Kamar almarhum Bu Asiyah adalah kamar Arum. Bukan karena dia kehabisan kamar di rumah yang sekarang beralih fungsi menjadi panti asuhan, melainkan karena sejak awal dia tidak mau tidur di kamarnya sendiri. Saat pertama kali menginjakkan kaki di rumah yang dulu masih dua tingkat itu, Arum mengetuk pintu kamar Bu Asiyah, meminta beliau agar membolehkannya tidur bersamanya. Ada ketakutan saat dia harus berada di kamar sendiri. Arum takut kembali menangis, takut sendirian.
Dibukanya lemari baju di sudut dekat jendela. Aroma Bu Asiyah seketika menyeruak hidungnya. Meski telah bertahun-tahun lamanya ditinggal pergi, kenangan bersama ibu angkatnya tak lekang dari pikiran. Semangat, kasih sayang, juga pelukan ... terlalu membekas di sanubari Arum. Terkadang, ingatan yang manis justru membuatnya lemah untuk beberapa saat.
“Arum kangen Ibu ....” Air mata Arum membasahi sepotong baju Bu Asiyah yang diambilnya.
Besok, Diaz akan mengenalkannya kepada orangtuanya. Entah kenapa tiba-tiba ada cemas yang berkelindan di benaknya. Arum takut ditolak, tak mendapat restu. Membayangkan bagaimana wajah mama dan papa Diaz saja tak berani dia lakukan, apalagi berharap yang muluk-muluk.
Dalam hati dia berharap, seandainya semua orang tua selembut Bu Asiyah, pasti dia tak akan gentar bertemu calon mertua. Arum sadar diri, dia bukan perempuan sempurna. Terlebih, orangtua Diaz pasti menginginkan yang terbaik untuk anak tunggalnya.
“Mbak, Mbak Arum!”
Arum tersentak. Mbak Windri, salah satu pengasuh di panti yang paling lama bekerja di sana, mengetuk pintu kamar Arum. Cepat, dia membukakan pintu.
“Humaira demam, Mbak. Agak rewel, nyari Mbak Arum.”
“Sejak kapan sakitnya?” Arum berlari ke lantai ke lantai dua. Mbak Windri mengikutinya.
“Baru tadi sore. Sudah saya kasih obat, tapi agak rewel anaknya. Untung Mbak Arum ulang.”
Sampai di kamar gadis itu, Arum segera memeluk salah satu anak asuhnya. Benar, Humaira demam. Tidak seberapa tinggi suhunya, hanya saja ketika sakit, anak itu memang agak rewel.
“Kakak ....” Lirih, Humaira merintih di pelukan Arum.
Gadis itu Arum temukan sejak bayi lima tahun yang lalu. Berbeda dengan anak-anak panti lainnya yang datang ke panti pada kisaran usia enam hingga sembilan tahun. Oleh karena itu, Humaira yang paling dekat dan manja kepada Arum.
“Iya, Sayang. Ini, Kakak pulang. Maira mau apa?”
“Peluk,” lirihnya.
“Iya, ini dipeluk.” Arum mengeratkan pelukan.
Mbak Windri keluar kamar setelah dirasa Humaira tidak rewel lagi. Lagi pula Arum paham, pengasuhnya pasti lelah menjaga anak-anak panti dan segala tetek bengeknya sepanjang hari. Mbak Windri sebagai kepala pengasuh sekaligus pengurus panti telah banyak membantunya selama ini.
Humaira mengatupkan kelopak mata, lalu membukanya lebih lebar, walau masih tampak sayu. Dia berkata pelan, “Kakak, bacakan cerita.”
Meski sudah menduga apa kemauan Humaira, Arum tetap merasa seolah-olah tersengat aliran listrik. Kalau sudah begitu, keringat dingin di pelipisnya bermunculan. Dia terbata mengatakan ehm-ehm-ehm beberapa kali sampai Humaira sendiri yang menggertaknya dengan rajukan.
“Kakak, bacakan cerita. Maira gak bisa bobok,” rengek Humaira lagi.
“Besok aja, ya, Sayang. Eh, Maira sudah makan? Mau Kakak suapin?” Arum mengalihkan keinginan anak kesayangannya.
“Maira ngantuk, mau dongeng, mau bobok ....” Pekikan Humaira mulai terdengar. Sebentar lagi, dia bisa saja berteriak, menangis, bahkan memberontak di dekapan Arum.
“Aduh, iya ... iya. Kakak bacakan. Tapi Maira sambil tidur, ya. Harus merem.”
Arum mengambil napas panjang, mengeluarkannya tanpa mingkem, hingga pipinya menggelembung. Lucu. Dalam hati dia selalu berdoa agar anak-anak asuhnya selalu sehat, terutama Humaira. Beginilah, ada saja kemauan anak kecil yang harus diturutinya saat sakit. Arum bisa mengabulkan segala keinginan mereka—yang positif, tentunya—tetapi tidak dengan keinginan Humaira yang satu itu. Permintaanya selalu sukses membuat Arum berdebar-debar.
