Share

Bertemu Evi

Hari demi hari dilalui Wina dengan mengurus dan merawat kedua balita kakaknya. Keinginannya untuk ikut kelas tari lagi juga masih belum bisa terlaksana. Apalagi jika dirinya mau melamar kerja? Tak mungkin bisa dan tak tega pastinya.

Rio dan Rena mulai sering bertengkar saling memperebutkan mainan. Sementara Tegar jika melihat keponakannya ribut, pasti akan mendatangi mereka dan langsung main tangan. Itulah mengapa Wina harus benar-benar menjaganya. Kasihan kalau sampai adiknya menyakiti Rio dan Rena.

Sesuai dengan amanah Pak Aji, hari ini Wina pergi menuju toko elektronik membeli mesin cuci. Jarak rumahnya ke daerah pertokoan ditempuhnya dalam waktu hampir satu jam.

Dengan mengayuh sepedanya, Wina berangkat bersama Rena yang didudukkan di boncengan depan. Salah satu keponakan diajaknya biar ibunya tak terlalu kerepotan. Jika pergi bersama-sama harus menyewa becak dan cukup mahal ongkosnya.

Memakai kulot panjang bermotif bunga, kaos polos berlengan panjang, rambut lurusnya yang sebahu digulung dan dimasukkan ke dalam topi warna hitam.

Penampilan Wina memang sangat sederhana, terkesan amburadul kata orang-orang di sekitarnya. Padahal mereka semua tak tahu, Wina sengaja berpakaian seperti itu untuk menutupi wajah cantiknya.

Wina tak ingin menjadi pusat perhatian orang-orang yang dilewati nantinya. Apalagi dia pergi ke tempat yang cukup jauh dengan bersepeda. Wina sudah lelah dengan laki-laki yang sering memandangnya dengan tatapan mesum. Dipandang sebagai gadis yang berpenampilan kampungan, itu lebih baik baginya. Bahkan topi yang dipakainya pun terlihat buluk dan pudar warnanya.

Sampai di sebuah toko elektronik, Wina memilih mesin cuci bertabung dua. Dipilihnya satu merk yang sudah terkenal tapi harganya masih murah. Ibunya membawakannya uang satu setengah juta. Ada kelebihan uang dua ratus ribu, Wina pun pergi ke salah satu counter, membeli sebuah ponsel dan kartu pulsa dengan uang yang tersisa.

"Alhamdulillah, akhirnya kita punya ponsel, ya, Dek. Meskipun ponsel biasa, yang penting bisa buat telepon dan kirim pesan," ucap Wina pada keponakannya. Rena hanya diam memandangnya karena tak mengerti apa yang dibicarakan gadis yang sudah merawatnya.

Mengayuh kembali sepedanya pulang ke rumah. Sepanjang perjalanan Wina tersenyum bahagia, sambil sesekali mengajak bercanda Rena. Terkadang berhenti sebentar di tempat yang rindang, beristirahat dan menghilangkan dahaga. Bahkan Wina sudah mempersiapkan bekal minuman dan cemilan sendiri dari rumah.

"Wina!"

Seseorang memanggil namanya dengan suara yang cukup kencang. Wina pun menghentikan kayuhannya, berdiri dan menengok ke belakang. Seorang wanita menghampirinya dengan motor matic berwarna hitam.

"Ooh ... Mbak Evi. Aku kira siapa." Setelah wanita yang memanggilnya membuka helm, Wina baru mengenalinya.

"Iya, kamu dari mana? Dan ini keponakanmu yang dulu masih bayi itu, ya?" Evi, seorang guru di sebuah sanggar tari dan Wina adalah salah satu mantan muridnya.

"Iya, aku dari kota, Mbak," ucap Wina sambil membetulkan posisi sepedanya.

"Oh, kuat juga kamu mengayuh sepeda ke kota. Sekarang kegiatanmu apa?" tanya Evi dengan maksud tersembunyi. Melihat Wina, Evi ingin mengajak Wina menari lagi.

