Cinta tidak harus memiliki, mungkin kata itu yang cocok dengan diriku saat ini. Memendam rasa dan menyembunyikannya sedalam mungkin hingga terasa sesak di dada. Suara lolongan anjing sudah terdengar beberapa kali. Angin malam menerobos celah jendela kamar hingga menusuk ke tulang. Namun, raga ini masih juga terjaga.
Bayangan Zidan kembali melintas di dalam benak. Senyum serta tingkahnya seolah menari-nari dalam ingatan. Permohonan dan janjinya kepada Bapak masih terekam jelas. Rasa tidak nyaman dan gelisah seakan menghantui, sejak hati ini mulai berpindah.
Apakah diri ini berdosa Ya-Rabb? Aku tidak pernah menjanjikan ikatan apapun kepadanya. Namun, kenapa hati kecil ini berbisik seakan diri ini telah berkhianat dan melukai hati yang lain.
Bukankah Engkau yang menganugerahkan rasa ini kepada setiap hamba? Di manakah seharusnya hati berlabuh? Dosakah jika aku menyimpan rasa ini? Dadaku berkecamuk penuh tanya hingga tanpa sadar sudah terdeng
"Ukhty Dini! "Suara Ustaz Fikri masih terdengar beberapa kali hingga ke bawah loteng. Aku berlari sekuat tenaga menuju kamar. Tidak ingin terlibat lebih jauh dan lebih menjaga hati agar tidak semakin terluka.Biarlah mereka menyelesaikan masalahnya sendiri. Aku tidak ingin menjadi duri di antara mereka. Cukup Allah yang tahu rasa ini dan terhempas bersama angin yang berdesau malam ini.Pertemuan kembali Ustaz Fikri dan mantan tunangannya cukup menguras perasaan. Entah apa yang terjadi di dalam hati ini? Rasa takut dan kecewa mendominasi. Membuat hari-hariku serasa berat.♥️♥️♥️Hampir semua maha santri berkumpul di kelas. Akan ada perkenalan dari guru mata pelajaran bahasa Arab yang baru. Umi terpaksa mendatangkan guru baru karena guru yang lama tengah cuti melahirkan.Hampir sepuluh menit berlalu, guru yang dijanjikan belum juga datang. Kami masih asyik bersenda gurau ketika suara langkah kaki t
Aku masih terpaku dan enggan pergi. Melihat punggung bidang itu menghilang di balik pintu kantor sekertariat. Air dari langit turun membasahi bumi disertai angin yang berembus kencang. Percikannya membuat ujung gamis yang kukenakan sedikit basah."Din, ayo masuk! " pekik Putri yang berdiri di depan kelas seraya melambaikan tangan."Iya! " pekikku, kemudian berlari kecil dengan menutup kepala menggunakan kedua tangan.Baru saja berjalan beberapa langkah, sebuah payung hitam menaungi dari derasnya kucuran hujan. Aku membalikkan tubuh untuk melihat si pemilik tangan yang menggenggam payung itu.Aku sedikit terhenyak dan mundur ke belakang saat Ustaz Fikri berada tepat di hadapan. Dadaku berdetak cepat saat bola mata saling bertemu."Ustaz! " pekikku tertahan."Pakai payung, biar nggak sakit. "Lelaki itu memberikan gagang payung itu kepadaku, kemudian berlari hingga tidak terlihat lagi.Ak
Aku telah bersiap untuk kembali ke Bandung bersama Ibu dan Bapak. Semua barang telah dikemas rapi di dalam koper. Sebuah amplop putih berisi penempatan untuk pengabdian selama satu tahun, kubuka perlahan."Masya Allah, Dini ditempatkan di Bandung, Bu," ucapku semringah."Alhamdulillah."Ibu dan Bapak mengucap hamdalah bersamaan. Keduanya tampak tersenyum lebar.Mobil yang kami pesan berhenti tepat di hadapan. Bapak bergegas memasukkan barang-barang kami ke dalam bagasi. Netraku mengedar ke sekeliling memandang lekat setiap sudut pondok."Din!" Putri berteriak sambil berlari kecil menuju ke arahku.Aku membentangkan tangan dan memeluk gadis konyol itu."Jangan lupa kasih kabar ya," ucapnya memelas.Mata kami mulai berembun. Ia memelukku erat sebulum akhirnya aku masuk ke dalam mobil."Iya,pasti."Aku mengangguk sambil tersenyum lebar. Setitik air itu akhirnya lolos juga dari sudut mata. Entah kapan lagi k
Langit tampak cerah hari ini. Awan putih bergumul di beberapa titik. Aku tengah mematut diri di depan cermin. Gaun syar'i merah muda dan hijab dengan warna senada membalut tubuh. Tidak lupa memasang bros manik sebagai pemanis.Wajah hanya kupoles bedak tipis dan sedikit lipstik agar tidak terlihat terlalu pucat. Setelah dirasa cukup, aku segera ke luar kamar.Bunyi klakson terdengar beberapa kali. Aku menyibak tirai dan mengintip di baliknya. Benarlah, Aisyah sudah menunggu dengan kuda besi merah kesayangannya. Kami pergi bersama ke resepsi pernikahan Salma."Lama banget dandannya." Gadis itu mencebik dengan memonyongkan sebagian bibirnya."Kan biar keliatan cantik," jawabku seraya mengembangkan senyum."Okelah, okelah. Ayo, berangkat."Motor yang kami tumpangi pun melaju perlahan. Membelah jalanan yang mulai ramai. Kiri kanan jalan, masih sama seperti dulu. Hanya ada penambahan beberapa bangunan saja.
