Share

Wina Gadis Penari
Wina Gadis Penari
Author: Mama fia

Kehilangan

Wina memeluk kedua kakinya, menumpahkan air matanya, menangis sejadinya. Baru satu minggu dia lulus SMA, ayahnya sudah tiada. Dua hari yang lalu ayahnya tiba-tiba jatuh dan terkena stroke, setengah tubuhnya tak bisa digerakkan. Setelah dibawa ke rumah sakit, ayahnya pun meninggal dunia setelah dirawat satu malam.

"Wina, ada saudara ayah di depan. Tinggal menunggu Om Wisnu saja, setelah itu baru ayah dimakamkan," Bu Yati, ibu kandung Wina berkata lirih sambil mengelus lengan putrinya.

"Kenapa harus menunggu, Bu? Apa Om Wisnu pasti datang? Kasihan ayah kalau dimakamkan terlalu siang." Wina membersihkan sisa-sisa air matanya. Berusaha menguatkan dirinya.

"Sudah dalam perjalanan, sebentar lagi sampai. Ayo, kamu keluar. Bersiap ikut ke makam." Bu Yati mengajak keluar putrinya. Saudara suaminya sudah datang dari luar kota. Sementara Wina dari tadi hanya mengurung diri di kamarnya.

"Wina nggak bisa ikut, Bu. Tadi pagi tamu bulanan Wina datang. Wina di rumah saja sambil menemani anak-anak. Mereka biar di rumah, nggak usah ikut ke makam," kata Wina dengan sedih. Dirinya terpaksa tak bisa ikut ke acara pemakaman ayahnya.

"Ya sudah, yang penting jangan mengurung diri terus. Itu salaman dulu sama saudara ayah. Jauh-jauh dari luar kota tapi kamunya malah di kamar saja. Sedih boleh, tapi jangan terus-terusan."

" Nggih, Bu."

Wina melangkahkan kakinya ke kamar mandi. Membasuh wajah sembabnya yang penuh bekas air mata, sebelum bertemu dengan saudara ayahnya.

Terlihat dari samping rumahnya, mobil mewah yang berjejer di depan rumah. Wina merasa sedikit malas jika harus bertemu mereka semua. Teringat pesan terakhir sang ayah, yang tak dihiraukan oleh ibunya.

"Aku nanti kalau mati, saudaraku nggak usah dikabari. Langsung saja dikubur, tetangga kita banyak, nggak usah bingung."

"Ya nggak bisa begitu, Yah. Aku ini ipar, kalau ada apa-apa sama Ayah harus kasih tahu mereka. Paling nggak, aku kasih kabar ke Mas Aji. Terserah nanti Mas Aji mau kasih kabar ke yang lainnya atau nggak, itu urusannya."

"Ya sudah, terserah kamu saja."

"Memangnya kenapa, kok tumben ngomong-ngomong soal mati. Kayak orang yang sedang sekarat saja Ayah ini."

"Ya, namanya manusia 'kan kita nggak tahu kapan kita meninggal. Umur kita nggak ikut punya, Bu. Besok aku mau potong tempat tidur besar yang di belakang juga. Biar kamu nggak usah repot cari pinjaman buat naruh jenazahku."

"Ayah ini aneh-aneh. Zaman sekarang nggak mempan pesan-pesan kayak gitu, kayak mau meninggal beneran saja. Sudah, Yah. Nggak usah diteruskan omongannya, tambah nggak karuan."

Wina mendengar jelas percakapan orang tuanya. Waktu itu dia sedang belajar menghadapi ujian kelulusan. Wina sendiri hanya menggelengkan kepala, menganggap ucapan ayahnya hanya candaan.

Ayahnya memang kurang akur dengan saudaranya. Hanya dengan kakaknya yang paling tua saja yang dianggapnya saudara. Pakde Aji, Wina menyebutnya. Orangnya gagah, tinggi besar, berwibawa, kaya raya, pensiunan perwira. Bagi Wina, Pak Aji sangat baik meskipun terkadang sikap tegasnya membuat dirinya takut. Namun, hanya dengan ayahnya saja, Pak Aji bisa nurut.

Mereka seperti dua orang sahabat. Pak Aji selalu meminta pendapat pada adiknya, dan selalu menuruti apa yang disarankan padanya. Ayah Wina bukan orang yang berpangkat seperti saudara-saudara lainnya, namun dia adalah orang yang bijaksana. Bahkan beberapa bulan ini hampir tiap hari Pak Aji bertandang ke rumahnya. Mungkin itu semua sudah pertanda, mereka akan berpisah selamanya.

