Share

3

Satu jam kemudian Wisnuaji telah sampai di rumah anaknya. Dan ia memarkirkan mobilnya di halaman rumah Juna yang luas kemudian ia berjalan menaiki tangga untuk masuk ke dalam rumah. Dalam hatinya ia bertanya tanya siapa wanita yang mencarinya hingga nekad sampai di rumah anaknya.

"Assalamualaikum," Teriak Juna dari tangga depan sebelum memasuki rumah yang membuat Nada cepat cepat keluar rumah.

"Waalaikum Salam," Kata Nada sambil berjalan ke arah suami dan Papa mertuanya. Kemudian ia menjabat tangan suami dan papa mertuanya.

"Tumben kamu jadi istri manis banget."

Nada hanya nyengir dan menginjak kaki Juna yang di balut dengan sepatu gunung itu. Sejujurnya ia malu ketika Papa mertuanya tau jika hubungannya dan sang suami seperti Tom and Jerry.

"Sudah Nad, Papa tau kalian seperti apa hubungannya."

"Ya malu, Pa, enggak ada romantis romantisnya gini sama Janaidi."

"Buat apa romantis kalo kalian tidak bisa jadi diri sendiri. Oh ya, yang nyari papa masih di sini?"

"Masih, Pa."

Kemudian Wisnuaji masuk ke rumah Juna mendahului anak dan menantunya. Pertama kali ia melihat Samira ia hanya bertanya tanya, apakah ia mengenalnya, karena Wisnuaji yakin ia tidak mengenal wanita yang sedang duduk di sofa ruang tamu anaknya.

Dari penglihatan dan pengamatannya yang tampak di depannya adalah seorang wanita muda yang mungkin lebih pantas jadi anaknya karena usianya mungkin 11-12 dengan Juna dan Nada. Perempuan ini menggunakan dress berwarna kuning dengan motif bunga dan dan daun, rambut panjangnya ia gerai dan wajahnya yang sangat terawat mampu membuat Wisnuaji yakin, bahwa dari ujung kepala hingga ujung kaki tubuh perempuan yang mencarinya ini adalah hasil perawatan mahal selama bertahun-tahun.

Sedangkan Samira yang pertama kali melihat Wisnuaji di hidupnya secara nyata bukan hanya dari cerita Pinar Defne, atau foto yang ia dapatkan kemarin dari detektif yang ia sewa tidak mampu berkata kata. Karena Wisnuaji yang ada di depannya bahkan lebih muda daripada di foto yang ia lihat, dengan perawakan tinggi, badan hasil kerja keras di gym selama bertahun-tahun. 

Penampilannya yang muda bahkan tidak pantas di sematkan kepada seorang laki laki berusia 56 tahun.

"Ehemmm," Suara orang berdeham mengembalikan Samira dan Wisnuaji ke realita yang ada kini bahwa mereka belum saling bertegur sapa.

"Selamat siang," sapa Samira sambil berdiri.

"Siang, silahkan duduk," kata Wisnuaji kepada Samira.

"Buset deh Nad, berasa sudah kaya rumah sendiri aja si Papa," bisik Juna ke Nada namun masih bisa di dengar Papanya yang hanya mampu geleng-geleng menghadapi putranya.

"Terimakasih."

"Pa, Juna sama Nada ke dalam dulu ya."

"Ya."

Ketika Juna dan Nada melewati ruang tamu, Samira hanya memperhatikan pasangan jangkung ini yang tingginya di atas tinggi rata rata orang Indonesia. Tapi lebih dari apapun, Juna seperti tidak memiliki darah Wisnuaji sama sekali selain dari perawakannya yang tinggi dan gagah.

"Maaf, anda siapa?"

"Saya Samira Huri, teman dari mantan istri anda."

Seketika tubuh Wisnuaji menegang di tempat ia duduk.

"Maaf, kalo kedatangan saya mendadak, saya hanya ingin menyampaikan pesan beliau untuk anda. Bahwa dia ingin bertemu dengan anda dan anaknya."

Wisnuaji tidak sanggup berkata-kata kali ini. Baginya Pinar Defne telah mati di hidupnya sejak ia membawa pulang Juna ke Indonesia ketika berusia 6 bulan. Dan ia sama sekali tidak berminat untuk mengetahui tentang seluk beluk kehidupan mantan istrinya apalagi bertemu dengannya lagi. Cukup rasa sakit yang di torehkan Pinar Defne kepadanya dulu.

