Gazebo tengah taman, tiga kucing yang menatap mereka berdua secara bergantian, kolam ikan didepan gazebo, langit hitam yang ditaburi bintang, menjadi saksi bisu keawarkadan Dea dan Aiden. Salah satu kucing menghampiri Dea, Dea mangangkat kedua alisnya karena tiba-tiba sikucing duduk dipangkuannya. Dengkuran lembut dari si kucing membuat Dea gemas, itu signal kucingnya merasa nyaman berada dipangkuannya.
“Suka kucing De?” tanya Aiden yang ikutan gemas melihat kucing, tanpa sadar Aiden menggigit bibir bagian dalam karena saking gemasnya.
“Suka, tapi aku lebih suka Kamu,” goda Dea dengan sudut bibir yang terangkat.
“Jangan bercanda De,” ucap Aiden yang mulai kesal karena dari tadi mendapat candaan yang tidak ada habisnya dari Dea.
“Santai aja kali,” jawab Dea.
“Dah santai loh,” ketus Aiden. Tanpa sadar dia sendiri yang tidak bisa santai.
“lahh.. kok sewot,” ujar Dea.
“Siapa yang sewot?” tanya Aiden.
“Kamu,” jawab Dea.
“Kamu yang sewot!” suara Aiden dengan nada tinggi.
“Sejak kapan?” tanya Dea santai.
“Sejak tadi,” jawab ketus Aiden.
“Dari tadi aku bercanda terus loh,” ucap Dea membela dirinya.
“Tapi kan-”
“Tapi apa? please deh temperamental banget jadi cowok,” potong Dea yang jadi kesal karena Aiden tidak mau mengalah.
“Ngeselin banget jadi cewek,” caci Aiden.
“Kamu tuh, temprament,” balas Dea.
“Udahlah.. baru juga kenal. Gini amat,” keluh Aiden yang nyerah beradu mulut dengan Dea. Tak habis pikir cewek model Dea ini kok ada dimuka bumi, dan kenapa Aiden harus ketemu cewek modelan gini.
“Yaelah. Balik yuk, gabetah kalo lama-lama bareng Kamu,” ajak Dea pada Aiden. Dea menurunkan kucing yang dari tadi duduk manis dipangkuannya, sayang sekali sebenernya karena itu kesempatan yang datang jarang sekali. Tapi karena bersama cowok temperament semacam Aiden, Dea memutuskan untuk membiarkan kesempatan itu pergi.
“Apalagi aku,” sungut Aiden.
Dea tidak menggubris Aiden dan langsung meninggalkannya. Aiden buru-buru berdiri dan mengikuti Dea, Dea berjalan didepan Aiden, Aiden berjalan disamping Dea, sangat mudah mengejar dea yang jangkah kakinya pendek banget. Sesampainya diruang tamu, mereka disambut senyuman manis semua orang.
“Kalian berdua duduk sini, kami mau ngomong sesuatu,” ucap Mama Aiden dengan menunjuk sofa kosong disampingnya. Dea dan Aiden tampak kebingungan karena tiba-tiba disuruh duduk berdua.
“Ayo kak,” ucap Mama, Dea menyuruh Dea agar segera duduk. Dea langsung duduk disofa yang ditunjuk oleh mama Aiden. Aiden mengikuti Dea dan duduk disampingnya.
“Nahh.. Pinter,” puji Mama Aiden. Dea dan Aiden tersenyum mendengar pujian Mamanya Aiden.
“Sekarang kami mau ngomong sesuatu, dengarkan baik-baik ya,” lanjut Mama Aiden dengan senyum-senyum. ‘Pasti ini tentang pernikahan’ batin Dea dan Aiden. Tetapi mereka berdua tidak tau kalau mereka sama-sama membatin.
“Emm.. jadi kami semua sudah memutuskan kalau pernikahan kalian berdua akan diadakan minggu depan, dan besok kita adakan acara pertungangannya, sedikit mendadak karena, menurut kami sebagai orangtua niat baik tidak boleh ditunda-tunda. Untuk keperluan pernikahan, orangtua Nak Dea ternyata masih menyimpan keperluan pernikahan Dea yang tidak bisa dilaksanakan dua tahun lalu. Kita adakan acaranya secara sederhana, karena itu permintaan orangtua Dea juga, kalau Dea minta yang meriah kita bisa adakan dikota kami nanti. Untuk mahar Nak Dea minta berapa?” tanya Ayah Aiden diakhir kalimat.
