Libur telah usai, menyisakan asam, manis dan pahitnya kenangan. Aku menjalani aktivitas seperti biasanya, pun dengan Zidan. Ia bersikap lebih sopan dan berhati-hati ketika bersamaku.
Kompetisi hafiz Qur'an tingkat Provinsi akan segera di mulai. Semua sekolah dan pesantren tengah sibuk mempersiapkan kandidatnya. Begitu pun dengan sekolahku. Hampir setiap hari aku dan siswa tahfiz lainnya diwajibkan menambah hapalan. Ustazah pembimbing akan mendengarkan setoran hapalan kami satu per satu di pagi hari dan selepas pulang sekolah.
Aku menunggu giliran untuk setor hapalan. Di tempat lain, kulihat Zidan pun sedang menunggu giliran. Hati ini serasa damai dan sejuk saat mendengar lantunan ayat suci di setiap penjuru.
"Dini!" Setelah hampir satu jam menunggu akhirnya giliranku untuk setor hapalan."Bismillahirohmanirohiim," gumamku pelan.
Selang beberapa menit setelah merampungkan setoran. Aku merasakan nyeri di dalam perut."Akh, magku Kumat, " gumamku hampir tak terdengar sembari memegang bagian perut dengan kuat.
"Kamu kenapa, Din? Magnya kambuh lagi ya? " tanya Aisyah dengan mimik cemas. Minggu ini, sakit mag ini sudah kambuh beberapa kali. Untunglah, aku telah menyelsaikan setoran hapalan sebelum mag ini kambuh. Perutku terasa semakin sakit hingga naik ke atas Kepala. Mungkin karena belum terisi makanan sejak pagi. Ah, aku sampai lupa makan saking bersemangatnya menghapal. "Ayo, aku antar ke UKS!" ajak Salma sambil memapahku menuju ruang UKS dibantu Aisyah. Aku terbaring di ranjang UKS seorang diri, Salma dan Aisyah kembali ke kelas. Hanya ditemani seorang petugas UKS yang memberiku beberapa obat pereda nyeri. Manik hitam menerawang ke atas langit-langit, mengurutkan beberapa memori yang terekam otak.Rentetan peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini seolah berputar-putar di dalam benak. Kepulangan kakak perempuanku dengan anak-anaknya membawa mendung di dalam hidup kami, terutama Ibu dan Bapak.Suara ketukan pintu yang agak keras membuat Ibu bergegas membuka benda pipih panjang itu. Terlihat seorang wanita dengan tiga orang anak dan beberapa koper besar yang dibawanya. "Maafin aku, Bu, Pak," ucap Kak Rianti sembari menahan tangis. Ia berdiri tepat di depan pintu dengan tatapan nanar dan muka kusut. Sepertinya Kak Rianti pergi dengan tergesa. Ia hanya memakai daster panjang yang terlihat lusuh senada dengan jilbab hitam yang sama mendungnya dengan air muka mereka. Tidak jauh beda dengan keadaan ketiga anaknya yang tampak tidak terurus. Kaos dan celana berwarna pudar menambah kesan menyedihkan mereka.'Astagfirullahaladzim, apakah hidup mereka begitu kekurangan?' pikirku di dalam hati.
"Ada apa ini, Neng? " tanya Ibu yang terlihat khawatir. "Mas Rangga minta izin untuk menikah lagi," jawabnya dengan menahan tangis."Astagfirullahaladzim! pekik Ibu tertahan diikuti tangis pilu." Innalillahiwainnailaihiroojiuun," ucap Bapak dengan mimik sedih. Aku hanya diam menyaksikan Ibu dan anak yang saling berpelukan dalam tangis yang menyayat hati. Bagaimana nasib ke tiga keponakknaku? Mereka masih kecil-kecil, bahkan si bungsu masih menyusu. Sungguh malang nasib satu-satunya kakak perempuan. Harus merasakan sakitnya dikhianati setelah dua belas tahun mengarungi bahtera rumah tangga.Bulir bening yang kutahan sedari tadi pun luruh bersamaan dengan tangis Alif-anak bungsu kak Rianti.
