Share

4

Dengan perasaan campur aduk di hatinya Wisnuaji memanggil Juna untuk berbicara berdua di halaman belakang rumah Juna yang luas dan di penuhi pepohonan rindang.

"Ada apa Pa, kayanya serius banget mukanya?" kata Juna sambil mulai duduk di kursi yang ada di halaman belakang rumahnya.

"Iya, Papa mau membicarakan hal yang serius sebentar sama kamu."

"Perihal apa?"

"Mama kamu."

Wisnuaji melihat ekspresi Juna yang tiba tiba berubah tegang dan wajahnya memerah.

"Ada apa dengan dia?"

"Dia ingin bertemu dengan kamu."

Juna diam memandang Wisnuaji didepannya. Beberapa saat kemudian ia akhirnya bersuara.

"Sampaikan padanya sampai bertemu di akhirat ya Pa. Juna masuk dulu."

Wisnuaji hanya bisa menghela nafasnya. Ia tidak bisa memaksakan Juna karena Juna telah dewasa dan bisa mengambil sikap serta keputusan apapun sendiri tanpa intervensi darinya. Ia cukup memahami sikap Juna yang menolak untuk bertemu dengan Pinar Defne karena rasa sakit di hatinya. Bagaimana bisa seorang ibu lebih mementingkan dirinya sendiri daripada anak kandungnya yang saat itu masih bayi. Setelah 30 tahun lamanya, kini Pinar Defne mencari anaknya. Anak mana yang tidak sakit hati di perlakukan seperti itu.

Dengan perasaan berat hati, Wisnuaji berdiri dari kursi yang ia duduki kemudian memasuki rumah dan berpamitan kepada Nada yang kini tengah sibuk memasak makan malam mereka.

"Nad, papa pamit pulang ya."

"Kok buru buru Pa? Katanya Papa pingin di masakin gurame asam manis, ini lagi Nada masakin."

Wisnuaji hanya tersenyum dan berjalan mendekati Nada.

"Besok saja kamu gosend ke rumah papa dari kantor kamu. Sekarang kamu punya tugas lebih penting."

"Kalo soal bikin cucu enggak usah di tagih, sudah usaha terus Pa."

Wisnuaji terkekeh-kekeh sambil menggelengkan kepalanya.

"Bukan Nad, bukan itu."

"Terus?"

"Ngebujuk Juna supaya mau bertemu dengan Mamanya."

Satu detik....

Dua detik....

Tiga detik....

Nada diam tidak bereaksi apapun hingga kemudian...

"What?" Kata Nada sedikit berteriak karena kaget dengan apa yang di minta Papa mertuanya.

"Yes, ngebujuk Juna supaya mau bertemu Mamanya walau hanya sekali saja. Karena mamanya sedang sakit."

"Wait....wait....wait...Mamanya Juna sakit apa Pa?"

"Leukimia stadium akhir"

Nada hanya diam di tempatnya berdiri ia terpaku oleh kata kata Wisnuaji barusan.

"Terus gimana cara ngebujuknya Pa?"  Tanya Nada dengan suara pasrahnya

"Kamu pasti tau celah celahnya Juna."

"Pa, ini sama saja Papa minta aku bunuh diri. Papa tau sendiri gimana perasaan Juna ke emaknya," kini tangan Nada telah memegang keningnya. Tanda ia sedang berfikir keras.

"Papa sendiri mau ketemu sama emaknya Juna lagi?"

"No"

"Lha terus kenapa nyuruh aku buat ngebujuk Juna?"

Kini Wisnuaji mulai meninggalkan Nada dan berjalan menuju pintu keluar rumah Juna

"Pa....pa.... Papaaaa....." Teriak Nada dari dapur memanggil ayah mertuanya.

"Papa pulang, assalamualaikum," sahut Wisnuaji sambil berteriak ketika ia telah hampir sampai di pintu keluar rumah anaknya.

"Waalaikum Salam," jawab Nada setelahnya ia hanya mampu menghela nafasnya.

***

Dengan keyakinan bahwa Juna begitu mencintai istrinya hingga tidak mungkin menolak permintaan istrinya, Samira pagi ini menuju ke kantor Nada. Dengan dandanan santai namun sopannya Samira menuju ke arah Jogja dari hotel miliknya yang ada di dekat candi Borobudur.