Ayah Wina seorang yang sederhana, tak materialistis seperti saudaranya. Itulah salah satu alasan ayah Wina tak suka dengan mereka, fitnah yang kejam masalah harta sudah terlanjur dituduhkan pada ayahnya. Padahal ayah Wina sama sekali tak mengambil apa-apa.

Jangankan secuil harta, bahkan rumah yang ditempati saat ini masih menyewa. Padahal mereka semua adalah orang-orang berpangkat dan berharta, namun tetap saja mengungkit masa lalu yang sudah terlanjur salah.

Ternyata ucapan ayahnya menjadi kenyataan. Dua bulan setelah percakapan itu, ayahnya mengembuskan nafas terakhirnya. Bahkan tempat tidur besar dari bahan kayu, sudah digergaji sendiri sebagai persiapan tempat jenazahnya. Rumahnya pun juga dibersihkan dan dicat ulang oleh ayahnya seperti akan mengadakan sebuah acara.

Mengingat itu semua Wina kembali meneteskan air mata. Namun, dia harus kuat di depan para pelayat yang sudah berkumpul di halaman rumahnya. Terdengar lantunan do'a dan sambutan dari Pak Ustadz yang diucapkan di depan keranda. Tak lama kemudian mereka pun menuju tempat pemakaman dengan berjalan kaki bersama-sama.

"Ayahku mana? Ayahku dibawa ke mana? Kata orang-orang tadi ayah mau dikubur. Aku nggak mau ayahku dikubur. Aku nggak mau ... Ayaaah ...."

Terdengar suara adik laki-lakinya, Tegar. Teriakannya membuat ingin menangis bagi orang yang mendengar. Wina pun menghampirinya, mencoba ikut menenangkan. Jika Tegar mengamuk, ibunya akan kewalahan. Namun, dilihatnya Bu Yati yang sedang memegangi tangan adiknya, didampingi beberapa tetangganya yang tak ikut ke pemakaman.

"Ibu nggak ikut ke pemakaman?" tanya Wina pada ibunya yang masih menenangkan Tegar.

"Nggak, ibu di rumah saja. Nunggu Tegar biar nggak ikut ke sana, takut malah mengganggu acara pemakaman. Kamu tolong lihatin Rio dan Rena di rumah Bude Sari. Tadi diajak ke rumahnya karena di sini masih banyak orang."

"Baik, Bu."

Wina melangkahkan kakinya menuju Bu Sari, tetangga samping rumahnya. Bu Sari sangat baik dan tulus pada mereka. Dia seorang janda, namun kehidupannya jauh di atas mereka. Uang pensiunan dan kontrakan rumah yang berjejer di desanya, membuat Bu Sari tak pernah merasakan kekurangan.

"Bunda ...."

Suara lirih Rio menyambut kedatangan Wina. Kedua keponakan yang dirawatnya memanggil Wina dengan sebutan "Bunda". Mereka anak kakak laki-lakinya, korban perceraian. Ibunya menikah lagi dan tak tahu kabar beritanya sampai sekarang. Rio, berusia tiga tahun, Rena baru genap satu tahun dua bulan yang lalu.

"Iya, Rio sedang makan apa? Mana Dek Rena?"

Wina mendekati Rio yang sedang makan di teras rumah Bu Sari. Rio anak yang mandiri, namun terkadang sulit berkomunikasi. Wina hanya bisa menduga, Rio terlalu sering melihat pertengkaran orang tuanya sehingga membuatnya terkadang seperti ketakutan, apalagi saat dia berada di depan banyak orang.

Sementara Tegar, adik laki-lakinya adalah seorang anak yang berkebutuhan khusus. Usianya berbeda enam tahun dengannya. Tuna grahita atau disabilitas intelektual dialami Tegar karena kesalahan seorang dokter anak yang menanganinya.

Tegar yang lahir di usia prematur waktu itu demam tinggi. Seorang dokter memberikan suntikan padanya, mengakibatkan syaraf otak bagian kirinya rusak dan menjalar ke seluruh syaraf di tubuhnya. Dokter itu pun akhirnya dipecat karena malpraktik yang dilakukannya.