Dea melirik Mama dan Ayahnya, tetapi mereka hanya tersenyum, itu artinya Dea harus memutuskan sendiri mahar apa yang harus dia katakan. Dea tersenyum kikuk ketika mendengarnya, tanpa sengaja melirik Aiden yang berada disampingnya. Semua orang yang memperhatikan Dea dan Aiden senyum-senyum sendiri.
“Emm.. yang sekiranya tidak memberatkan Aiden tapi juga tidak merendahkan saya Om,” jawab Dea.
“Oke, biar nanti Aiden yang memilihnya. Untuk Acara pernikahannya biar keluarga saya yang menanggung untuk keperluan lainnya termasuk dekor dan perias manten dan keluarga. Dea nanti setelah menikah bakal kami bawa kekota kami, Nak Dea mau ya?” tanya Ayahnya Aiden lagi. Dea mengangguk, langsung setuju karena pernikahannya akan berjalan selama dua tahun saja.
“Okey, setelah pernikahan kami semua tidak mengharapkan datangnya cucu lebih cepat, karena kami sadar kalian harus saling mengenal terlebih dahulu. Jadi Nak Dea jangan terlalu memikirkannya,” ucap Ayahnya Aiden. Dea tersenyum sekaligus bersyukur karena keluarga Aiden bisa memaklumi Dea.
Selama satu minggu keluarga Dea dan Aiden sibuk menyiapkan acara pernikahan mereka, selama berjalannya acara tidak ada kendala sama sekali. Karena semua orang sudah mempunyai tugas masing-masing dan kerjasama yang sangat kompak untuk melaksanakan acara pernikahannya.
Hari ini adalah hari terakhir Dea berada dirumah orangtuanya, karena Dea harus ikut Aiden. Ayah dan mamanya sesenggukkan melepas kepergian Dea. Dea bingung ikut sedih atau tidak, karena dia tau bahwa pernikahannya hanya berjalan selama dua tahun. Semua orang menangis ketika orangtuanya memeluknya, mau tidak mau akhirnya dia ikut menangis.
Ketika sudah masuk kedalam mobil milik Aiden, Dea masih saja menangis. Aiden memberi Dea tisu.
“Udah dong, ingusmu tuh, jijik banget liatnya,” protes Aiden ingin tertawa melihat ingus Dea yang tiba-tiba keluar dengan bentuk gelembung dari lubang hidungnya.
“hiks hiks.. apa sih!” sewot Dea karena malu tiba-tiba ingusnya keluar kayak gitu.
“Yaelah. Pakai sabuk pengamannya dulu De. Mama papa udah mau berangkat tuh,” ucap Aiden. Dengan sesenggukkan Dea memakai sabuk pengamannya. Tapi tiba-tiba sabuknya tidak bisa ditarik.
“Hiks…hiks.. gabisa.” Tetap dengan sesenggukannya Dea masih berusaha menarik sabuk pengaman.
“Hehhh.. sini.” Aiden mendekat pada Dea dan memakaikan sabuk pengamannya.
“Ingusnya diusap dulu Dee,” peringat Aiden lagi, karena ingus Dea yang tidak berhenti entup-entup.
“sini.” karena tidak sabaran Aiden pun menempelkan beberapa lembar tisu di hidung Dea.
”Dorong yang kenceng De..(Srotttt..) gak malu banget jadi cewek nangis sampek ingusnya mbeler kek gini. Punya malu gak sih ?” tanya Aiden dengan kesal, bisa-bisanya dia menikah sama cewek jorok kek Dea, cantik-cantik tapi joroknya minta ampun. Dea kelihatan dongkol karena cacian dari Aiden. Aiden melipat tisunya, lalu menempelkan dihidung Dea lagi.
“Ayo lagi..(srotttt…) Udah?” tanya Aiden. Dea mengangguk, dengan perasaan dongkolnya ia menyandarkan kepalanya dikursi. Aiden menurukan sandaran kursi agar Dea bisa tiduran. Karena Tadi malam setelah selesai acara Dea tidak bisa tidur. Sempat ingin minum obat tidur, tapi Aiden melarangnya, karena takutnya waktu pagi Dea tidak bisa bangun tepat waktu. Jadi setelah makan tadi Dea meminum obat tidur itu. Mama dan Papa Aiden sudah mengemudikan mobilnya keluar dari perkarangan rumah Dea, Aiden pun melajukan mobilnya, tak lupa klakson dia bunyikan sebagai tanda pamitnya.
