Rangga tidak pulang ke rumah setelah mendapati sang istri berada satu kamar dengan laki-laki lain. Lelaki itu memilih untuk pulang ke rumah orang tuanya.
Mentari bergegas di antar pulang oleh Pak Alex ke rumahnya, dengan tujuan ingin menjelaskan langsung kepada Rangga.
Mobil melaju cepat, membelah jalanan yang agak lengang. Urusan pekerjaan terpaksa dilakukan oleh orang kepercayaan Pak Alex.
Mentari tampak gelisah sepanjang jalan. Rumah tangga yang baru seumur jagung itu terancam kandas hanya karena kesalahpahaman.
"Tenang, Tari. Aku punya rekaman CCTV kita di kamar hotel. Asalkan Rangga mau menonton sampai habis. Semua akan baik-baik saja," ucap Pak Alex untuk menenangkan hati Mentari.
"Iya, Pak. Semoga Rangga mau nonton."
Mobil pun kembali melaju kencang. Hingga tidak terasa sudah sampai di depan rumah Mentari. Namun, sesampainya di sina, lelaki yang dinikahi Mentari itu tidak tampak di mana pun.
Rangga dan mentari akhirnya dapat meluapkan rasa rindu yang telah lama tersimpan. Hubungan mereka semakin menghangat. Bukankah setelah pertengkaran akan lebih membuat hubungan menjadi lebih lengket?***Mentari akhirnya memutuskan untuk berhenti bekerja. Ia memilih menjadi seorang istri dan ibu rumah tangga, menunggu sang suami pulang bekerja, di rumah. Sudah hampir tiga bulan ia berdiam diri di rumah.Matahari bersinar cerah hari itu, Mentari mengantar sang suami yang akan berangkat kerja sampai ke teras rumah. Seperti biasa, Mentari bergegas pergi ke depan rumah untuk membeli sayuran.Para ibu muda sedang berkumpul di lapak tukang sayur langganan. Semua tampak asik memilih dan memilah sayuran segar yang ada di gerobak. Mentari ikut bergabung dan memilih beberapa sayuran."Tari, udah ngisi belum?" tanya salah satu tetangga seraya menatap perut ramping Mentari."Belum, Pok. Belum dikasih sama yang di atas," jawa
Burung-burung terdengar berkicau riang, menyambut sang surya yang telah nampak dari ufuk timur. Tetesan embun pagi masih terliat di dedaunan. Mentari sudah bersiap untuk pergi ke klinik mengambil hasil tes laboratorium tentang kesuburan mereka."Ayo, berangkat sekarang. Ntar keburu macet," ujar sang istri saat sang suami tengah bersantai di teras rumah.Rangga pun beranjak dari tempat duduknya. Memudian bergegas mengambil kunci motor dan pergi bersama sang istri.Suasana klinik masih sepi, hanya ada beberapa pasien yang terlihat menunggu di depan ruang praktek.Pasangan suami istri itu duduk di depan meja. Menunggu sang dokter mengambil hasil tes dari laboratorium.Rangga menggenggam erat tangan Mentari yang semakin terasa dingin. Dadanya berdebar disertai jantung yang berdetak kencang. Perasaan takut dan khawatir mulai menyergap, menghantui keduaya.
Setelah mengetahui hasil tes kesuburan mereka baik-baik saja. Kedua orang tua Rangga pun tidak pernah mempertanyakan masalah anak lagi kepada Mentari. Namun, terkadang mereka selalu menanyakan kapan dirinya akan mendapatkan cucu.Orang tua Rangga akan langsung bungkam setelah anak kesayangannya membela sang istri. Akan tetapi, Rangga tidak selamanya bisa membela sang istri di hadapan kedua orang tuanya. Ada kalanya Rangga tidak bisa berkutik saat kedua orang tua menekan dirinya.Waktu berlalu begitu cepat, hingga tidak terasa usia pernikahan mereka sudah menginjak yang ke dua tahun. Namun Mentari, tidak kunjung hamil. Entah apa yang terjadi dengan wanita muda itu. Ia seringkali menangis dalam diam. Memohon kepada Yang Maha Kuasa agar diberikan kepercayaan dan memberinya seorang buah hati.Bari berganti minggu, bulan berganti tahun, hingga terlewati dua tahun lamanya. Namun, doanya tak kunjung terkabul sampai saat hari itu tiba