Pak Aji sebenarnya ingin membawa kasus Tegar ke pengadilan tapi ayahnya melarang. Semua sudah dianggap suratan takdir bagi orang tua Wina. Ke pengadilan hanya membuang waktu dan uang saja bagi mereka. Keadaan Tegar toh tetap akan sama, tak mungkin bisa sembuh seketika, begitu kata ayahnya.

Dengan pengobatan rutin selama lima tahun, adiknya memang bisa berjalan, bicara, dan fisiknya tumbuh dengan normal. Namun, pemikiran dan tingkah lakunya seperti anak balita. Jika meminta sesuatu, Tegar akan marah jika tak dituruti keinginannya. Marahnya Tegar bisa membuat satu kampung berdatangan untuk menenangkannya.

Bagaimana nasib mereka setelah ini? Ayahnya sudah tiada, rumah masih menyewa, ibunya hanya seorang ibu rumah tangga, adiknya yang seperti itu ditambah dengan kedua keponakan yang masih balita. Sementara kakak laki-lakinya hanya bekerja serabutan, penghasilannya tak bisa dipastikan.

"Wina, yang sabar, ya. Bude yakin kamu pasti kuat. Jangan menangis terus, kasihan ibumu." Bu Sari mendekati Wina yang sedang melamun, butiran air mata yang jatuh di pipi tak disadarinya. Wina pun tersenyum dan menghapus jejak air matanya.

"Iya, Bude. Terima kasih sudah membantu menjaga Rio dan Rena. Disuruh ibu bawa mereka pulang. Renanya mana?"

"Rena dari tadi mengantuk, sudah kutidurkan di kamar depan. Biarlah mereka di sini dulu, Win. Kamu pulang saja, masih banyak tamu juga di rumahmu. Kalau anak-anak rewel, biar nanti aku antar saja." Bu Sari sudah terbiasa dengan kehadiran Rio dan Rena. Wanita yang seumuran dengan Bu Yati itu merasa kesepian karena tinggal di rumah sendirian.

"Rio di sini atau ikut Bunda pulang?" Wina bertanya pada Rio yang masih asyik dengan makanannya.

"Di sini saja lihat tivi." Rio pun menjawab tanpa melihat ke arah Wina.

"Baiklah, jangan rewel, ya. Bunda pulang dulu."

Wina pun pamit, berjalan menuju rumahnya. Dilihatnya dari kejauhan saudara dan tetangganya sudah kembali dari pemakaman, berjalan mendekat ke arahnya. Wina pun menunggu mereka dan duduk dekat dengan adiknya. Tegar terlihat lebih tenang, duduk sambil makan cemilan kegemarannya.

"Win, ayahku mati, ya? Katanya sudah dikubur sama bapak-bapak. Tadi aku nggak boleh ikut sama ibu. Aku ingin lihat ayah dikubur. Kapan-kapan saja kalau kamu ke kuburan aku ikut, ya?"

Begitulah Tegar, jika orang lain yang melihatnya sekilas, akan berpikir dia adalah anak normal. Bicaranya pun juga biasa, tak ada masalah. Tegar memanggil dirinya hanya namanya saja, tak pernah mau memanggilnya dengan sebutan "Mbak", entah kenapa. Padahal orang tuanya sudah mengajari Tegar berulang-ulang. Herannya, jika dia memanggil kakak laki-lakinya dengan panggilan "Mas", Mas Bayu.

Bayu, kakak laki-laki satu-satunya, usianya terpaut cukup jauh dengan Wina. Setelah perceraiannya dengan istrinya, hidupnya seperti tak tentu arah. Pekerjaan tetapnya yang mulai membuatnya mapan, ditinggalkannya begitu saja. Bayu terpaksa pulang ke rumah dengan membawa kedua anaknya yang masih balita. Pekerjaan pun tak punya, padahal dia seorang sarjana.

"Iya, nanti kalau Wina ke makam, insyaa Allah aku ajak. Tapi jalan kaki, ya. Di kuburan juga nggak boleh teriak-teriak, nanti dimarahin Pak Ustadz." Wina menjawab pertanyaan adiknya. Tegar pun tertawa lalu berjingkrak senang.

"Horee ... horee ... aku diajak Wina ke kuburan. Aku diajak Wina ke kuburan ayahku. Aku mau lihat ayah di kuburan. Horee ...."