Akankah nasibku serupa Kak Rianti kelak? Pikiran itu seolah menghantui sejak malam itu. "Assalamualaikum." Suara zidan yang diikuti derit suara pintu sontak membuyarkan lamunanku. "Waalaikumsallam," jawabku lirih, bulir bening ternyata telah lolos dari netraku beberapa saat yang lalu.Aku bergegas menyeka jejak basah di pipi. Zidan mendekat ke arahku dengan membawa bungkusan kresek hitam di tangannya. "Makan dulu, " ucapnya sembari menyodorkan sebuah nasi kotak lengkap dengan sendok pelastik dan air mineral. Aku menatapnya sejenak, berpikir keras. Akankah pria yang ada di hadapanku ini tega menyakitiku kelak? Ah ... semua sudah tertulis di dalam lauful mahfuz, aku hanya bisa berusaha dan berdoa."Makanlah!" serunya sambil menyuapkan sesendok nasi ke mulutku. Setelah agak baikkan, Zidan mengantarku pulang dengan sepeda motor maticnya. Aku terpaksa menerima tawaranya untuk pulang bersama. Kuda besi yang kami naiki pun melaju perlahan, membelah jalanan yang sedikit lengang. "Terima kasih, " ucapku pelan. "Bolehkah aku mengantarmu sampai ke dalam rumah? Aku hanya ingin memberi salam kepada Ibu dan Bapak Dini, " tuturnya dengan mimik memelas. "Jangan dulu, kapan-kapan saja, " ucapku spontan. Zidan tersenyum melihat ekspresi kagetku, ia pun mengangguk kemudian melajukan sepeda motornya. Aku bergegas masuk ke dalam rumah untuk beristirahat. Namun, rasa sakit di perut ini seolah semakin bertambah hingga membuatku sulit berjalan cepat. "Dini, sudah pulang? Kamu kenapa? " tanya Ibu yang tiba-tiba keluar rumah dengan ekspresi khawatir. Beliau memapahku masuk ke dalam rumah. "Magku kambuh lagi, Bu.""Kamu pasti telat makan lagi. Ayo kita ke dokter saja!""Nggak usah, Bu. Tadi udah beli obat di apotik. "
"Ya sudah, istirahatlah. "
Ibu menutup pintu pelan. Netranya terlihat sayu seolah menyimpan duka yang mendalam. Kantuk ini seolah tidak tertahan lagi. Mungkin karena pengaruh obat yang kuminum tadi.***
Suara kumandang azan magrib membuatku terbangun. Aku bergegas mengambil air wudhu dan bersiap untuk shalat magrib. Sepertinya sakit di perut sudah mulai berkurang. Seperti biasa, aku mulai melanjutkan hapalan setelah menghabiskan sepiring nasi yang sudah Ibu siapkan. Sebenarnya tidak habis semua, tepatnya hanya setengah piring saja. Setengahnya lagi dihabiskan Jelly-Si kucing nakal."Sudah habis, Din? " tanya Ibu sembari membawa piring kosong itu ke dapur. "Iya, Bu. Makasih, " jawabku dengan mengulum senyum. Jam dinding menunjukkan pukul 02. 00 dini hari ketika aku terbangun untuk membuang hadas. Sayup terdengar suara tangis Kak Rianti dari balik kamar. Kamarnya tepat di sebelah kamarku dan akan terlewati ketika aku pergi ke toilet.Tangisnya begitu menyayat hati siapapun yang mendengarnya. Aku melangkahkan kaki mendekat ke daun pintu. Sedikit mengintip di balik pintu yang agak terbuka. Tampak Kak Rianti tersedu di atas sajadah, lengkap dengan mukena yang masih dikenakannya.
Kepada siapa lagi kita mengadu dan berkeluh kesah, selain hanya kepada-Nya. Mengetuk pintu langit di sepertiga malam dan melangitkan doa kepada-Nya, Dzat Yang Maha Pengasih Lagi Maha penyayang. Aku tidak tega melihat Kakak perempuanku terpuruk. Hatiku sakit melihatnya. Netraku beralih menatap kedua keponakanku yang tertidur di ruang tengah, tepat di bawah televisi.Mereka tampak lelap walau hanya beralaskan karpet dan kasur tipis. Aku mendekat dan mengeratkan selimut tebal kepada keduanya.
Di sudut lain, tampak juga Ibu duduk di atas sajadah sambil melafalkan tasbih dengan suara lirih. Aku berbalik kembali menuju toilet, mengambil air wudhu dan turut bertahajud untuk mendo'akan Kak Rianti.
