Share

Cinta Dan Sahabat

Libur telah tiba,  libur telah tiba, hore! Hore! 

Begitulah aku bersenandung kala libur sekolah di depan mata. Liburan kali ini, tidak ada acara khusus dengan keluarga. Aku memutuskan berlibur dengan sahabatku di rumah Nenek Salma. Aku pamit hanya untuk dua malam di sana. 

"Kamu yakin mau berlibur di sana? " tanya Ibu dengan mimik sedih. 

"Iya, Bu, cuma dua malam kok, hari Rabu juga pulang. "

"Huhh, Ibu di sini nggak ada teman, " ucap Ibu sembari menghela nafas panjang. 

"Kan ada Jelly, he .... "

"Jelly kan kucing, Neng, masa Ibu tidur sama kucing. "

Kami pun terkekeh bersama. Lucu rasanya membayangkan Ibu tidur dan mengobrol dengan seekor kucing. Tapi, itu kan cuma sebentar, toh aku juga bakal pulang ke rumah. 

Ibu kembali membereskan barang-barang yang akan kubawa. Kemudian, aku pun pergi ke kamar untuk mengambil gawai dan benarlah dugaanku. Ada banyak panggilan dari Zidan dan beberapa pesan Whattshap. 

[Din, aku ikut berlibur sama kamu ya? ]

[Jangan, aku tidak enak dengan Salma dan keluarganya]

Tidak mungkin aku membawa Zidan berlibur bersama. Apa kata dunia nanti? Apa kata orang tua dan keluargaku? Kuletakkan gawai di atas nakas, kemudian kembali mengepak barang yang akan kubawa besok. 

***

Setelah menempuh lima jam perjalanan, akhirnya semua terbayar lunas dengan keindahan ciptaan-NYA. Lokasi pedesaan yang asri dengan panorama pegunungan hijau di sekeliling, benar-benar menyejukkan mata dan mendamaikan hati.

"Masya Allah ... Indah sekali pemandangannya. "

"Memang indah, apalagi di atas gunung. Kita bisa melihat seisi kota, " ucap Salma sembari menatap puncak gunung yang menjulang tinggi.

"Iya, kapan-kapan kita naik ke atas gunung sana, " timpal Aisyah bersemangat. 

Rumah Nenek Salma sudah tampak dari kejauhan. Sebuah rumah sederhana berbahan papan nan asri. Tanaman hias mendominasi teras rumah mungil itu. Salma berlari kecil menuju rumah itu. Ia tampak tidak sabar ingin segera berjumpa kakek dan neneknya.

"Assalamualaikum ...."

"Waalaikumsallam, ayo masuk, Neng, "

jawab Nenek seraya tersenyum ramah. 

Salma memeluk Neneknya erat, terlihat sorot kerinduan dari netra keduanya. Ah, andai aku sedekat itu dengan nenekku. Hush, aku pun berusaha mengusir bayangan masa kecilku. 

Suasana rumah yang rapi dan bersih adalah kesan pertama untuk rumah mungil ini. Hidangan makan malam tampak berjejer di atas tilam, menu khas pedesaan yang menggugah Selera. 

"Ayo, pada makan dulu. Kalian pasti lapar seharian di jalan. "

"Iya, Mak. Makasih. "

Kami pun menyantap hidangan sang empunya rumah dengan lahap. Ditemani cerita Nenek tentang masa mudanya. Tentang cinta sejatinya bersama Kakek.

Malam semakin larut, gelap gulita hampir sejauh mata memandang. Tidak ada pencahayaan seterang di kota. Hanya terlihat beberapa sinar lampu temaram di depan rumah beberapa tetangga. 

Aku sengaja duduk di teras rumah bersama Salma dan Aisyah. Sekedar menghirup udara segar. Semilir angin yang berdesir menerpa jilbab panjangku, membuatnya berkibar ke kiri dan ke kanan.

