Kabar tentang jalan menuju kota yang rusak parah akibat longsor ternyata benar adanya. Kami terpaksa harus menginap beberapa hari lagi di sini. Aku bergegas memberi kabar kepada Ibu tentang kepulanganku yang terlambat. Begitupun dengan Aisyah dan Zidan yang terlihat menghubungi keluarga mereka. Tidak terbayang, betapa cemasnya Ibu jika aku tidak mengabarinya.
"Jalannya sedang diperbaiki tapi butuh beberapa hari," ucap Kakek yang baru pulang dari balai Desa.
Pria tua itu duduk di teras rumah dan bersandar pada dinding kayu berwarna cokelat. Mengepulkan asap rokok yang membumbung ke udara. Netranya menerawang ke atas, seperti sedang mengingat sesuatu."Kakek baru ingat, tadi ketemu sama Abah Ustaz," ucapnya yakin."Kalian bersedia mengajar anak-anak di surau?" tanya Kakek setelah menyeruput secangkir kopi pahit."Memangnya kemana ustazah Siti?" tanya Nenek sembari menyodorkan sepiring pisang goreng kepada Kakek."Ustazah Siti ke kota kemarin. Sama seperti kalian, nggak bisa pulang gara-gara jalan rusak," jawab Kakek menjelaskan."Gimana menurut kalian?" tanya Salma seraya menatap kami bergantian."Insya Allah, kami bersedia," jawabku sembari melirik ke arah Aisyah. Kemudian diikuti anggukan tanda setuju dari Aisyah."Zidan, bagaimana denganmu?" tanya Salma."Aku sih, yes," jawab Zidan sambil mengulum senyum."Alhamdulillah, kalian mulai ngajar besok sore ya," tutur Kakek penuh semangat.***
Lembayung senja telah nampak dari arah barat diikuti sang surya yang perlahan menghilang menuju peraduan. Warna orange berpadu dengan hijaunya pegunungan sungguh memanjakan mata. Nikmat mana lagi yang kau dustakan? Aku tak berhenti mengucap syukur atas nikmat dan kasih sayang-Nya. Anak-anak bertasbih dan bershalawat bersahutan. Surau kecil ini sekarang terasa lebih hangat dengan adanya anak-anak mengaji.. Melihat wajah polos dan semangat mereka membuat diriku terpacu untuk melanjutkan hapalanku. "Masya Allah ... adik-adik ternyata sudah fasih membaca Al-Qur'an," sanjungku dengan penuh semangat."Terimakasih, Ustazah," jawab mereka hampir bersamaan."Tinggal rajin mengaji dan belajar lagi tajwidnya," sambungku dengan seulas senyum termanis sepanjang masa."Iya Ustazah!!" sahut mereka kompak.Kami membuat empat kelompok belajar anak. Dua kelompok bacaan Al-Qur'an dan dua kelompok untuk bacaan Iqra. Setelah selesai mengaji dan bersalaman, anak- anak itu berhamburan ke luar mesjid. Saling berdesakan di pintu depan. "Hati-hati, nanti jatuh!" pekikku mengingatkan.Aku membereskan beberapa Al-Qur'an yang berserak begitupun dengan dua sahabatku yang terlihat membereskan jejak-jejak belajar khas anak-anak. Sesekali, manik ini mencuri pandang ke arah Zidan yang sedang menulis sesuatu di atas secarik kertas. Bola mataku reflek menunduk saat beradu dengan manik hitamnya. Entah kenapa, Zidan selalu berhasil membuat jantungku berdetak liar saat netra kami saling bertemu. "Ehmm, ehhm." Aku sengaja terbatuk walaupun tenggorokanku tidak gatal untuk menghalau rasa malu yang mulai mengusik hati.Zidan terlihat mengangkat sedikit bibirnya ke atas dan melanjutkan tulisannya. Entah apa yang ditulisnya di kertas itu. Membuat rasa ingin tahuku mengebu-gebu. Mungkin itu tulisan untuk muridnya atau untuk aku? Aku sibuk berdebat dengan hatiku sampai tidak sadar secarik kertas itu sudah ada di genggaman. Kubaca satu per satu huruf yang tertulis di dalamnya, memastikan tidak ada satu abjad pun yang terlewat.[Aku mau bicara berdua saja, di teras rumah nanti malam]Aku tercenung untuk sesaat setelah membaca pesannya. Otakku berfikir keras apakah gerangan yang akan disampaikannya?. Namun, jujur saja pesan singkat di secarik kertas itu membuat hatiku berbunga. 'Hey, ingat, aku tidak boleh pacaran. Itu dosa.' Suara hatiku berteriak-teriak di dalam sini. Menentang bagian hati lain yang mulai dimabuk cinta.***
