Share

Bagian Dua

“Bagaimana jika dia sadar? Kita tak akan bisa mengambil alih tubuhnya.” Seorang wanita yang tak dikenal, berdiri di samping Lucy bersama pria ber-jas hitam yang membelakangi Lucy.

Mereka membicarakan Lucy di sampingnya secara langsung. Saat ini, Lucy berbaring di kasur putih dalam ruangan bernuansa hitam dengan ornamen putih di setiap sudutnya, dan lantainya bermarmer putih.

Tidak se-elegan seperti yang dipikirkan, itu berdebu dan penuh dengan noda. Ruangan itu tampak telah lama terbengkalai. Cat hitam di tembok sudah sedikit mengelupas dari tembok yang dingin. Di satu sudut, jaring laba-laba lengkap dengan laba-laba dan serangga yang terperangkap di sana.

“Kita akan menghapusnya dari dunia, hingga tak ada siapapun yang mengingat dirinya beserta orang tuanya,” ujar pria itu dengan suara pelan, tetapi tetap terdengar tegas. Terkadang ia terbatuk karena cerutu di mulutnya.

Mendengar apa yang dikatakan pria ber-jas, mungkin akan lebih baik jika Lucy tetap diam, menutup mata dan berpura-pura masih belum sadar.

“Setelah apa yang terjadi padanya, ia mungkin saja akan sadar beberapa hari lagi. Sebelum saat itu tiba, kita memiliki waktu untuk melakukannya. Kapan kau akan melakukan prosesnya?”

“Polisi-polisi itu terlalu banyak, akan  butuh waktu bagiku untuk membereskan mereka. Setelah aku selesai, gadis ini bisa kutangani.” Pria ber-jas keluar dari ruangan. Sepertinya untuk mulai menyelesaikan para polisi.

Wanita itu menoleh ke arah Lucy dan menatapnya untuk waktu yang lama. Ia tampak ingin menusuk Lucy dengan kukunya yang panjang, runcing, berwarna hitam sehitam gelapnya malam tanpa bulan dan bintang. Matanya sangat tajam dan penuh hasrat.

Sesekali ia membulatkan matanya dan bergumam seolah sedang menikmati hidangan. Atau membayangkan sedang menikmati ‘hidangan’ yang berada tepat di depan matanya ini.

Ia tersenyum cukup lama. Tahi lalat di tepi kiri sudut bibirnya, membuatnya terkesan arogan.

Beberapa saat-saat yang menegangkan di sana, wanita itu meninggalkan ruangan, menyusul pria ber-jas. Lucy tak pernah merasa selega ini mendengar langkah kaki wanita itu menjauh, wanita itu sepertinya lebih kejam daripada pria ber-jas sebelumnya.

Ruangannya menjadi sunyi, Lucy masih tetap menutup matanya. Mungkin saja ada kamera yang mengawasinya. Belum terlalu siap untuk mati, ia dilema antara harus bangun atau tetap tidur, keduanya berakhir di tangan pria itu.

Seseorang masuk ke ruangan itu saat Lucy masih berada dalam dilemanya. Mendekat dan berdiri di samping ranjang Lucy. Ia menunduk menatap Lucy yang terbaring di sana.

Ia mengucapkan sesuatu, secara berulang, tetapi tak ada suara yang terdengar. Seperti sebuah isyarat dengan menggunakan mulutnya.

Suara itu perlahan-lahan mulai terdengar mendesis dan berbisik. Terus berulang. Mendadak ia mendekat ke wajah Lucy. Kini wajah mereka hanya berjarak tiga puluh sentimeter. Kedua tangannya terangkat, meraih pundak Lucy dan mengatakan hal yang mengejutkan bagi Lucy.

“Bangun, Cy. Bangun, Lucy.” Kata itu terus keluar dan berulang dari mulutnya. Ia menggoyangkan tubuh Lucy dan terus mengulangi kata itu, Lucy tak tahu harus bagaimana. Bagaimana nasibnya jika ia bangun? Bagaimana jika ia memilih untuk tetap pura-pura?

Goyangan di bahu Lucy semakin kencang seiring dengan suara seseorang di atasnya. Suaranya mulai serak karena teriakan yang ia keluarkan untuk membangunkan Lucy.

Untuk terakhir kalinya, seseorang di sana berteriak berusaha membangunkan Lucy. Ia tampak hampir putus asa berbalut rasa lelah dalam usahanya membangunkan Lucy.

