Share

Bab 2

“Rum! Arumanis! Pancakemu gosong!”

Teriakan Boy sontak membuat Arum berdesis. Mengganggu konsentrasi mengintip saja, pikir Arum. Perempuan itu melesat menuju pan di mana pancake yang didadarnya beberapa menit yang lalu, kini telah berwarna cokelat seperti kulit eksotisnya. Dia sibuk mengomel dan menyalahkan Boy karena tidak mau mematikan kompor atau apalah—yang bisa membantunya barang sedikit.

“Jangan jadi pengintip, nanti matamu bintitan! Ya, kali ... kamu putri raja pakai mahkota, meskipun bintitan masih mengagumkan. Dasar, Arumanis Karamel!” Koki Benua Resto yang sekaligus sahabat Arum sejak SMA itu tertawa keras hingga memegangi perutnya.

Selalu, pria jail yang memanggil Arum dengan sebutan Arumanis Karamel itu menggodanya akhir-akhir ini. Tepatnya sejak Arum mulai dekat dengan Diaz. Siang ini pun, saat Arum sedang asyik membuat pengisi perut di sela kegiatan menghitung administrasi restoran, Boy menarik lengannya dalam satu cekalan hingga Arum berdiri di pintu pembatas kitchen dengan area meja pengunjung. Sengaja juga ditunjuknya satu meja dengan dua orang beda kelamin yang tengah mengobrol seru. Itu ... Diaz dan seorang perempuan.

Arum tidak tahu itu siapa, tetapi Diaz sudah bilang sebelumnya kalau dia akan mampir ke restorannya untuk makan siang dan membahas bisnis dengan temannya. Saat tahu teman Diaz adalah perempuan cantik, tinggi, berkulit putih, dan berpenampilan berkelas, seketika Arum lupa telah mendadar adonan pancake di pan. Tak berani menghampiri, malahan Arum menyoroti mereka dari jauh.

“Ini gara-gara kamu, Boy!” ketus Arum sembari mencubit-cubit pinggiran pancake yang sudah gosong. Karena diburu rasa lapar, dia terpaksa makan bagian yang “masih baik-baik saja” itu dengan menahan rasa kesal. Entah itu kesal kepada Boy atau kesal karena tak bisa lagi mengintip Diaz.

“Pacarmu asyik sekali membawa buku sampai ke resto pada jam makan siang. Temannya juga kelihatannya punya hobi yang sama. Kamu nggak mau gab—”

Arum melotot. Satu potong pancake hangat yang aromanya mengandung kegosongan itu dia daratkan tepat di mulut Boy yang bawel itu. “Boy, kalau kamu lapar, ngunyah, ya! Enggak usah nyerocos. Itu kompor kalah panas dibanding mulutmu! Noh, makan, makan!”

Sifat asli Arum tak bisa disembunyikan jika berhadapan dengan Boy. Beberapa menit kemudian dua sahabat itu sudah saling comot kue dan saling suap paksa. Tawa kecil mereka mengundang mata-mata cookhelper dan waitress yang wara-wiri di kitchen, walau sebenarnya pemandangan seperti demikian tak asing bagi mereka.

Boy memang baru bergabung sekitar setahun yang lalu. Sebelumnya, dia bekerja di salah satu perusahaan jasa travel. Tak sengaja bertemu Arum di restoran itu, tiba-tiba saja dia mengajukan diri menjadi salah satu pegawai dan meninggalkan kantornya.

Bukan rahasia lagi kalau Boy itu pandai memasak. Dulu sewaktu masih berseragam putih abu-abu, Arum sering ke rumah Boy, dan pria itu selalu mencoba eksprerimen di dapur mamanya, kemudian Arumlah yang menjadi juri memasak ala-ala.

“Rum, kamu yakin bisa cocok sama dia?” Boy berhenti bergurau. Menggantikan Arum, dia mengintip dari kaca jendela pembatas kitchen. “Dia itu pengusaha yang serius, loh. Sementara kamu, kan—”

“Apa? Aku kenapa?”

Boy menelan ludah, sadar hampir saja dia keceplosan. Kalau sampai dia bilang kalau Arum itu main perempuan yang tidak suka membaca buku, pekerja keras tetapi disokong keberuntungan, serta seorang labil yang mengandalkan imajinasi daripada mempraktikkan sebuah teori, pasti cakarannya akan tercetak jelas di lengan bertatoo Boy dengan segera. Terkadang, Boy heran dengan tingkah sahabatnya itu, bisa-bisanya Arum mengelak akan pendapatnya yang hakiki, sedangkan kenyataannya Arum memang ... begitu.

“Aku bukan perempuan gampangan, Boy! Aku pastikan jatuh cinta sekali dan hanya akan menikah dengan Diaz. Bukan seperti kamu yang bisa menerka segala kriteria wanita karena pengalaman. Pengalaman mainin hati perempuan!” Arum mengakhiri ceramahnya dengan juluran lidah.

“Serius, kamu mau nerima lamaran Diaz? Yakin, dia sudah kenal kamu sampai ke akar-akarnya?”