"Apa itu? Kaliat lihat kan? " tanya Aisyah yang terlihat ketakutan. 

"Aku nggak lihat, jangan-jangan ... hantu!" 

" Ish, kamu malah nakut-nakutin, Din. " 

"Tadi ada bayangan orang lari di sana, "

ucap Aisyah sembari menunjuk ke arah pepohonan rindang tidak jauh dari rumah ini. 

"Udah, nggak ada apa-apa kok, ayo masuk, " timpal Salma, kemudian menarik tangan kami untuk masuk ke dalam rumah. 

Sebenarnya aku masih penasaran dengan bayangan tadi. Tapi, tidak apalah, mungkin Aisyah salah lihat atau hanya kucing yang melintas. Yang penting bayangan itu tidak mengganggu kami. Di dalam kamar berukuran tiga kali tiga meter, kami berbagi tempat tidur. Saling bercerita hingga tertidur pulas. 

***

"Neng! Bangun, shalat subuh jamaah yuk, "seru Nenek dari balik pintu kamar tepat setelah azan subuh berkumandang.

Kami bersiap untuk menunaikan shalat subuh di surau dekat rumah. Jaraknya hanya seratus meter. Kami berjalan dengan penerangan obor buatan Kakek. Surau sudah tampak ramai, tua dan muda kompak berjamaah di sana.

Sungguh pemandangan yang jarang terlihat di perkotaan. Netraku mengedar ke sekeliling, jantungku serasa terhenti saat mendapati seseorang yang sangat mirip dengan Zidan. 

" Ais, bukankah itu Zidan? "

"Yang mana? Nggak mungkin, Zidan kan ada di rumahnya. "

"Kamu kangen ya?" goda Salma sambil terkekeh. 

"Stt!! "

Akhirnya orbrolan kami terhenti oleh peringatan seorang Ibu yang berada di shaf depan. Setelah selsai menunaikan ibadah shalat subuh, aku bergegas pergi ke teras mesjid. Menelisik setiap sudut untuk memastikan penglihatanku tadi. 

***

Suasana pagi yang hangat dan segar membuatku betah berlama-lama di sini. Kami berjalan santai, berkeliling kampung hingga ke muara sebuah sungai kecil. Menikmati dinginnya aliran sungai dan panorama indah disekitarnya. 

"Siapa itu? " pekik Salma lantang saat menyadari ada seseorang di balik semak-semak. 

Dalam hitungan detik, seseorang berbaju hitam berlari secepat kilat ke arah hutan kecil. 

"Ayo kita pulang! Aku takut, Sal, " ujar Aisyah dengan tubuh gemetar. Kami saling bertatapan untuk sesaat.

"Jangan-jangan si bayangan yang semalam," ucap kami bersamaan. 

Aisyah yang notabennya adalah seorang penakut berlari mendahului kami, disusul Salma dan aku Dari belakang. 

"Aisyah! Tungguin! "

Kami berlari terengah-engah sampai ke depan rumah. Salma menubruk benda persegi panjang berwarna biru, kemudian bergegas pergi ke toilet. 

"Astagfirullahaladzim, kirain dia ketakutan, ternyata kebelet toh, " ucapku tergelak puas.

"Nggak usah takut, di sini orangnya baik-baik. Palingan cuma ingin kenal, " ucap Nenek setengah terkekeh.

Ternyata Salma sudah menceritakan perihal bayangan hitam itu sebelum kami pergi ke sungai. Kakek dan Nenek semakin terkekeh ketika melihat cucunya berlari ke kamar mandi. Mereka tampak asik menikmati hari tua bersama. Ditemani secangkir kopi dan pisang goreng kesukaan Kakek. 

Betapa beruntungnya pasangan yang tetap bersama hingga ajal memisahkan. Begitupun dengan impianku untuk menua bersama orang terkasih hingga akhir hayat.

"Benarkah hanya orang iseng yang ngintip kemarin? " tanyaku penuh selidik. 