Selama perjalanan Dea dan Aiden sama-sama diam. Aiden melirik Dea, ternyata dia sudah tidur. Tanpa sadar Aiden tersenyum karena mengingat tingkah Dea yang konyol, dimulai saat acara pertunangan. Ketika akan melakukan acara tukar cincin Dea terjungkal karena kakinya yang kesrimpet kabel, alhasil lampu dekor mati seketika. Semua orang tertawa karena melihat Dea ndlosor, termasuk Aiden.
Aiden sempat dimarahin habis-habisan oleh mama dan oma karena bukannya membantu Dea, justru dia orang yang tertawa paling kencang sendiri sepanjang acara pertunangan itu dilaksanakan. Waktu selesai akad nikah sesi foto dengan keluarga, Dea sempat akan terjungkal karena rok kebaya dan sepatu heelsnya yang membuatnya sulit menaikki panggung. Untungnya Aiden dengan cekatan memegang tangan Dea, tapi tetap saja pantat Dea udah nyentuh tanah. Lagi-lagi dia tertawa ngakak dan membuat ekspresi Dea menjadi sangat kesal sepenjang acara. Waktu acara suap-suapan Aiden tidak sengaja menumpahkan nasi ke kebaya Dea, karena tidak terima Dea melemparkan nasi ke wajah Aiden. Dengan tersenyum kesal mereka berdua tetap melanjutkkan suap-suapan nasinya. Hanya Aiden yang dimarahin oleh mamanya, tidak adil bukan ?
Aiden terkekh sendiri didalam mobil.
Kilauan lampu-lampu kota Monaco memantul di permukaan laut, menciptakan pemandangan yang begitu magis. Dari balkon suite mewah mereka, Dea memandangi keindahan kota yang tak pernah tidur itu, sementara di belakangnya, langkah Aiden semakin mendekat.Tanpa suara, pria itu melingkarkan lengannya di pinggang Dea, menariknya ke dalam dekapan hangat. "Kau terlalu serius menatap ke luar," gumamnya di dekat telinga istrinya, suaranya berat namun mengandung senyum.Dea tersenyum kecil, membiarkan tubuhnya bersandar ke dada bidang suaminya. "Aku masih tak percaya kita ada di sini," bisiknya, jemarinya tanpa sadar menyentuh lengan Aiden yang melingkupinya.Aiden memiringkan kepalanya, menatap wajah wanita yang kini benar-benar menjadi miliknya. "Aku sudah bilang, aku akan membawamu ke mana pun kau mau, selama kau tetap di sisiku."Dea menoleh, mata mereka bertemu dalam kehangatan yang sulit dijelaskan. "Dan kau yakin ingin terus bersamaku?" tanyanya lirih.Alih-alih menjawab dengan kata-kata, Ai
Kembali ke Pelukan yang SamaDea berlari menerobos masuk tanpa permisi. Napasnya memburu, dadanya sesak oleh perasaan yang berkecamuk. Jantungnya berdegup kencang saat menyadari beberapa orang menatapnya penuh keterkejutan."Madam! Tuan ada di kamar!" teriak Rara dari kejauhan saat menyadari perempuan itu masuk ke rumah.Tanpa ragu, Dea langsung menaiki tangga, melewati lorong yang sudah begitu familiar di ingatannya. Setiap langkah terasa begitu berat, seolah ada beban yang menekan dadanya. Ia tidak tahu apakah Aiden masih menginginkannya di sini. Ia tidak tahu apakah dirinya masih punya tempat di sisi pria itu.Tangannya gemetar saat ia mendorong pintu kamar yang tidak terkunci. Pandangannya langsung tertuju pada sosok yang duduk di tepi ranjang, membelakanginya. Aiden.Laki-laki itu tampak jauh lebih kurus dibanding terakhir kali ia melihatnya. Rambutnya berantakan, wajahnya lelah, dan di sampingnya terdapat botol alkohol yang belum sepenuhnya kosong.Dea menahan napas. Ini bukan A