Tepat jam delapan malam, aku meminta izin kepada Nenek untuk menemui Zidan di teras. Kedua sahabatku menatap penuh selidik seakan diri ini adalah terdakwa yang sedang diintrogasi."Silahkan, tapi jangan malem-malem. Tidak enak sama tetangga," jawab Nenek dengan seulas senyum.Zidan tampak sudah menunggu, ia duduk di bangku yang terbuat dari bambu kuning di pekarangan rumah. Di bawah cahaya lampu remang-remang. Tepat di bawah pohon mangga milik Nenek."Assalamualaikum ..." sapaku pelan."Waalaikumsallam ...."Aku duduk agak jauh dari tempatnya duduk. Hatiku tak henti beristigfar untuk menjaga agar syetan tidak ikut dalam obrolan kami. Dia melirikku dan tersenyum, membuat jantung kembali berdetak liar.'Astagfirullah, ini tidak benar. Ini zinah hati dan mata' rutuk di dalam hati."Din, boleh aku pegang tanganmu?" tanyanya sembari menggeser tempat duduknya mendekat ke arahku."Astagfirullah, Apa kamu lupa? Kita adalah seorang tahfiz. Jangan kotori hapalan kita dengan perbuatan itu.""Bukankah hapalan kita akan hilang perlahan jika berbuat seperti ini. Kamu lupa kah?" cecarku sedikit emosi.Zidan tertunduk dalam, entah marah atau menyesal, lama tidak bersuara. Kemudian, samar terdengar lafaz istigfar keluar dari mulutnya berkali-kali. "Maaf ..." ucapnya nyaris tidak terdengar. Ia masih menunduk dan tak berani mengangkat wajah."Berjanjilah untuk saling mendukung cita-cita kita. Jangan kecewakan orang tua kita," ucapku menahan tangis.Nyaris saja, cita-cita menjadi hafiz terhempas bersama gejolak darah muda kami. Satu yang teringat dari pesan Ibu, seorang wanita akan sangat berharga di mata Allah dan pria, jika ia menjaga kehormatan dan harga dirinya sampai menikah nanti.Namun, bukan itu yang membuatku menentang sikap Zidan. Di atas semua itu, aku takut dan malu kepada- Mu, Ya-Rabb."Maafkan aku, Din," ucap pria yang sekarang berada tepat di depanku.Aku menelisik manik hitamnya, terlihat penyesalan yang mendalam di balik maniknya. Aku mengangguk kemudian pergi meninggalkannya. Disusul kucuran air hujan dari langit. Aku sempat berbalik ke arahnya. Ia tampak berlari ke luar pekarangan dan menghilang di derasnya hujan.Langit menangis semalaman, seolah merutuki kejadian yang hampir kami lakukan. Udara dingin serasa menusuk hingga ke pori-pori. Aku mengeratkan selimut yang kami pakai bersama. Aisyah dan Salma tampak lelap dalam buaian mimpi.Aku mencoba untuk menyusul mereka ke dunia mimpi, tapi hasilnya nihil. Hati bergejolak di dalam sana. Berperang antara yang baik dan yang buruk. Akhirnya, aku melangkahkan kaki untuk mengambil air wudhu. Memohon ampun di dalam sujud yang panjang.***
"Allhamdulillah, jalannya sudah bener lagi, sudah bisa dipakai hari ini," ucap Kakek dengan senyum merekah."Allhamdulillah, kita bisa pulang hari ini. Ayo berkemas mumpung masih pagi," seru Salma tidak kalah gembiranya.Kami pun bergegas untuk berkemas dan berpamitan dengan Kakek dan Nenek Salma. Angkutan umum menuju kota mulai terlihat di jalanan. Kami pergi tanpa Zidan. Seseorang yang Kakek suruh memberitahu Zidan, mengabarkan jika pria itu sudah pergi terlebih dulu, tepat setengah jam yang lalu.Bus yang kami tumpangi melaju perlahan. Meninggalkan dusun asri nan indah. Netraku menatap hampa pegunungan yang menjulang tinggi, serasa ada yang kurang di dalam sini. Perasaan tidak nyaman di dalam hati.***
Bersambung
Mentari yang terjatuh di balik pintu kamar Bulan tampak syok dan kaget melihat tingkah sang anak yang semakin aneh dan brutal."Kenapa, Tar?" tanya Emak cemas, kemudian membantu Mentari untuk berdiri kembali."Bulan, tadi dorong Mentari sampai keluar dari kamar.""Kok bisa Bulan punya tenaga sebesar itu?" tanya Emak makin khawatir.Wanita paruh baya itu membuka pintu perlahan dan mengintip aktivitas sang cucu kesayangan dari balik pintu. Bulan nampak sedang berbicara dengan bonekanya, seolah boneka itu benar-benar hidup. Tidak jauh berbeda dengan Mentari, Emak pun tampak Syok dan kaget."Cepat bawa ke dokter!" pinta Emak yang masih terlihat Syok."Ya, Mak, besok Mentari dan Rangga kan bawa Mentari ke Dokter."Hingga adzan subuh berkumandang. Mentari dan Emak belum juga bisa memejamkan mata. Mereka tidak habis pikir dengan apa yang terjadi dengan gadis kecil kesayangannya itu. Mereka merenung di ruang tamu