Evi memandang dengan kagum pada Wina, di mana zaman sekarang hampir tidak ada lagi seorang gadis seusia Wina yang mau bersepeda, apalagi dengan jarak yang sangat jauh baginya.

"Sudah biasa aku ke kota naik sepeda. Aku nggak ada kegiatan, Mbak. Aku di rumah saja bantuin ibu merawat keponakan," jawab Wina sambil tersenyum.

"Eh, kita ke warung bakso itu, yuk. Biar enak ngobrolnya." Wina pun mengangguk dan mengayuh sepedanya mengikuti motor Evi yang berjalan pelan.

Mereka berhenti di sebuah warung bakso yang paling dekat. Evi langsung memesankan dua mangkok bakso dan juga teh hangat. Duduk berhadapan, Evi memperhatikan Wina yang sedang memberikan sebotol susu pada keponakannya.

Evi sangat suka memandang wajah Wina yang cantik alami, apalagi hidung mancungnya. Entah keturunan dari mana, tapi wajah Wina seperti gadis blasteran Arab-Cina menurutnya.

Wina sangatlah cantik dan menawan bagi Evi. Alis tebal, bulu mata lentik, mata sipit, hidung mancung, kulit putih bersih alami. Wajah Wina sangat menarik meskipun tanpa polesan. Hanya saja Wina sangat cuek dan pendiam, tak pernah menghiraukan lawan jenis yang mencari perhatian.

Wina adalah salah satu murid kesayangannya, sewaktu belajar menari di sanggarnya. Evi beruntung bertemu lagi dengan Wina, dia ingin menjadikan Wina penari idola. Dengan wajah dan gerakan tubuh indahnya, Evi yakin sekali bisa menghasilkan banyak uang jika mengajak gadis yang ada di hadapannya.

"Kamu nggak ingin ikut menari lagi, Win? Kalau kamu mau, bantuin aku melatih anak-anak. Muridku semakin banyak, tapi asistenku cuma satu. Belum lagi kalau aku ada panggilan buat mengisi acara, terpaksa aku meliburkan mereka." Evi mencoba memberi tawaran pekerjaan pada Wina.

"Sebenarnya aku mau, Mbak. Kemarin juga ada rencana mau gabung lagi di sanggarnya Mbak Evi. Tapi aku bingung, kasihan ibuku kalau aku tinggal. Adikku begitu, keponakanku masih balita. Makanya aku mau melamar kerja juga nggak bisa. Nggak tega kalau seharian meninggalkan ibuku sendirian," keluh Wina.

Evi memang sedikit banyak tahu kehidupan Wina karena sudah menjadi muridnya hampir lima tahun lamanya. Wina juga sudah menguasai beberapa tarian daerah. Remo, gambyong, jaipong, bahkan Evi dulu pernah beberapa kali mengajak Wina ikut mengisi acara, namun selalu ditentang oleh ayah Wina. Ayahnya hanya ingin Wina fokus pada sekolahnya.

"Kamu ada nomor ponsel nggak? Kalau aku ada panggilan, kamu mau ikut? Kalau ngisi acara 'kan cuma beberapa jam saja, Win. Nggak seperti kerja di pabrik, harus seharian apalagi kalau harus lembur. Uangnya juga lumayan buat keperluanmu," saran Evi.

"Ini tadi ke kota juga baru beli ponsel, tapi yang biasa. Yang penting bisa buat telepon dan kirim pesan," balas Wina.

"Boleh aku minta nomer ponselmu? Kalau ada acara, akan aku kabari, barangkali aja kamu mau dan ada waktu." Evi terus berusaha mendapatkan nomor telepon Wina. Dia tak ingin pertemuannya dengan Wina sia-sia.

"Iya, ini nomornya, Mbak."

Wina pun menyebutkan nomor ponselnya. Dirinya bersyukur sekali sudah memiliki ponsel meskipun masih jadul, bisa berguna untuk menghubungi teman atau kakaknya. Selama ini Wina selalu berhubungan dengan kakaknya melalui ponsel milik Bu Sari, tetangganya yang baik hati.

