Share

Bayangan Masa Lalu (2)

Selama bersekolah di sini, aku tak pernah melakukan hal serupa yang dilakukan teman-temanku selama ini padaku. Aku tak pernah mengejek mereka, pun tak pernah tertawa saat salah seorang temanku menangis kencang.

Karena yang aku lakukan justru menenangkan mereka. Mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Tetapi balasan mereka sungguh diluar dugaan. Aku kembali dibuat ketakutan. Bukan hanya karena perkara pisau, melainkan ejekan mereka padaku yang sungguh menurunkan semangatku untuk bersekolah.

Tetapi, jika tak bersekolah, aku akan ke mana? Setiap hari ayah dan ibu akan pergi. Entah kemana, aku tak boleh tahu. Dan di rumah, aku hanya bersama dengan pembantu, yang juga akan kembali pulang ke rumahnya di sore hari.

Aku tak memiliki teman, karena aku tak pintar bergaul. Bila tak di sekolah, aku jarang berbicara. Aku lebih banyak diam dan ketakutan, karena sumber masalahku adalah di rumah. Ketakutanku adalah berada di sana. Namun, aku tak bisa pergi dari sana.

Astaga, ini benar-benar menyesakkan untuk kutanggung sendirian, kan?

"Karena mungkin mereka belum diberikan pengertian oleh orangtua mereka bahwa pisau itu berbahaya, Nak. Secepatnya, ibu akan memberikan pengertian pada mereka terkait hal ini, ya?" aku mengangguk atas hal yang diucapkan Ibu Dara. Mengusap-usap punggungku lembut, Ibu Dara kembali melanjutkan. "Hari ini Aya mau pulang atau kembali ke kelas?"

"Kembali ke kelas, Bu. Hari ini ada pelajaran menggambar." dan aku suka sekali menggambar. Jadi, aku tak akan melewatkan pelajaran menggambar di hari ini.

"Ya sudah ibu antarkan Aya ke kelas. Yuk?"

Cepat, aku menerima uluran tangan Ibu Dara. Berjalan menyusuri kelas-kelas lain, kami berhenti di kelas paling ujung, kelas A, yang sudah dihuni olehku empat bulan lamanya.

Begitu sampai di kelas, sudah ada Ibu Lia yang duduk di depan, di samping papan tulis. Bila Ibu Lia menyambutku dengan senyuman, lain halnya dengan teman-temanku yang menatapku dengan pandangan sinis. Barangkali mereka berpikir bahwa aku selalu mendapatkan perlakuan baik dari Ibu guru saat mereka semua mengolok-olokku.

Aku berjalan dengan takut-takut walau Ibu Dara masih berada di sampingku. Beliau membawaku ke tempat duduk kedua di samping tembok. Tempat dudukku bersama Lani, teman baikku di sekolah. Ia tak pernah ikut mengejekku barang satu kali pun, namun tak juga berani membelaku ketika aku sedang diejek oleh teman-teman, karena mereka memang cukup banyak.

Hari itu aku lalui dengan baik. Dan seperti biasa Ibu Lia memuji gambaranku yang rapi dan bagus. Menurutnya, aku terlalu berbakat menggambar, dan ayah serta ibuku pasti akan sangat bangga melihat anaknya mampu menggambar dengan baik.

Aku hanya menganggukan kepala saja. Karena ayah dan ibu bahkan tak tahu aku pintar menggambar. Mereka hanya tahu aku bersekolah di sini, sudah. Mengenai kemampuanku belajar di sekolah, aku yakin mereka tak tahu.

Tak lama berselang, bel pulang sekolah berbunyi. Aku buru-buru membereskan alat-alat menggambarku yang masih berserakan di meja. Setelah semua murid sudah membereskan barang-barangnya tanpa tersisa sedikit pun di meja, Ibu Lia memimpin doa mengakhiri pembelajaran di hari ini.