“Helo, kamu pikir aku pohon beringin!”

“Bukan! Kamu penunggu pohon beringin!”

🍁🍁🍁

“Sudah makan?”

Arum mengangguk.

“Sudah mengerjakan apa saja?” Diaz bertanya lagi.

“Hanya menghitung anggaran resto sebulan kemarin.”

“Ada kesulitan?”

Kini mereka berdua saling menekan siku di meja, lalu bertopang dagu dan berpandangan. Setelah makan siang di restoran tadi, Diaz tak sempat menyapa Arum di ruangannya karena buru-buru kembali ke kantor. Sebagai gantinya, malam ini dia mengajak makan malam di luar.

Namun, entah kenapa perasaan Arum agak tak nyaman. Dia menolak memesan makanan. Gambaran perempuan yang makan siang bersama Diaz tadi berkelebat di kepalanya. Arum tak mau mengaku cemburu, hanya saja dia merasa wajar jika terganggu dengan keseriusan dan kenyamanan Diaz bersama perempuan itu. Selama empat bulan dekat denganya, Diaz belum pernah setergelak tadi siang.

“Rum, kamu melamun lagi.”

Arum tersentak. “Ouh, eh ....”

“Yang tadi siang itu namanya Mea. Teman semasa kuliah. Kebetulan perusahaan kami marger, jadi serasa reuni sama dia. Kamu nggak keberatan, ‘kan?”

Arum tercenung. Kemudian dia memejam dan bersenandung, kebiasaan saat dia bingung—harus menjawab apa untuk sebuah pertanyaan yang tak ingin dijawabnya.

“Arum cemburu.”

Selengkung senyum Diaz menyambut saat Arum membuka kembali matanya. Mau bilang “iya, aku cemburu”, tetapi yang keluar dari bibirnya adalah penyangkalan. “Kenapa aku harus cemburu?”

“Matamu yang mengatakan itu.”

“Mata tak bisa bicara, Iaz.” Arum mengalihkan pandangan. Tanpa sadar, dia telah membuktikan bahwa ucapan Diaz adalah benar. “Tidak, aku ....”

Ucapan Arum terhenti. Dia sibuk meredam perasaan manakala Diaz telah duduk di sampingnya, memberi rangkulan dan acakan di rambut Arum seperti biasanya. “Aku hanya milikmu, Rum. Jangan pernah cemburu kepada apa pun di dunia ini. Biar mereka saja yang cemburu padamu.”

Aih, ini rayuan macam apa? Darah Arum berdesir dan lagi-lagi berdesir setiap kali Diaz memujanya. Arum merasa serupa hujan yang dinantikan bumi gersang setelah satu dasawarsa kemarau melanda. Ibarat dewi angin yang datang dan berdesau ketika terik matahari menyengat ubun-ubun. Kenapa tidak serupa es buah saja? Tidak, karena Arum tidak sedingin itu.

“Ya, kamu hanya milikku, Iaz. Karena itu, jangan terlalu dekat dengannya. Beri jarak agar dia dia tak memandangmu seperti tadi. Ya, ya, aku cemburu!” celetuk Arum, membuat Diaz tertawa kecil.

“Ya.”

Hanya itu tanggapan Diaz? Wah, keterlaluan! Tak tahukah pria itu kalau Arum tidak suka dengan jawaban yang simpel? Semua hal harus terlihat dan terdengar meyakinkan. Itu dia pelajari buka dari buku mana pun, melainkan dari prinsipnya sendiri.

Akan tetapi, belum sampai mulut Arum terbuka untuk mengeluarkan kicauan panjang dan nyaring, Diaz sudah membungkamnya dengan kecupan manis di keningnya.

“Besok, aku akan mengenalkanmu pada orangtuaku. Bersikaplah yang manis.”

Jantung Arum terpompa sangat cepat. Tak hanya kecupan yang meninggalkan sensasi hangat dan lembut, kabar yang dia dengar pun dengan hebatnya membuat keringat di kening timbul satu demi satu, hingga sesaat dia merasa pendingin ruangan restoran itu mati sebelum jam tutupnya.

Sementara itu, Diaz menarik piring makannya, menikmati dengan tenang sirloin steaknya tanpa peduli bagaimana tak keruannya perasaan Arum.

“Iaz,” panggil Arum.

Diaz hanya berdeham. Acara makannya tak teralihkan.

“Iaz.” Panggilan kedua.

“Ya, Sayang.”

“Orangtuamu tidak menyeramkan, ‘kan?”

Diaz tersedak. Matanya melotot, menahan sensasi panas yang menjalar di tenggorokan karena makanan yang belum terlumat itu tertelan paksa. Buru-buru dia mengambil air minum yang disodorkan Arum.

“Maksudku, orangtuamu tidak seperti mama papa dalam sinetron, ‘kan? Atau mungkin seperti penunggu pohon beringin ....” Arum dengan polosnya mengungkapkan itu. Mimiknya tampak cemas ditambah gugup, takut kalau Diaz akan tersedak lagi mendengar penuturannya.

Namun, kenyataannya ... Diaz tersedak lagi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status