Share

Telepon dari 'Kekasih'

"Pagi, Mbak Aya!"

Aku tersenyum, lalu menganggukkan kepala sebelum berhenti sebentar di depan resepsionis untuk mengatakan sesuatu pada seseorang yang bekerja di balik meja resepsionis.

"Rin, nanti kalau ada yang cari saya, sementara tolong kamu handle dulu, ya."

Rini tampak kebingungan, namun aku yakin ia tahu maksudku. Walau, dia juga tahu pasti bahwa ada beberapa agenda yang harus aku laksanakan hari ini.

Setelah beberapa detik terdiam, dia akhirnya mengangguk. "Baik, Mbak. Nanti pasti aku hadapin." candanya sambil menggerakkan tanda hormat. Aku hanya tertawa saja.

Kebiasaanku setelah bermimpi buruk atau sedang mengalami mood yang juga sama buruknya adalah berdiam diri di ruangan kerjaku. Sebenarnya aku bisa memaksakan diri untuk tetap menajalnkan agendaku hari ini. Namun, aku tahu itu sangat sia-sia. Karena jelas, aku tak bisa seproduktif ketika aku dalam keadaan baik-baik saja.

Bagaimana tidak, bila aku sedang dalam keadaan tak baik-baik saja. Hal yang hanya aku lakukan adalah melamun sepanjang hari dan melewatkan makan siang. Atau bila sedang beruntung, aku akan kembali memejamkan mata -melanjutkan tidur- hingga sore hari ketika ada seseorang yang membangunkanku.

Mengapa beruntung? Karena terkadang setelah mimpi buruk, seringnya aku sudah tak bisa melanjutkan tidur lagi. Ada rasa was-was dalam diriku yang sulit kukendalikan. Aku akan merasa sangat lemah dan meninggalkan rasa tangguhku yang sudah kupupuk sejak kecil. Bila sudah seperti itu, aku akan sangat membutuhkan sebuah obat. Obat penenang yang diresepkan psikiater langgananku.

Ya, tentu saja aku tahu jika aku bermasalah. Tetapi, jelas aku mencoba tak menghiraukannya. Sebab, semakin aku terfokus pada rasa lemah ini, semakin aku kembali diingatkan tentang kejadian menyakitkan yang harus aku tanggung sendirian.

Ya sudahlah, toh kejadian itu sudah aku kubur dalam-dalam. Tak akan sudi aku 'sengaja' memikirkannya.

"Aduhh maaf, Mbak, ini ada telepon dari Mas Erwin. Aku sudah bilang Mbak Aya sedang nggak mau diganggu, tapi Mas Erwin malah ancam mau fitnah bilang ke ibu kosku kalau aku kerja di tempat yang nggak bener."

Sontak saja aku berdecak. Erwin adalah pengusaha makanan ringan. Memiliki pabrik yang sebenarnya tak terlalu besar, namun itu adalah bisnis keluarga. Bisnis yang sudah dijalani saat kakeknya masih ada di dunia.

Mengapa aku bisa sampai tahu sedetail itu? Karena ibunya adalah langganan di butik milikku. Kami pernah mengobrol mengenai fashion dan kebetulan aku pernah menolongnya saat beliau jatuh pingsan.

Terdengar klise sekali, kan? Yeah, namun begitulah adanya.

Lalu, mengalirlah cerita tentang keluarga beliau. Keluarga yang menurutku adalah keluarga yang harmonis, jauh sekali dengan keluarga yang aku miliki.

Tante Mala, ibu Erwin, mengatakan bahwa beliau menyukaiku. Lalu, mengatakan dengan terang-terangan padaku bahwa aku harus berjodoh dengan anak bungsunya. Tanpa perlu mengetahui pendapayku lebih dulu.

Gayung bersambut, bukannya menolak dengan beralasan laki-laki itu sudah memiliki kekasih, Erwin malah langsung mengangguk menyetujui. Seolah ia sudah sangat yakin pada ibunya bahwa pilihan seseorang yang berjasa melahirkan dan merawatnya adalah yang terbaik dan sudah pasti baik bibit, bebet, bobotnya.

Padahal, belum tentu semua benar, kan? Terlebih Tante Mala hanya tahu casingku saja. Tak tahu mengenai kehiduoan atau bahkan keluargaku saja. Begitu tahu bahwa aku adalah wanita karir yang mandiri -menurut beliau- Tante Mala langsung ingin menjodohkan anak kesayangannya denganku.