Hari pertama mengajar membuatku sedikit canggung. Anak-anak perempuan usia SD sudah duduk rapi dan terlihat manis.Aku mengajar sekitar enam puluh menit di pagi hari dan enam puluh menit selepas ashar. Ada satu anak yang menarik perhatianku. Tidak seperti anak lain yang terlihat ceria. Anak itu murung dan sedikit bicara.Gadis kecil itu masih terduduk di pojok kelas. Ruangan sudah hampir kosong, anak-anak yang lain telah pulang dan di jemput orang tuanya.Selain santri yang mukim, pondok ini juga menyelenggarakan kelas untuk anak-anak sekitar pondok. Biasanya kelas pagi dan sore.Aku berjalan perlahan mendekatinya. Mencoba mencari tahu sedikit tentang gadis kecil itu."Assalamualaikum, adek kenapa sedih?" tanyaku sambil menatapnya lekat.Anak itu menggeleng pelan. Manik hitamnya terlihat berkaca-kaca."Siapa namamu," tanyaku lembut."Mu-tia," jawabnya gugup."Uminya belum jemput? Ustazah temani dulu ya?"Gadis kecil itu mengangguk
Semua mata tertuju ke podium. MC memanggil pengganti Ustaz Zidan Alfarizi. Aku sedikit tersentak saat nama Zidan diucapkan beberapa kali.Mungkinkah itu Zidan yang sama?Belum juga terjawab pertanyaan di benak. Aku harus kecewa karena yang berdiri adalah pemateri pengganti. Entah apa yang terjadi dengan Ustaz Zidan yang dimaksudkan? hingga tidak bisa hadir di tempat.Audience tampak kecewa. Mereka meracau tidak jelas untuk mengekspresikan rasa kecewanya. Aku hanya duduk dan mencatat beberapa materi penting yang disampaikan.Acara pun selesai tepat pada waktunya. Aku dan Putri kembali ke Pondok tanpa kesan istimewa. Selain materi yang berhasil kudapat, hanya rasa penasaran dengan sosok Ustaz Zidan yang membekas di hati. Juga Naura yang terlihat di toilet.♥️♥️♥️Selesai mengajar, aku ikut pelajaran malam Ustaz Yahya. Malam belum begitu larut setelah berakhirnya kelas yang kuikuti. Samar terdengar lagi suara lantunan a
Hampir seminggu Zidan berada di Pondok. Ia memutuskan mengisi liburan di dekatku. Kami menjadi lebih akrab dan sering berbincang.Seperti biasa, aku menunggunya di bawah pohon beringin saat jam istirahat. Lokasi yang tidak terlalu ramai dan sejuk membuat kami lebih leluasa bertemu."Ustazah Dini!"Aku menoleh ke arah suara dan melihat Ustazah Iis sedang berjalan menuju ke arahku.Beliau adalah istri Ustaz Yahya yang berarti Ibu sambung Zidan. Dadaku mendadak berdetak kencang. Seperti akan terjadi sesuatu yang kurang baik."Assalamualaikum, sedang apa Ustazah?" tanya wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu."A-nu Ustazah. Ana sedang istirahat," jawabku gugup."Afwan, Ustazah sepertinya kurang baik jika sering berdua dengan Ananda Zidan di sini."Katanya lembut dengan suara halus. Namun terasa perih di hati seperti disayat-sayat sembilu."Tidak enak juga dilihat santri dan rekan yang lain," sambungnya
Perjodohan yang dilakukan Ibu dan Bapak membuatku dilema. Bimbang antara cinta dan berbakti kepada orang tua.Namun, jauh di dalam lubuk hati. Aku masih sangat berharap kepada Zidan. Walaupun entah kapan ia akan memenuhi janjinya.Suara ketukan pintu membuyarkan lamunanku seketika."Neng, Ibu masuk ya?"Suara Ibu terdengar jelas di balik pintu. Tidak lama, pintu pun terbuka."Mau ya, nerima lamaran anak Ustaz Abdul!" bujuk Ibu dengan muka memelas."Ibu terlanjur mengiyakan, nggak enak kalau ditolak," ujarnya lagi.Aku bergeming, membisu untuk beberapa saat. Namun, hati ini tidak tega melihat Ibu memohon-mohon kepada anaknya.Bukankah sudah menjadi kewajiban anak menuruti dan membahagiakan kedua orang tuanya? Ah, apa yang harus kulakukan sekarang?"Ibu malu kalau nggak jadi, Neng. Ibu udah ngomong-ngomong ke tetangga."Wanita paruh baya itu menunduk dan terlihat sedih. Embun mulai bersarang di manik hitamnya. Aku t