin yang terasa semakin kencang karena Caraka tidak main-main menggeber motornya.

"Caraka!" teriak Arka.

"Diem aja sih. Berisik banget. Pegangan aja kalo takut."

Dan semakin Caraka menggeber motornya, semakin pias wajah Arka. Bukan kecepatan seperti itu yang Arka inginkan. Lebih baik dia terlambat daripada bertaruh nyawa.

Tangan Arka akhirnya memegang bahu Caraka untuk berpegangan.

"Eh, Neng. Aku bukan tukang ojek. Aku turunin kamu ya."

Arka menggeram, menahan kekesalannya yang sudah sampai ke ubun-ubun. Bagaimana nanti ia bisa tersenyum di depan murid-muridnya kalau sepagi itu emosinya sudah diacak-acak oleh seorang Caraka. Akhirnya, tangan Arka turun perlahan, memegang ujung-ujung jaket Caraka dengan terpaksa.

"Jangan minta lebih, ini udah maksimal."

Caraka tersenyum puas. Cukuplah untuk hari itu. Ia tidak bisa memaksa Arka terlalu jauh kalau tidak ingin gadis itu semakin menjauh darinya.

"Kamu mulai ngajar jam berapa, Ka?" tanya Caraka sambil agak berteriak agar Arka bisa mendengar.

"Jam delapan."

"Kenapa harus sampe sekolah jam setengah delapan?"

"Banyak yang mesti disiapin, terutama untuk ngajar anak TK."

"Kamu happy, Ka?"

"Iya, sebelum ada kamu."

"Padahal aku bisa bikin kamu lebih happy loh."

Arka berdecak kesal. Ia hampir saja menarik tangannya sebelum Caraka mencegahnya.

"Enough, Caraka! Aku nggak akan segampang itu nerima semuanya."

Tidak ada lagi yang berbicara setelahnya. Melawan desingan angin di pagi hari bukanlah hal yang menyenangkan, ditambah lagi perut-perut mereka yang belum diisi.

Perjalanan yang sedianya menghabiskan waktu lebih dari tiga puluh menit bila menggunakan mobil itu dapat ditempuh Caraka hanya dua puluh lima menit dengan menggunakan motornya.

"Nanti mau kujemput?" tanya Caraka setelah menurunkan Arka di halaman TK tempatnya bekerja.

"Nggak usah ngarep."

"Arka, behave please. Nggak enak kan kalo didenger orang."

Arka langsung menutup mulutnya. Benar kata Caraka, kalau rekan kerjanya yang lain melihatnya berperilaku seperti itu, pastilah namanya menjadi buruk di mata orang lain.

"Udah ah, aku mau masuk dulu."

"Arka, jangan lupa sarapan."

"Nggak napsu makan."

Caraka menarik tangan Arka sebelum gadis itu benar-benar berlalu dari hadapannya. "Arka, kita pindah rumah yuk, kita coba bener-bener hidup sebagai suami istri."

"What?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (4)
goodnovel comment avatar
Ans18
syarat sah pernikahan: dua mempelai, wali, dua saksi, ijab qabul. Nggak ada persetujuan sebagai syarat sah pernikahan (sebenernya)
goodnovel comment avatar
Mita Aprilia
Coba baca cerita "menikah tapi tak serumah." sama ceritanya yang wanita dinikahkan tanpa sepengetahuannya.. Kalau ini latar belakangnya pesantren lagi.
goodnovel comment avatar
Nova Silvia
ayo,ayo,,aku mau,,ups bikan aku yah...
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • When I Me(e)t You   153 (Extra Part) When I Meet You (2)

    [POV Arkadewi Lintang Bestari]Aku tahu dunia ini semakin berkembang, termasuk ragam penipuan. Dan seperti yang sedang kuhadapi saat ini. Di depanku ada seorang laki-laki tengah mengaku sebagai suamiku.But yeah, harus kuakui, he’s so damn hot.Postur tubuhnya jelas lebih menjulang dibandingkan aku yang hanya 160cm. Aku melirik Yudha yang duduk di hadapanku. Mungkin lelaki itu sama tingginya dengan Yudha … atau lebih tinggi?Lelaki itu hanya mengenalan kaos polos berwarna putih dan celana jeans, yang membuat penampilannya seperti anak muda yang sedang ada janji nongkrong dengan teman-temannya.Rambutnya tidak ditata klimis, tapi tidak juga berantakan. Pas. Seperti oppa-oppa yang biasa kutonton di drama Korea. Tapi somehow dia mengingatkanku pada seorang aktor Thailand, sayangnya aku lupa namanya. Nama aktor Thailand terlalu sulit untuk kuhapalkan.Otot tangannya terlihat mencuat dari balik kulitnya, menandakan kalau ia rutin work out atau memang bekerja di bidang yang membutuhkan kekua

  • When I Me(e)t You   152 (Extra Part) When I Meet You (1)

    [POV Caraka Altair Abimana]Aku menyeret koper berukuran sedang yang kubawa dari London melalui bagian keimigrasian. Sebagian besar barangku sudah dikirim pulang lebih dulu oleh orang suruhan keluarga Bestari, jadi sekarang aku tidak perlu menenteng banyak barang.Keluar dari bandara, lagi-lagi orang suruhan keluarga Bestari telah standby di area penjemputan. Begitu melihatku, mereka langsung mengambil alih barang bawaanku dan menunjukkan di mana aku harus menunggu selagi mereka mengambil mobil.“Apa Pak Hadi Wijaya memerintahkan saya untuk langsung menuju kediaman beliau?” tanyaku begitu mobil yang dikendarai seorang supir dan ada seorang lagi yang duduk di bangku penumpang depan mulai melaju.“Hmm ….”Dengan tidak adanya jawaban dari kedua orang yang duduk di bangku depan, aku mengasumsikan mertuaku tidak memberikan perintah apa pun selain menjemputku di bandara.“Oke lah, saya telepon beliau aja.” Oh damn! Aku lupa kalau masih menggunakan ponsel dan nomor London.Laki-laki yang dud