Orang-orang yang sudah mulai berdatangan melihat Tegar hanya bisa tersenyum, sesekali mengusap sudut mata mereka karena ingin menangis. Keadaan Tegar beserta ibu dan juga Wina kini terlihat miris.

"Wina, yang sabar, ya. Insyaa Allah kita nanti bakal sering-sering menjenguk kalian. Maaf, kami tak bisa berlama-lama. Kamu yang kuat, jaga ibu dan juga adikmu."

"Alhamdulillah kamu sudah lulus, ayahmu meninggal dunia. Kalau misalnya kamu belum lulus kan malah bingung biaya sekolahnya. Nggak usah dipaksakan kuliah, langsung saja cari kerja."

"Iya, kuliah juga biayanya mahal, kasihan ibumu. Kalau kamu mau, menikah saja. Nanti biar Tante carikan suami yang kaya."

Wina hanya mendengarkan saja tanpa berniat membalas ucapan saudara-saudara ayahnya. Om, tante, pakde, bude, semuanya kaya raya, berkedudukan, punya jabatan, tapi bagi Wina tak ada yang memiliki perasaan. Wina hanya diam, bersalaman dengan mereka satu per satu yang mulai pamit pulang.

Om Wisnu yang jauh-jauh datang naik pesawat terbang pun ikut dengan mereka. Wajahnya terlihat sangat sedih, dia sedikit shock mendengar berita kematian kakaknya. Sebelum pulang, sempat Wina mendengar Wisnu berkata pada ibu dan Bayu kakaknya.

"Mbak Yati, yang sabar. Maaf kalau selama ini aku nggak pernah menjenguk kalian. Minggu depan kalau Bayu mau, langsung saja datang ke kantorku. Ada lowongan bagian Humas di sana. Aku tahu Bahasa Inggrisnya Bayu bagus, makanya aku mau dia kerja di sana."

"Terima kasih, Wisnu. Insyaa Allah Bayu akan ke sana, setelah tujuh harinya Mas Heru."

Saudara ayah Wina ada tujuh orang, Wisnu adalah saudara laki-laki terakhirnya. Kakek nenek Wina dari ayahnya adalah keluarga terkaya di kampungnya. Namun semuanya sudah meninggal di saat Wina belum lahir ke dunia.

Para tamu dan tetangga semua sudah pulang. Ada juga beberapa orang dari kampung sebelah berdatangan. Pak Heru, ayah Wina, bukanlah orang yang terpandang, tetapi Wina bersyukur sekali karena banyak yang berdatangan untuk mengucap belasungkawa.

Wina pun kembali ke belakang, berniat untuk merebahkan diri di kamarnya. Tanpa sengaja, dilihatnya Bayu sedang berbicara serius dengan ibunya. Tanpa sadar, Wina mendengar pembicaraan mereka.

"Kamu berangkat saja ke Jakarta. Om Wisnu juga sudah menawarkan pekerjaan, kan?"

"Aku nggak tega, Bu. Nanti siapa yang merawat dan menjaga anak-anakku. Kalau Wina kerja bagaimana? Biar aku cari kerja di sini saja, Bu."

"Jangan, pergilah ke Jakarta. Penghasilan di sana pasti lebih tinggi daripada gaji di sini. Demi masa depan anak-anakmu juga. Jangan khawatirkan kami, Wina juga sudah terbiasa merawat Rio dan Rena. Yang penting jangan lupa, kalau sudah gajian, kirim uang buat anak-anakmu."

"Berangkat ke Jakarta juga butuh uang, Bu. Aku nggak punya tabungan."

"Tadi saudara-saudara ayahmu ngasih amplopan. Nanti ibu sisihkan buat persiapanmu berangkat ke sana. Jangan khawatir, yang penting kamu harus kerja."

Wina pun masuk ke dalam kamarnya, tak mempedulikan lagi pembicaraan ibu dan kakaknya. Pupus sudah harapannya untuk kuliah. Bekerja di mana dengan ijazahnya yang hanya SMA? Jika dia bekerja pun, apakah dia tega dengan ibunya?

Merawat kedua keponakan yang masih balita, dan adiknya yang istimewa. Apalagi kakaknya akan tinggal di Jakarta. Wina pun mencoba memejamkan matanya, menghilangkan rasa sedih dan gelisah di hatinya. Berusaha ikhlas menerima kenyataan yang ada di hadapannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status