Kami saling berpandangan dan tersenyum pahit. Aku tidak percaya begitu saja dengan penjelasan Nenek. Seperti ada sesuatu yang disembunyikan. Jiwaku meronta-ronta ingin segera menyelidiki si bayangan hitam itu. 

***

Seperti malam sebelumnya, aku dan kedua sahabatku duduk di depan teras untuk menikmati langit malam yang selalu membuatku takjup. Tiba-tiba terdengar suara daun kering yang terinjak, suaranya begitu jelas di telinga, diikuti embusan angin yang membuat bulu kuduk berlari. Dalam sekejap sosok bayangan hitam itu melintas kembali tepat di depan kami. Sontak aku berlari dan mengejarnya, diikuti Salma dan Aisyah dari belakang. 

"Hai! tunggu! " pekikku lantang. 

Sosok berbaju hitam itu sempat berhenti dan menoleh ke arahku. Kemudian berlari secepat kilat dan menghilang di kegelapan malam. Akan tetapi, aku sempat menatap matanya yang tampak tidak asing. Tapi, siapakah sosok berbaju hitam itu? Dan apa maunya? Beribu tanya seolah berputar-putar di dalam otak kecilku. Kucuran air pun turun dengan derasnya dari langit, memaksa kami untuk segera pulang. 

***

Besok pagi adalah hari terakhir kami di desa ini. Aku dan Salma bergegas pergi ke surau sebelum azdan subuh berkumandang untuk memastikan sosok laki-laki yang mirip Zidan. Tiga puluh menit kami menunggu, akhirnya sosok yang ditunggu pun tiba.

"Zidan! " seruku spontan. 

"Kenapa kamu di sini? " cecarku lagi.

"Oh ... Din, Aku lagi main ke rumah teman, " jawabnya gugup. 

"Kamu mata-matain aku?"

"Jangan-jangan ... bayangan itu, Zidan, " ucap Salma geram. 

"Bukan, bukan aku, " sergah Zidan dengan kecepatan tinggi. 

"Makanya, aku ke sini buat jagain kalian, " ucapnya dengan tatapan meyakinkan. 

"Di sini banyak saudaraku, tidak perlu pengawal juga, " ucap Salma ketus.

"Aku bisa jelaskan, Din. Aku khawatir sama kamu. Aku ke sini buat jagain kamu, " jelasnya mencoba meyakinkan. 

"Tapi aku nggak suka cara kamu yang diam-diam memata-matai. "  

Aku pun pergi bersama Salma, meninggalkannya yang masih tercengung.

***

Sinar mentari telah nampak dari ufuk timur. Aroma tanah basah masih tercium oleh hidungku, begitupun dengan jejak-jejak rinai semalam, tetesan embun duduk manis di dedaunan.                    

Barang telah dikemas rapi, kami tinggal menunggu angkutan umum yang lewat untuk sampai ke terminal bus. Zidan tampak berlari ke arahku dengan tas punggungnya.

"Kita pulang bareng! " ajaknya dengan mimik tanpa dosa. 

"Iya nggak apa-apa, biar rame di jalan, " ucap Salma sembari mengedipkan mata ke arah Aisyah. 

Entah apa maksud kedua bocah itu dengan kedipan matanya. Membuatku terpojok dan salah tingkah. Hampir dua jam menunggu. Tetapi, tidak satu pun kendaraan yang melintas di jalan desa. 

"Ambu! Jalan yang ke kota longsor tadi malam, rusak parah, " ucap salah satu tetangga Nenek dengan penuh keyakinan.

"Beneran itu teh, Jang. Aduh Eneng-Eneng belum bisa pulang sekarang, tunggu sampai jalannya betul kembali, " tutur Nenek cemas bercampur bahagia.

Mungkin ini adalah rakdir dari Allah. Entah apa yang akan terjadi kedepannya, semua menjadi rahasia Illahi. Aku hanya bisa berusaha dan berdo'a. 

***

Berambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status