Setelah sampai di kantor Nada, Samira menunggu Nada di loby ruang tunggu kantor karena Nada sedang ada meeting pagi ini. Sambil menunggu Nada, ia mengecek pekerjaannya. Dimana pun Samira berada, ia tetap akan memantau bisnisnya. Terkadang terlintas di pikirannya untuk pensiun dan menikmati hasil kerja kerasnya selama ini. Ia iri melihat Wisnuaji kemarin yang bisa menikmati masa tuanya dengan mendaki gunung serta menjelajahi tempat tempat yang ia inginkan. Namun dirinya memang tak seberuntung Wisnuaji. Walau sama sama menyandang status janda dan duda, tapi Wisnuaji memiliki anak bahkan menantu yang bisa memberikan dirinya kehangatan sebuah keluarga, sedangkan Samira, ia hanya seorang janda yang hidup dengan kondisi satu indung telur dan memiliki kista ovarium di sana. Anak?, Samira bahkan sudah dicap mandul oleh mantan suami dan keluarganya, sehingga mereka tidak mau repot repot berurusan dengannya. Bahkan setelah ia bercerai dengan Satrio Hadi keluarganya menganggapnya telah mencemarkan nama baik mereka. Di keluarganya tabu ada seorang wanita yang tidak bisa memberikan keturunan apalagi sampai di ceraikan suaminya. Samira tidak pernah berencana untuk bercerai, bahkan ia rela di madu saat itu, namun ketika istri muda Satrio Hadi memintanya untuk menceraikan Samira karena ia tidak mau anaknya yang akan lahir ke dunia tau bila ibunya adalah istri muda, maka Samira hanya bisa menerima takdir hidupnya. Jika Satrio Hadi akhirnya menceraikannya di usia pernikahan mereka yang ke 5 tahun.

Kini ketika ia melihat sosial media Satrio Hadi, ia hanya bisa ikut tersenyum bahagia, karena Satrio Hadi telah memiliki 4 anak sejak bercerai dengannya. Ia sama sekali tidak menaruh dendam pada wanita itu.

"Selamat siang."

Samira tersentak mendengar suara wanita yang ia kenali sebagai suara Nada.  Kemudian ia bangkit berdiri dari sofa warna merah yang ia duduki dan membalikkan badannya. Ia melihat Nada syok melihat dirinya ada di hadapannya.

"Selamat siang Nada."

"Mbak Samira?"

Samira hanya tersenyum di hadapan Nada.

"Jangan panggil saya Mbak, panggil saya Tante Samira. Saya lebih pantas jadi Tante kamu"

Samira benar benar menahan tawanya ketika melihat ekspresi wajah Nada yang seperti baru saja menelan kodok dalam keadaan hidup karena mendengar ucapannya.

"Saya sudah 43 tahun sebentar lagi."

"HAH ??!!" Kini Nada telah berteriak dan bola matanya hampir jatuh ke tanah saking shocknya ia mendengar usia Samira.

Samira harus mengelus dadanya karena kaget dengan teriakan Nada.

"Ini serius?"

"Kamu bisa pinjam KTP asli saya yang saya tinggalkan di resepsionis kantor kamu kalo kamu tidak percaya kata-kata saya"

Tanpa memberi jawaban Nada langsung ngacir ke arah resepsionis kantornya dan meminta KTP asli milik Samira. Benar saja usia Samira sebentar lagi 43 tahun. Berarti Samira adalah spesimen yang sama dengan Papa mertuanya. Spesimen Vampir karena mereka tidak menua seiring usianya. Bahkan beberapa rekan kerja Nada di kantor yang tau Papa Juna terang terangan meminta Nada untuk mencomblangkannya dengan Papa mertuanya.

Setelah merasa yakin dengan informasi di KTP Samira, Nada berjalan ke arah Samira lagi.

"Maaf Mbak, eh maksud saya Tante Samira, silahkan duduk."

"Terima kasih," kata Samira sambil mulai duduk kembali di sofa merah tersebut

"Tante Samira sampai ke sini ada urusan apa Tan?"

"Tentang yang kemarin."

Kini Nada hanya bisa mendengus mendengar kata kata Samira.