Sesampainya di rumah, suasana sudah semakin sepi. Hanya ada segelintir orang yang masih membantu membuat beberapa keperluan untuk pernikahan Mentari. Sang calon pengantin duduk dengan wajah muram di ruang tamu. Emak menyambut dengan cemas melihat ekspresi wajah sang anak."Ada apa? Apa yang terjadi sama Bulan? tanya Emak cemas."Kemungkinan Bulan trauma dan perlu di terapi," jawab Mentari lemas."Astaghfirullahaladzim, Kenapa jadi begini? Semoga cucu Nenek enggak apa-apa ya? Semoga cepet sembuh," ujar Emak seraya memeluk tubuh kecil sang cucu."Tapi pernikahan tetap jalan kan? Semua sudah disusun rapi dan undangan sudah disebar?" tanya Emak yang tampak kembali cemas."Insyaallah, pernikahan akan dilakukan sesuai rencana. Sambil mengobati trauma Bulan," jawab Rangga dengan tatapan lembut kepada sang anak.Akhirnya pasangan yang hendak menikah itu pun lebih terfokus kepada pengobatan Bulan dari
Malam sudah semakin larut. Bulan pun tampak sudah tertidur lelap. Mentari dan Rangga belum juga dapat memejamkan mata. Mereka saling berpandangan satu sama lain, merasakan debaran jantung yang semakin berdetak liar.Rangga mulai berusaha untuk menggapai jari-jemari Mentari. Namun wanita muda itu berusaha untuk menepisnya yang beberapa kali."Tidurlah, udah malam!" pinta Mentari kemudian berbalik membelakangi tubuh Rangga.Rangga terlihat kesal. Wajahnya mulai memerah. Akan tetapi, ia tidak bisa berbuat lebih. Hanya memandangi punggung Mentari yang entah kenapa terlihat begitu seksi di mata Rangga. Akhirnya Rangga pun terdiam. Ia tidak berani untuk memaksa sang kekasih hati untuk memenuhi hasratnya.Rangga tahu betul karakter Mentari yang teguh dan tegas, apalagi untuk hal-hal yang melanggar norma. Lelaki itu memilih untuk menahan hasrat yang mulai naik dan menjalar ke seluruh
Deru suara motor terdengar jelas dari dalam rumah. Mentari dan Emak bergegas mengintip dari balik tirai jendela. Terlihat Rangga turun dari kuda besi kesayangannya, kemudian berjalan menuju ke arah rumah Mentari.Mentari segera membukakan pintu untuk sang pangeran hatinya." Di mana? Mana orangnya? tanya Rangga dengan mimik cemas."Nggak tahu, padahal tadi masih ada di depan," jawab Mentari yang masih terlihat tegang."Duduk dulu, Ga!" pinta emak kepada sang mantan sang menantu.Baru saja Rangga hendak duduk di atas kursi tamu. Tiba-tiba terdengar derit suara pintu terbuka.Tampak kedua orang tua Dina berdiri di balik pintu dengan muka tegang dan sedih. Mereka segera menghambur ke arah Mentari yang sedang duduk tidak jauh dari tempat duduk Rangga."Tari, tolong Dina, maafkan anak Ibu. Tolong cabut
Bulan disambut bahagia oleh seluruh anggota keluarga. Mereka pulang ke rumah Emak, di sana kedua orang tua Rangga pun sudah menunggu untuk menyambut sang cucu."Alhamdulillah, cucu Emak selamat," ujar Emak seraya memeluk tubuh mungil cucu kesayangannya.Nyak pun segera menghampiri dan memeluk Bulan dalam tangis haru dan bahagia."Cepat kasih makan, kayaknya lemes banget tubuhnya!" pinta Nyak kepada Mentari.Mentari pun segera menyiapkan makanan kesukaan Bulan dan menyuapi sang anak, perlahan. Mata bulat yang selalu berbinar itu, tampak cekung dan menghitam. Tubuh Bulan kurus dan tidak bertenaga."Makan yang banyak!" pinta Mentari lirih seraya memasukkan sesendok nasi ke dalam mulut Bulan. Tanpa terasa, air mata pun menetes perlahan melihat Bulan yang makan dengan lahap. Entah sudah berapa hari anak itu seperti tidak menyentuh makanan, ia tampak kelap
Menteri dan Rangga menunggu beberapa saat di luar rumah itu. Berharap para polisi segera datang untuk membantu mereka. Akan tetapi, setelah lama ditunggu. Polisi pun tidak kunjung datang. Persis seperti adegan di dalam film, di mana para polisi yang selalu datang terlambat. Akhirnya kedua pasangan itu pun sudah tidak sabar dan nekat untuk masuk ke dalam rumah tanpa bantuan siapa pun.Mereka berjalan dengan mengendap, berusaha tidak menimbulkan suara sedikit pun atau pun memancing perhatian orang-orang yang ada di dalam rumah. Mentari berjalan perlahan ke arah belakang untuk memeriksa sekitar, sedangkan Rangga bertugas di depan memantau keadaan di depan rumah itu.Tepat di belakang rumah, Mentari menemukan sebuah jendela yang tertutup rapat. Ia pun berusaha untuk melihat ke dalamnya. Namun, tidak ada alat apa pun yang bisa digunakan sebagai pijakan agar ia bisa melihat ke dalam jendela yang letaknya berada di atas. Mentari pun seg