Kita tidak pernah tahu, do'a siapa yang akan Allah Kabulkan. Bukankah semakin banyak yang mendo'akan, semakin besar do'a itu terkabul. Waullahualam.***
Bersambung
"Kak, ayo makan dulu! " ajakku lembut kepada sosok wanita yang tengah termenung di bawah jendela. Jarang sekali melihat Kak Rianti makan, akhir-akhir ini. Tubuhnya tampak semakin kurus dan tidak terurus."Nanti saja, " jawab Kak Rianti datar."Kakak harus makan agar kuat menghadapi kenyataan. Karena sakit hati itu butuh tenaga, " godaku sedikit berkelakar."Iya, kamu bener, " jawabnya sambil terkekeh.Kak Rianti pun makan dengan lahap, seperti buronan yang tidak makan selama tiga hari. Namun, manik hitamnya tidak bisa menyembunyikan luka, terlihat sayu dan berembun. Ia tertawa, tapi aku tahu betul kalau hatinya menangis. Raut muka yang dahulu cantik berseri. Kini kusam dan murung. Semangat hidupnya seolah sirna bersama pengkhianatan Kak Rangga. Badannya mulai kurus dengan mata hitam dan cekung.Ya Rabb, aku tidak tega melihat Kak Rianti seperti itu, aku hanya bisa mendoakannya di dalam hati. Tidak bisa mengobati luka di hati
Aku berlari sekuat tenaga menuju rumah, tampak beberapa tetangga tengah berkerumun sambil berbisik-bisik. Teriakan Kak Rianti terdengar nyaring hingga ke pekarangan rumah. Aku menubruk kerumunan itu untuk bisa masuk ke dalam rumah."Pergi! " pekik Kak Rianti sembari melemparkan beberapa bantal sofa ke arah Kak Rangga."Istigfar, Ran. Inget anak-anakmu, " ucap Ibu sembari memeluk Kak Rianti."Maafin aku, tapi Alif akan kubawa, " ucap lelaki berbaju hitam itu sembari menoleh ke arah Alif."Jangan! Jangan bawa anakku. Aku yang mengandung dan melahirkannya, merawat mereka sampai sekarang, " tukas Kak Rianti diiringi tangisan pilu."Maaf, Ibu-ibu, tolong jangan ngumpul di sini. Kasian Kak Rianti, " pintaku kepada kerumunan orang di depan rumah sambil mengatupkan kedua tangan.Mereka pun pergi bersamaan. Masih terdengar suara gunjingan mereka ke telingaku. Mengabaikannya adalah pili
"Apa maksudmu? Kalian pacaran? " tanya Bapak dengan ekspresi marah. Bapak terlihat sedikit emosi. Rona wajahnya berubah menjadi merah padam. Aku baru pertama kali melihat Bapak marah kepada orang yang baru dikenalnya. Beliau memang sosok yang protektif dan tegas. Namun ramah dan penyayang. "Bukan begitu, Pak. Ini nggak seperti yang Bapak pikirkan, " jawabku agak cemas. "Jika Allah mengizinkan dan Bapak menerima. Saya ingin mengkhitbah Dini, Pak, " ucap Zidan sambil menatap Bapak lekat. 'Apa? Mengkhitbah? Ini semua di luar rencana. Aku belum siap menikah, Zi,' bisikku di dalam hati sambil menatap ke arah Zidan dan menggelengkan kepala perlahan. "Tapi kalian kan masih sekolah. Masa depan kalian masih panjang. Dipikir dulu baik-baik, " ucap Ibu tenang. Bapak terlihat bingung, ia menyeruput kopi hitamnya beberapa kali. "Iya, Bu. Maksudnya, saya akan
Ujian akhir sekolah sudah di depan mata. Aku dan Zidan lebih sibuk belajar dan hanya sesekali bersua. Bel jam istirahat terdengar nyaring dari speaker kelas. Hampir semua siswa ke luar kelas untuk melepas penat. Sebagian pergi ke kantin sekolah sebagiannya lagi pergi dengan urusan mereka masing-masing."Din, ayo ke kantin! " ajak Salma yang sudah berdiri di samping mejaku bersama Aisyah."Duluan aja, aku mau ke belakang dulu. ""Oh ... Ehm, ehm, " goda Salma seraya menoleh ke arah Zidan."Ehm, ehm juga, " ucapku mengulum senyum.Zidan pergi ke luar kelas terlebih dahulu. Aku menyusulnya dari belakang sambil menunduk. Sebenarnya, agak malu juga terlalu sering bersama di jam istirahat."Aduh! " pekikku spontan saat tubuh ringkih ini menumbruk benda empuk di depanku."Hati-hati dong, " ucap Zidan mengernyitkan dahi."Ih ... Kenapa juga kamu berhenti ngedadak? Kan jadi tab