Devano menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya yang bergejolak. Ia berdiri tegak, menatap Dea dengan tatapan yang lebih dalam daripada sebelumnya. Mata mereka bertemu, dan wanita itu bisa melihat kejujuran yang memancar dari dalam dirinya. Devano jarang sekali begitu terbuka, tetapi malam ini, ia merasa ini adalah saat yang tepat untuk mengungkapkan apa yang telah lama ia simpan."Aku datang untuk berbicara, Dea," katanya pelan, suaranya sedikit serak. "Ada hal yang harus aku katakan padamu."Wanita itu mengernyitkan dahi, sedikit bingung. "Ada apa? Apa yang kamu maksud?"Devano melangkah lebih dekat, meskipun hatinya terasa berat. Namun, ini adalah momen yang menentukan, dan meskipun ia tahu itu bisa membuat segalanya lebih rumit, ia tak bisa lagi menahan perasaannya."Dea, aku tahu selama ini kita hanya teman, mungkin lebih dari itu bagi sebagian orang," katanya dengan hati-hati. "Tapi aku ingin jujur padamu. Aku..." Pria itu menggantungkan ucapannya, tetapi tak berselang l
"Tentu," Dea menjawab, menatapnya dengan sorot ingin tahu. Devano menghela napas sebelum melanjutkan, suaranya sedikit lebih serius dibanding sebelumnya. "Kamu benar-benar tidak ingin kembali pada Aiden?" Langkah Dea kembali terhenti sejenak. Ada keheningan di antara mereka, hanya terdengar langkah-langkah para pengawal yang berjaga di sekitar. Mata Dea menatap Devano lurus, ekspresinya tenang, tetapi ada sesuatu dalam tatapannya yang sulit diterjemahkan."Aiden benar-benar hancur, Dea," lanjut Devano, suaranya lebih pelan kali ini. "Dia mencarimu ke mana-mana. Dia bahkan tidak lagi peduli pada pekerjaannya. Kau mungkin berpikir dia akan baik-baik saja tanpamu, tapi kenyataannya tidak begitu. Dia benar-benar hancur."Dea mengepalkan tangannya tanpa sadar. Dia tahu bahwa meninggalkan Aiden bukanlah hal mudah bagi keduanya, tapi mendengar kondisi Aiden dari mulut Devano tetap saja menimbulkan sesuatu yang menghimpit dadanya. "Aku pergi bukan karena aku ingin, Dev," kata Dea akhirnya,
Sekian bulan berlalu, namun keberadaan Dea masih menjadi misteri yang tak kunjung terpecahkan. Aiden sudah mengerahkan segala cara memanfaatkan koneksinya, menyewa detektif terbaik, bahkan mencoba melacak sendiri pergerakan orang-orang Wijaya, tetapi hasilnya nihil. Seolah-olah Dea benar-benar menghilang dari dunia ini.Pikiran Aiden dipenuhi oleh kegelisahan. Rasa frustrasi terus menghantui setiap langkahnya, membuatnya semakin tenggelam dalam keputusasaan. Ia bahkan melupakan tugas-tugasnya sebagai pemimpin perusahaan, membiarkan semuanya terbengkalai.Di rumah, Rita dan Kusuma hanya bisa memandang putra mereka dengan rasa bersalah yang semakin menumpuk. Mereka tahu bahwa ini semua adalah akibat dari keputusan yang mereka paksa Aiden untuk melepaskan kasus Andre dan menutup mata atas segala kerugian yang ditimbulkan kakaknya demi menjaga nama baik keluarga."Dia tidak bisa terus seperti ini, Pa," Rita berkata pelan saat melihat Aiden yang hanya duduk diam di ruang kerjanya, tatapann
"Ini di mana, Yah?" tanya Dea selepas ia sadarkan diri. Orang pertama yang ia lihat adalah Wijaya, kemudian Lusi. Keduanya hanya diam saat ia bertanya. Wanita itu pun dibuat kebingungan dengan situasi saat ini. Ketika keduanya memilih keluar, berganti Bad masuk dengan raut wajah yang sulit dijelaskan. "Kita berada di markas baru, Madam," ucap pria itu penuh hormat.Dea mengerutkan kening, matanya menyapu ruangan asing yang kini menjadi tempatnya terbaring. Aroma antiseptik masih tercium, tapi ini bukan rumah sakit. Ruangan ini lebih luas, tenang, dan tidak ada perawat yang berlalu-lalang. "Markas baru?" ulangnya dengan suara serak, mencoba mencerna kata-kata Bad. Pria itu mengangguk pelan. Sorot matanya penuh kehati-hatian, seolah sedang mengamati reaksi Dea. "Ya, Madam. Ketua membawa Anda ke sini untuk keselamatan Anda." Keselamatan? Dari apa? Dea mencoba duduk, tapi tubuhnya masih terasa lemah. Kepalanya berdenyut ringan, membuatnya memejamkan mata sejenak. Ia mengingat se