  • When I Me(e)t You   151 (Extra Part) When I Met You

    [POV Caraka Altair Abimana]Aku terdiam di dalam sebuah ruang perawatan yang jelas sekali bukan ruang perawatan kelas 1, kelas 2, apalagi kelas 3. Ruang rawat ini cukup luas, dengan hanya sebuah ranjang pasien yang terletak di sudut ruangan, membuat pasien yang dirawat di dalamnya tidak perlu berbaur dengan pasien lain.Seorang gadis tengah tergeletak tak berdaya di atas ranjang berukuran single di tengah ruangan. Berbagai macam alat bantu dengan kabel-kabelnya berjuntaian di di sekitar gadis itu. Jangan lupakan cairan infus yang menetes teratur dan hampir kehabisan isinya. Aku harus segera melapor setelah keluar dari ruangan ini.Kembali kuedarkan pandangan ke sekeliling. Di sudut ruangan yang lain terdapat satu set sofa berbahan kulit, entah sintetis atau asli, yang jelas set sofa itu saja sudah mampu menunjukkan derajat orang yang menyewa kamar ini sebagai kamar rawat.Di sisi ruangan yang lain ada sebuah televisi layar datar yang tergantung di dinding, dengan kabinet yang berada d

  • When I Me(e)t You   150 (Extra Part) Kalandra Evano yang Tak Sesuai Namanya

    “Andra, besok mulai masuk sekolah sama Mama ya.”Arka malam itu sedang menemani Andra di dalam kamarnya, menyusun puzzle 250 pcs dengan gambar kota London, hadiah dari Daniel yang entah mengapa memberikan anak seusia Andra puzzle serumit itu.Tapi Andra menyukainya, dan pelan-pelan, setiap malam ia mencoba memasang puzzle itu keping demi keping. Sudah seminggu Andra melakukannya, belum selesai memang, tapi ia juga tidak ingin dibantu baik oleh ayahnya maupun mamanya.Andra mengangguk pelan setelah mendengar ucapan mamanya.“Besok Mama juga ada di sekolah, tapi Mama ngajar kelas lain. Guru Andra namanya Bu Eka. Andra boleh nyari Mama tapi pas istirahat ya. Besok bakal banyak temen kok di sekolah.”“Aku nyari Mama kalo udah pulang sekolah.”“Beneran?”“Iya, Ma.”“Andra nggak bakal kangen Mama?”“Kan cuma sebentar, pulang sekolah ketemu lagi.”Kenapa malah Andra yang menenangkan mamanya? Karena sejujurnya memang seresah itu Arka sejak beberapa hari belakangan. Padahal Andra baru akan mas

  • When I Me(e)t You   149 Orang Terpenting di Hidupku

    "Ka. Ini makanannya dikirim duluan aja ya.”Caraka yang terlelap di sofabed dekat baby box milik Andra, terkesiap saat mendengar suara kakak iparnya.“Apa sih, Mas?”“Kamu baru bangun tidur?”Caraka memilih duduk untuk mengumpulkan nyawanya. Diliriknya Andra yang masih tertidur pulas di baby box-nya.“Iya, ketiduran sambil nemenin Andra. Tadi Mas Arga ngomong apa sih?”“Ini catering-nya mau dianter sekarang ke sana? Apa nanti aja, jam lima gitu. Eh tapi sekarang juga udah jam tiga sih.”“Catering?” Sampai detik Arga mengucapkan masalah catering dan jam berapa diantar, Caraka masih berusaha memahaminya dan gagal.“Ya ampun, Caraka! Nanti malam kan keluarga ngumpul buat ngerayain ulang tahu Arka. Kan kamu yang waktu itu minta tolong ke Leira buat bantuin ngurus catering, biar orang rumah nggak repot sekalian kejutan buat Arka.”“Lah, emang sekarang tanggal berapa?”“Tiga puluh.”“Astaga!”“Jangan bilang kamu belum ngucapin? Arka ngembek berminggu-minggu baru tau rasa!”Rasanya seperti d

  • When I Me(e)t You   148 Hasil Konsultasi

    Arka terbangun dari tidurnya saat mendengar tangisan Andra. Dalam kamar mereka memang disediakan baby box agar Andra bisa tidur seruangan dengan mereka selama malam hari.Selain karena Arka yang ingin mengurus keperluannya sendiri—selagi masih bisa, sekalian agar baby sitter mereka bisa beristirahat dan bekerja dengan maksimal keesokan hari saat mereka berdua bekerja.Arka tidak bisa lagi kembali tidur setelah menenangkan Andra yang ternyata hanya ingin berganti pampers.Karena itu ia memilih duduk sambil bersandar pada ranjang headboard-nya sambil menatap Caraka yang masih pulas.‘Abang inget nggak sih aku ulang tahun? Nggak ya kayaknya? Abang lagi pusing banget pasti. Urusan kerjaan, urusan kantor arsitek yang lagi dibangun, belum lagi masalah trauma Abang.’ Arka menghela napas berat, masih memikirkan banyak hal di dalam kepalanya selagi memandangi Caraka.“Orang kalo dipandangin terus tuh, lumer nggak sih?”Suara berat dan serak Caraka membuat Arka terkejut. Padahal mata suaminya m

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status