“Kakak, dongeng Putri Salju, ya.” Humaira kembali mengoceh.
Tangan Arum gemetar menyentuh deretan buku di meja belajar Humaira. Dia menjawab “ya” sekilas, dengan mata masih berkeliaran di antara abjad judul buku cerita. Di mana buku Putri Salju itu berada? Apa warna sampulnya? Hatinya membatin.
Dia tidak pernah merasa membelikan anak-anaknya buku bacaan. Ada donasi tetap yang sering mengirimkan buku-buku bacaan untuk panti asuhan. Arum terbilang jari pernah menyentuh buku-buku hadiah itu. Seperti saat ini, hanya terpaksa ketika Humaira rewel.
“P–U–T–R–I .... Ini bukan, ya?” Arum mengambil buku bersampul putih.
“Kakak, cepetaaan!”
“I–iya, Sayang. Ini bukunya, Kakak bacakan, ya. Ayo, Maira merem dulu.”
Arum kembali ke tempat tidur Humaira. Masih dengan dada berdebar-debar, dia membuka sampul dan melewatkan beberapa halaman pertama, masuk ke bagian satu buku cerita itu.
“Pu–Pu–tri S–Sal–ju ....”
“Yang cepat, Kak. Maira ngantuk ....”
“Iya, iya!”
🍁🍁🍁
“Entahlah, Boy. Kenapa aku jadi gini lagi?”
Arum duduk bersandar di kursi kerjanya, menekan pelipis dengan gerakan memutar.
“Selama ini ngerjain laporan resto gimana? Emangnya kamu nggak baca, nggak ngetik?”
“Astaga, Boy! Si Mila yang mengerjakan. Aku cuma ngecek angkanya.”
Boy berdecak, sebal. Bertahun-tahun tidak bertemu Arum, dia pikir perempuan yang kini jadi bosnya itu sudah ada kemajuan. Nyatanya malah mengalami kemunduran. Padahal, dulu dia bersusah payah menyemangati Arum agar mau berjuang lebih baik.
“Aw, sakit, Boy!” teriak Arum saat kepalanya digetok pulpen dengan keras oleh Boy.
“Nanti malam ikut ke rumah!” perintah Boy.
Arum mendelik. “Ngapain?”
“Ketemu Mama.” Boy bersungut-sungut. “Siapa tahu Mama bisa getok kepala kamu agak keras!”
“Malulah, Boy! Udah lama juga ....”
Sekali lagi Boy menggetok kepala Arum dengan pulpen. “Justru kamu gini karena lama nggak ketemu Mama.”
“Malu, Boy. Aku udah dewasa gini. Ish!”
“Nggak pake tapi!” Boy tidak mau mendengarkan alasan lagi. Dia berlalu meninggalkan ruang kerja Arum sambil melambaikan tangan, kembali ke kitchen.
“Boy, aku ada janji ke rumah Diaz!” teriak Arum.
“Bodoh amat!” Boy terus menggandeng tangan gadis itu.
Namun, Arum tak bergeming dari tempatnya. Dia diam dan menggeleng.
“Kamu mau jatuh dan dipermalukan lagi seperti dulu, hah?”
“Tentu saja nggak mau! Tapi nggak sekarang, Boy. Aku ada perlu. dan ... aku butuh waktu. Please”
Arum berlari menjauh. Merasa sangat kesal karena Boy mempermainkan perasaannya selama ini. Apa yang ada di pikiran Arum bahkan sudah sangat melebar ke mana-mana. Bagaimana mungkin Boy sengaja membuatnya berpikir yang tidak-tidak? Menyebalkan!“Rum, dengar dulu!” Akhirnya Boy berhasil meraih tangan perempuan itu.Arum tidak mau menatap Boy. Air matanya sudah terbendung, mungkin sebentar lagi akan meluap ke mana-mana.“Bukan itu rahasia terbesarnya!”“Bahkan kamu mau bilang ada rahasia yang lebih besar?” Arum terisak pelan.“Aku ... oh, aku ....”Arum kembali berjalan meninggalkan Boy. Dia tak lagi siap dengan rahasia lainnya tentang pria itu. Dia sudah cukup merasa bersedih karena pernah menahan perasaannya sendiri hanya karena berpikiran yang tidak-tidak tentang Neeta—yang ternyata sepupu Boy. Ini tidak adil baginya, jika ada satu perempuan lagi yang akan dikenalkan sebagai calon istri Bo
“Mau jalan-jalan denganku hari ini?”“Bukankah kita sudah jalan-jalan sepanjang trotoar ini?” sergah Arum.Boy berdesis. “Maksudku, kita jalan ke suatu tempat untuk memulihkan perasaanmu, Arumanis Karamel!”Seterbit senyum menghias wajah Arum. Sejak pertemuan dengan Diaz di kafe tadi, rasa-rasnaya baru detik itu dia bisa tersenyum. Baiklah. Habis sudah acara bersedih hati. Semakin berdamai dengan hati sendiri, maka akan semakin mudah untuk melupakan segala luka.“Berapa lama kamu tidak memanggilku seperti itu?” tanya Arum.Boy tampak berpikir keras. Tak disangka, dia benar-benar menghitung angka di kalender sejak pancake Arum gosong saat itu.“Sebulan, delapan hari, lebih sejam.”“Wah, hebat! Sepenting itu kamu mengingat kapan terakhir kali memanggilku Arumanis!” Arum tergelak sembari bertepuk tangan.“Jadi, mau ikut jalan-jalan, nggak?”