Hakim menghela napas berat sebelum menatap Sony dengan penuh ketegasan. "Setelah mempertimbangkan seluruh bukti dan kesaksian yang telah diberikan dalam persidangan, pengadilan menjatuhkan vonis kepada terdakwa Sony dengan hukuman 20 tahun penjara tanpa kemungkinan pembebasan bersyarat, serta denda sebesar 5 miliar rupiah."Suasana ruang sidang kembali gemuruh. Hukuman yang lebih berat dari Wendy menunjukkan betapa serius kejahatan yang telah dilakukan Sony.Sony hanya mendengus kecil, tidak menunjukkan penyesalan sedikit pun. Dia menatap ke arah Aiden dan menyeringai. "Kau mungkin menang kali ini, Aiden. Tapi dunia ini tidak akan membiarkanmu hidup tenang."Aiden tidak menanggapi. Ia hanya menatap Sony dalam-dalam, menyadari bahwa musuhnya tidak akan pernah benar-benar berubah.Setelah keputusan hakim, petugas segera memborgol Sony dan membawanya keluar dari ruang sidang. Aiden menarik napas panjang, merasa lega meskipun sebagian dari dirinya masih dihantui oleh luka yang ditinggalka
Ruang sidang dipenuhi dengan suara bisik-bisik dan tatapan tajam yang tertuju pada satu sosok di tengah ruangan, Wendy. Wanita itu duduk di kursi terdakwa dengan tangan yang terborgol, tetapi ekspresinya tetap penuh keangkuhan.Hakim mengetukkan palunya, menandakan persidangan dimulai."Saudari Wendy, Anda didakwa atas berbagai tuduhan, termasuk percobaan pembunuhan terhadap Nyonya Dea, persekongkolan untuk menghancurkan perusahaan Tuan Aiden, serta keterlibatan dalam berbagai tindakan ilegal lainnya. Apakah Anda mengakui dakwaan ini?" tanya Hakim dengan suara tegas.Wendy tersenyum miring. "Saya mengakui semuanya," jawabnya santai, membuat riuh kecil di dalam ruang sidang.Aiden, yang duduk di kursi saksi bersama pengacaranya, menatap Wendy dengan rahang mengatup rapat. Dea, yang masih dalam pemulihan, hadir dalam persidangan dengan wajah pucat tetapi sorot mata tajam.Jaksa kemudian berdiri dan mulai berbicara. "Bisa Anda jelaskan motif Anda melakukan semua ini? Apa alasan Anda ingi
Insiden penyekapan berjalan dengan cepat hingga semua pelaku dikumpulkan dalam persidangan Sayangnya ada satu orang yang disinyalir menreh luka mendalam untuk keluarga Aiden, yakni Andre. Pria itu mendapat panggilan dari pihak kepolisian, tetapi dia sudah terbang ke luar negeri.Rita dan Kusuma tidak bisa menghubungi anak sulung mereka. Wajah keduanya tampak pias ketika melihat Aiden. "Sampai sekarang Mama dan Papa tidak bisa menghubungi Andre," ujar Rita pada putranya. "Tidak bisakah kamu melepaskan, Andre? Bagaimanapun dia adalah Kakakmu." Wanita itu tampak tak berdaya merasakan dilema di dalam hatinya. Pada akhirnya, Kusuma yang sedari tadi membisu mulai angkat bicara. "Biar Papa yang menghukum Kakakmu, Nak. Sebagai gantinya, sebagian warisan yang akan kami turunkan pada Andre kini kualihkan ke kamu, Aiden." Aiden hanya diam mendengarkan ucapan orangtuanya. Tak berselang lama, ia memilih pergi tanpa memberikan jawaban. Helaan napas terdengar dari mulutnya. Entah bagaimana, ia me