Ketika ia berusaha untuk membuktikan kepada orang tuanya jika ia tidak salah memilih istri, namun kenyataan yang ada justru menamparnya di depan mata. Ketika ia sibuk memulai bisnisnya di Jerman, Pinar Defne masih bisa berselingkuh darinya. Rasa sakit karena pengkhianatan itu yang membuat Wisnuaji enggan membuka hatinya lagi untuk lawan jenis, dan lebih memilih untuk menikmati kehidupannya walau hanya berdua bersama anaknya.

"Maaf, tapi saya tidak berminat bertemu dengan dia. Ada lagi yang ingin anda sampaikan?"

"Saya mohon anda melihatnya walau hanya sekali di hidup anda sebelum dia meninggal dunia"

"Maksud anda apa?"

"Pinar Defne sekarang sedang kritis karena leukimia stadium akhir."

Walau shock mendengar kata kata Samira di depannya. Tapi Wisnuaji benar benar tidak berminat bertemu dengan Pinar Defne.

"Sampaikan padanya bahwa saya sudah menganggapnya mati di hidup saya sejak ia memilih berselingkuh."

Samira hanya bisa menarik nafas dalam dalam, ia bisa melihat wajah Wisnuaji yang menyiratkan kemarahan, kekecewaan dan rasa sakit karena di khianati. Samira tidak perlu bertanya lebih lanjut. Ia kemudian membuka tas Hermes Birkinnya dan mengeluarkan kartu namanya.

"Ini kartu nama saya, jika anda berubah pikiran silahkan hubungi saya. Saya harap walau hanya sekali, anda memberi kemurahan hati walau hanya sedikit. Bagaimanapun dia adalah ibu dari anak anda."

Wisnuaji hanya melihat apa yang dilakukan oleh Samira, namun ia tidak merespon apapun apalagi repot repot mengambil kartu nama yang di sodorkan Samira di meja.

"Kalo begitu, saya permisi dulu. Selamat siang, assalamualaikum."

"Waalaikum Salam."

Setelahnya Samira pergi dari rumah Juna tanpa berpamitan kepada si empunya rumah. Dia tidak menyangka jika Wisnuaji masih menyimpan dendam pada Pinar Defne sang mantan istri.

Kini harapan Samira hanya ada pada Nada. Semoga saja ia bisa membujuk Nada untuk merayu suaminya agar mau bertemu ibunya. Sungguh, saat ini Samira merasa ia sedang harakiri. Andai ia tidak membantu Pinar Defne, Samira mungkin kini sedang menikmati liburannya di Maldives, atau Miami.

Namun satu hal yang ia wajib syukuri, karena akhirnya ia bisa melihat Wisnuaji dari dekat. Dan ia benar benar melebihi ekspektasi yang ada di diri Samira walau Samira sadar diri bila ia tidak bisa menggapai Wisnuaji sampai kapanpun. Karena dirinya bukanlah wanita sempurna, apalagi kista ovarium telah tumbuh lagi di sisa indung telurnya.

Samira masuk ke mobilnya dan meminta sang supir menuju ke hotel miliknya. Bagaimanapun hotel miliknya dengan konsep alam pedesaan yang ada di dekat candi Borobudur begitu sanggup membuatnya menenangkan pikirannya, dan besok ia akan mencoba menemui Nada di kantornya. Karena tadi ia sempat mengobrol dengan Nada, dan ia kini mengetahui jika Nada bekerja di salah satu perusahaan Perancis yang ia pernah memakai jasa mereka ketika membangun salah satu kantor cabangnya di Paris dulu.

Sedangkan Wisnuaji sendiri sejak Samira meninggalkan rumahnya masih diam duduk di sofa, pikirannya sedang menimbang-nimbang apakah ia akan mengabulkan permintaan Pinar Defne atau tidak. Bagaimanapun, walau sekali seharusnya Juna pernah berbicara dengan ibunya. Walau dirinya tidak pernah menceritakan apapun kepada Juna, tapi ibu dan ayahnya dulu yang menceritakan semuanya hingga Juna pernah berencana untuk tidak menikah. Untung saja, Juna masih memiliki kemampuan untuk mencintai karena akhirnya ia bisa mencintai istrinya. Namun sampai sekarang Juna masih sering menceritakan kepada Wisnuaji bila ia masih memiliki ketakutan bila Nada pergi meninggalkannya seperti Mamanya meninggalkan Papanya. Sesuatu yang Wisnuaji sadari merupakan ketakutan Juna karena kisah orang tuanya dulu.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status