Diaz percaya satu hal, bahwa sebuah pengorbanan dalam urusan cinta itu datang dari hati. Seperti sebuah perjuangan yang tidak bisa dilakukan sendiri, maka pengorbanan itu pun tidak bisa dilakukannya sendiri. Hatinya dan hati Arum akan berusaha keras untuk itu.Dia berdiri di balkon kamar dan memandang sendu ke halaman rumahnya. Di gazebo itu mama dan papanya bercanda dengan mesra. Entah itu perasaan Diaz saja atau bagaimana, semenjak Bu Andini dirawat di rumah sakit, Pak Jaya sedikit banyak berubah. Pria yang dulu tidak terlalu peduli urusan keluarga dan membiarkan istrinya mengatur anak-anak sesuai kedisiplinannya, kini tampak perhatian. Mereka berdua bahkan saling mencium pipi di antara gelak tawa.Setelah Arum melepaskannya malam itu, Diaz yang bergejolak ingin segera memaki Bu Andini di ruang rawatnya. Dia ingin meminta keadilan dan pengertian, bahwa cintanya layak untuk diperjuangkan. Namun begitu dia membuka pintu ruangan itu, Mea menghalaunya.“Jang
“Dalam dua hari ini aku belajar memaafkan banyak hal. Bu Andini, Mbah Uti, terlebih diriku sendiri. Bagaimana denganmu, Boy?”Boy menikmati deru kereta api yang membawanya kembali ke Jakarta. Namun, pikirannya masih tertinggal di surat Mbah Uti yang belum selesai terbacakan untuk Arum. Arum memang membawa surat itu dalam tasnya, tetapi sepertinya dia mulai lupa telah berjanji untuk mengejanya sendiri.“Boy! Kamu nggak dengar aku bicara apa? Astaga, sejak kapan seorang Boy melamun? Oh, ya, ampun, Boy!”“Apa?”“Apa aku sudah keterlaluan mengambil jatah malam minggumu dengan pacarmu?”Dasar tidak peka, batin Boy.“Hanya anak muda yang pergi malam mingguan. Kekanakan!” ejek Boy.“Baiklah, Boy. Kurasa ini waktu yang tepat untuk mengungkap rahasia. Katakan, apa sampai sekarang kamu masih berpacaran dengannya? Apa Mama tahu dia calon istrimu?”Boy tertawa kecil, d
Surat itu berisi beberapa lembar kertas dengan tulisan penuh di setiap lembar usangnya. Pena yang digunakan juga memendarkan warna hitam kekuningan. Khas orang tua zaman dahulu, tulisan tegak bersambung dengan ejaan lama.Baru membuka amplop bertuliskan “Untuk Arum” saja, matanya sudah berkunang-kunang. Huruf-huruf itu bertumpuk satu sama lain, kemudian memunculkan siluet-siluet aneh yang membuat kepalanya pusing. Keringat dinginnya bercucuran di tengkuk dan pelipis. Dia lupa kalau kemampuan membacanya menurun setelah meninggalnya Bu Asiyah.“Aku akan membacakannya untukmu. Tapi hanya satu-dua lembar. Sisanya, kamu harus membacanya sendiri.”Arum tampak lega saat Boy tidak jadi pergi dan memegangi badannya yang hampir roboh. Napas Arum yang tersengal berangsur normal. Dia sungguh berterima kasih karena Boy tidak meninggalkannya dalam keadaan seperti itu sendirian.“Untuk Arum. Cucu Mbah Uti yang tersayang.” Boy mulai me
Setelah beralih kereta dari Semarang ke Jakarta, Arum mencari angkudes tujuan Pasar Kalinyamatan. Bertahun-tahun meninggalkan tanah kelahirannya, banyak yang telah berubah. Kemajuan terlihat di sana-sini. Pembangunan terlihat pesat. Dia agak dibuat bingung fengan jalanan yang tidak sama lagi seperti ketika dia pergi meninggalkan kota itu.“Setelah ini, aku membayangkan kita akan naik delman! Aku belum pernah mencobanya! Kurasa menjadi tour guidelokal jauh lebih menarik daripada di luar!” kata Boy memecah kesunyian.“Ya, kita akan naik delman. Biar kamu bisa belajar dari seekor kuda, bagaimana cara menutup mata dari hal-hal tidak penting.”“Aku terbiasa mengurusi masalah yang penting saja.”“Oh, ya? Berarti aku termasuk salah satu yang penting itu, Boy?”“Apa?”“Tidak apa. Lupakan. Sudah waktunya kita turun.” Arum tampak menyembunyikan rasa malunya.Arum dan