Share

Menolak

Sebenarnya, sudah sejak pertemuan pertama kami, aku terang-terangan menolak Erwin. Alasan yang aku buat untuk menolaknya adalah aku mengatakan padanya bahwa aku bukanlah wanita yang baik.

Alasan klise, menurut Erwin pada saat itu. Tetapi, aku tetap dengan pendirianku. Tanpa menceritakan detailnya, aku beralasan bahwa selama hampir tiga puluh tahun aku hidup di dunia, aku tak pernah dekat dengan laki-laki. Sekali dekat, aku akan menolaknya dan laki-laki itu akan mundur pelan-pelan. Aku adalah wanita yang tak gampang bersosialisasi dengan orang lain.

Terlebih, saat itu aku mengatakan, untuk bersosialisasi dengan keluarga besar Erwin. Aku tak pernah bisa beramah-tamah. Dan seperti keluarga yang lainnya, jelas, keluarga Erwin sangat menjunjung keramah tamahan. Dan aku tak suka itu.

Lalu, senjata terakhir untuk membuat Erwin mundur adalah, aku mengatakan bahwa aku tak memiliki keluarga yang seharmonis keluarganya. Sudut kecil hatiku ingin mengatakan bahwa aku adalah anak yatim piatu. Tetapi, aku masih memiliki otak yang tak seemosional hati. Karena kenyataannya, orangtuaku masih ada. Benar, kan?

Tetapi, entahlah aku tak tahu kabarnya. Dan tak akan pernah ingin tahu. Mereka sering menghubungiku. Untuk meminta -menagih, lebih tepatnya- uang dan semacamnya. Terkadang, kuberikan. Hanya karena agar urusanku dengan mereka berjalan cepat saja.

Selain itu, aku tak pernah melakukan hal lain lagi. Mereka tak peduli padaku. Tak ada drama seorang ibu yang merindukan anak perempuannya karena tak pernah pulang ke rumah atau seorang ayah yang ingin mengetahui keberadaan putri kecilnya, dimana pun putrinya berada. Tidak ada semua itu di hidupku. Hampa. Kosong. Tanpa ada apa-apa.

Namun, Erwin tak dengan mudahnya percaya. Ia pikir bahwa aku yang menjauhkan diri dari orangtuaku. Walaupun memang benar. Tetapi, semua itu tidak hanya sampai disitu saja. Aku memiliki permasalahan yang rumit.

Kecemasanku yang berlebih ini disebabkan karena satu hal yang enggan aku ceritakan pada siapa pun. Termasuk pada Erwin, orang yang sedang gencar mendekatiku.

"Halo, Sayang?" panggil Erwin memecah lamunanku. Beranjak dari kursi, aku memilih untuk beranjak. Menghampiri jendela besar dengan pemandangan gedung pencakar langit yang sukses membuatku selalu terpana.

"Ya, Mas?"

"Nah, kalo dipanggil calon suami itu balasnya mesra gitu, kan, aku jadi semangat."

Dari sekian banyak laki-laki yang mendekatiku, Erwin adalah yang paling pantang menyerah. Begitu banyak penolakan yang sudah aku lakukan padanya, namun ia tetap tak gentar sedikit pun. Barangkali, dia di dukung oleh ibunya. Entahlah.

"Mas, aku mohon jangan ganggu aku lagi. Aku harus mengatakan ini berapa kali supaya Mas Erwin tahu bahwa aku sangat terganggu dengan perlakuan Mas Erwin selama ini padaku?" tanyaku dengan nada penuh emosi.

Aku sudah muak dengan rayuannya -yang sudah jelas akan kembali dilontarkannya- dan sudah tak peduli dengan apa yang ia lakukan sore nanti, jadi aku tutup telepon kami secara sepihak. Tanpa sadar melempar ponsel Rini ke sofa yang tak jauh dari tempatku berdiri.

Ah, semua ini gara-gara Erwin dan ingatanku mengenai 'hal' itu.

Semua hal tentangku saat ini, adalah bentuk dari rasa kecewa, takut, serta kalut di masa lalu.

***

"Maaf aku nggak sengaja banting ponsel kamu, tadi."

Rini tampak menunjukkan ekspresi kaget. Tetapi, karena canggung berhadapan denganku, ia hanya mengangguk sambil tersenyum menenangkanku.

Begitu ponselnya aku serahkan pada Rini, ia langsung cepat-cepat mengecek kondisi ponsel tersebut. Barangkali tak menemukan apa pun yang 'rusak', ia menghela napas dengan lega.

Aku mengedikkan bahu tak peduli. Lalu, memilih untuk kembali ke ruanganku. Setengah berpikir bagaimana agar aku tak bertemu dengan Erwin, sore nanti.

"Beritahu aku kalau ada sesuatu yang rusak di ponselmu." ucapku pada Rini yang kembali memastikan keadaan ponselnya, yang kuketahui baru saja ia beli di bulan lalu, saat menerima tunjangan hari raya dariku.

"Siap, Mbak!"

"Tolong, kalau ada gangguan lain, aku mohon kamu yang atasi, ya? Hari ini aku lagi nggak dalam kondisi yang baik untuk beramah tamah, Rin." peringatku sekali lagi.

"I-iya, Mbak."

Setelah memastikan bahwa sudah tidak ada yang perlu kuatasi, aku melanjutkan langkah untuk kembali ke ruanganku.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status