Teman-temanku berbondong-bondong keluar kelas. Ada yang menunggu jemputan dari orangtua, ada pula yang sudah dijemput dan tinggal pulang saja. Sedangkan aku? Kadang Bu Nur -asisten rumah tangga di rumah orangtuaku- menjemputku, tetapi bila ia belum selesai dengan bersih-bersih di rumah, ia akan menyelesaikan pekerjaan rumah terlebih dahulu dan memberikan pengertian padaku untuk pulang sendiri. Toh jarak sekolahku dengan rumah orangtuaku tak terlalu jauh, alias masih satu kompleks.

Hari ini sepertinya Bu Nur tak menjemputku. Jadi, aku akan pulang sendiri saja, tanpa menunggu jemputan di belakang gerbang seperti teman-temanku yang lainnya.

Belum sempat aku keluar dari area bangunan kelas, aku mendengar namaku di sebut oleh Ibu Dara. Walau suara beliau terdengar sangat kecil, tetapi aku dapat mendengarnya. Karena aku sedang berada cukup dekat dengan Ibu Dara yang berdiri membelakangiku.

"Bu, mohon maaf bila saya lancang dan terlalu mencampuri urusan keluarga ibu, tetapi saya khawatir dengan kondisi Kalanaya yang semakin lama semakin memprihatinkan. Kalanaya kembali histeris di sekolah, Bu. Bukan hanya ketakutan biasa akan pisau, tetapi Kalanaya sudah dalam tahap trauma, Bu. Bila saya boleh menyarankan, tolong ibu bawa Kalanaya ke psikolog. Saya akan bantu rekomendasikan psikolog anak yang terbaik di sini, Bu." ucap Ibu Dara yang berhasil aku curi dengar.

Sayangnya aku tak mnedengar balasan ibuku atas pernyataan Ibu Dara tersebut, karena beliau tak mengeraskan suara teleponnya. Ya, aku tahu bahwa yang sedang dihubungi oleh Ibu Dara adalah ibuku. Walau tak pernah mau menjemputku di sekolah, Ibu Dara tetap mengetahui nomor telepon waliku karena bila anak murid sedang dalam keadaan sepertiku, para guru bisa cepat-cepat menelepon wali murid mereka.

Bukan jawaban seperti ini yang kuharapkan. Aku memang tak tahu mengenai kondisiku yang tak terkendali setiap melihat pisau masuk dan ada dalam pandanganku, tetapi aku yakin bahwa aku sedang tak baik-baik saja. Aku tak akan sehisteris itu bila melihat pisau, bila tak ada alasan yang membentengiku untuk melakukan itu.

Walau masih terbilang cukup kecil, aku tahu bahwa aku mengalami trauma. Malam itu begitu menakutkan untukku. Ah, tidak. Untuk semua orang yang berada dalam kondisi terjepit sepertiku, pasti akan mengalami ketakutan yang sama sepertiku. Hanya saja karena aku anak kecil, level ketakutanku lebih tinggi dari orang lain.

Kulihat di sela-sela pintu ruang guru, Ibu Dara menghela napas panjang. Sepertinya ibuku tak merespon baik perihal apa yang dikatakan oleh beliau di sana. Yeah, ternyata ibuku tak hanya memperlihatkan ketidaksukaannya merawatku hanya padaku saja, tetapi kepada orang-orang ysng berhubungan denganku pun, ibuku tak mau ikut campur.

Diam-diam, aku terisak. Secepatnya pergi dari ruangan ini, aku berlari kencang. Tak peduli seruan salah satu guru yang memintaku untuk berhati-hati, aku tetap berlari sekuat yang aku bisa. Untuk mencapai rumah dengan segera, untuk menumpahkan tangisku di sana.

Lelah aku berdoa pada Tuhan untuk dibukakan pintu maaf atas segala kesalahanku yang mungkin telah melukai ayah dan ibu. Namun, sepertinya doaku belum terkabul. Karena ayah dan ibu masih tetap tak peduli denganku. Namun, sebenarnya ada sedikit kelegaan kala mereka acuh tak acuh kepadaku, karena jujur untuk berhadapan dengan ayahku saja, aku masih tak sanggup. Beruntung, ayah jarang pulang ke rumah. Jadi, aku bisa menghindar, sekali pun masih ada rasa takut yang teramat sangat saat menginjakkan kaki ke salah satu bagian dari ruangan di rumah.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status