Rangga merenung seorang diri. Lelaki perkasa itu tidak berkutik di depan sang Ibunda. Janji yang pernah ia ucapkan kepada Nya, kini harus ditepati."Yang, kamu serius mau nikah lagi?" tanya Mentari dengan tatapan nanar.Rangga beranjak dari duduknya dan menghampiri sang istri."Aku juga nggak mau nikah lagi, tapi, aku terlanjur janji sama Nyak dan Nyak menagihnya terus.Bulir bening tampak menetes perlahan membasahi pipi gadis cantik itu, tidak pernah terbayang sekalipun bahwa pernikahannya dengan teman masa kecilnya akan menjadi seperti ini.Mimpi untuk hidup bahagia bersama sang suami selamanya. Perlahan sirna bersama ketidak hadiran seorang buah hati di dalam pernikahan mereka." Ga, aku nggak sanggup kalau harus berbagi cinta dengan wanita lain," ucap Mentari lirih.Rangga menghampiri sang istri dan mendekap tubuhnya, kemudian mencium kening Mentari berkali-kali. Seolah itu ada
Malang tidak dapat ditolak begitupun dengan takdir yang tertulis untuk Mentari. ia tidak bisa lagi mengelak dari takdir untuk berbagi suami.Sang suami duduk di depan panggung penghulu di samping seorang wanita yang memakai kebaya warna putih. Mentari hanya bisa terdiam dan meremas tangannya sendiri.Manik cokelatnya mulai memanas dengan tubuh yang mulai bergetar hebat saat ijab qobul terucap dari mulut sang suami. Hancur sudah perasaannya. Puput sudah impian masa depan untuk hidup bahagia, kini wanita muda itu bagai berada di ujung jurang yang dalam dan terjal.Ingin rasanya pergi dan menghilang saat itu juga. Namun, besarnya rasa cinta kepada sang suami menahan dan memasung tubuhnya untuk tetap berada di samping Rangga.Air mata pun sudah tidak terbendung lagi, meleleh perlahan membasahi wajah cantik Mentari. Para tamu menatap iba ke arah perempuan yang bernasib buruk itu. P
Rangga tampak tegang menunggu penjelasan sang Dokter selanjutnya. Telapak tangan lelaki bertubuh tegap itu pun menjadi sangat dingin. Perasaan takut kehilangan Mentari tiba-tiba menyeruak dari hatinya."Bapak belum tahu, kalau istri Bapak sedang hamil?" tanya sang Dokter dengan tatapan tajam."Beneran, Dok? istri saya hamil?"Lelaki itu melompat saking girangnya. Ia berlari sambil terkekeh menuju kamar Mentari."Tari, sayang, kita akan punya bayi!" pekik Rangga seraya duduk di samping sang istri."Alhamdulillah," sahut Emak dengan senyum semringah.Mentari yang masih lemas hanya bisa tersenyum tipis. Menatap sang suami dengan pandangan sendu. Suasana haru dan penuh syukur menyelimuti hati ketiganya."Lalu, bagaimana dengan Dina?" lirih Mentari.Semua pun terdiam, seandai
Mentari yang berdiri sendiri tadi menyaksikan Dina berlinang air mata, memohon belas kasihan Rangga pun mulia merasa iba. Wanita berhati lembut itu berjalan dengan tertatih ke arah sang suami."Kak Dina, tolong bantu aku. Bilang sama Kak Rangga agar tidak menceraikanku.Aku akan menjadi madu yang baik buat kakak. Aku akan menjaga Kakak selama Kakak hamil," lirihnya seraya bersimpuh di bawah kaki Mentari.Mentari yang berhati lembut pun merasa iba dan kasihan terhadap gadis yang telah menikah dengan sang suami. Ia meminta Rangga agar memberikan kesempatan kepada Dina untuk menjadi istri keduanya. Walaupun hatinya terluka. Namun, ia tidak ingin egois dan hancurkan masa depan gadis lain."Aku mohon, kasihani keluargaku. Apa kata orang jika mereka tahu putrinya telah diceraikan sehari setelah ijab qabul."Wanita muda itu memohon terus menerus dengan berlinang air mata. Siap
Sepandai-pandainya Tupai melompat, pasti akan jatuh juga. Mungkin itulah pepatah yang cocok untuk pasangan pengantin baru, Rangga dan Dina.Lelaki mana yang tahan melihat wanita yang telah halal untuknya, yang juga berparas cantik dan menggoda, dibiarkan begitu saja. Tidak bisa dipungkiri, begitupun dengan Rangga yang hanya seorang pria normal biasa.Malam itu, hujan deras, petir menggelegar, bersahutan dengan kilat yang menyambar. Mentari dan Emak telah pergi ke rumah saudaranya, untuk menghadiri acara selamatan salah satu saudara dekat mereka.Rangga baru pulang bekerja. Ia disambut manis oleh Dina yang berada di rumah seorang diri. Wanita muda itu sengaja memakai lingeri berwarna merah muda dengan belahan dada yang terlihat dan panjang di atas lutut.Rangga yang baru saja tiba, segera membersihkan tubuhnya dari percikkan air hujan di dalam kamar. Ia tidak menyadari bahwa wa