Keputusan sidang di dalam otak Lucy mengatakan; sebaiknya kau bangun dan memberi tahunya, toh jika kamu tetap berpura-pura, riwayatmu akan tetap tamat di sini.

Sudah diputuskan, Lucy akan membuka matanya sesuai dengan keputusan sidang di otaknya. Jantungnya berdebar, ia terlalu gugup untuk membuka matanya.

Didetik-detik terakhir terbesit di benaknya sebuah pertanyaan. Bagaimana jika orang ini pesuruh mereka?

Ia membuka matanya. Gadis itu terheran karena ruangannya berbeda seperti apa yang ia lihat dalam ruangan sebelumnya, ia juga tak tahu bagaimana ia bisa mengetahui ruangan itu dengan mata tertutup.

Aku mungkin bermimpi lagi, semakin hari semakin aneh,batinnya. Lucy masih terdiam di atas kasur, merenungi apa yang ada di mimpinya tadi. Orang yang membangunkannya terasa nyata, bahkan bahunya terasa sakit karena genggamannya. Bagaimana bisa rasa sakitnya  terasa nyata jika itu hanya mimpi?

Suara langkah kaki kembali terdengar mendekat menuju ke kamarnya, sesaat berikutnya ketukan pintu terdengar. “Lucy, sayangku. Apakah kau sudah bangun? Kemarilah untuk sarapan bersama kami jika kau sudah siap.”

“Apa? Sarapan?” Lucy bangun dan duduk bersila di atas kasur, melihat jam digital di meja belajarnya. Di sana tertulis pukul 8.15 pagi. Menggosok matanya tak percaya, tidak biasanya ia bangun terlambat. Apa mungkin karena mimpi itu?

Sesegera mungkin, tangan gadis itu merapikan tempat tidur dan pergi ke bawah untuk sarapan bersama kakek dan neneknya. Sebelum itu, ia memutuskan untuk membersihkan diri di kamar mandi, tetapi tidak untuk mandi.

Gadis itu beranjak pergi dari kasurnya, berjalan menuju kamar mandi pribadinya. Sesekali ia menggosok matanya sambil berjalan agar rasa kantuknya menghilang.

Mendadak memorinya mengingat kejadian semalam, ia memikirkan kembali  apa yang dikatakan wanita yang menyentuh bahunya kala itu. “Apakah dia ada kaitannya dengan orang kucari? Aku akan menunggu hingga waktunya tiba.” Lucy tersenyum meyakinkan dirinya.

“Atau mungkin juga tidak perlu menunggu.”

Tangan gadis itu kini memutar gagang pintu kamar mandi di depannya dan masuk ke dalam, menguncinya kembali. Di dalamnya terdapat cermin besar di atas westafel dengan tempat penyimpanan di bawahnya, berisi; P3K, handuk, dan beberapa perlengkapan pribadinya.

Ia masuk dengan memandangi lantai, ia merasa tenaganya belum terisi penuh. Mencoba melihat ke arah cermin besar di depannya, tampak matanya sedikit membengkak dan menghitam.

“Apa-apaan ini? Kurasa semalam aku tidur dengan baik,” ujarnya ketika menggosok kembali matanya yang sedikit bengkak itu. “Mungkin ...,” imbuhnya.

Ia menyalakan keran air dingin, dan membasuh wajahnya dengan lembut. Kemudian mengeringkan wajahnya yang telah dibasuh dengan handuk. Waktu yang ia habiskan tak sampai sepuluh menit untuk melakukan itu.

Lucy keluar dari pintu kamarnya dengan menggunakan piyamanya, ia merasa malas untuk mengganti pakaian. Sehingga ia akan sarapan bersama dengan piyama kesukaannya itu,

Piyama itu berwarna hitam polos dengan bahan katun premium. Karena harganya yang mahal, itu menjadi kesukaan Lucy.

Ia menuruni tangga di rumah kakeknya yang berbahan dasar kayu, setiap langkah akan mengeluarkan suara jika menggunakan sendal atau sepatu dengan bagian bawah yang keras.

Slippers yang ia kenakan membuat langkahnya tak terdengar. Rasanya sangat nyaman menggunakan slippesr di dalam rumah.

Di meja makan telah ada yang menunggu Lucy di sana, seorang gadis kecil berambut ikal sedang menunggu Lucy. Ia melihat ke arah Lucy yang sudah menuruni tangga, “Kakak! Kemarilah! Kita sarapan bersama!”