Yeah, aku memang mandiri. Aku akui itu. Dan dengan kepercayaan diriku yang seharusnya tinggi, aku mengangguk menyetujui pendapat Tante Mala. Tetapi untuk bersama dengan anaknya?

Ah, bahkan aku tak pernah mengenal lelaki kecuali adalah ayahku. Tak pernah mencoba berhubungan dengan lawan jenis, walau harus aku akui banyak yang secara tersirat atau bahkan terang-terangan ingin mencoba menjalin hubungan denganku.

"Mbak, telepon lagi, nih"

Aku berdecak kesal. Kesal bukan main. Aku memang sudah tak diteror berpuluh-puluh telepon oleh laki-laki bernama Erwin itu, tetapi sialnya Erwin tak kehabisan akal. Ia berganti meneror karyawan yang paling dekat denganku. Si Rini itu.

Yang membuatku kesal adalah, dia tak pernah menyerah sedikit pun. Padahal, sudah cukup lama 'pendekatan' ini terjadi. Enam bulan, mungkin? Aku lupa kapan persisnya.

"Ada apa?"

"Hai, sayang. Lagi apa?"

Aku memutar bola mataku malas. Erwin ini semakin melunjak saja, pikirku. Padahal, terakhir kali kami berhubungan- ah tidak. Maksudku, terakhir kali Erwin meneleponku adalah saat dirinya di Singapura, 3 minggu yang lalu.

"Jam segini Mas Erwin harusnya tahu aku lagi kerja."

Erwin terdengar tertawa disana. Membuat darahku makin mendidih saja. Astaga, kepalaku sudah sangat pening rasanya. Ingin merebahkan diri di sofa nyaman yang ada di dekat meja kerjaku.

Ah, ya. Sesebal-sebalnya aku dengan laki-laki ini, aku tetap menghargai dia sebagai laki-laki yang usianya lebih tua dibandingkan denganku. Jadi, aku memanggipnya dengan embel-embel 'Mas'.

Niatnya memang untuk menghargai saja. Tetapi, disalah artikan oleh ibunya -yeah, selalu- bahwa hubunganku dengan Erwin telah berjalan sangat sempurna. Dan misi perjodohan beliau, berjalan dengan mulus.

"Ah, iya maaf, Sayang. Aku baru aja pulang dari Singapura dan ada oleh-oleh buat kamu. Aku antarkan sekarang, ya?"

"Kamu tahu, kan, Mas, aku nggak suka diganggu saat kerja?"

Sebagai penerus bisnis keluarga, menurutku Erwin begitu santai dalam bekerja. Sangat santai malah. Yeah, tetapi siapa yang akan memecatnya, kan? Toh, itu adalah milik keluarganya. Pada akhirnya, kekayaan mereka itu akan jatuh ke tangan sang pewaris.

Ah ya, aku ingat. Tante Mala pernah mengatakan padaku untuk jangan risau mengenai masalah finansial apabila aku menikah dengan putranya. Sebab, kehidupan kami sudah terjamin. Mereka adalah seorang pebisnis ulung. Tak akan bangkrut untuk beberapa puluh tahun ke depan, ucap Tante Mala pada saat itu dengan kepercayaan dirinya yang tinggi.

Jujur, kala itu aku hanya tertawa mendengarnya. Sebenarnya menurutku, aku tak pernah bereaksi berlebihan atau memberikan harapan pada niat Tante Mala dan Erwin. Tetapi, lagi-lagi, mereka menganggap semua tawa dan senyumanku kala merespon ucapan mereka, adalah lampu hijau.

"Ah iya, pacarku ini memang ambisius dan tekun, ya? Ya udah, aku akan kasih ini setelah kamu pulang kerja, ya?" kata Erwin di seberang telepon, dengan nada yang masih ceria. Berbanding terbalik denganku yang sudah menghela napas lelah.

Sudahlah pekerjaan masih menumpuk, tetapi kondisi sangat tak mendukung untukku tetap fokus pada itu. Kepala pening dan gangguan yang tak kunjung selesai, cukup membuatku ingin meledak saja rasanya.

Ah, benar-benar hari yang buruk.

****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status