Share

Jangan Sentuh Aku!

Kabar tentang jalan menuju kota yang rusak parah akibat longsor ternyata benar adanya. Kami terpaksa harus menginap beberapa hari lagi di sini. Aku bergegas memberi kabar kepada Ibu tentang kepulanganku yang terlambat. Begitupun dengan Aisyah dan Zidan yang terlihat menghubungi keluarga mereka. Tidak terbayang, betapa cemasnya Ibu jika aku tidak mengabarinya.

"Jalannya sedang diperbaiki tapi butuh beberapa hari," ucap Kakek yang baru pulang dari balai Desa.

Pria tua itu duduk di teras rumah dan bersandar pada dinding kayu berwarna cokelat. Mengepulkan asap rokok yang membumbung ke udara. Netranya menerawang ke atas, seperti sedang mengingat sesuatu.

"Kakek baru ingat, tadi ketemu sama Abah Ustaz," ucapnya yakin.

"Kalian bersedia mengajar anak-anak di surau?" tanya Kakek setelah menyeruput secangkir kopi pahit.

"Memangnya kemana ustazah Siti?" tanya Nenek sembari menyodorkan sepiring pisang goreng kepada Kakek.

"Ustazah Siti ke kota kemarin. Sama seperti kalian, nggak bisa pulang gara-gara jalan rusak," jawab Kakek menjelaskan.

"Gimana menurut kalian?" tanya Salma seraya menatap kami bergantian.

"Insya Allah, kami bersedia," jawabku sembari melirik ke arah Aisyah. Kemudian diikuti anggukan tanda setuju dari Aisyah.

"Zidan, bagaimana denganmu?" tanya Salma.

"Aku sih, yes," jawab Zidan sambil mengulum senyum.

"Alhamdulillah, kalian mulai ngajar besok sore ya," tutur Kakek penuh semangat.

***

Lembayung senja telah nampak dari arah barat diikuti sang surya yang perlahan menghilang menuju peraduan. Warna orange berpadu dengan hijaunya pegunungan sungguh memanjakan mata. Nikmat mana lagi yang kau dustakan? 

Aku tak berhenti mengucap syukur atas nikmat dan kasih sayang-Nya. Anak-anak bertasbih dan bershalawat bersahutan. Surau kecil ini sekarang terasa lebih hangat dengan adanya anak-anak mengaji.. Melihat wajah polos dan semangat mereka membuat diriku terpacu untuk melanjutkan hapalanku. 

"Masya Allah ... adik-adik ternyata sudah fasih membaca Al-Qur'an," sanjungku dengan penuh semangat.

"Terimakasih, Ustazah," jawab mereka hampir bersamaan.

"Tinggal rajin mengaji dan belajar lagi tajwidnya," sambungku dengan seulas senyum termanis sepanjang masa.

"Iya Ustazah!!" sahut mereka kompak.

Kami membuat empat kelompok belajar anak. Dua kelompok bacaan Al-Qur'an dan dua kelompok untuk bacaan Iqra. Setelah selesai mengaji dan bersalaman, anak- anak itu berhamburan ke luar mesjid. Saling berdesakan di pintu depan. 

"Hati-hati, nanti jatuh!" pekikku mengingatkan.

Aku membereskan beberapa Al-Qur'an yang berserak begitupun dengan dua sahabatku yang terlihat membereskan jejak-jejak belajar khas anak-anak. Sesekali, manik ini mencuri pandang ke arah Zidan yang sedang menulis sesuatu di atas secarik kertas. Bola mataku reflek menunduk saat beradu dengan manik hitamnya. Entah kenapa, Zidan selalu berhasil membuat jantungku berdetak liar saat netra kami saling bertemu. 

"Ehmm, ehhm." Aku sengaja terbatuk walaupun tenggorokanku tidak gatal untuk menghalau rasa malu yang mulai mengusik hati.

Zidan terlihat mengangkat sedikit bibirnya ke atas dan melanjutkan tulisannya. Entah apa yang ditulisnya di kertas itu. Membuat rasa ingin tahuku mengebu-gebu. Mungkin itu tulisan untuk muridnya atau untuk aku? Aku sibuk berdebat dengan hatiku sampai tidak sadar secarik kertas itu sudah ada di genggaman. Kubaca satu per satu huruf yang tertulis di dalamnya, memastikan tidak ada satu abjad pun yang terlewat.

[Aku mau bicara berdua saja, di teras rumah nanti malam]

Aku tercenung untuk sesaat setelah membaca pesannya. Otakku berfikir keras apakah gerangan yang akan disampaikannya?. 