"Tan, kita bicara di ruanganku saja ya."

"Okay," kata Samira sambi mengikuti Nada berdiri dan berjalan menuju arah lift.

Mereka berdua jalan beriringan, namun siapa yang akan menyangka bila usia mereka selisih hampir 13 tahun. Dan untuk pertama kalinya Nada merasa dirinya menua lebih cepat daripada usianya hanya karena berjalan bersebelahan dengan Samira.

Ketika sampai di depan ruangannya Nada membuka pintu ruangannya

Ceklek....

"Silahkan masuk Tante."

Samira mengedarkan pandangannya di ruang kerja Nada yang tidak terlalu luas namun mewah ini.

"Ruang kerja kamu nyaman ya Nad."

"Terima kasih Tan, silahkan duduk."

"Makasih", kata Samira bersamaan dengan ia duduk di sofa yang ada di ruangan Nada dan Nada duduk di hadapannya.

"Ada apa Tan?"

"Tante langsung saja ya Nad," kata Samira yang mendapatkan anggukan dari Nada.

"Tante minta kamu untuk bujuk Juna agar mau untuk menemui mamanya karena mamanya sakit parah."

"Iya Tan, kemarin Papa sudah minta tolong sama Nada tapi Juna benar benar enggak mau Tan."

"Please Nad, Tante akan lakuin apa aja asal kamu mau bantuin Tante. Karena ini permintaan terakhir Pinar Defne ke tante"

"Serius Tan, aku minta apa saja di kasih ?"

"Iya"

"Okay, aku akan lakuin permintaan Tante, tapi Tante bisa tolong antarkan gurameh asam manis ini ke rumah Papa Wisnu terus besok Tante jadi pasangannya papa Wisnu buat hadir di acara ulang tahun pernikahan Papa Mamaku gimana?"

Samira hanya bisa melongo dibuatnya. Menjadi pasangan Wisnuaji ibarat suatu khayalan yang menjadi nyata.

"Tan, Tante setuju enggak?"

"Kenapa kamu minta Tante jadi pasangan papa mertua kamu?"

Samira melihat Nada mendengus

"Ada beberapa alasan sih, pertama karena Tante janda dan Papa duda, kedua aku capek orang orang minta dicomblangin sama papa mertuaku sendiri, ketiga aku males banget orang orang ngelihat Papa mertuaku itu kaya Papa oase di tengah padang pasir."

Kini Samira tertawa mendengar kata kata Nada. Pantas Wisnuaji terlihat sangat nyaman di dekat menantunya, ternyata menantunya tipe perempuan yang ceplas ceplos.

"Papa mertua kamu nggak akan setuju."

"Siapa bilang?"

"Tante kan barusan," jawab Samira cepat

"Orang papa yang minta di cariin gandengan sama aku dari beberapa Minggu yang lalu."

"Gimana, deal or no deal?"

Samira tampak berfikir keras kali ini dan akhirnya ia menganggukkan kepalanya kepada Nada.

"Yes!" kata Nada sambil bangkit dari posisi duduknya dan mencari Tupperware tempat ia menaruh gurame asam manis untuk papa mertuanya.

Setelah menemukannya ia segera memberikan kepada Samira.

"Ini Tan, bilang sama papa, Nada buatnya pakai cinta, jadi harus di habisin enggak boleh sampai di buang buang ya."

"Hmm... Kamu segitunya sama Papa mertua Nad."

Kini Nada memandang Samira dengan senyum manisnya.

"Tan, ketika Nada menikahi Juna, Nada sudah siap menerima semua yang ada di hidup Juna termasuk Papa, eyang putri dan Alda. Bagi Nada enggak ada istilah mertua yang ada adalah orang tua tanpa embel embel lain."

Alda, siapa Alda ..??

"Tan?"

"ii..iya Nad."

"Buruan, ini alamat rumah Papa."

Nada mengulurkan kartu nama Wisnuaji.

"Enggak usah, supir Tante tau alamatnya."

"Okay Tan, semangat ya, Semoga segera melepas status janda," kata Nada sambil tertawa terbahak bahak.

Samira hanya berlalu keluar dari ruangan Nada tanpa mengomentari perkataan Nada yang seperti ejekan baginya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status