"Oke, terima kasih. Aku beruntung sekali melihat kamu tadi. Lama sekali kita tak pernah bertemu. Oh, ya, bagaimana kabar orang tuamu?" tanya Evi.

"Ayahku meninggal dunia sekitar tiga bulan yang lalu, Mbak. Makanya aku nggak bisa ke mana-mana, bantu ibu mengurus keponakanku. Apalagi kakakku sekarang bekerja di Jakarta," jawab Wina dan menceritakan keadaan dirinya yang sesungguhnya.

"Innalillahi w* innalalillahi rojiuun ... maaf, aku nggak tahu," balas Evi menyampaikan duka citanya.

"Iya, Mbak. Nggak apa-apa kok. Santai saja, aku sudah ikhlas. Makanya aku sebenarnya bingung, Mbak. Ingin bantu kerja, tapi nggak tega kalau ibu merawat adik dan kedua keponakanku sendirian," ucap Wina sambil tersenyum memperlihatkan lesung di kedua pipinya.

"Ya, sudah. Ikut aku aja menari lagi. Nanti kalau aku ada panggilan, kamu ikut, ya. Paling cuma beberapa jam saja," ajak Evi.

"Insyaa Allah, Mbak. Nanti aku akan bilang sama ibu," balas Wina dengan perasaan senang.

"Habiskan dulu baksonya, kalau mau nambah bilang saja ke abangnya," kata Evi.

"Nggak usah, Mbak. Ini saja sudah cukup, terima kasih."

Evi dan Wina pun menghabiskan bakso dan minuman mereka dalam keheningan. Wina adalah gadis yang pendiam, apalagi dengan orang yang tak dikenalnya. Kalau tak ditanya, tak mungkin Wina bicara. Meskipun dengan Evi sudah saling mengenal, kalau Evi tak mengajaknya bicara, Wina tak akan mengucapkan kata-kata.

Sesekali mata Evi memandang kagum wajah gadis di hadapannya. Bayangan lembaran rupiah yang akan diperolehnya sudah terpampang di depan mata. Senyum manis di wajah ayunya berubah menjadi seringai tipis yang tak diketahui oleh Wina. Sebuah rencana licik pun tiba-tiba datang dalam pikirannya.

Aku harus berhasil membujuk Wina agar ikut menari denganku. Dengan wajah cantik dan juga kemolekan tubuhnya, aku yakin dia akan jadi idola. Aku akan pasang tarif yang mahal bagi yang menginginkan Wina tampil di acaranya. Untuk gadis miskin ini, aku akan memberi sekedarnya saja. Aku yakin dia pasti sudah merasa senang dengan dua atau tiga lembar uang merah.

Begitulah yang terjadi di zaman ini. Menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kesenangan duniawi. Membuat hati yang tadinya bersih, tiba-tiba menjadi manusia yang tak lagi memiliki nurani.

"Win, aku pulang dulu, ya. Besok kalau memang ada panggilan tari, aku akan meneleponmu. Semoga saja kamu bisa," ujar Evi sambil menjabat tangan Wina.

"Baik, Mbak. Terima kasih traktiran baksonya," balas Wina dengan sopan.

"Iya, sama-sama. Aku sangat berharap kamu benar-benar mau menari lagi denganku."

"Insyaa Allah aku mau," sahut Wina dengan cepat.

Evi pun berlalu dengan mengendarai motor maticnya. Sementara Wina kembali mengayuh sepedanya bersama Rena yang sudah terlihat mengantuk. Wina sangat senang sudah memiliki ponsel sendiri. Kesenangannya bertambah karena pertemuannya dengan Evi, sang guru tari.

Wajah polos Wina menandakan kegembiraan yang amat sangat. Tanpa disadari, pertemuannya dengan Evi adalah awal bencana yang membawanya pada ujian hidup yang sangat berat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status