Namun, jujur saja pesan singkat di secarik kertas itu membuat hatiku berbunga. 'Hey, ingat, aku tidak boleh pacaran. Itu dosa.' Suara hatiku berteriak-teriak di dalam sini. Menentang bagian hati lain yang mulai dimabuk cinta.

***

Tepat jam delapan malam, aku meminta izin kepada Nenek untuk menemui Zidan di teras. Kedua sahabatku menatap penuh selidik seakan diri ini adalah terdakwa yang sedang diintrogasi.

"Silahkan, tapi jangan malem-malem. Tidak enak sama tetangga," jawab Nenek dengan seulas senyum.

Zidan tampak sudah menunggu, ia duduk di bangku yang terbuat dari bambu kuning di pekarangan rumah. Di bawah cahaya lampu remang-remang. Tepat di bawah pohon mangga milik Nenek.

"Assalamualaikum ..." sapaku pelan.

"Waalaikumsallam ...."

Aku duduk agak jauh dari tempatnya duduk. Hatiku tak henti beristigfar untuk menjaga agar syetan tidak ikut dalam obrolan kami. Dia melirikku dan tersenyum, membuat jantung kembali berdetak liar.

'Astagfirullah, ini tidak benar. Ini zinah hati dan mata' rutuk di dalam hati.

"Din, boleh aku pegang tanganmu?" tanyanya sembari menggeser tempat duduknya mendekat ke arahku.

"Astagfirullah, Apa kamu lupa? Kita adalah seorang tahfiz. Jangan kotori hapalan kita dengan perbuatan itu."

"Bukankah hapalan kita akan hilang perlahan jika berbuat seperti ini. Kamu lupa kah?" cecarku sedikit emosi.

Zidan tertunduk dalam, entah marah atau menyesal, lama tidak bersuara. Kemudian, samar terdengar lafaz istigfar keluar dari mulutnya berkali-kali. 

"Maaf ..." ucapnya nyaris tidak terdengar. Ia masih menunduk dan tak berani mengangkat wajah.

"Berjanjilah untuk saling mendukung cita-cita kita. Jangan kecewakan orang tua kita," ucapku menahan tangis.

Nyaris saja, cita-cita menjadi hafiz terhempas bersama gejolak darah muda kami. Satu yang teringat dari pesan Ibu, seorang wanita akan sangat berharga di mata Allah dan pria, jika ia menjaga kehormatan dan harga dirinya sampai menikah nanti.

Namun, bukan itu yang membuatku menentang sikap Zidan. Di atas semua itu, aku takut dan malu kepada- Mu, Ya-Rabb.

"Maafkan aku, Din," ucap pria yang sekarang berada tepat di depanku.

Aku menelisik manik hitamnya, terlihat penyesalan yang mendalam di balik maniknya. Aku mengangguk kemudian pergi meninggalkannya. Disusul kucuran air hujan dari langit. Aku sempat berbalik ke arahnya. Ia tampak berlari ke luar pekarangan dan menghilang di derasnya hujan.

Langit menangis semalaman, seolah merutuki kejadian yang hampir kami lakukan. Udara dingin serasa menusuk hingga ke pori-pori. Aku mengeratkan selimut yang kami pakai bersama. Aisyah dan Salma tampak lelap dalam buaian mimpi.

Aku mencoba untuk menyusul mereka ke dunia mimpi, tapi hasilnya nihil. Hati bergejolak di dalam sana. Berperang antara yang baik dan yang buruk. Akhirnya, aku melangkahkan kaki untuk mengambil air wudhu. Memohon ampun di dalam sujud yang panjang.

***

"Allhamdulillah, jalannya sudah bener lagi, sudah bisa dipakai hari ini," ucap Kakek dengan senyum merekah.

"Allhamdulillah, kita bisa pulang hari ini. Ayo berkemas mumpung masih pagi," seru Salma tidak kalah gembiranya.

Kami pun bergegas untuk berkemas dan berpamitan dengan Kakek dan Nenek Salma. Angkutan umum menuju kota mulai terlihat di jalanan. Kami pergi tanpa Zidan. Seseorang yang Kakek suruh memberitahu Zidan, mengabarkan jika pria itu sudah pergi terlebih dulu, tepat setengah jam yang lalu.

Bus yang kami tumpangi melaju perlahan. Meninggalkan dusun asri nan indah. Netraku menatap hampa pegunungan yang menjulang tinggi, serasa ada yang kurang di dalam sini. Perasaan tidak nyaman di dalam hati.

***

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status