Di sana hanya ada kakek dan adiknya, nenek Lucy masih berada di dapur yang berada tepat di belakang meja makan bersama dengan Bik Nah. Mereka tengah menyiapkan makanan.

Lucy memandangi wajah adiknya sampai di kursi meja makan, adiknya juga melakukan hal yang sama. Ia duduk di samping adiknya, kemudian tersenyum kepada adiknya saat menduduki kursi yang telah disiapkan.

“Apakah kau baik-baik saja semalam?” tanya kakeknya kepada Lucy. Ia bertanya dengan koran di depannya, membaca berita harian seperti biasa.

“Ya, aku baik. Ada apa?” ujar Lucy kembali menanyai kakeknya. Meskipun mereka sedang mengobrol, kakeknya tetap fokus pada koran dan sesekali meminum teh hijau miliknya. Ia meminum teh hijau karena ingin mengembalikan kesehatannya, dokter mengatakan ada masalah dalam dirinya ketika check up kemarin lusa.

Masalah lansia pada umumnya, gula darah. Dokter menganjurkannya untuk mengonsumsi makanan dan minuman mengandung teh hijau, untuk membantunya mengurangi gula dengan nikmat.

“Kami mengunjugi pamanmu di rumah sakit pada sore hari dan kami pulang sekitar pukul 06.00 pagi ini. Bibimu melahirkan. Kakek memberitahumu kemarin sebelum berangkat, tetapi kau tidak menjawab, Kakek mengira kau sedang tidur dan akhirnya menuliskan pesan untukmu di pintu lemari es.”

Lucy mendapat serangan panik setelah mendengar penjelasan kakeknya, “Jadi, semalam  bukanlah Kakek?” batin Lucy. Adiknya yang berada di sebelah Lucy, memperhatikan sikap kakaknya yang tiba-tiba berubah.

Lucy terdiam dan pandangannya tampak kosong. Raut wajahnya samar terlihat kebingunan dan syok.

“Ada apa, Kak? Apakah kakak ingin ikut bersama kami kemarin?” tanya adiknya seraya memegang tangan Lucy. Kakeknya turut menaruh korannya dan memandangi Lucy dengan pertanyaan yang sama.

“Umm, tidak bukan begitu,” jawabnya dan kembali tersenyum tipis kepada kakek dan adiknya. “Bagimana dengan Bik Nah? Apakah dia juga pergi?” Pria paruh baya itu hanya mengangguk dan kembali membaca korannya.

Nenek dan Bik Nah telah selesai menyiapkan makanan dan tengah menaruhnya di meja. Lucy sarapan dengan baik dan tidak memikirkannya untuk saat ini. Kakek, nenek, Bik Nah, dan adiknya asik mengobrol, sesekali mereka menggoda adik Lucy. Tetapi, tidak dengan Lucy ia hanya makan dengan ketenangan pikirannya dan mengabaikan semua orang di sana.

Ia selesai terlebih dahulu, langsung saja Lucy berpamitan dan kembali ke kamarnya. Ia berjalan dengan santai, menikmati setiap langkah yang ia lewati, membantu sistem pencernaannya menurunkan sarapannya.

Kamarnya berada tepat setelah tangga, sehingga ia tak perlu berjalan lebih jauh lagi. Tangannya menggenggam gagang pintu kamarnya. Matanya masih mengamati gagang pintu yang ia genggam. Entah apa yang ia lihat.

Termenung beberapa saat seraya menggenggamnya. “Apakah aku benar-benar sendirian semalam?”

Ia memutar  gagang pintu, masuk ke dalam kamarnya, dan menutupnya dengan sedikit dorongan. Langsung menuju kamar mandi dan tentunya kali ini ia akan mandi. Dengan harapan pikirannya saat ini ikut mengalir jatuh ke bawah bersama dengan air.

Ataukah semalam juga mimpi?

Setelah dua puluh menit, gadis itu kini berada di depan pintu kamar mandinya dengan handuk di tubuhnya. Memandangi sekeliling kamar, sambil berjalan menuju lemari pakaian, mengambil pakaian dan berganti pakaian.

Ia memilih menggunakan sweater berwarna merah tua, polos dan menggenakan celana pendek. Berjalan menuju komputernya, di sana terdapat memo yang ia tuliskan semalam, Lucy memindahkannya ke sudut layar.

Tangannya menggerakkan mouse dengan lihai dan mengecek kembali email-nya. Teringat bahwa Rino mengajaknya bertemu malam ini. Bukankah malam ini adalah Satnight?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status