Zidan mengantarku dengan selamat sampai ke rumah. Kemudian pamit pulang setelah menyapa Bapak yang sedang duduk di depan teras."Assalamualaikum.""Waalaikumsalam, acaranya lancar, Neng?" tanya Bapak penuh selidik."Allhamdulillah, Pak. Uminya Zidan baik banget," jawabku dengan seulas senyum."Allhamdulillah.""Dini masuk dulu ya, Pak, " ujarku diikuti anggukkan dari Bapak.Aku melangkah malas menuju ke dalam kamar. Dari jauh,terdengar tangisan Alif yang memekakkan telinga. Aku bergegas mencari sumber suara, tampak Ibu sedang sibuk menenangkan Alif sambil bershalawat."Alif kenapa, Bu? " tanyaku seraya mendekat ke tempat Ibu berdiri."Kangen sama Mamahnya, dari siang nanyain Rianti terus, " jawab Ibu sedih.Beliau terlihat lelah nenggendong Alif. Keringat mulai mengucur dari dahi dan pelipisnya, padahal udara sudah mulai dingin. Tubuh renta itu terlihat semakin ringkih. Ibu beber
Ujian akhir sekolah telah kami lewati. Semua terlihat lega dan bahagia. Acara tour sekaligus perpisahan kelas telah diatur dari jauh hari. Pagi buta, aku bergegas bangun dan bersiap untuk pergi ke sekolah. Bus yang akan mengantar kami tour akan tiba tepat pukul 06.00 pagi. Biar memaksimalkan waktu, kata wali kelas kami sambil terkekeh."Din! Zidan udah di depan! " pekik Ibu nyaring.Aku pun berpamitan dengan Ibu dan Bapak, kemudian pergi ke sekolah bersama Zidan."Dingin, Zi. Jangan ngebut-ngebut, " ujarku seraya mengeratkan jakek yang lumayan tebal."Siap, tuan putri, " jawabnya berseloroh.Aku tergelak di dalam hati. Semakin hari, Zidan semakin lihai menggombal. Entah belajar dari mana lelaki satu ini. Dulu, ia terlihat dingin dan kaku. Cinta memang bisa merubah segalanya.Selang beberapa menit, kami sudah sampai di sekolah. Dua bus pariwisata sudah terparkir cantik di sana. Hampir semua siswa terlihat s
"Din, Zidan sakit apa? " tanya Salma."Emang Zidan sakit? Aku nggak tahu, " jawabku datar."Kalian berantem? "Aku hanya diam dan menyiapkan beberapa persyaratan yang harus kukirim ke beberapa pondok tahfidz.Hampir satu bulan setelah acara perpisahan sekolah. Aku tidak berkirim kabar dengan Zidan. Ia tidak pernah lagi menghubungiku. Mungkin lelaki itu benar-benar marah kali ini."Kita tengokin Zidan, yuk! " ajak Salma sambil merajuk."Kata teman-teman, Zidan sakit udah dua minggu? ""Sakit apa? " tanyaku penasaran. Hati kecil ini tidak bisa dibohongi kalau aku masih peduli kepadanya."Katanya kecelakaan, jatuh dari motor, " ucap Salma menatapku lekat.Hari itu, aku hanya berdua dengan Salma. Aisyah tengah sibuk dengan urusan keluarganya. Kami saling bercerita hingga senja, salah satu yang membuatku terhibur adalah berbagi cerita dengan sahabat. Walau tidak banyak membantu,
Zidan tidak membalas pesanku dari semalam. Mungkin, butuh waktu untuk memikirkan semuanya. Memang berat untuk memutuskan semua ini.Bukankah hidup adalah pilihan? Seperti Kak Rianti yang memilih bersama suaminya kembali setelah menghancurkan hatinya. Pilihannya pasti sudah dipikirkan baik-baik. Begitu pun dengan aku yang yakin memilih tujuan hidup sebagai seorang tahfiz.Selama libur, waktuku lebih banyak dihabiskan di rumah. Membantu Ibu dan menambah hapalan. Aroma teh melati menguar hingga ke dalam kamar, aroma manis dan menyegarkan. Ibu pasti sedang menyeduh teh di dapur.Aku hendak melangkah menuju dapur saat layar gawai terlihat menyala.[Assalamualaikum, setelah kupikirkan semalaman. Tetap saja hati kecilku menolak hubungan kita berakhir begitu saja. Aku akan menemui sore ini]Isi pesan itu sedikit mengusik hati. Besok aku harus pergi untuk mewujudkan mimpi menjadi seorang tahfidz tiga puluh juz. Di sisi lain, ada seorang pria yang